Februari 09, 2011

La Belle Captive

Surealisme Magritte dalam La Belle Captive


Tirai merah tua itu separuh terbuka. Tampak di baliknya laut dan pasir pantai dengan garis cakrawalanya. Ombak laut bergulung seperti arak-arakan awan di langit biru. Di pasir pantai itu tampak sepatu perempuan, berwarna hitam, bertali, tergeletak miring. Tepat di sebelah kanan sepatu, di tirai yang masih tertutup, tampak easel dengan kanvas di atasnya, sudah terisi langit dan laut, semacam sambungan dari pemandangan yang tampak di balik tirai itu. Kanvas transparan itu seperti sebidang kaca menembus tirai yang harusnya menjadi penghalang pemandangan di baliknya. Itulah salah satu shot dalam La Belle Captive (1983) yang mereproduksi salah satu ide dalam lukisan Magritte.

Lukisan tersebut diambil dari dua seri pokok lukisan Magritte, The Fair Captive (1931, 1947) dan The Human Condition (1933, 1935). Keduanya menampilkan “lukisan dalam lukisan,” salah satu ciri utama karya Magritte. Salah satu bentuknya paling jelas terlihat pada Double Self-Portrait (1936): Magritte yang sedang melukis Magritte yang sedang melukis burung. Ada perjumpaan, peleburan antara kenyataan yang satu dengan yang lain, luar-dalam, depan-belakang, dulu-sekarang sehingga seakan-akan tak ada lagi waktu kronologis: Magritte yang sedang dilukis (sedang melukis Magritte), dan Magritte yang sedang melukis (dirinya sendiri yang sedang melukis burung), dan seterusnya. Mise en-abyme. Di sana nampak ketidakterbatasan gambar dalam gambar, selalu ada versi yang lebih kecil yang sama persis dalam versi yang lebih besar, begitu seterusnya.

"Art evokes the mystery without which the world would not exist." Seni menghadirkan misteri yang tanpanya dunia tidak akan ada. Kira-kira begitulah arti dari kata-kata Rene Magritte (1898-1967), salah satu pelopor surealisme Belgia yang kemunculannya ditandai oleh terbitnya Correspondance pada 1924, tahun yang sama dengan Manifesto Surealisme pertama yang ditulis oleh André Breton.

Bagi Magritte, keberadaan dunia tidak dapat dilepaskan dari misteri. Dengan kata lain, dunia terbentuk dari relasi-relasi yang tidak diketahui. Relasi ini menjadi tema penting karya Magritte. Namun, perlu diingat bahwa misteri dalam konteks Magritte, dan para surealis pada umumnya, lebih berarti teka-teki, sesuatu yang sulit, tak terjelaskan, tak diketahui oleh pikiran, daripada sebuah horror (nuansa mengerikan).

Misteri semacam ini mengingatkan kita pada pemahaman mengenai “keindahan” oleh Comte de Lautréamont alias Isidore Ducasse (1846-1870), salah seorang pelopor sastra sureal, dalam kumpulan karyanya, Les Chants de Maldoror (1869). Di sana ia mengatakan bahwa "As beautiful as the chance meeting on a dissecting-table of a sewing-machine and an umbrella!" Keindahan, atau bisa dikatakan di sini, misteri, terjadi karena suatu perjumpaan, kemungkinan perjumpaan dan penyatuan antara hal-hal yang sama sekali tidak berhubungan, misalnya, sebuah mesin jahit dan payung. Kalimat itu seakan menjadi kredo bagi para surealis karena berhasil “menangkap” dan “menyampaikan” pemikiran inti dari surealisme yang waktu itu berkembang pesat terutama setelah Perang Dunia II.

Pemikiran Lautréamont banyak menginspirasi para surealis Perancis waktu itu, namun visualisasi paling jelas dapat dilihat pada karya Magritte. Dengan teknik realis, obyek-obyek digambarkan Magritte sebagaimana adanya, dihadirkan bersamaan, sehingga pemaknaan baru lahir melalui relasi antar benda-benda yang secara riil tidak berhubungan langsung. Hegel’s Holiday (1958), misalnya, sebuah gelas berisi air putih yang berdiri di atas payung hitam. Misteri, dengan kata lain, ditemukan dalam perjumpaan antar obyek di kanvas Magritte, sebagaimana dikatakannya sebagai “hubungan yang puitis,” “tatanan puitis” di mana “figur-figur yang sangat akrab dari dunia yang kelihatan/nyata disatukan dalam tatanan yang ritmis, liris, dan menggugah persepsi.”

Salah satu yang khas dari Magritte, yang juga menandai perkembangan surealisme Belgia, adalah elaborasi terhadap hubungan antara kata, gambar, dan obyek (“alphabet paintings”). Bagi Magritte, hubungan tersebut bersifat arbitrer (manasuka), sehingga obyek tidak terikat oleh kata, misalnya, benda sepatu sangat mungkin tidak menyandang nama “sepatu.” Salah satu lukisan yang kerap dibahas sehubungan dengan itu adalah This is not a Pipe (1928/29).
Kecenderungan “alphabet paintings” ini agaknya yang membedakan surealisme Belgia ala Magritte dengan surealisme Prancis ala Breton yang mengambil psikoanalisis Freud sebagai inspirasi utamanya. Menurut Magritte, dalam benda yang hadir di sekeliling kita, hadirlah yang lain, obyek tersembunyi.” Dengan kata lain, misteri (sesuatu yang tidak diketahui, tak terjelaskan) itu menyatakan diri, menyingkapkan diri lewat relasi benda-benda yang ada di dekat kita. Agaknya, surealisme Magritte ini dapat dikatakan pula sebuah ekplorasi mengenai “ketidakhadiran dalam kehadiran.”

Berbeda dengan film yang menceritakan mengenai lukisan, atau pun biografi tokoh tertentu, La Belle Captive merupakan film yang pengolahan sinematografi, mise en-scene, dan editingnya nampak seperti lukisan Magritte. Alain Robbe-Grillet, sang sutradara, yang dikenal juga sebagai novelis berkebangsaan Perancis pelopor nouveau roman, “the new novel” pada 1950-1960an, beserta dengan Henri Alekan, sinematografernya, memadukan narasi yang non-linear itu dengan logika surealisme Magritte. Demikianlah keduanya berhubungan secara timbal balik: lukisan Magritte bisa dibicarakan dan dipahami lebih jauh lewat gambar-gambar bergerak dalam film, sementara film itu pun bisa “bercerita” lewat logika lukisan Magritte. Karena itu, lepas dari segala bentuk intepretasi, tulisan ini akan memberi gambaran singkat mengenai logika surealisme Magritte yang menjiwai La Belle Captive.

Film ini bercerita tentang perjalanan Walter (Daniel Mesguich) yang terobsesi dengan Marie-Ange van de Reeves (Gabrielle Lazure), perempuan misterius hingga membawanya pada teka-teki mengenai dirinya sendiri. Perempuan yang pernah mengatakan “Time doesn’t exist for me” pada pertemuan pertama dengan Walter itu memiliki karakteristik fisik persis seperti tunangan Henri de Corinthe, lelaki yang harus dicari Walter untuk menerima surat Sara Zeitgeist (Cyrielle Claire, bos Walter, yang ternyata persis isterinya sendiri). Tunangan de Corinthe itu konon dikabarkan sudah lama meninggal di tepi pantai tanpa ditemukan mayatnya. Ketika Walter sampai di rumahnya, Henri de Corinthe ditemukan sudah tak bernyawa, dan di lehernya ada bekas luka semacam gigitan, luka yang sama seperti yang dimiliki Walter malam setelah ia bersama dengan Marie-Ange.

“Perjumpaan” karya Magritte dengan film La Belle Captive, paling jelas ditemukan, misalnya dalam beberapa scene, seperti suasana malam dan bangunan Villa Seconde dengan Empire of Light, 1954, Villa Seconde yang porak poranda pagi harinya, juga shot close-up dr. Morgentodt bersebelahan dengan rangkaian lilin yang di tengahnya ada patung wajah serupa dengan Memory, 1948, medium close-up Walter menggigit tangannya sendiri dengan lukisan Magritte, Pleasure (1927), shot tubuh Marie-Ange terbaring di tepi pantai dengan Collective Invention (1934). Selain lukisan karya Magritte, film ini diinspirasi oleh puisi Johann Wolfgang van Goethe, The Bride of Corinth, legenda Yunani mengenai sosok drakula (penghisap darah) perempuan, dan lukisan Edouard Manet, The Execution of Emperor Maximilian (1868).

Secara visual, kehadiran “lukisan dalam lukisan” di mana unsur transparan berperan, khususnya bisa diamati pada salah satu scene dalam rumah de Corinthe, saat Walter sedang bicara pada pelayan de Corinthe. Keduanya berada persis di depan sebuah bingkai kosong yang melekat di dinding, maka bingkai itu seakan-akan hanya berisi mereka. “Lukisan dalam lukisan” atau “cerita dalam cerita” tampak pula pada scene pengepungan, penangkapan, dan penembakan Walter yang memiliki kemiripan komposisi dengan The Execution of Emperor Maximilian (1868).

Lihat pula scene saat Walter dengan tidak sengaja “menjenguk” mayat de Corinthe. Di sana terlihat “Walter dalam “Henri de Corinthe,” Walter “de Corinthe,” dan sebaliknya. Di sini Walter dan de Corinthe dihadirkan bersamaan untuk membangun imaji dan kesan bahwa mereka berdua memiliki kesamaan karakter, baik fisik maupun kisahnya lewat teknik eyeline match, di mana medium close-up wajah de Corinthe dan luka gigitan di lehernya, diikuti shot pandangan mata Walter dan tangan Walter yang sedang meraba lehernya (karena sebelumnya ia memiliki luka yang sama setelah tidur dengan Marie-Ange, namun saat itu lukanya tak muncul). Singkatnya, mereka berdua terhubung oleh karena Sara, Marie-Ange, dan luka bekas gigitan pada leher. Di sini, Walter sebagai pengunjung (agen utusan Sara) sekaligus juga menjadi Walter yang sedang tergeletak tak bernyawa (de Corinthe). Perjumpaan kehidupan dan kematian, Walter yang hidup dalam Walter yang mati, dan sebaliknya. Scene tersebut seakan menegaskan ‘ruang’ di antara yang nyata dan yang diimajinasikan, identifikasi, atau mekanisme ‘pemindahan’ (displacement) antara sosok Walter dengan Henri de Corinthe.

Di sini, misteri, dalam La Belle Captive, dibangun dan dipertahankan lewat repetisi scene, shot dan obyek. Seperti juga “lukisan dalam lukisan” yang memuat pengulangan, maka ada beberapa keserupaan shot untuk memperkuat kesan misterius. Dengan kata lain, semakin banyak adegan sama, atau simbol-simbol dihadirkan, maka “yang misterius” itu semakin dicari dan membuat pencari penasaran. Peristiwa pengepungan, penangkapan, dan penembakan Walter, dihadirkan beberapa kali dengan lokasi, subyek, dan konteks yang berbeda, juga benda tertentu (gelas minuman, sepatu, gambar sepatu, dan sebagainya) sebagai simbol diangkat berulang dengan close-up. Ada pun pengulangan pada lokasi dan sudut pandang sama, nyaris monoton adalah pada Sara, yang ditekankan sebagai “malaikat kematian,” dengan kacamata hitamnya, melaju kencang dengan sepeda motornya menembus malam.

Agaknya, lebih dari sekadar kisah pelacakan kasus melalui sepatu misterius, La Belle Captive memaparkan sekian mekanisme keseharian yang seringkali berada di luar kesadaran manusia. Dalam psikoanalisis, film ini mungkin bisa ‘dibaca’ sebagai mekanisme kastrasi, pembentukan rasa bersalah, dan perburuan obyek hasrat.