Juli 27, 2013

. pada sebuah coret



esai untuk pameran Melupa, Ugo Untoro, 20 September 2013, Ark Galerie, Yogyakarta

Stanislaus Yangni





Ugo Untoro, Dari Bawah ke Atas (2013)


1/ melepas lukisan

Ugo yang kita kenal selama ini adalah Ugo yang melukis tubuh, figur, bentuk. Kendati ia salah satu yang sering menyertakan tulisan dalam lukisannya, tapi kita lebih mengenalnya sebagai pelukis figuratif, dalam arti ada bentuk, ada sosok dalam lukisannya.

Tapi ada suatu masa di mana bentuk itu menjadi begitu membosankan, dan melukis tampak menjadi seperti menghias. Ini mungkin merekam ingatan masa awal remajanya, saat Ugo masih berseragam putih-biru, jatuh hati pada lukisan Sudjojono di buku Koleksi Lukisan Soekarno. Lukisan itu tak hanya figur, tapi juga ada tulisannya.

Sejak itu, Sudjojono begitu hidup dalam ingatannya.

Tapi ia tak melukis seperti Sudjojono melukis. Terlebih kali ini. Ugo sedang tak ingin menggambar bentuk. Pendeknya, ia jenuh dengan bentuk. Maka, sapuan kuas yang terkesan asal-asalan ‘ala’ Sudjojono pun tak tampak, dan satu pun bentuk dalam arti figur tak muncul. Kali ini seluruh latar belakang lukisannya monokrom, dan sapuannya tak kelihatan sama sekali. Ia menulis di atas kanvas. Lukisannya tulisan. Ugo melukis tulisan. Dengan kata lain, Ugo menulis.

Tak hanya bentuk. Ada hal lain yang khas dalam lukisan yang ingin ia ‘singkirkan,’ yaitu yang dia katakan sebagai aspek artistik. Lukisan, atau karya yang memuat kata ‘seni,’ mau tak mau mengandung, atau nilainya terletak pada “artistik.” Artistik – dalam konteks ini (berbeda dengan ‘Yang Indah’) berupa elemen-elemen rupa yang sudah dianggap ‘standar,’ mapan dalam seni rupa, seperti komposisi, garis, warna, tekstur, volume, dan sebagainya. Walaupun dalam lukisan figuratifnya itu semua sudah tak dipedulikan, dalam arti tertentu, dilampaui – namun, setidaknya, ketika melukis, menurutnya, tetap masih memuat pertimbangan pilihan, misalnya warna, atau komposisi.  Masih dilihat-lihat enaknya gimana. Ia ingin membebaskan diri dari itu, bak laku kenosis – mengosongkan diri, melepaskan diri dari lukisan, melupa sebentar, menjaraki diri, sambil tak bisa, dan tak mungkin menyangkal bahwa ia sedang melukis.

Ia seperti sedang kembali pada yang tampak bukan lukisan dengan semangat melukis.

Maka muncul lah karya-karya yang kalau dilihat lebih jauh, tampak sangat manusiawi - dan mungkin saya bisa katakan: telanjang. Ugo tidak ingin berhias, atau pun menghias. Ia hanya ingin bercerita, apa pun isinya. Dengan menulis ia merasa lebih bebas, tanpa harus distilisasi, diurutkan, dan sebagainya, hingga pada akhirnya ia menemukan bahwa menulis – tangan yang bergerak membentuk huruf, mengurutkannya - dirasainya sama dengan melukis.


2/ melukis tulisan

Lukisan tulisan ini mengingatkan kita pada kecenderungan karya yang  menggunakan teks. Bahkan, ada beberapa karya yang tampakan visualnya mirip karya Ugo. Tapi Ugo bukan seniman teks. Ia tak menggunakan teks seperti tren seni konseptual era avant-garde  yang konon marak di Amerika 1970an. Teks, atau tulisan dalam karyanya, itulah lukisannya.

Oleh karena itu ia berbeda dengan Annabel Daou yang menyalin konstitusi, The Declaration of the Cause and Necessity of Taking Up Arms (2006), atau karya transliterasi pada In Constitution (2006) yang mentranskrip teks dari bahasa Inggris ke Arab, kendati tampilan visualnya tulisan tangan nyaris penuh, sekilas serupa karya Ugo. Ada tujuan, semacam konsep dalam karya Daou: ia ingin memperlihatkan adanya missing character yang tak bisa dielakkan pada proses transliterasi.

Ugo juga tidak mengabadikan pendapatnya mengenai seni dan lukisan seperti pada karya John Baldessari, What Is Painting (1966-68) dengan huruf cetak dan latar belakang polos,  atau Mel Bochner, yang kendati memang ingin membuat “apa yang tidak tampak sebagai seni,” namun pada karyanya tampak ‘tertata,’ ada pertimbangan komposisi, olahan latar belakang, dan cenderung sarat konsep hingga orang harus berpikir ketika melihatnya.

Tulisan Ugo juga tak ditata sedemikian rupa seperti puisi Sutarji yang ditata sedemikian rupa memiliki aspek ornamentik melalui permainan suku kata, bukan pula karya kolase berupa tempelan teks dari berbagai sumber seperti Leonore Tawney, misalnya,  atau Molly Springfield yang banyak menggunakan teks dari buku teks yang difotokopi, atau dirangkum, semacam notes bacaan. Karya tulisan Ugo juga berbeda dengan Mira Schor yang ‘melukisi’ bidang kosong dengan sepatah kata, Joseph Kosuth yang karyanya pernah dijuluki linguistic art, atau yang lebih lampau, Rene Magritte yang bak bermain dengan teka teki antara teks dan image.

Mereka tampak punya kesadaran ‘memainkan’ teks dan makna, membuat orang berpikir. Mereka melek tipografi. Tapi Ugo tidak. Ia hanya ingin bercerita dan melukis dengan cara terus menulis. Ia bahkan tampak tanpa maksud untuk berkomunikasi, maka, kalau pun tampak ada cerita pada beberapa kanvas, semuanya terkesan hanya mengalir dan patah. Sobek. Ia menulis tidak berawal dari tema, dan kalimat selanjutnya setelah kalimat sebelumnya adalah rangkaian kata-kata yang muncul begitu saja, lahir di saat bersamaan ketika ia dengan kuas, pena, atau spidolnya menyentuh kanvas.


3/ act of painting

Dulu ia pernah menulis dengan sangat pendek, dikumpulkan dalam sebuah buku Short Short Stories. Tapi kini ia menulis lebih panjang dan lebih banyak dari yang selama ini mungkin pernah ia tulis. Ugo bak ngomong dhewe, bicara sendiri lewat tulisan tangannya. Tak peduli apa itu akan dibaca, ditelaah, atau diapakan. Ia hanya ingin menulis. Maka, kanvas besar-besar diawalinya dari ujung tanpa garis tepi, sampai ke ujung kanan tanpa garis tepi.

Tulisan tak bertepi ini muncul pada sebagian besar karyanya, di antaranya Mata Kaki (2013), Akhirnya Anjing (2013), Dari Bawah ke Atas (2013). Di sana kesan tak selesai begitu kuat. Kendati pun kanvas telah penuh, kesan belum selesai itu tetap muncul. Juga pada karya lainnya, misal Minus (2013). Tulisannya bak bertahan selalu di tengah-tengah, selalu seakan ‘sedang dalam proses pengerjaan’  hingga pada akhirnya bukan lagi isi yang akan kita lihat, melainkan act of painting, yang dalam istilah Deleuze sebagai “diagram,” atau “graph,” dari kata Yunani, Diagraphein yang artinya memberi tanda-tanda, coretan, garis-garis, sesaat sebelum lahirnya lukisan. Ia bak sketsa yang meminta kita kembali karena nyaris selesai, tampak selesai, bisa sudah, bisa belum, bisa barusan mulai, dan bisa dilanjutkan. Ia meminta untuk dilanjutkan, dimulai kembali, karena awal dan akhir, mulai atau selesai, pada akhirnya adalah sebuah keputusan, bisa jadi ilusi, demi pemahaman.

Mata Kaki (2013), misalnya. Di sana tampak kisah yang terus ngomong, bicara pada kita, sembari terus melintas, seperti sebuah nomadic line, garis yang dinamis, berpindah, tanpa arah yang pasti, dan tampak tanpa henti. Maka, di sini, bisa jadi Ugo sebenarnya sedang melukis (tentang) melukis, melukiskan melukis, atau menulis (tentang) menulis, menuliskan menulis. Tanpa sadar ia membawa kita pada pengalaman melukis itu sendiri, sebuah perjalanan kreasi: Kembalinya spontanitas yang inheren dalam proses melukis itu, sebuah “aksi melukis” – yang harusnya bebas dari kekhawatiran akan yang artistik.

Pada karya Dari Bawah ke Atas (2013), kita bisa membacanya dari manapun. Ugo memang menulis dari bawah ke atas, tanpa berurusan dengan urutan apa yang ditulisnya hingga kita bisa membacanya dari mana saja. Ada cerita di dalam cerita, dan berbagai adegan yang tak direncanakan. Lapisan-lapisan ini dimungkinkan hadir karena Ugo tidak terperangkap alur dan tanda waktu. Ada tokoh cerita dengan nama dan kegiatannya, ada deskripsi kejadiannya, dan hampir semua bidang ditulisi bisa jadi tanpa klimaks, hanya cuplikan, sobekan (ingat sobekan kertas koran pembungkus nasi yang kalau kita baca dan merasa beritanya menarik, tapi kita sedikit kecewa karena ia terpotong). Klimaks bisa saja terjadi di kanvas yang lain secara tiba-tiba, sebuah klimaks dari kisah yang lain lagi. Tak jarang, dengan gaya tutur seperti ini, cerita lahir di tengah, atau menjelang akhir, misalnya Dinamit (2013), yang setelah banyak bertutur tentang apapun, kemudian merucut pada sebuah adegan menegangkan.

Selain kanvas yang tanpa tepi dan dipenuhi kalimat ‘cerita,’ ada lagi bentuk lain: berbagai adegan yang tak ada kaitannya bak tumpang tindih dihadirkan dalam satu kanvas. Pada Puntung Panjang (2013), kanvas besar di bagian kanan tengah berisi potongan-potongan kalimat, “Lautan karang. Burung-burung yang berjatuhan. Simpang tujuh. Perempuan cantik” dan berisi beberapa baris frase-frase semacam itu. Di bagian lain, ada tulisan kalimat sangat tipis, tak sebanding dengan latar belakang hijau tua gelap itu, dan di bagian lainnya, ada huruf-huruf Arab. Kanvas ini berisi setidaknya sepuluh sobekan (kalimat-kalimat yang tak ada hubungannya satu sama lain tapi ada bersamaan di atas kanvas). Bentuk sobekan-sobekan yang terkumpul ini juga tampak pada Igau #2, ada kalimat yang dicoret, ada tulisan pensil, dan cerita super pendek tentang seekor gagak yang bunuh diri.

Kita bertemu juga pada kalimat runtut dalam tulisan Ugo, seperti karya Sangkuriang (2013), sebuah cerita tentang bocah kecil yang dipukul ibunya karena senang bertualang di hutan. Namun, kalaupun kalimat itu runtut, alur jelas, paling tidak bisa kita bayangkan peristiwanya, tetapi ada yang lain: perihal waktu. Antara mimpi, kenyataan, dulu, kini, atau masa depan seakan lebur jadi satu. Tanda waktu hanya melintas, dan ia hanya hadir di balik kata “sore,” “siang,” “hujan,” dan sebagainya. Waktu tampak begitu tiada di tangan Ugo. Tidakkah ia, waktu, punya tanda, dibunyikan dengan angka karena kita memang harus menyebutnya?

Kesan ‘tanpa tepi’ ini muncul juga pada bentuk lain, Regasa (2013). Walau terkesan masih muncul kesadaran akan komposisi: tulisan di tepi kiri memenuhi bidang kanvas, rata kanan hanya beberapa centimeter dari tepi kiri kanvas, sedangkan bidang sisanya, monokrom hijau muda, kosong. Yang kosong ini barangkali juga penuh, dipenuhi yang lain yang ‘mendesak’ tulisan hanya di tepian, nyaris terpotong. Ruang kosong itu seakan meminta untuk diisi, tapi juga sekaligus telah ‘dimatikan,’ sudah penuh. Isinya bak sobekan cerita dari dunia persilatan.

Bentuk lainnya, tulisan-tulisan pada lakban (isolasi), misalnya, sebuah adegan yang tak lengkap, hanya berapa baris, bisa dibaca berputar, mulainya bisa dari mana saja. Karya ini tampak ‘penuh,’ lengkap, sekaligus tak lengkap, sebab membacanya pun tak pasti, selalu berputar, bisa berawal lagi tepat ketika berakhir, karena ketika membaca dan merasa maju, sebenarnya kita kembali lagi ke kalimat yang barusan, one-just-after dan one-just-before: ia hanya melintas.

Karya isolasi ini agak bertolak belakang dengan meteran, kendati semangatnya sama. Pada karya meteran, kita bisa dengan sangat jelas membacanya, kiri ke kanan, dan hanya satu baris. Meteran, yang notabene ada ukurannya, telah menjadi begitu cair justru karena ia ditulisi – bukan karena dihapus ukurannya. Kata-kata itu yang memancing kita untuk tidak berhenti. Ia berguna, mungkin, untuk mengingatkan kita bahwa ada jenis waktu yang tak bisa sepenuhnya diukur. Meteran itu dibentang penuh dengan tulisan yang berisi potongan kisah seperti juga karya pada tepian buku.

Kendati diam, tulisan di mana-mana itu mengajak kita untuk sama-sama mumet, dengan kesan monoton yang kuat, sama-sama merasakan pengalaman membaca: potongan-potongan tersebut hampir pasti langsung bisa dilupakan dan demikian cepat berganti dengan potongan lain, seperti serpihan ingatan yang barusan dijejerkan, dipakai, dibuang, diganti. Kini, kata-kata jadi terlihat usang.

Ada lagi karya berbentuk surat-surat, menarik, tapi tak sekuat karya-karya tak bertepi di kanvas besar Ugo. Foto Keluarga (2012-2013), misalnya, tulisan pada potongan kardus-kardus bekas yang diframe. Ada banyak kisah di sana hingga kita bisa menikmati membacanya, kisah-kisah tampak lebih personal, cenderung melankolis. Karya lain, tulisan lama, tertanda 2011 pada batang-batang rokok Marlboro, sebagian besar surat-surat super pendek untuk Tanah, anaknya. Ada lagi autobiografi, tertutup di dalam sebuah amplop putih besar, misterius seperti kisah Purloined Letter karya Edgar Alan Poe. 


Menulis, dalam konteks ini, mungkin adalah sebuah kesadaran bahwa kita selalu tergelincir karena tiada sebuah kata pun yang mampu mengungkap keinginan, kalau mengutip kata-kata dalam film Andrei Tarkovsky, Stalker, “How would I know the right word for that I want?” Barangkali ada lubang pada setiap kata hingga ada puisi, ada kalimat, kata yang selalu ditulis lagi – di momen ini, Ugo menulis terus dengan satu kesadaran yang sudah dicerapnya lama: menghindari kata sambung sebisanya. Ia merasa bahwa banyaknya kata sambung, seperti “Yang,” “Serta,” “Dan,” “Atau,” dan semacamnya membuat kalimat tampak terlalu jelas, selesai, ilustratif, naratif, mematikan peristiwa. Kisah bisa jadi terlalu linear, sudah tampak jadi, selesai, dan tak lagi melahirkan imajinasi bagi pembaca. Semangat Ugo tetap puisi, walau di karyanya kali ini, agaknya hanya satu dua yang tampak ‘puitis.’

Ketika Ugo ‘melepas lukisan,’ ia telanjang, dan kembali pada proses kreasi itu sendiri, act of painting, pada sebuah momen ‘coret.’

Melalui momen menulis yang tak henti itu, ia seperti sedang mengoreksi lagi melukis, mengoreksi lagi menulis. Ia seakan mengalami lagi melukis dengan cara yang berbeda. Setiap kata, setiap kalimat sebelumnya seakan meminta untuk ‘direvisi’ hingga tak ada selesainya untuk ditulis lagi. Tulisan yang selalu (harus) dituliskan kembali ... karena kata tak pernah abadi. Kesadaran akan kesementaraan itu yang mungkin mengundang Derrida untuk berfilsafat tentang jejak, trace, kemudian meninggalkan sebuah pesan pada kita tentang cara menggunakan kata: bahwa kita harus belajar menggunakan bahasa dan menghapusnya pada waktu yang bersamaan.




Stanislaus ‘sius’ Yangni