September 23, 2011

Rusli (1916-2005)

Garis dan Kekuatan Ruang Kosong


Salah satu kekuatan Rusli adalah pada garis. Ia, yang dijuluki sebagai pelukis ‘Avant Garde’ oleh Umar Kayam, agaknya, selalu berusaha menangkap ‘roh’ obyeknya lewat garis. Garis-garis yang muncul terkesan spontan, ringan, namun padat, berisi, dan kuat. Rusli menemukan karakternya lewat berbagai garisnya.

“Lima tahun saya belajar membuat garis.” Pernyataan itu tepat bagi orang yang memilih seni sebagai jalan hidupnya. Rusli, pelukis kelahiran Medan, 1916 ini adalah salah satu yang setia pada dunia lukis sampai akhir hayatnya. Pada mulanya ia dikenal sebagai pelukis dengan medium cat air – ini tidak banyak dilakukan oleh pelukis lain. Lukisannya pun khas, sekilas tampak abstrak, hanya paduan garis dan titik. Namun, jika dilihat lebih detail, Rusli tidak bisa begitu saja digolongkan sebagai pelukis abstrak. Ia mempertahankan ekspresi dan obyeknya.
Kalau diamati, lukisan Rusli nampak menyerupai sketsa. Di sana ada garis-garis spontan yang mencoba menangkap esensi bentuk, terpeleset, namun selalu bangkit lagi, lahir kembali untuk ‘menangkap’ bentuk itu. Coretan-coretan yang nampak ‘hanya sepotong’ itu seperti ingin menampilkan yang seluruh. Sekumpulan titik, garis dengan berbagai bentuk dan sifatnya: tebal, tipis, patah-patah, lurus, lengkung, dan sebagainya membuat lukisan Rusli, kata salah seorang kritikus, nampak seperti ‘haiku’ Jepang: puisi yang hanya terdiri dari beberapa suku kata yang disusun sedemikian rupa - minimalis bentuknya tapi sarat isinya.

Obyek dalam lukisannya adalah obyek-obyek sederhana: perempuan, bunga, taman, pepohonan, pura, pemandangan, ritual keagamaan, dan sebagainya. Salah satu periode penting pengolahan lukisannya adalah ketika ia berada di Bali. Tema Bali banyak menyedot perhatiannya, khususnya pura-pura dan berbagai acara keagamaan di sana. Demikian pula warna. Rusli menggunakan warna-warna yang sering dikatakan “tropis:” merah, kuning, hijau. Di samping warna, ia fasih dengan hitam putih. Rusli menciptakan sesuatu dari yang hitam-putih. Ini mengingatkan kita pada huruf-huruf kanji dengan tinta hitam yang begitu saja digoreskan pada kertas putih.

Kendati obyek yang dilukiskan Rusli sederhana, namun yang membuatnya tampak tidak sederhana adalah cara pelukisannya, yang tak lain adalah eksprimentasi Rusli terhadap garis. Ia mengambil garis-garis sebagai inti – sampai menemukan garis khas dari setiap obyeknya. Lihat pada Tanah Lot (1977). Garis-garis patah-patah, siku-siku, mendominasi – warnanya tegas, dan laut hanya digambarkan dengan tiga sapuan biru lebar. Juga pada Pelabuhan Semarang (1971) yang nampak ‘sendu’ dengan oker, dan efek titik-titik di kejauhan, tanpa melepaskan diri dari perahu, aktivitas manusianya, dan sebagainya. Agaknya, di sana, ia menghadirkan atmosfer lukisannya.

Selembar kertas putih itu terisi garis-garis dan titik yang sampai akhir tidak pernah diisi dengan warna lain. Rusli membiarkan putih itu di sana. Singkatnya, ia hampir selalu menyisakan ruang kosong dalam lukisannya. Bagian putih kanvas atau kertas sebagai background tetap dibiarkan berwarna polos. Karena itu, lukisannya tampak seperti lukisan tinta cina klasik.

Kemampuan Rusli menangkap dan membiarkan ruang kosong ini membantu kesan kuat pada karakter garisnya. Ruang kosong itu menjadi tampak menonjol dan berisi, bermakna, demikian juga garis-garis Rusli tampak berelasi erat dengan ruang itu. Ruang itu kosong, sekaligus penuh. Dalam seluruh kekosongannya ia menampung kepenuhan – sarat makna. Mungkin, sedikit dibalik, jika direlasikan dengan garisnya, ruang itu nampak tidak kosong oleh karena ‘diisi’ oleh garis – ia membentuk sesuatu – memiliki daya.

Rusli, yang lahir di Medan, 1916 (atau 1922) ini pernah mendalami seni rupa, drama dan tari di Kala Bhawana Shantiniketan Universitas Rabindranath Tagore, Bengal, pada 1932-1938. Selain pernah menjadi tentara dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, ia juga pernah masuk dalam tim sepakbola PSIM (Persatuan Sepakbola Indonesia Mataram), menjadi anggota SIM (Seniman Indonesia Muda), juga pengajar di ASRI pada 1951. Ia juga pernah mengikuti pameran di Italia, Brasil, dan Belanda, serta peserta pada Biennale II di Sao Paulo di Brasil,1953. (IndoArt-014)

-sty-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar