Mei 09, 2013

esai pameran Figuring Text-Texting Figure



Tragedy of the Figural

Stanislaus Yangni



Dalam “Line and the Letter,” sebuah tulisannya yang didedikasikan pada Paul Klee dan Andre Lhoté; Jean-Francois Lyotard, pemikir yang banyak dipengaruhi oleh gagasan fenomenologi, menuliskan bahwa “the less ‘recognizable’ the line, the more it becomes visible.” Semakin suatu garis tidak dapat dikenali, garis itu justru semakin kelihatan (ketok). Ia menyatakan dirinya sendiri secara langsung di depan kita, entah melalui apa yang dibentuknya, atau hanya ia sendiri. Tapi apa yang bisa dilihat dari sesuatu yang tak dapat dikenali? Lyotard menjawab: Yang Figural.
Yang Figural (akan dibedakan sangat tajam dengan yang figuratif) ini, konon adalah sebuah cara, jalan untuk menyingkapkan ‘yang visual’ di dalam yang terlihat, “ ... the figural is the way to reveal the visual inside the visible,” yang dalam istilah Klee, mungkin “invisible force,” Maldiney mengatakannya “ritme,” sementara Cezanne menyebutnya “sensation.” “Yang visual” ini bukanlah suatu esensi bentuk, atau semacam ‘bentuk ideal’ dari sesuatu,  melainkan suatu peristiwa, “an event in the visible itself.”
Bisa jadi, seni adalah suatu peristiwa yang terjadi dalam pengalaman melihat itu sendiri.
“Figuring-text, Texting-Figure” ini memberi kesempatan pada kita bicara tentang “yang visual”  dalam lukisan. Sekilas, di sini mungkin terlihat, dan mungkin muncul anggapan bahwa ini adalah semacam ‘ajang’ duet antara pelukis realis-figuratif yang “memuja bentuk” dengan abstrak-ekspresionis yang dianggap “melalaikan” bentuk. Tapi bukan itu. Keduanya tidak berangkat hanya dari perihal bentuk, dan tulisan ini tak akan bicara tentang kecenderungan gaya, maupun narasi di balik karya.


1/teks

Saat berhadapan pada sebuah karya (lukisan) yang sekilas berisikan sekumpulan teks, coretan, garis tak beraturan, dan sebagainya, pengalaman kita yang pertama adalah pengalaman melihat. Pendek kata, sebelum membaca, kita lebih dulu melihat teks. Teks itu terbentuk dari sambungan garis yang berupa abjad, huruf, lalu sekumpulan kata. Tapi teks yang tertulis di sana, andai terbaca pada momen pertama kita melihat pun, bukannya tanpa dilema. Ia tetap bagian dari karya lukis di atas kanvas (misalnya), sejelas apapun teks itu hadir di depan kita. Di Indonesia, kanvas yang semata-mata berisikan teks saja rupanya belum digarap. Selalu ada ruang-ruang lain, semacam sapuan lain yang menyertai teks, “menghias teks,” atau memberi semacam “penyangga” sebagai ‘landasan’ teks di atas kanvas, yang efeknya jadi terlihat bak lukisan abstrak. Di sana, seringkali teks terlihat belum mampu menyatakan dirinya sendiri padahal ia - di sini saya bisa menyebutnya juga dengan tulisan – tetaplah punya roh Figural: “yang Figural” tetap punya kemungkinan muncul dalam yang tekstual. Figur, atau “yang Figural” ini  memang tak mesti berbentuk.
Teks, mula-mula dalam karya Dedy, Damai Semesta Alam (2013) dan Humanist Theory (2013), dibentuk lewat screen (teknik sablon) di atas kanvas, beberapa kali hingga tampak berlapis-lapis. Teks ‘tumpang tindih’ yang awalnya dimaksudkan sebagai tekstur itu masih sangat jelas terbaca, sekeras apapun Dedy memberi “coretan” lain di atasnya, mencoba “melemahkan outline,” menyamarkan garis tepi yang serupa frame pada Damai Semesta Alam, misalnya. Teks yang berupa cuplikan dari buku - atau naskah yang pernah dibaca Dedy ini, antara lain,“Manusia hasil rekayasa Tuhan?” dan sebagainya ini - kendati fungsi awalnya sebagian besar sebagai background yang akan diangkat kembali menjadi ‘teks depan,’ namun bak terlanjur tampak dominan menyangga keseluruhan kesan dalam lukisan Dedy.
Teks yang terbentuk dengan coretan tangan Dedy pun tampak ‘kalah saing’ dengan teks yang ditulis komputer. Begitu tegas, formal, dingin. Namun ini menarik karena terlihat interaksi antara yang manual dan yang optikal: Dedy, dengan tangannya sendiri bak berusaha menghapus, mengangkatnya kembali, menimpanya dengan tulisan yang makin tak terbaca.
Karya lainnya, yang terlihat jauh berbeda dengan tiga karya screennya, yaitu Berpikir Dosa (2013) dan Alice in Wonderland (2013) menyuguhkan kesan spontan yang kuat. Teks dibentuk oleh tangan. Di karya tersebut Dedy seperti sedang menulis, mencatat, dan mencoret-coret buku tulis, atau papan tulis. Kalaupun teksnya terbaca, misal “Lucky luke,” “Iras-Isar,” dan angka-angka dalam Berpikir Dosa, ia (coretan-coretan itu) tampak sebagai Figur itu sendiri, bukan penyangga, bukan hiasan. Teks di sini berbeda dengan teks screen Dedy. Kalau di karya screen, teks bagai jadi penyangga, tapi juga terlalu tegas hingga agaknya teks malah menjadi sesuatu yang figuratif. Namun, di karya ini, “Yang Figural” bak mulai muncul lewat efek hapusan putih, sapuan kuas putih, merah, serupa tip-ex, kadang merah, kadang abu-abu. Kesan jejak di sini lebih kuat. Hubungan teks-figur pada Alice in Wonderland (Figur tidak dalam arti obyek, melainkan garis yang menggabungkan diri: gambar wajah, garis serupa awan-awan, dsb) membentuk jalinan yang ritmis. Pendek kata, Gambar itu menyatu dengan garis-tulisan yang melahirkan ritme. Di sinilah “yang visual” bisa dikatakan muncul dalam teks. 
Dua karya Dedy itu setidaknya menuntun kita pada dua fenomen kreasi, selain gagasannya mengenai intertekstualitas, yaitu: pertama, teks-image (teks yang sudah menjadi image, cenderung bersifat figuratif), dan kedua, teks-form, semacam teks yang seolah-olah sedang menjadi, mencari bentuk.
Kecenderungan pertama, teks-image ini muncul pada, misalnya karya Farhan yang mengambil ikon-ikon produk makanan, obat, dan sebagainya yang sering kita lihat di mana-mana, dan karya Agus Baqul, Ayat Kursi #8. Kalau Dedy membangun ritme dengan cara menghapus, mengisi, mengosongkan, melanggar, Farhan mungkin punya cara serupa, walau ia nampak masih gamang karena teks yang digunakannya sudah jadi ikon, image yang sudah mapan.
Lewat ikon, teks yang sudah menjadi image ini, Farhan agaknya ingin bermain dengan “space.” Ia mencari yang kosong dalam yang penuh, dan yang penuh dalam yang kosong. “Space available” dalam karya Fill More in the Blank  (2013) yang bisa kita kenali lewat conteng-conteng merah itu sekaligus menandai ruang putih (kosong) yang terjepit. Kosong dan penuh itu agaknya bergantian, saling menyatakan diri, menjadi sama. Bisa jadi, keduanya memang sama-sama ilusi. Kosong itu penuh, demikian sebaliknya. Di karya yang lainnya, Just Eat It Up, kita melihat bungkus bermerek makanan instan yang jadi sampah dibuang. Di sini space lebih ditonjolkan lewat bentukan tak beraturan ikon yang serupa tumpukan sampah itu. Ikon-ikon mereka jadi jungkir balik. Agaknya di sini, Figur punya celah lahir: lewat space yang tak terduga kemunculannya.
Dalam karya Agus Baqul, Ayat Kursi #8, teks nampak begitu dominan, jelas terbaca. Teks itu bak meminimalisasi permainan warna yang biasa diolah Baqul. Dalam karya ini, warna bak sekadar memberi dimensi, bayangan di belakang teks.
Karya tersebut berbeda dengan karya Baqul lainnya yang memiliki kekuatan pada lapisan warna, dan tampak lebih spontan, misalnya jalinan ritmis antara garis (huruf kaligrafi) cokelat tua dan biru pada At Thariq ayat 1. Semua warna dalam karya Baqul agaknya bisa muncul, tenggelam, muncul lagi, tenggelam lagi. Tak selesai. Tak ada habisnya ketika ia tidak memutuskan mana warna “akhir” yang akan diangkat, dimunculkan. Bahkan, ketika warna itu tak diinginkan, bisa diangkat warna lainnya. Begitulah, ritme lahir lewat tone, ketidakselesaian perjumpaan dan saling-kelindan antar warna.
Karya TAB IV dan TAB V merupakan dua seri terbaru dan tergolong eksperimentatif. Baqul menggunakan warna dan gerak, dan efeknya pada mata ketika penimpaan warna tak seberagam biasanya, malah cenderung silau di TAB seri V, di mana warna merah muda yang dioleskan hanya sekali pada kanvas (karena efeknya menarik Baqul, ia tak menimpanya lagi), diisi tulisan abu-abu yang ternyata teks dari lagu Tanah Air Beta. Tulisan teks lagu “Tanah Air Beta.” Pada TAB seri VI, walau tak kaya warna, tampak bahwa rangkaian kata Baqul sedang bergerak menuju, atau menjadi sesuatu yang entah. Di sini, bukan pesannya yang berjalan, melainkan bentukan visualnya: gerak garisnya yang bak ‘meleleh’ dari huruf semula.


2/ Figur                                                                                             

Kalau teks yang terlalu mapan, solid dan pasti itu berisiko menggugurkan “yang figural,” atau “yang visual” dalam lukisan, demikian juga figur. Agaknya keberadaan figur ini akan selalu dihantui oleh satu bahaya besar: figurasi, representasi. Karena untuk menemui “yang visual,” logika pemaknaan, signifikasi, representasi tak berlaku di sini. Seperti musik, dalam lukisan, “yang visual” ini ditemukan lewat ritme.
Menariknya, perjumpaan figur dan teks ini bisa dilihat pada zona di mana keduanya melebur, yaitu garis. Seperti juga pada teks, figur pun bisa menjadi image, ikon, atau form (proses menjadi “yang Figural”) karena keberadaan garisnya.
Kalau dalam karya yang dominan berisi “teks” kita bak penjelajah pencari “yang Figural” dalam teks lewat ritme, dalam karya bernuansa figuratif kita bak sedang menjadi tim penyelamat: me-rescue Figur, juga lewat ritme. Figur sudah ada di sana, tapi bagaimana menyelamatkannya, menariknya keluar agar ia tidak terjebak dalam figurasi. Agaknya, ini beban berat bagi para seniman.  Namun, apakah benar ia, yang visual, “yang Figural” itu dapat diselamatkan?
Mula-mula di sini ada Seno dan Anis yang dengan teknik realisnya menggarap figur yang juga realis, figur manusia. Anis memilih nada parodi, sedang Seno menghadirkan potret, apa adanya, yang tentu saja menonjolkan wajah dan pose manusia.
Ada yang menarik di Seno, kendati ini sangat riskan untuk menyelamatkan Figur: ia bak sedang menggarap dua lukisan dalam satu kanvas. Latar belakang dan figur. Keduanya ini digarap terpisah, dalam arti berbeda kecenderungan dan cara memperlakukannya. Bagi Seno, latar belakang diperlakukan, dan digarap sebagai lukisan abstrak, dengan akrilik, dan figur digarap setelahnya dengan teknik realis cat minyak. Keduanya tampak terpisah, bak potret sesungguhnya di mana figur berpose di depan sesuatu, kain layar, misalnya, yang jadi latar belakangnya.
Lihat karya Tjindur III (Harmony). Sekilas, figur tampak menonjol, menguasai bidang kanvas, bak mengalahkan latarnya. Namun, agaknya, kemunculannya tidak banyak diantisipasi oleh latar belakangnya. Dengan kata lain, ia bak tidak menyatu dengan latarnya hingga ritme tak muncul. Kendati pun di latar belakang tampak diusahakan memberi konteks pada figur, misalnya dengan coret-coretan serupa gambar anak TK (mungkin ingin menggambarkan bahwa figur itu masih usia TK, atau SD), namun figur tampak tenggelam lagi dalam latar yang meriah itu. Demikian juga pada Tjindur II (Rain). Anak laki-laki duduk di atas semacam tiang beton, membawa payung yang tak dibuka. Mungkin ia sedang dalam posisi kedinginan, setelah bermain-main di bawah hujan. Latarnya coretan-coretan serupa rumus-rumus di bangku sekolah. Pendek kata, figur manusia Seno seolah sendiri, tak sedang menempati space-nya, atau berinteraksi dengan latarnya. Salah satu yang tampak menyatu (utuh), figur dan latarnya, agaknya bisa dilihat pada sebuah karya lama Seno, Message for My Government (2011).
Anis mungkin tak punya pengalaman sebagai pelukis potret seperti Seno. Figur manusia Anis tampak ‘steril,’ namun menyimpan potensi untuk dideformasi. Figur-figur Anis  mengingatkan kita akan ikon-ikon Farhan: keduanya mengacu pada bentuk solid. Di sini, Anis kelihatannya asyik bermain-main dengan “potongan tubuh” yang bisa jadi image yang sedang dalam proses dikembalikan pada “form.” Ia melakukannya lewat permainan mimik. Ia sangat mungkin kaya teknik visual menghadirkan beragam ekspresi dan cara orang tertawa, entah menyimpan sinisme, atau ironi kehidupan, lihat pada karya-karya Puppet Director Series. Karya barunya, sebuah karya kolaborasi ia dengan anaknya, Father and His Son Fight (the First) mungkin menjadi babak baru eksperimentasinya dengan kanvas terisi penuh – walau tampaknya tak sekuat karya sebelumnya.
Kemudian ada Popok dan Januri yang figur-figurnya tampak imajiner. Figur-figur mereka bukan sosok manusia realis seperti Seni dan Anis. Popok dengan figur-figur manusia yang saya sebut “serupa dengan kayu,” dan manusia Januri yang “patah-patah dan berserat” dengan masih nuansa kayu.
Popok dan Januri memiliki kekuatan di garis, dengan karakter yang jelas berbeda. Garis Popok tampak tertutup, tebal, kuat dan tampak “membungkus figur.” Kecenderungan ini agaknya memang melekat sejak lama, dan diperkuat dari pengalamannya sebagai ilustrator. Dalam figur-figurnya yang komikal, tampak kesan visual garis dan warna kuat. Kesan figuratif diperoleh terutama lewat garis outline yang menutup, bak mengikat figur, misalnya dalam Fetching a Glory. Namun itu tampaknya bisa disiasati dengan pengolahan beragam ekspresi pada figur-figurnya, sapuan kuas, atau dengan warna yang mungkin lebih ‘gosong,’ untuk menunda efek ilustratif yang masih kuat. Garis Popok bisa dikatakan “garis yang berkarakter cukil” walaupun di atas kanvasnya ini garisnya tidak dihasilkan dari cukilan.
Kalau Agus Baqul bereksperimentasi dengan warna pink di karya terbarunya, Januri menggunakan monokrom biru dan hijau terang serupa permen di dua kanvas karya terbarunya.  Ia memenuhi bidang kanvas dengan figur yang tampak tumpang tindih, tanpa landscape yang biasanya lebih besar dari figur, dan tampak jadi space figur walaupun figur tetap tampak tak menjejak tanah. Figur penuh bak tanpa pusat, menyebar (pada Rame Ing Gawe #2). Selain itu, di karya terbarunya ini, ada perubahan bentuk figur, yaitu tampak lebih deformatif, lebih tanpa karakter khusus (tanpa kostum “petani” yang biasanya dihadirkan), lebih anonim, dan lebih gemuk. Di sini, agaknya, bukan figur yang menempati space, seperti karya-karya sebelumnya, tapi figur yang mencipta space. Pendek kata, “yang Figural” itu agaknya dapat ditemukan lewat space, ruang perspektif, komposisi yang tercipta lewat figur. Figur Januri tampak bergerak ritmis, dan rapi. Kalau di musik klasik, ia mungkin seumpama Mozart.

Epilog

Barangkali, jejak “yang Figural” ini dapat kita rasakan saat kita melihatnya: ia memancing kita untuk melanjutkannya, entah dalam bentuk apa. Ia tak pernah berhenti pada pesan, dan tak selesai sebagai image.
Pameran ini bisa menjadi ruang eksperimentasi agar teks lebih imajinatif dan figur bisa mengatasi dirinya sendiri. Keduanya disandingkan agar mampu melihat batas masing-masing, dan pada gilirannya ‘batas’ itu bisa menjadi “ruang ketiga,” semacam zone of indiscernibility, zona ketika teks dan figur saling mengadakan, merasuk, menjadi: mereka ada pada momen tanpa dikotomi.