November 23, 2008

Tubuh Anonim dan Gerak Figur Dalam Karya Putu

















Figur dalam karya Putu anonim. Mereka adalah suatu kumpulan atau komunitas orang yang terkesan homogen. Mereka dilepaskan dari segala atribut, mereka telanjang.


Inilah Hope Waving karya instalasi Putu Sutawijaya. Figur-figur yang menari di udara, beberapa patung dengan media baja dan kawat. Patung pertama, Code, figur yang berdiri, kedua tangan di atas, jari-jari terbuka nyaris bersentuhan. Patung kedua, Defiance, figur berdiri dengan tumit terangkat, tubuh condong ke belakang, wajah menengadah, tangan terulur ke depan wajah, jari-jari terbuka seperti menangkap sesuatu, menunggu, atau memegang sesuatu. Patung ketiga dan keempat, Be Alive I dan Be Alive II, figur menari, memegang topeng Barong, mengangkatnya ke atas dan ke depan. Kaki diangkat, wajah tengadah, dan tubuh sedikit melengkung, satu ke depan satu ke belakang. Lainnya, Challenge (2008) adalah figur berdiri dengan satu kaki, sedangkan kaki satu lagi, kiri diangkat terlipat, tinggi. Tangan kanan terentang ke samping, telapak tangan ditekuk ke atas, jari-jari membuka. Tangan kiri juga terangkat, posisi telapak dan jari tangan sama dengan tangan yang kanan.

Patung-patung itu, figur-figur dalam karya Putu, terkesan tak bisa dilepaskan dari gerak. Gerakan apa yang sedang ditampilkan? Tidak terdefinisi. Gerak tanpa nama. Sebagian gerak tari, hampir seluruhnya “gerak hidup.” Gerak di situ memang untuk sesuatu yang lebih besar daripada sekadar menari. Mungkin gerak pemujaan, gerak yang terkait dengan upacara agama. Dan konon demikianlah pada awalnya tari Bali: bukan sekadar tarian melainkan berkaitan dengan religi, pemujaan untuk Hyang Widi. Ini mengingatkan pada “gerak hidup” alami, misalnya gerak sperma yang mencari indung telur, atau gerak meregang ketika seseorang melepaskan nyawa.

Pendeknya, kumpulan figur itu bergerak, melainkan bukan menggambarkan aktivitas sehari-hari yang bertujuan praktis seperti berlari, makan, minum, tidur, dan sebagainya. Gerak kumpulan atau komunitas itu tak berkaitan dengan kepraktisan hidup sehari-hari, karena itu mereka tak mengenakan embel-embel apa pun. Kalau toh ada, itu sungguh tak berarti. Posisi-posisi tubuh dalam gerak itu menunjukkan bahwa figur tak sedang melakukan gerak praktis, melainkan lebih terkesan gerak menyatu dengan alam.

Posisi dalam gerak itu sangat beragam. Mendorong, melepas, melangkah, menggapai, mengangkat, memegang, menunduk, juga posisi berkacak pinggang dan berlari. Mereka juga seperti sedang memanjat sesuatu, meniti, menapaki, merangkaki, dan sebagainya, tanpa obyek tertentu yang menjadi “pegangannya.” Dengan kata lain, ketika posisi salah satu figur merangkak atau mengangkat, belum tentu, atau malah tidak ada sama sekali, sesuatu atau obyek untuk diangkat atau ‘dirangkaki’ itu. Kalaupun ada, tidak jauh dari nuansa pegunungan, tebing, pepohonan dan bulan. Alam. Kesunyian, spiritual. Gerak figur-figur anonim tersebut selalu terjadi di alam luas tanpa batas.

Figur-figur itu, sendiri atau berkelompok, semuanya anonim dan telanjang. Mereka juga tak berwajah. Tubuh-tubuh manusia dalam karya Putu memang hampir semuanya tak berwajah, tak beridentitas. Mereka menunduk, rambutnya turun menutupi wajah. Mereka, dalam patung-patung Putu, juga instalasinya, tidak hanya faceless, sekumpulan sosok anonim, massal, tidak teridentifikasi secara individual, tapi juga facelessness, tak berwajah. Sepertinya, lewat ketiadaan elemen wajah dan atribut itu, Putu lebih ingin melahirkan gerak, gerak itu sendiri, gerak “manusia,” bukan gerak individu.

Menyatu Dengan Alam

Relasi antara figur-figur itu dengan alam dimunculkan dalam Lukisan Grow (2008), salah satunya. Sejumlah pohon dan sejumlah manusia. Di dekat masing-masing manusia yang letaknya menyebar, ada pohon. Manusia dan pohon mengadakan relasi. Relasi itu menghasilkan gerak, menghasilkan bahasa yang bukan kata. Bahasa tubuh. Di dekat pohon, sosok-sosok itu ada yang berkacak pinggang, hanya berdiri, menyentuh ujung daunnya, membungkuk, menengadah ke atas, meliukkan badannya ke belakang, ke samping, berlutut, dan sebagainya. Mungkin itulah bentuk komunikasi antara manusia dan pohon. Komunikasi lewat gerak, apa pun bentuk geraknya.

Demikian juga dalam Not the Last Tree (2008). Beberapa sosok manusia di bawah sebuah pohon besar. Di sekitar mereka tampak sisa-sisa batang pohon bekas ditebang. Hanya pohon besar tempat mereka berada yang belum terkena pemotongan. Sosok-sosok itu ada yang sedang duduk bersantai, berjongkok dengan kepala menunduk, berdiri berkacak pinggang sambil menengadah melihat pohon, berdiri memegang payung dan melongok ke daun-daun yang masih rimbun, dan beberapa posisi lain. Nampaknya tidak ada interaksi yang muncul di antara sosok-sosok tanpa identitas itu. Masing-masing lebih terkesan sedang merasakan rimbunnya pohon saat itu, merasakan dirinya terlindungi dari sengat matahari. Sebagian yang lain mungkin berpikir tentang nasib pohon itu. Masing-masing dari mereka mungkin bersedih atau menyesal karena sadar bahwa pohon yang mereka lihat adalah pohon satu-satunya yang nampak di daerah itu, lalu berharap bahwa itu bukan pohon terakhir. Tatapan dan ekspresi tubuh mereka seakan menyiratkan, mereka sedang bertanya, berharap pada sang pohon.



Merayakan Hidup

Dalam “gerak hidup,” ada usaha untuk mencapai sesuatu. Sesuatu yang tidak hanya dipahami sebagai obyek. Sesuatu itu lebih pada apa yang tak ternamai. Never Truly On Top (2008), sekelompok manusia berusaha memanjat sebuah tebing. Dengan posisinya masing-masing, tidak ada yang sama, mereka naik. Ada satu sosok yang berdiri, berkacak pinggang di atas, sementara sosok lainnya berusaha mencapainya. Posisi tubuh mereka pun berbeda-beda, ada yang memanjat, meraih, merayap, juga merangkak. Terasa bahwa merekat akan sampai di puncak. Kumpulan figur manusia itu seperti berlomba untuk mencapainya, tapi tak pernah akan sampai. Lukisan itu, agaknya, menceritakan tentang keterbatasan dan ketidakterbatasan. Puncak, atau apa pun yang akan dicapai, yang akhir, itu tak ternamai, tak berbentuk, bukan obyek. Mungkin lenih tepat bukan puncak itu yang akan dicapai, melainkan “rasa” sampai di puncak. Apa yang disebut akhir, yang paling atas, bisa jadi adalah ilusi manusia atas yang tak terbatas. Sampai di “puncak” adalah kesadaran bahwa tubuh itu keterbatasan. Keterbatasan disadari ketika ketidakterbatasan dihayati.

Gerak selalu berkaitan dengan keberadaan energi. Dalam gerak, figur-figur itu seperti sedang menimba energi, menyadari keberadaannya. Lihat misalnya, Spirit From Somewhere (2008), Matahari ke Matahati (2007). Mereka juga melepaskan energi, Energi Tunggal (2001), mengamini “energi lain,” yang hadir di sekitar tubuh, Grafity to Bring Me Down (2008) dan Di Antara (2007), juga menggunakan energi, misalnya dalam Tanpa Perlawanan I (2003-2007) dan Looking for Wings II (2002). Figur-figur Putu merangkak, menghempas, menari, mencari, menyentuh, mendorong, mengejar, juga mabuk dan terjungkal. Dalam Looking for Wings, sembari memegang gelas anggur figur bersayap tanpa nama itu berpesta. Gerak adalah perayaan, pesta kehidupan. Ritual. Bergerak, menari, bukan untuk siapa pun, bukan untuk apa pun. Gerak adalah demi hidup, sebuah keniscayaan. Hidup adalah gerak, nafas, desire menuju entah apa.

Do Not Know How To Stop (2008) dan Dancing in the Full Moon (2008), dua buah instalasi dari resin dan baja, menampilkan figur-figur bening sedang berusaha mencapai atau menyerap sesuatu. Dalam Do Not Know How To Stop, figur-figur itu memanjat karena memiliki hasrat untuk tahu, hasrat untuk memiliki, hasrat untuk dipahami. Mereka tidak tahu kapan dan bagaimana harus berhenti. Ada situasi-situasi semacam keterasingan, keterpisahan, dan ketidakyakinan dalam diri mereka ketika berhadapan dengan alam. Dancing in the Full Moon adalah kerumunan figur yang membentuk bola, masing-masing melakukan “ritual geraknya” sendiri, menghidupi cahaya bulan dan malam. Lalu Cinta Dalam Purnama (2005), antara lain, adalah mencari “sesuatu yang lain” yang bisa meyakinkan figur-figur itu atas keberadaannya.

Selain figur berkelompok, beberapa lukisan Putu sarat dengan nuansa kesendirian. Mungkin, ekspresi ini sebenarnya yang pokok. Agaknya, ada pesan yang lebih penting dalam “tubuh-tubuh yang sendiri” itu. Kalaupun figur-figur dalam sebagian besar karya Putu berkelompok, mereka sebenarnya berjalan sendiri-sendiri. Jika didapati sekelompok orang sedang melakukan sesuatu bersama, misalnya dalam Loneliness Without Boundaries (2008), barisan orang sedang duduk, seperti sedang melakukan ibadah, atau Merapi (2006), gerombolan orang yang menuju ke arah sama, bergerak dengan posisi yang nyaris sama, seperti sedang mendorong sesuatu, itu karena manusia memiliki kecenderungan tertentu yang sama. Masing-masing memiliki gerak, suara dan posisinya. Mereka melakukan “ritual’nya sendiri. Karena itu, figur-figur Putu tidak bisa begitu saja dikategorikan sebagai “tubuh sosial” dengan alasan bergerombol, berkerumun, atau berkelompok. “Gerak hidup” setiap sosok bisa dikatakan sebagai “cara mengada,” cara hidup khas manusia, sendiri ataupun dengan manusia lain.

Selain Energi Tunggal, tema-tema kesendirian ini muncul dalam Sendiri (1998), seorang laki-laki seperti baru saja terjatuh, terkapar. Kepalanya menunduk, rambutnya menutupi wajah, tangan terentang ke samping. Juga Masih Banyak Kursi Kosong (2004), Terbebas Dari Dinding Hitam (1999) dan Terjepit (1998).

Pada kanvas, garis dan bidang Putu terkesan cair, mudah membentuk imaji gerak. Warna terkesan transparan, hingga antara kumpulan figur dan alam latar belakang merupakan kesatuan yang membentuk energi. Lewat gerak, anonimitas dan ketelanjangan, energi tersebut dinyatakan. Alam, dalam hal ini, tidak menjadi “Yang Lain,” melainkan “yang lain,” yang intim, bisa berkomunikasi.

Karya-karya Putu Sutawijaya yang dipamerkan di Galeri Nasional di bawah judul The Legacy of Sagacity, 20 November sampai dengan 30 November 2008 itu, adalah karya-karya yang dikerjakannya sejak 1998. Dalam pameran itu ada sekitar enam karya lukis terbarunya, empat instalasi dan patung-patung metal. Dalam rangkaian pameran ini juga diadakan peluncuran buku tentang Putu, 27 November 2008, tepat tiga puluh delapan tahun setelah hari kelahiran Putu di Angseri, Tabanan, Bali.. Buku itu ditulis oleh Jim Supangkat, yang juga mengkuratori pameran ini.



November 22, 2008

Yang Menonton dan Yang Ditonton Dalam Lukisan Arifien Nief, bagian pertama

Namanya Arifien Nief. Saya kira dia orang seberang. Malaysia, mungkin. Ternyata asalnya adalah Surabaya. Lalu saya cari rumahnya. Ciganjur. Jalan Manggis nomor 60, begitu beritanya. Nomor 60 ternyata rumah sangat mewah, tampak menonjol di jalan Manggis itu. Dengan model kayu-kayu seperti sanggar, banyak pohon dan luas halamannya, ia tinggal bersama keluarganya. "Anak saya ada lima," katanya.

Laki-laki berkacamata itu naik ke studionya. Ternyata dia tidak punya koleksi lukisannya sendiri. Dia tidak punya koleksi pribadi. Kemana lukisan2nya? Dijual? Laku? Entah. Mungkin di tangan kolektor yang cinta dengan gaya dan temanya. "Saya pernah membeli satu lukisan saya dari seorang kolektor. Lukisan itu dulu saya kasih cuma-cuma ke dia. Lalu saya beli dengan harga yang cukup mahal."

Nief, nama yang tertera di ujung kanvasnya, adalah anak sulung dari sebelas bersaudara. Ia lahir di Surabaya, 31 Maret 1955. Ayahnya bernama Soepakat dan ibunya bernama Rukayah. Pergaulannya dengan beberapa arsitek membuatnya memiliki profesi sebagai asisten di kantor desain interior, desainer grafis di perusahaan periklanan, juga mengerjakan film-film animasi.

"Sejak dulu saya tertarik dengan tema-tema psikiatri, penyimpangan-penyimpangan perilaku," katanya mengawali cerita tentang karya-karyanya. "Saya pernah mengadakan observasi di RS Sumber Waras, menemukan sebab mengapa mereka begitu." Bermula dari ketertarikannya pada perilaku menyimpang, ia merambah ke pengamatan terhadap rasa-rasa yang menyertai perilaku seseorang. "Mencari nilai dari suatu perasaan," begitu katanya. Begini ilustrasinya: ada dua orang anak yang sama-sama naik bis tidak beli tiket, alias tidak bayar. Anak yang satu merasa berdosa, sementara yang lain merasa bangga. Dua model perasaan itulah yang dikatakan "nilai dari perasaan-perasaan." Demikian pula dengan perasaan-perasaan berdosa, bersalah, senang dan depresi.

Hakikat Rohani (1978) menceritakan kaitan antara dosa dan perbuatan. "Ini saya buat untuk teman saya yang naik haji. Ia banyak dosa, karena itu saya berharap dia bisa berubah setelah pulang dari sana." Ternyata Aji, temannya yang pulang dari naik haji itu, tidak juga berubah. Lukisan bergambar timbangan, satu sisi isinya bunga-bunga melambangkan kebaikan, sisi satunya kepala tengkorak, melambangkan perilaku jahat, dosa. Kemudian sang Nabi memegang kunci Surga, sementara di kanan bawah ada gambar Ka'bah.

Aji dianggap berdosa karena dia homoseksual. Arifien ingin memberi peringatan, namun gagal. Oh My God! (1979) terinspirasi juga oleh sosok Aji. Judul ini diambil dari teriakan kecil Aji, tetangga Arifien, saat bersama temannya yang juga laki-laki. Namun, dalam lukisan itu, Arifien seakan 'meralat' sosoknya. Gambar yang hadir di sana adalah perempuan yang sedang membuka kainnya, menampakkan seluruh bagian depan tubuhnya. Di kaki sebelah kanannya, nampak sosok laki-laki, lebih kecil ukurannya, sedang berusaha merengkuh kaki perempuan itu. "Kalau saya kan, terangsang kalau lihat perempuan, jadi saya bilang Oh My God ketika melihat tubuh perempuan. Nah ini saya (menunjuk pada sosok laki-laki sebelah kanan bawah itu)."

Tema-tema sederhana yang muncul dalam lukisannya, selain terinspirasi dari pengalaman dirinya dan teman-temannya, juga lagu-lagu. Ia suka mendengarkan lagu, mengamati syair lagu itu. Lagu baginya seperti semacam terapi psikologis. Dalam lagu, sering ia temukan lirik yang maknanya jujur, sedikit seronok dan bernuansa erotis. Ini seakan menjawab seluruh rasa yang ia punya.

Mengenai tema dalam lukisannya, selain ceritera sederhana, keseharian, tak lepas dari kasus-kasus dalam dunia psikiatri, misalnya ... kemudian di periode kedua, spiritualitas, ... dan pengolahan yang sekarang, cinta. Yang terakhir ini oleh Nief, dibedakan dengan kasih sayang. Beberapa contohnya ...


Pameran tunggal terakhir Nief di Singapura. Pameran ini terlaksana berkat kerjasamanya dengan Zola Zolu Gallery, lima tahun terakhir ini.

November 21, 2008

Coret-Coretan Setengah Surat dan Puisi Untuk Aladin

Split Me

FESTIVAL TANDA KOTA, GALERI CIPTA II, TIM, 15 – 30 NOVEMBER 2007

Festival Tanda Kota diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada 15 – 30 November 2007 di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Pameran dikuratori oleh Reza Afisina dan Ardi Yunanto, dan diikuti oleh sekitar tiga belas komunitas dan seniman-seniman muda dari berbagai bidang (desain grafis, desain komunikasi visual, fotografi, seni rupa murni) yang menggeluti masalah pengembangan masyarakat dan kritik sosial. Karya-karya yang ada menampilkan pembacaan mereka atas kota. Bagaimana cara mereka menyuarakan sejarah kotanya?

Dalam pengantar pameran Festival Tanda Kota, Bambang Bujono selaku wakil dari Dewan Kesenian Jakarta, mengharapkan pameran ini dapat menyajikan citra tentang Jakarta, yaitu sebuah kota yang bergeser dari metropolitan menjadi megapolitan. Apa saja yang dapat ditelusuri untuk mengamati mekanisme kota Jakarta ini? Urban relic. Di pameran ini para seniman menunjukkan berbagai jejak kota, mulai dari hal-hal yang sangat umum, seperti papan iklan di jalan, stiker-stiker pada bus kota atau mikrolet, sampai hal-hal yang dianggap memiliki nilai nostalgia (restoran tempo dulu, stadion, simpang jalan). Kepingan-kepingan itu menjadi bernilai ketika dikumpulkan, diangkat, ditafsirkan dan dibicarakan. Melalui medium foto, gambar, video, spanduk, instalasi, media cetak, dan sebagainya sebuah peristiwa tersaji kembali, perubahan hidup dalam kota sepanjang masa bisa dihadirkan lagi.

Kota adalah teks yang harus dibaca dan ditafsirkan dari berbagai perspektif. Pembacaan atas kota ini bisa dilakukan lewat bangunan-bangunan kuno bersejarah dalam Dark Brown Sofa (2007), iklan-iklan ilegal yang terpampang di pinggir jalan berlabel “Sedot WC”, “Guru Les Privat”, “Penyalur Pembantu”, “Pendidikan Akupuntur”, “Badut sulap”, “Jasa Skripsi”, sampai rekaman iklan yang dibuat oleh Sakitkuningcollectivo dalam Ilegallegal (2007). Ilegallegal berisi dramatisasi tulisan pada papan iklan. Cetak Urban (2000) merupakan proyek kerja Ruangrupa yang menyajikan metode membaca kota. Mereka mengadakan penelitian melalui produk cetak (stiker, spanduk, foto, video, dan sebagainya) yang diedarkan di Jakarta.

Tidak hanya Jakarta, Bandung dan Yogyakarta juga tidak luput dari pembacaan kritis senimannya. Seniman harus bisa membawa ‘roh jaman’ (Zeitgeist) dalam karya-karyanya. “He is the voice of his time” (Maxim Gorki). Mempelajari tanda-tanda kota sama artinya memberi nama yang selalu baru pada sebuah kota. Dari sana kita bisa mencatat sejarah perkembangan sebuah kota. Bandung bisa dicatat sebagai kota wisata belanja karena pertumbuhan factory outlet dan usaha kulinernya, sebagaimana diteliti oleh Buton Kultur 21. Instalasi Bambang Toko, Rumah Masa Depan (2007) menjawab harapan masyarakat kota Yogyakarta melalui parodi atas rumah mungil sederhana, harga terjangkau, tempat strategis dan fasilitas nyaman. Karya ini juga merupakan reaksi atas maraknya investor perumahan baru di Yogyakarta. Makam (dikatakan sebagai rumah masa depan) diangkat sebagai simbolisasi keinginan itu.

Ada tiga hal yang bisa dipahami melalui istilah Tanda Kota, pertama, tanda kota membuat kita menyadari keberadaan yang lain dalam sebuah kota, misalnya papan-papan iklan ilegal. Entah benar atau tidak, mereka berusaha memanggil kita. Kedua, karakter sebuah kota. Paling tidak dengan adanya spanduk Swike hasil karya Jatiwangi Art Factory, kita dikenalkan dengan masakan khas daerah itu. Ketiga, tanda kota membuat orang berjumpa dengan ‘asal-usul’nya, seperti Food in the City (2007). Ayam Goreng Solo, Soto Lamongan, Nasi Goreng Cirebon, dan sebagainya adalah citra khas daerah yang dibawa ke tempat lain.
Kota selalu menanti untuk diberi nama. Citra mereka dibentuk oleh aktivitas penduduknya. Festival Tanda Kota menyediakan medium untuk mencermati perubahan imaji kota dari waktu ke waktu. Lewat urban relic (istilah dari Bambang Bujono), kita dapat melihat wajah kota yang dipermak.


- Sty -

ARTVERTISING, Galeri Nasional 24 – 30 Oktober 2007.

Artvertising, sebuah pameran yang bertempat di Galeri Nasional, 24 Oktober sampai dengan 30 Oktober 2007 diselenggarakan oleh Pantarei Communication dan Garis Art. Pantarei adalah biro iklan yang cukup berpengaruh, sedangkan Garis Art menjadi penghubung antara pengusaha, pecinta seni dan desainer grafis. “Demand can be created.” Semboyan ini menunjukkan optimisme Pantarei, bahwa iklan selalu bisa menciptakan kebutuhan yang selalu baru bagi konsumen. Kali ini, kebutuhan itu ingin diciptakan lewat kolaborasi antara iklan dan seni rupa murni. Enin Supriyanto, dalam tulisannya di katalog Artvertising, juga menegaskan bahwa seni rupa dan iklan tidak dapat dipisahkan. Pameran ini diharapkan bisa merangkul kalangan pecinta seni, pengusaha, seniman seni rupa murni dan seniman grafis, agar lewat iklan bersama menjadikan seni sebagai bisnis.

Artvertising mengambil term ‘Pop Art’ untuk menamai salah satu perkembangan seni kontemporer Indonesia. Dalam pameran tersebut kita bisa mengamati bagaimana para perupa memaknai pengalaman mereka atas seni pop dan fenomena iklan dewasa ini. Sekitar dua puluh satu seniman yang ikut dalam pameran ini berasal dari kalangan seni rupa murni, desainer grafis, dan komunikasi visual. Bahkan ada yang sempat bergelut di dunia iklan. Salah seorang dari seni rupa murni, misalnya, Nasirun, sempat ditertawakan teman-teman dari Jogja ketika diketahui ia ikut pameran ini. “Saya diundang. Dan justru ketika diundang, ditertawakan, saya malah tertantang …” Seniman lain, seperti kelompok suami isteri Miko Bawono dan Santi Ariestyowanti (Indieguerillas) adalah desainer grafis. Pupuk DP, Hanafi, Samsul Arifin, Dipo Andi, Bambang Toko, Budi Kustarto, Tedy, dan yang lainnya tidak kalah menarik berbicara lewat karya-karya khas mereka.

Seni pop muncul di London dan Amerika, sekitar tahun 1950an. Seni pop merupakan reaksi atas budaya massa yang konsumeristik. Harold Rosenberg mengatakan bahwa seni pop, seperti “joke without humour, told over and over again until it begins to sound like a threat … Advertising art which advertises itself as art that hates advertising.” Selain menjadi kritik atas budaya massa, seni pop juga merangkul pengalaman masyarakat dalam dunia kapitalis. Seni pop adalah artikulasi masyarakat yang tak ingin berhenti bicara tentang jamannya. Salah seorang pelopor seni pop adalah Andy Warhol. Kalau serialisme Warhol lewat kaleng sup Campbell merupakan reaksi terhadap budaya massa yang sarat dengan homogenitas, produksi masal, dan harga yang murah, semangat apa yang dibawa Pop Art di Indonesia? Selain semangat main-main, semangat menggabungkan sana-sini, semangat ngeyel, ndablek, gaul dan sinis, kita juga tak bisa lepas dari pengalaman sebagai konsumen. Ronald Manullang dalam Madonna and Child (2007) mengungkap bagaimana kita sudah sedemikian dikuasai oleh teknologi informasi, Dipo Andi lewat karyanya, Mendadak Ngepop (2007), tidak melakukan kritik terhadap isi atau produk Pop Mie. Ia ingin mengartikulasikan kembali bagaimana demam pop di Indonesia. “Nggak ada kritik ke produknya itu, saya cuma ngambil tulisan Pop-nya aja, kritik terhadap situasi sebenarnya. Pop Mie, ‘mie’-nya saya ganti: pop artis, pop kolektor, budaya pop yang tiba-tiba, yang mendadak, saya buat gitu.” Kalau Andi menampilkan demam pop di Indonesia, Nasirun mengkritik kota Yogya yang penuh dengan papan iklan, terutama iklan rokok. “Karya iklan mendominasi kota. Akhirnya ya pusing-pusing amat, ya saya bikin isu yang lucu-lucu aja.”

Realitas media menunjukkan bahwa kebutuhan selalu dapat diciptakan. Iklan adalah salah satu media yang tidak lagi memberi informasi tentang apa yang dibutuhkan konsumen, tapi menciptakan kebutuhan baru. Lewat seni rupa, iklan diharapkan dapat menciptakan desire masyarakat sehingga konsumsi tidak pernah berhenti. Pop Art yang dipahami dalam Artvertising adalah kecenderungan menggabungkan seni rupa murni dan iklan sebagai alternatif investasi.


- Sty -