September 23, 2011

Widayat (1919-2002)


Mencari “Yang Lampau”


Suatu kali, Widayat pernah berkata, “Karya seni lukis harus mengandung ‘Chi’ menurut Fadjar Sidik atau ‘Taksu’ menurut Suteja Neka. Ia (lukisan) harus berisi.” Pernyataan itu mungkin terdengar “kurang pas” ketika ia juga mengajukan pandangannya bahwa “Lukisan itu berfungsi sebagai benda hias, untuk digantung di dinding rumah, di kantor, di galeri seni, di museum, dan lainnya.” Bagaimana Widayat menghadirkan ‘Chi,’ ‘Taksu,’ semacam “kekuatan yang tidak kelihatan” itu dalam lukisan yang – dari kata-kata Widayat – terkesan sekadar “penghias dinding?”

Widayat adalah pelukis yang digolongkan sebagai pelukis bergaya dekoratif, sebuah kecenderungan yang muncul pada 1960-an, bersamaan dengan maraknya seni abstrak. Selain Abas Alibasyah dan Bagong Kussudiardjo, di Yogyakarta, Widayat (sejak 1955) adalah salah satu dari pelopor perkembangan seni dekoratif ini. Namun gaya dekoratif yang hadir dalam karya Widayat berbeda dengan pendahulunya, Kartono Yudhokusumo, Hendra Gunawan, dan Batara Lubis.


Ia bergerak lebih jauh dari – misalnya, Kartono Yudhokusumo, salah satu gurunya, yang masih melakukan penggayaan (stilisasi) terhadap obyek tertentu (penggambaran obyek dengan cara diperindah), penekanan pada garis-garis ritmis dan warna-warna menarik. Sebaliknya, Widayat mengambil garis yang terkesan ‘patah-patah,’ ‘mengganggu,’ ‘merusak’ garis ‘manis’ tertata ala pelukis dekoratif. Ia tak hanya melakukan stilisasi pada obyek, melainkan pada elemen rupanya (garis, warna). Lihat saja, misalnya pada Adam dan Hawa (1980). Seluruh bidang gambar serta obyeknya pun dirangkai dari susunan tak beraturan bermacam bentuk, diblok dengan warna putih yang tak lagi murni: putih krem kecokelatan. Adam dan Hawa, sosoknya, diletakkan di tengah dan diberi semacam ‘bingkai’ hitam sebagai penanda bahwa itu sosok yang dijadikan fokus – tanpa perwajahan yang pasti. Demikian juga Adam dan Hawa (1990) yang didampingi dengan gambar hewan dan tumbuhan berwarna-warni, serta bentuk-bentuk lain. Pengulangan bentuk dan warna ini agaknya tidak hanya memperkuat kesan dekoratif, melainkan juga kesan ‘lampau’ pada lukisan Widayat. Susunan ritmis tak beraturan dan patah-patah itu menjadi semacam “bahasa” khas bagi karya-karya Widayat.


Dengan tekstur serupa patahan dan warna-warna lapuk itu, garis-garis Widayat pun tampak ekspresif, demikian pula dengan figur manusianya. Figur dan perwajahan dalam lukisan Widayat bercorak dua dimensi oleh karena distorsi. Kontes Kecantikan (1982), misalnya. Jejeran figur perempuan telanjang digambarkan secara berulang – ritmis – dengan wajah yang tak terbedakan. Mereka seperti susunan tumpang tindih, bergerombol. Dengan tekstur retak pada seluruh tubuh dan bidang gambar, figur-figur dua dimensi itu tampak seperti coretan pada dinding gua. Mereka serupa fosil. Di sana, kesan usang, lapuk, rusak, hadir. Begitu pula pada Wajah-Wajah Pelukis Asean (1986) yang seluruh bidang gambarnya tampak seperti pecahan dinding-dinding yang renta.


Corak atau gaya “primitif” yang tak dikenali secara khusus itu mengisi hampir seluruh karyanya. Suasana primitif dimunculkan melalui warna-warna gelap, warna-warna ‘rusak’ (lapuk), tekstur dan bentuk yang nampak seperti bongkahan tanah, pecahan, patahan, atau retakan batu, semacam arca kuno, atau batu berlumut, dan sejenisnya. Lihat, antara lain Dua Manusia Pertama (1980), Patung-Patung Primitif (1988), Burung-Burung Hutan (1984), dan foto dirinya, Widayat Sedang Melukis (1990).


Semua bentuk itu agaknya mampu membawa siapa pun pada suasana hutan dan kehidupan desa-desa kecil di sekitarnya. Suasana itu berhasil direkam dan dihadirkan Widayat karena keakrabannya dengan hutan belantara, batu-batu gunung, pohon-pohon raksasa, akar-akar tanaman yang menjulur, bongkahan-bongkahan tanah, bebatuan yang lapuk, lumut di hutan tropis, ketinggian tanah, permukaan jurang, suara binatang-binatang liar di hutan, kicauan burung, sungai, gemuruh suara air terjun, dan sejenisnya. Memang, dalam berkarya, Widayat banyak dipengaruhi oleh pengalamannya terutama sebagai pekerja juru ukur di perkebunan karet di Palembang, Sumatera Selatan, dan juru gambar peta rel kereta api Palembang, serta pengalaman belajar di Jepang bidang seni keramik, ikebana, pertamanan, dan grafis.


Selain lukisan cat minyaknya yang didominasi warna “tanah” dan terkesan “kelam” dan “lapuk,” Widayat juga melukis dengan akrilik, tinta, dan cat air. Lukisan-lukisan akriliknya memiliki nada warna yang berbeda. Warna tampak jauh lebih cerah, dan ritme bentuk dan garis amat nyata. Lihat, misalnya Taman Burung (1992) dan Rekayasa Hutan Kera (1992). Dan sekilas, di sana tampak warna dan komposisi ala Joan Miró.


Maka, dekoratif bagi Widayat juga berarti permasalahan menangkap “suara” hutan itu – menghadirkan kekuatan hutan yang menurutnya ‘magis,’ primitif. Dalam konteks Widayat, magis itu adalah “yang lampau,” “yang primitif,” “yang awal,” asal mula: bumi, tanah, kehidupan.” Maka, lewat warna-warna khas “lapuk”nya, motif-motif seperti topeng Irian atau Kalimantan (Topeng-Topeng Primitif (1990), Dua Manusia Pertama (1980), Jagad Ikan (1988)), kegelapan hutan seperti hutan Sumatera, Jawa dan Kalimantan (Burung-Burung Hutan (1984), Burung dalam Biru (1988), Beringin di Tebing (1991), Gunung Sumbing (1993)), hadirlah yang “lampau” itu.

-sty-

S. Sudjojono (1913-1986)

Realisme “Jiwa Ketok”



Sudjojono, yang dijuluki oleh Trisno Sumardjo sebagai “Bapak Seni Lukis Indonesia Baru” ini mengajak para seniman untuk “kembali ke realisme.” Realisme ala Sudjojono adalah bentuk perlawanan dari estetika “mooi indie” yang menekankan teknik dan gaya yang cenderung ‘memperbaiki alam.’ Baginya, karya seni adalah “jiwa ketok” (jiwa yang tampak).

Kredo “jiwa ketok” itu dicanangkannya sejak 1939. Sudjojono, alias “S. S 101,” selain melukis, juga aktif dalam berbagai organisasi politik dan kebudayaan. Ia mendirikan PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) pada 1937 dan SIM (Seniman Indonesia Muda) pada 1946, serta banyak membuat sketsa pertempuran sekitar Yogyakarta.

Di zaman revolusi, pelukis yang pernah belajar dan tinggal bersama keluarga Yudhokusumo (ayah pelukis Kartono Yudhokusumo) ini menekankan realisme sebagai dasar seninya. Baginya, seni haruslah mudah dipahami rakyat. Maka, muncul di lukisannya, selain gambaran perjuangan, juga aktivitas masyarakatnya.

Jika semboyan “jiwa ketok” adalah reaksi terhadap estetika pemandangan alam ala ‘mooi indie,’ ajakan “Pergi ke realisme” merupakan reaksi atas kecenderungan abstrak yang terjadi pada seni lukis Indonesia sekitar 1950-1960-an. Realisme, bagi Sudjojono, tidak detail dan ‘indah’ seperti pada ‘mooi indie,’ melainkan ekspresif (‘jiwa ketok’), tapi tidak pula jatuh pada abstraksi – tidak ‘kebablasan’ pada ekspresi yang meniadakan bentuk. Agaknya, semboyan lama “seni untuk rakyat” masih dipegang teguh olehnya.

Pada pertengahan 1950-an, karya-karyanya lebih ekspresif. Era realismenya tidak lagi berkutat pada detail seperti Di Dalam Kampung (1950) di mana perspektif dan perwarnaannya masih ‘tertib’ sehingga nampak seperti foto, tidak pula seperti pada Seko (1947) yang pengolahan warna, gelap terang, figur, dan sebagainya agaknya masih diberi kesan ‘dramatis,’ juga pada Mengungsi (1947). Kawan-Kawan Revolusi (1947) dan Di Balik Kelambu (1939) memiliki garis-garis dan sapuan kuas lebih ekspresif. Di sana, benih “jiwa ketok,” lukisan sebagai “ide yang terlihat” itu menguat.

Masih dengan tema-tema keseharian, tanpa meninggalkan gaya realisnya, ia mulai melepaskan detail subyek lukisannya, menguatkan sapuan warna sehingga tampak ekspresif. Lihat misalnya, Sodom dan Gomorah (1956), Fragmen Ketoprak (1975), dan Barong (1974) yang sapuan kuasnya lebih kasar, cenderung berkesan kotor, namun dinamis dan bebas. Ini juga terlihat pada Amsterdam Port (1973), sketsa tinta yang garis-garisnya tampak dinamis.
“Realitet nasi,” istilah Sudjojono, ini berkisah tentang “… pabrik-pabrik gula dan si tani yang kurus, mobil si kaya dan pantalon si pemuda; sepatu, celana, dan baju gabardin pelancong di jalan aspal” (Keboedajaan dan Masjarakat, no 6/I/Oktober 1939) dan menjiwai seluruh karyanya, walau dengan cara ungkap yang beragam. Sudjojono memilih realisme “jiwa ketok,” ekspresif. Untuk dapat mencapai itu, ia mementingkan nilai kebatinan dalam melukis. Baginya, lukisan itu bukan copy realitas, melainkan suatu “ide yang terlihat.” Lukisan, baginya, tidak hanya perihal menampilkan obyek, melainkan pemikiran dan suasana batin seniman yang berinteraksi dengan lingkungannya. Maka, hampir semua lukisan Sudjojono tampak seperti catatan harian - tidak hanya sekadar rentetan peristiwa – namun juga gambaran dari sikap, pandangan hidup, keinginan, harapan, kegelisahan, dan pikiran-pikirannya.

Dua karya pentingnya, Cap Go Meh (1940) dan Di Balik Kelambu Terbuka (1939) – menjadi koleksi Bung Karno - bahkan, di tahun yang berdekatan, memiliki ekspresi yang berbeda: Cap Go Meh lebih detail, ramai, sedangkan Kelambu Terbuka nampak suram, satu figur, dan sapuan kuasnya lebih terlihat. Namun, keduanya realis-ekspresif, terlihat dari tema, juga ekspresi subyek lukisan dan warnanya.

Sekitar 1970 dan setelahnya, masih dengan realis yang ekspresif, ia menyampaikan kritik sosial dengan sindiran, ironi, sinisme, misal Becak Driver (1981), atau nuansa fantasi pada Rontok (1978), gedung megah tinggi yang runtuh bersama beterbangannya manusia hewan-hewan. Nuansa fantasi ini pun sudah muncul sejak 1944 pada “Sayang, Aku Bukan Anjing” (sosok dua anjing berkepala manusia), juga pada Piano di Tengah Reruntuhan (1956) yang memiliki kesan simbolis-fantasi-liris. (IndoArt-014)

-sty-

Salim (1908-2008)

Mozaik Salim di Perancis


Membicarakan perkembangan karya Salim tak bisa dilepaskan dari kubisme dan gerakan para pelukis Perancis era 1950-an, juga perkembangan seni lukis abstrak di Indonesia masa 1950an-1960an. Walau Salim banyak dipengaruhi oleh corak kubisme Fernand Léger (1881-1955), namun tidak dapat kita temukan jejak-jejak Leger yang kental dalam lukisannya.

Salim datang ke Paris pada 1928 saat berumur 20 tahun. Selain belajar di Academie de la Grande Chaumiere, ia masuk ke Sanggar Fernand Léger, menjadi pengurus studio sekaligus murid pelukis kubisme itu selama tiga tahun, 1929-1932. Selain gurunya ini, perkembangan karya Salim banyak dipengaruhi oleh aliran abstrak, realisme, dan surealisme yang sedang marak di Perancis masa itu, juga nasionalisme Indonesia dari Sutan Sjahrir, Moh. Hatta, dan Soekarno.

Mungkin karena itu, Salim sering dikaitkan dalam pembicaraan sengit mengenai kepribadian nasional - identitas seniman Indonesia yang hidup di negeri lain sampai akhir hayatnya, walau ia masih mengaku berkebangsaan Indonesia dengan paspor Indonesia.

Lukisan Salim kaya dengan komposisi yang harmonis dan warna-warna lembut, cerah yang dipadu dengan bentuk-bentuk geometris. Aneka warna Salim ini mungkin yang membedakan dia dengan, seperti dikutip Agus Burhan dalam tulisannya di Katalog Pameran 100 tahun Salim, Bernart Buffet, yang cenderung memilih warna suram untuk mengungkapkan tendensi politisnya. Atau, karena warna-warni itulah Salim dianggap tidak memiliki tendensi politik yang pasti, hanya sekadar mengungkap masalah kerakyatan, refleksi kehidupan secara umum tanpa greget ‘revolusi’?

Sekilas, karya Salim nampak seperti mozaik, pecahan-pecahan kaca yang diwarnai dengan warna-warna pastel. Karyanya nampak seperti kumpulan, tumpukan pecahan kaca yang terkena pantulan sinar, membentuk sesuatu namun sekaligus mengaburkannya. Lihat, misalnya pada Gadis Bali (1989), atau La Petite Rouquine (2001). Keduanya menggambarkan sosok perempuan. Pada Gadis Bali, dua sosok itu nampak lebih jelas, namun seluruh permukaannya seperti disusun dari persegi-persegi yang beraneka warna, sedangkan pada La Petite Rouquine, dua sosok yang hadir seperti mengalami deformasi bentuk. Ia seperti menggunakan teknik berbeda dengan pada Gadis Bali. Ia mendeformasi langsung bentuk sosok dengan bidang-bidang perseginya. Dengan kata lain, persegi itu tidak hanya sebatas permukaan yang diwarnai, namun menyatu-membentuk figur.

Perihal kedalaman dan dimensi dalam lukisan, Salim agaknya tidak banyak mengeksplorasi itu. Dimensi dalam lukisannya terlihat sekilas dari pewarnaan dan patahan-patahan garis. Namun, berbeda jauh dengan para kubistis, Salim sangat minim mengolah gelap-terang dalam satu bidang. Efek gelap-terang lebih ditampilkannya lewat perpaduan warna-warna itu. Maka, mungkin, lepas dari teknik penghadiran lukisan Salim, atau eksplorasi tekniknya, ada yang berpendapat bahwa karya Salim berisi ‘romantik agoni’ di mana ia sangat subyektif menyatakan perasaannya terhadap obyek lewat warna.

Salim tidak meninggalkan bentuk. Obyek tetap ada dalam karya-karyanya, bahkan dominan. Kendati dilukis dengan deformatif dan nampak hanya perpaduan warna dan garis, ia tetap mempertahankan keberadaan obyek. Obyek tidak dihilangkan sama sekali, dalam arti ia tidak berada pada aras abstraksi murni yang hanya garis dan warna. Masih tampak suasana dan coretan bentuk yang ‘mengungkapkan’ obyek. Kenang-Kenangan dari Sete (1989), misalnya, menggambarkan suasana sebuah kota di Perancis Selatan. Ada gedung, bentuk semacam kapal, sosok manusia di sebelah kanan bidang gambar, dan sisanya gars-garis (plesetan garis-garis) yang diisi warna. Pelabuhan Tegal (1990) lebih jelas memperlihatkan suasana pelabuhan. Ada sederet orang di kapal yang sedang melihat ke pelabuhan, sebaris ibu-ibu memandang kapal, dan sebagainya. Salim memang sangat terkesan dengan Tegal, kota tepian pantai Utara yang menurutnya hangat dan terbuka. Demikian pada lukisannya yang menampilkan arsitektur. Katedral (1985), Gereja (1985), dan 1001 Malam (1983), misalnya. Lengkungan yang dibentuk dari kotak-kotak warna-warni khas Salim nampak jelas dominasi seluruh bidang. Maka, dalam hampir seluruh karya Salim, kalau pun nampak abstrak, ia masih menggunakan judul, yang sepertinya mau mengatakan bahwa ia tidak bisa melepaskan orang dalam ketidaktahuan sama sekali mengenai ‘isi’ karyanya. (IndoArt-014)

-sty-

Rusli (1916-2005)

Garis dan Kekuatan Ruang Kosong


Salah satu kekuatan Rusli adalah pada garis. Ia, yang dijuluki sebagai pelukis ‘Avant Garde’ oleh Umar Kayam, agaknya, selalu berusaha menangkap ‘roh’ obyeknya lewat garis. Garis-garis yang muncul terkesan spontan, ringan, namun padat, berisi, dan kuat. Rusli menemukan karakternya lewat berbagai garisnya.

“Lima tahun saya belajar membuat garis.” Pernyataan itu tepat bagi orang yang memilih seni sebagai jalan hidupnya. Rusli, pelukis kelahiran Medan, 1916 ini adalah salah satu yang setia pada dunia lukis sampai akhir hayatnya. Pada mulanya ia dikenal sebagai pelukis dengan medium cat air – ini tidak banyak dilakukan oleh pelukis lain. Lukisannya pun khas, sekilas tampak abstrak, hanya paduan garis dan titik. Namun, jika dilihat lebih detail, Rusli tidak bisa begitu saja digolongkan sebagai pelukis abstrak. Ia mempertahankan ekspresi dan obyeknya.
Kalau diamati, lukisan Rusli nampak menyerupai sketsa. Di sana ada garis-garis spontan yang mencoba menangkap esensi bentuk, terpeleset, namun selalu bangkit lagi, lahir kembali untuk ‘menangkap’ bentuk itu. Coretan-coretan yang nampak ‘hanya sepotong’ itu seperti ingin menampilkan yang seluruh. Sekumpulan titik, garis dengan berbagai bentuk dan sifatnya: tebal, tipis, patah-patah, lurus, lengkung, dan sebagainya membuat lukisan Rusli, kata salah seorang kritikus, nampak seperti ‘haiku’ Jepang: puisi yang hanya terdiri dari beberapa suku kata yang disusun sedemikian rupa - minimalis bentuknya tapi sarat isinya.

Obyek dalam lukisannya adalah obyek-obyek sederhana: perempuan, bunga, taman, pepohonan, pura, pemandangan, ritual keagamaan, dan sebagainya. Salah satu periode penting pengolahan lukisannya adalah ketika ia berada di Bali. Tema Bali banyak menyedot perhatiannya, khususnya pura-pura dan berbagai acara keagamaan di sana. Demikian pula warna. Rusli menggunakan warna-warna yang sering dikatakan “tropis:” merah, kuning, hijau. Di samping warna, ia fasih dengan hitam putih. Rusli menciptakan sesuatu dari yang hitam-putih. Ini mengingatkan kita pada huruf-huruf kanji dengan tinta hitam yang begitu saja digoreskan pada kertas putih.

Kendati obyek yang dilukiskan Rusli sederhana, namun yang membuatnya tampak tidak sederhana adalah cara pelukisannya, yang tak lain adalah eksprimentasi Rusli terhadap garis. Ia mengambil garis-garis sebagai inti – sampai menemukan garis khas dari setiap obyeknya. Lihat pada Tanah Lot (1977). Garis-garis patah-patah, siku-siku, mendominasi – warnanya tegas, dan laut hanya digambarkan dengan tiga sapuan biru lebar. Juga pada Pelabuhan Semarang (1971) yang nampak ‘sendu’ dengan oker, dan efek titik-titik di kejauhan, tanpa melepaskan diri dari perahu, aktivitas manusianya, dan sebagainya. Agaknya, di sana, ia menghadirkan atmosfer lukisannya.

Selembar kertas putih itu terisi garis-garis dan titik yang sampai akhir tidak pernah diisi dengan warna lain. Rusli membiarkan putih itu di sana. Singkatnya, ia hampir selalu menyisakan ruang kosong dalam lukisannya. Bagian putih kanvas atau kertas sebagai background tetap dibiarkan berwarna polos. Karena itu, lukisannya tampak seperti lukisan tinta cina klasik.

Kemampuan Rusli menangkap dan membiarkan ruang kosong ini membantu kesan kuat pada karakter garisnya. Ruang kosong itu menjadi tampak menonjol dan berisi, bermakna, demikian juga garis-garis Rusli tampak berelasi erat dengan ruang itu. Ruang itu kosong, sekaligus penuh. Dalam seluruh kekosongannya ia menampung kepenuhan – sarat makna. Mungkin, sedikit dibalik, jika direlasikan dengan garisnya, ruang itu nampak tidak kosong oleh karena ‘diisi’ oleh garis – ia membentuk sesuatu – memiliki daya.

Rusli, yang lahir di Medan, 1916 (atau 1922) ini pernah mendalami seni rupa, drama dan tari di Kala Bhawana Shantiniketan Universitas Rabindranath Tagore, Bengal, pada 1932-1938. Selain pernah menjadi tentara dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, ia juga pernah masuk dalam tim sepakbola PSIM (Persatuan Sepakbola Indonesia Mataram), menjadi anggota SIM (Seniman Indonesia Muda), juga pengajar di ASRI pada 1951. Ia juga pernah mengikuti pameran di Italia, Brasil, dan Belanda, serta peserta pada Biennale II di Sao Paulo di Brasil,1953. (IndoArt-014)

-sty-

Popo Iskandar (1927-2000)

“Ekspresionis” yang Mencari Hakikat


“Bagi saya, kenikmatan berkarya seni terletak pada pemecahan masalah yang ditimbulkan oleh gagasan. Jika pemecahan itu terjadi, maka timbul masalah baru untuk dipecahkan. Pemecahan terakhir yang terletak pada sentuhan akhir (finishing touch), yang dengan sendirinya tidak melahirkan masalah-masalah baru, adalah puncak kenikmatan dalam berkarya seni.”
– Popo Iskandar –


Salah satu hal menarik dari sosok Popo Iskandar, seniman kelahiran Garut, Jawa Barat, 1927 ini adalah berbagai inovasi teknis yang selalu dilakukannya ketika melukis. Akibatnya, Popo sering menuangkan gagasan kreatifnya yang baru pada kanvas lama yang dianggapnya belum selesai sehingga nampak terjadi banyak “revisi,” baik bentuk maupun komposisi. Karena itu, Mamanoor, dalam tulisannya tentang Popo, mengibaratkan Popo sebagai “laboratorium seni lukis.” Kanvas Popo, mungkin, bisa dikatakan berisi “sekumpulan atau tumpukan masalah berbeda yang berasal dari gagasan kreatif, dan melahirkan gagasan kreatif lain yang menuntut untuk dijawab, begitu seterusnya sampai dirasa selesai.”

Popo Iskandar belajar melukis pada Hendra Gunawan, Barli, dan Angkama Setyadipradja. Selain pelukis, ia pun dikenal sebagai ilustrator buku, penulis esai dan kritik, juga pengajar. Bersama Sadali, But Muchtar, Srihadi, Mochtar Apin dan lainnya, ia dianggap sebagai pelopor perkembangan seni rupa di Bandung. Popo juga pernah menerima Anugerah Seni Pemerintah RI pada 1980.

Sebagai seniman akademis, awalnya Popo amat dipengaruhi oleh gurunya, Ries Mulder. Kemudian ia dengan tegas menolak pengaruh itu. Corak lukisan kubisme yang ‘marak’ di Bandung waktu itu ditinggalkannya. Ia mulai dengan belajar figur dan anatomi untuk memperoleh ‘bentuk-bentuk organis.’ Untuk itu, ia kerap melakukan studi fisiognomatik - salah satu yang paling intensif adalah kucing.

Obyek studi kucing dimulai pada 1960-an, berlangsung sampai akhir hayatnya. Di antara itu, ia melakukan studi juga terhadap merpati, kuda, ayam jago, barong, curug, dan sebagainya. Karena yang paling banyak diolah adalah kucing, maka ia sering disebut sebagai ‘pelukis kucing.’ Dalam studinya, Popo sadar pentingnya “dialog” antara obyek yang akan dilukis dengan dirinya sebelum imaji obyek itu muncul di atas kanvas. Dengan kata lain, selalu ada proses dialog antara kucing hidup (sebagai obyek lukisan), kucing dalam imajinasi Popo sebelum dituangkan ke kanvas, dan kucing dalam lukisan popo (yang sudah mengalami eksekusi, eksperimentasi).
Hasilnya, Popo menangkap berbagai perangai dan watak kucing, perilaku, gerak tubuh (gesture) khas kucing, seperti tubuh meliuknya kucing, kepala bundarnya, mata mendelik menyala, telinga segitiga tegak, bokong nungging, dan sebagainya.

“Saya seorang ekspresionis dalam arti saya mencari hakikat (esensi) dari suatu fenomena kehidupan,” demikian pernyataan Popo mengenai karyanya. Pendek kata, esensi kucing itu (“kekucingan” kucing) bisa dilihat melalui penyederhanaan bentuk kucing, yaitu lingkaran (kepala kucing), garis (berupa bidang persegi pada tubuh kucing), dan oval (mata kucing).
Lihat pada Potret Kucing (1998). Kepala kucing digambarkan dengan lingkaran merah, mata kucing dengan bentuk oval bersudut lancip, dan bidang-bidang persegi panjang berjajar horizontal-vertikal merupakan loreng pada tubuh kucing. Figur itu, walaupun yang tertinggal hanya elemen dasarnya, namun tetap bisa dilihat sebagai kucing karena, selain judulnya, ada “garis imajiner” yang menghubungkan elemen tersebut sehinga orang bisa merangkainya menjadi bentuk kucing. Selain Potret Kucing, lukisan yang juga mengalami penyederhanaan bentuk sampai pada elemen dasar geometri adalah Jago (1987). Sosok ayam jago di sana digambarkan sebagai lingkaran, segitiga, dan garis lengkung tebal.

Tak hanya sebatas menemukan ‘esensi’ dasar dari bentuk hewan, Popo juga sedikit banyak ‘memainkan’ warna demi komposisi. Warna satu dengan lainnya saling merespon membentuk irama dan kesatuan yang harmonis. Kucing (1983), misalnya. Ada tiga warna primer yang saling merespon: merah kepala kucing seperti “direspon” oleh kuning di antara kaki-kaki kucing, dan sapuan warna biru di atas tubuh kucing. Demikian pula elemen titik pada Macan dan Kunang-Kunang (1998). Kunang-kunang yang berupa titik-titik kuning cerah ini seperti menjawab, memperkuat kesan tubuh macan tutul, dan kuning terang bulan.

Selain itu, elemen yang sering digunakan Popo dalam lukisannya adalah bulan, matahari, atau semacam benda berbentuk lingkaran. Bulan yang hadir bersama kucing, kuda, dan ayam jago itu sepertinya tidak sekadar menghadirkan suasana, melainkan memperkuat komposisi keseluruhan karya. Pendeknya, bulan, atau matahari menjadi ‘asesori’ yang dibutuhkan demi memperkuat ekspresi lukisan. Bulan, dan matahari kuning berbentuk bundar seperti ‘berelasi’ dengan kepala kucing (Kucing dan Matahari Pagi, Dua Kucing dan Bulan Jauh), juga berelasi dengan lengkungan garis ekor ayam jago, dan jalu jago (misal Jago, 1986 dan The Dream, 1998).
Dalam lukisan Popo, agaknya, yang dikatakannya “esensi” itu, muncul sebagai bentuk dasar (lingkaran, segitiga, persegi, dan sebagainya) dari figur. Dan ini seperti menegaskan kata-kata Mamanoor, “Popo Iskandar, seperti juga kebanyakan pelukis modern lainnya di Indonesia, bisa seumur hidup sebagai pelukis figuratif dan ekspresionis. Jangan paksa pelukis-pelukis modern seperti Popo untuk kiprah ke wilayah lain.” (IndoArt-14)

-sty-

Nashar (1928-1994)

Melukis Gerak Alam



“Aku ingin kehidupan dan alam adalah aku sendiri.” Kata-kata Nashar itu menyatakan dengan jelas sikapnya terhadap alam. Ia tidak mau memperlakukan alam sekitar, yang menjadi “obyek” lukisannya, semata-mata obyek seperti di hadapan mata para turis. Ia ingin menyatu dengan alam, menjadi-alam untuk bisa merasakan geraknya dan menghadirkan kekuatan itu dalam lukisannya.


Peleburan dengan alam adalah dasar dari sikap berkarya Nashar. Pernyataan ini bisa kita temukan juga dalam pemikiran Paul Cézanne, tokoh impresionis yang dijuluki sebagai “Bapak Seni Modern,” bahwa “Man absent from but entirely within the landscape.” Pendek kata, peleburan itu membuat pelukis mampu menangkap kekuatan alam dalam lukisannya. Sikap demikian juga terdapat pada Affandi yang memberi insight pada Nashar bahwa “Lukisan adalah kehidupan itu sendiri.”

Maka, dalam lukisan-lukisannya, Nashar tidak hanya mengabstraksi bentuk, atau obyek tertentu yang ada dalam realitas, melainkan suasana alam itu sendiri. Terang Bulan (1978), misalnya. Di sana tidak nampak peristiwa terang bulan. Yang ingin dihadirkan adalah suasana terang bulan yang sudah menyatu dengan suasana jiwa Nashar. Demikian juga Irama Kota: di Bawah Jembatan (1987), tidak muncul sosok-sosok penghuni kolong jembatan, atau mobil-mobil lalu lalang di bawah jalan layang kota. Irama kota muncul lewat gerak repetitif dari bentuk nongeometris berwarna orange, bergerak berlawanan arah, garis-garis lurus kuning yang tampak sebagai penyangga, dan beberapa bayangan bentuk yang muncul sebagai efek dari penimpaan warna. Dengan kata lain, lukisan Nashar sarat dengan bentuk yang tak terdefinisikan. Bentuk dalam lukisan Nashar adalah bentuk-bentuk tidak nyata, tidak ditemukan di alam sekitar kita. Ia seperti berusaha menghadirkan kekuatan, mencari esensi gerak alam yang tidak kelihatan melalui lukisannya.

Lukisannya, terutama mulai 1975-an, dan seterusnya sampai pada era 1980-1990-an, banyak mengolah garis, bidang, dan warna. Baru pada 1990-an, Nashar mulai menampilkan sosok kepala-kepala manusia, menyerupai manusia, hanya tanpa telinga, dan wajah tak lengkap. Karena itu, Nashar digolongkan pelukis abstrak atau seringkali dikatakan nonfiguratif.

Nashar, dilahirkan di Parimanan, Sumatera Barat, 1928, meninggal pada 1994, memang tak bisa dikatakan sekadar pelukis. Ia juga seorang pemikir yang selalu merefleksikan proses berkeseniannya, dan memiliki sikap konsisten atas dunia seni yang dipilih dan dijalaninya.

Selain melukis, ia pun melakukan kegiatan yang sangat jarang dilakukan seniman lainnya, yaitu menulis catatan harian mengenai proses berkeseniannya. Catatan harian itu ia beri nama “Surat-Surat Malam” karena selalu ditulis pada sekitar tengah malam. Dan uniknya lagi, kalau van Gogh menujukan surat-suratnya pada Theo, saudaranya, Nashar menujukan surat ini pada seorang “kawan” yang tak dikenal, anonim, imajiner. Maka, dalam setiap awal suratnya, ia selalu menulis sapaan “Kawan.”

Ruang di antara Warna

Dalam salah satu suratnya, Nashar merespon pandangan akademis yang berpandangan bahwa ruang bisa terbentuk melalui lapisan warna. Ruang diciptakan di antara warna satu yang dioleskan sebelumnya, dengan warna lain di atasnya yang melapisi warna sebelumnya. Menurut Nashar, ruang itu lahir tanpa disengaja. Karena jika disengaja, menurut Nashar, hanyalah sebuah “kepandaian menyusun warna” dan ruang itu tidak berisi “apa kata hati.” Dari sana Nashar merenungkan, bertitik tolak dari lukisan Tiongkok klasik yang hanya dengan selapis warna ruang bisa terbentuk. “Di sini aku menemukan “kuncinya,” ialah sejauh mana seorang pelukis sanggup berada pada gores yang sedang digoreskannya. Bagi sastrawan, sejauh mana dia berada pada kata dan kalimat yang ditulisnya. Di saat itulah lahir dengan sendirinya ruang yang dimaksud.” (Nashar Untuk Nashar, hal. 112-113)

Pengalaman atas ruang yang terbentuk dengan sendirinya itu memperkuat semboyan “Bersatu dengan alam.” Tidak hanya dengan alam benda atau suasana yang dilukisnya, melainkan juga dengan alat lukisnya, goresan, warna, dan bentuknya.

Pandangan mengenai “ruang dalam warna” ini tidak bisa dilepaskan dari pengalamannya berlatih teater bersama Putu Wijaya. Bentuk-bentuk, pola-pola gerak ditemukan oleh Putu Wijaya setelah murid-muridnya, setelah beberapa bulan, karena instruksi Nashar, dibebaskan penuh mengolah gerak tubuh menuruti “gerak batinnya” tanpa kontrol atau intervensi dari kesadaran. Menurut Nashar, dalam catatan Putu, “Kontrol akan datang dari kebebasan itu, dan kebebasan itu akan membatasi dirinya sendiri.” Pendek kata, bentuk, pola gerak itu seperti ‘ruang dalam warna” yang menurut Nashar “terbentuk dengan sendirinya.” Ruang tersebut dilahirkan dari kebebasan yang memiliki kemampuan membatasi dirinya sendiri itu. Dari latihan itu, persahabatan mereka berbuah: Putu melahirkan Lho, Entah, dan Nol, sedangkan Nashar melahirkan bentuk-bentuk nondefinitif, nonfiguratif, nonnaratif dalam lukisannya.


Melukis Gerak

Sejak 1975, Nashar memfokuskan diri “belajar” menghadirkan ritme, gerak alam dalam lukisannya. Ia banyak belajar dari Affandi, Hendra Gunawan, dan Zaini yang menurutnya, berhasil menghadirkan ritme alam dalam lukisan mereka. Gerak itu tidak semata-mata berupa benda yang sedang bergerak, melainkan ekspresi dari gerak itu sendiri. Maka, dalam lukisan Nashar tidak muncul benda yang sedang berjalan, melainkan jalinan garis-garis dan bentuk-bentuk yang saling tumpang tindih. Keputusan “melukis gerak” ini, diawali dari melukis benda bergerak, sebenarnya sudah diimpikannya beberapa waktu sebelum ia memutuskan jadi pelukis, “… aku ingin bisa melukis alam sebenarnya, malahan ingin bisa melukis api yang bergerak-gerak, pohon-pohon yang bergerak-gerak ditiup angin atau ombak yang bergulung-gulung. Jadi, alam itu tidak diam saja.” (Nashar Untuk Nashar, hal 11).

Ritme atau gerak alam ini dihadirkan Nashar lewat komposisi dalam lukisannya. Berbagai jenis garis, lurus, lengkung, patah-patah, dilukiskan dengan berbagai posisi: jalin menjalin, saling memotong (bersiku), membentuk bidang-bidang yang tak simetris, dan sebagainya. Dalam Dunia Binatang (1977), jenis-jenis garis itu hadir bersamaan, menyebar dengan komposisi seimbang. Berbeda pola dengan Garis-Garis Angin (1984), garis tidak diletakkan menyebar, melainkan menjadi satu kesatuan. Garis-garis di sana terbentuk dari dua warna, hitam dan oker, jalin menjalin, saling memotong, asimetris. Ciri garis dalam Garis-Garis Angin ini bisa ditemukan juga pada beberapa karya lain, misalnya pada Di Perjalanan (1984), Sisi Pantai Kenangan (1983), dan Jalan Raya Luar Kota (1982).

Selain garis, unsur warna dalam karya Nashar kelihatan menonjol. Sebagian besar warna yang muncul adalah warna-warna cerah, merah, kuning, hijau, ungu, biru, orange, namun kecerahan itu, kalau diperhatikan lebih dalam, tidak berarti warna terang dalam arti murni, melainkan sudah berpadu dengan warna-warna gelap. Warna menyala dalam lukisan Nashar tidak berdiri sendiri. Di baliknya ada warna hitam yang sering digunakan sebagai lapisan awal sebelum warna-warna lain berdiri di atasnya. Warna kuning cerah dan merah menyala pada Pantai Kenangan (1984), misalnya, mengandung warna hitam di belakangnya. Dan hitam yang tersisa itu bisa menghasilkan efek bayangan, juga imaji tentang ruang. Karya lain, Tiga Gunung (1975) di mana lapisan warna hitam ditimpa orange, kemudian sebagian ditimpa dengan hijau kebiruan, sebagian lagi kuning, tanpa menghilangkan sapuan orange, bahkan hitamnya pun masih tampak samar. Sanento Yuliman mengomentari perihal pelapisan warna ini, “Lukisan Nashar memiliki warna menyala, dan ada penimpaan satu warna dengan lainnya sehingga nampak masih samar ada warna lain di baliknya.” Akibatnya, hampir semua lukisannya memiliki “bayang-bayang,” keredupan yang seperti tidak berusaha ditutupi lewat warna lain. Sapuan kuas Nashar tidak berusaha menghilangkan bayang-bayang itu. Bisa jadi, dari tegangan antara warna itulah gerak dan ruang hadir - ruang yang menurut Nashar tidak disengaja kemunculannya.

Penyatuan dengan alam, dengan kekuatan yang ada di luar dirinya inilah yang melahirkan kebebasan itu. Maka, Kredo “Tiga non” (nonteknik, nonkonsep, nonobyek) yang sering dipahami sebagai “tanpa teknik, tanpa konsep, tanpa obyek,” keliru. Dalam konteks Nashar, “non” itu berarti “tidak terperangkap dalam.” Maka, penyatuan itu berarti pembebasan: Nashar tidak terperangkap dalam teknik (penyatuan dengan alat lukisnya), konsep (ia memiliki pemikiran sendiri tanpa harus ikut dengan teori-teori tertentu), dan obyek (penyatuan dengan obyek di alam, merekam ritme alam, sehingga ia tidak perlu berpretensi melukisnya sepersis mungkin).


Stanislaus Yangni
Indoart&Lifestyle, Minggu I Juni 2010

Mochtar Apin (1923-1994)

Figur-Figur yang Berpose


Menghadapi sebagian lukisan figuratif Apin, terutama era 1990-1993, tampak perempuan-perempuan telanjang dalam pose-pose yang sering kita temukan di tabloid dewasa: tampak samping berkacak pinggang, terlentang, tangan terangkat dan paha terbuka, atau duduk memeluk lutut. Itulah salah satu tema yang banyak digarap Apin hampir sepanjang hidupnya. Garapan model telanjang ini tidak sembarangan, ia bahkan pernah mendalami khusus studi nude ini di Écôle Natiônale Supérieure des Beaux Arts, Perancis. Seni lukis tubuh manusia ini sudah dimulai bahkan sejak 700 tahun sebelum Masehi di Yunani.

Pose-pose perempuan telanjang Apin mengingatkan kita pada Odalisque yang menjadi tema pokok para pelukis orientalis, misalnya Delacroix, Odalisque Reclining on a Divan, Manet, Olimpia, Ingres, le Grande Odalisque (1814). Pose dan ekspresinya bisa dibandingkan dengan lukisan Apin, misalnya Gerah (1991). Seorang perempuan telanjang berdiri menyamping berkacak pinggang, wajahnya menoleh bak model amatir. Di lantai tempat ia berpijak ada setumpuk pakaian yang seperti baru saja dilepas. Kita yang melihatnya seperti menjadi cermin bagi si model, di mana dia bebas berpose mempertontonkan tubuhnya. Tak nampak ekspresi kegerahan pada wajah maupun tubuhnya. Begitu pula pada sketsa pensil perempuan duduk dengan paha terbuka, Untitled (1991), lukisan Torso, Hijau di Atas Merah, pose tiduran dengan dada dan paha terbuka pada ‘seri’ “Tiduran” yang digarapnya pada 1973, 1991, 1992, Melamun 1990, dan Manja (1991).

Mochtar Apin tak banyak mengolah latar belakang. Latar seringkali dibiarkannya blur, dengan diisi susunan-susunan warna tanpa obyek lain yang dapat dikenali. Figurnya cukup besar, garis konturnya tidak tajam, dan bentuk sosoknya cenderung membulat. Perempuan-perempuan itu tidak ada yang bertubuh kerempeng. Semuanya padat berisi, cenderung gemuk. Figur membulat yang sedang berpose itu mengingatkan kita pada figur-figur klasik yang digarap Ingres, misalnya. Sedangkan, latar belakang bak sebuah bidang datar seperti tampak di kejauhan. Pantai, misalnya, atau pemandangan lain yang menjadi latar belakang, figur terkesan hanya ‘ditempelkan’ begitu saja di atas lukisan pantai. Ia tampak tidak berelasi dengan pantai itu. Figur lebih sebagai model yang hanya berpose. Alam Subur (1990) dan Pada Sebuah Bandar (1990), antara lain, memiliki kesan kuat semacam itu. Ada pun latar belakang lainnya berupa semacam ‘tempat,’ ‘struktur’ di mana figur berada atau berpose, misalnya ranjang, atau kursi.
Pelukis yang banyak dipengaruhi oleh kubisme dan impresionisme, belajar di Bandung di bawah bimbingan Ries Mulder ini di akhir hidupnya lebih banyak mengolah pose model yang realis. Ia tampak makin menjauh dari kubisme yang dulu digarapnya, misal Dua Wanita di pantai/Pantai Mediterania (1960), Woman and Sun (1966), Wanita dan Ikan (1970). Ataukah, semangat ‘kolase’ dan ‘assemblage’ yang ada dalam kubisme tetap dibawa dan dimunculkan Apin lewat ‘ketidakmenyatuan’ antara figur dan latar belakangnya itu?

Kalau Déjeuner sur l’Herbe (1863) karya Edouard Manet memperlihatkan relasi yang tampak ‘tak menyatu’ antara dua laki-laki berpakaian lengkap, jas berdasi dengan seorang perempuan telanjang – mungkin sebagai gambaran dan kritik atas gaya hidup borjuis periode itu, tidak demikian dengan fungsi perempuan telanjang dalam lukisan Apin. Nampaknya, kecenderungan semacam itu jauh darinya. Demikian pula Balthus yang lewat ketelanjangan figurnya mampu menampilkan kekuatan ‘kepolosan’ dari gadis remaja. Ini pun tampaknya bukan kecenderungan Apin. Lalu, apakah Apin, lewat figur-figur telanjangnya, sebenarnya sedang mengelaborasi “yang pornografis” itu tanpa jatuh pada apa yang dicap umum sebagai ‘gambar porno’?
Agaknya, Apin, pelukis-pegrafis kelahiran Padangpanjang 1923 itu, di masa menjelang akhir hidupnya, memang hendak menampilkan pose yang seperti disengaja (‘naked,’ provokatif) untuk menunjukkan banalitas ketelanjangan demi mengolah seni lukis ‘nude,’ atau juga sebaliknya. Begitulah, mungkin karena itu, Apin, seperti dikatakan Sanento dalam tulisannya pada 1988, lebih sebagai yang “Memilih, memecahkan masalah ... Bukan memekarkan gaya tertentu.” (IndoArt-14)

-sty-

Sudjana Kerton (1922-1994)

Dari Sketsa Perjuangan sampai Narasi Wong Cilik



Sanento Yuliman pernah mengatakan bahwa lukisan Kerton cenderung “cerewet,” alias ‘bercerita banyak.’ Melihat lukisan Kerton, kita seperti mendengar cerita, mengamati satu demi satu peristiwa yang ada di dalamnya. Selain karena pengaruh Kendar Kerton, saudaranya, Affandi dan Hendra Gunawan di Pelukis Rakyat, kekuatan narasi dan kepekaan menarik garis spontan ini hampir pasti didapatnya dari pengalaman menjadi wartawan gambar di Patriot, koran terbitan Yogyakarta yang dipimpin oleh Usmar Ismail semasa revolusi.

Sebagaimana wartawan, Kerton ‘pantang’ ketinggalan berita. Ia harus mengabadikan momen revolusi fisik itu. Dari sinilah ia banyak ‘melatih’ gerak tangan dan garisnya, kepekaan visualnya untuk dapat menangkap dan mengabadikan suasana perjuangan. Semasa 1945-1949, saat ia bekerja di Patriot, Kerton menyumbangkan berita berupa gambar, sketsa peristiwa revolusi fisik, atau pertempuran yang berlangsung, baik di Bandung maupun di Yogyakarta.
Mungkin karena pengalaman itu pula, Kerton tidak menggambarkan rakyat dan kehidupan sosial dengan sudut pandang ‘orang asing.’ Ia ada bersama masyarakatnya. Kerton, walaupun sempat beberapa waktu hidup di luar negeri, Belanda, Perancis, AS, Meksiko, sembari belajar seni rupa, dan berpameran (sekitar 1950-1976), tetap kembali ke tanah kelahirannya, Pasundan, dan mencatat aktivitas rakyat di sana.

Maka, dalam sebagian besar lukisannya, di sana ada keriuhan masyarakat kecil, aktivitas pedesaan dan denyut hidup perkotaan yang diangkat lewat aktivitas figur-figurnya.

Mereka – figur-figur dalam lukisan Kerton - berelasi lewat aktivitas yang dilakukan: tidak hanya lewat perjumpaan figur secara konkret, namun lewat konteks, atmosfer, suasana yang ada. Atmosfer ini terlihat, misalnya dalam Pasar (1986). Di sana kita melihat interaksi dari tukang cukur rambut tidak hanya dengan orang yang sedang dicukur, namun juga dengan penjual buah di seberangnya. Artinya, di sini, Kerton cenderung tidak memberikan fokus dominan pada sosok tertentu, atau aktivitas tertentu, melainkan beberapa aktivitas hadir bersamaan sehingga memperkuat ‘atmosfer,’ suasana suatu tempat yang dikenal dengan sebutan “pasar” itu.

Demikian juga dengan Sidewalk Scene (1980). Berbagai aktivitas ‘tumpang tindih’ dalam satu kanvas. Ada penjual makanan, montir sedang bekerja, lalu lalang orang, antrean, dan sebagainya. Selain itu, Kerton juga menghadirkan aktivitas khusus, seperti pertunjukan topeng monyet (Street Circus, 1988), Kuda Lumping, Adu Ayam (1985), Pertunjukan Wayang Golek (1983), aktivitas petani kentang (Potato Digger, 1986), suasana di panglalan becak (Pangkalan Becak), suasana perkawinan khas Sunda (Sundanesse Traditional Wedding, 1988), dan sebagainya.

Yang agak berbeda suasana adalah Senja (1987). Di sana nampak tidak ada keriuhan seperti biasanya. Senja terkesan lebih sepi, sunyi. Di sana, bidang kanvas terbagi dua secara diagonal. Kanan atas hitam dengan separuh lingkaran merah senja. Kiri bawah tampak seorang penggembala itik yang nampak lelah dan berjalan pulang bersama para itik. Susunan itik digabung dengan hitam tanpa corak itu membuat bidang kanvas sekilas tampak seperti kain bercorak, batik. Di sana, tak tampak warna masyarakat yang biasanya ‘ramai’ di tangan Kerton. Namun, ini pula yang menjadi kekuatan Kerton. Selain humoris, Kerton juga refleksif - di sanalah ia bisa menghadirkan suasana lain yang tidak bisa dilepaskan dari keriuhan, yaitu kesendirian.

Sebagian besar lukisan Kerton memperlihatkan ekspresi lugu masyarakat, seakan tanpa beban. Mereka adalah masyarakat yang menjalankan hidup apa adanya, sederhana.

Namun, di balik realismenya, Kerton pernah melukis nonfiguratif. Beberapa gaya kubis tampak muncul dalam karyanya, yaitu di sekitar 50-60an, Nude Seated (1952), Penjual Apel (1963), dan Wayang Golek Performance (1967). Jika dibandingkan dengan sebagian besar lukisannya di era 80-an, tampilannya sangat berbeda. Bisa jadi, ini pengaruh lukisan abstrak non figuratif yang berkembang di Bandung masa itu. Kini, sebagian karyanya diabadikan di Sanggar Luhur, sanggar yang didirikannya semasa ia hidup di Bukit Dago, Bandung. (IndoArt-014)

-sty-

Hendra Gunawan (1918-1983)

“Rakyat” dalam Figur-Figur Ganjil Hendra



Salah satu kredo terkenal di kalangan pelukis jaman perjuangan adalah “Seni untuk Rakyat.” Kredo ini sering dilawankan dengan kredo “Seni untuk Seni.” Hendra Gunawan (1918-1983) adalah salah satu pelukis yang dianggap “memenuhi” kriteria kredo “Seni untuk Rakyat” karena tema perjuangan dalam lukisan-lukisannya. Namun, menilik perjalanan karyanya, Hendra nampaknya tidak hanya menghadirkan kekuatan “Rakyat” itu lewat narasi (tema) seperti kecenderungan dominan pelukis yang ‘menganut’ kredo tersebut, melainkan juga lewat warna dan figur-figur deformatifnya.

Hendra Gunawan, pelukis kelahiran Bandung, Jawa Barat ini mengawali kesenimanannya di beberapa sanggar, di antaranya Seniman Indonesia Muda (SIM) dan Pelukis Rakyat (didirikan pada 1947 bersama Affandi). Pelukis Rakyat memiliki hubungan erat dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang didirikan pada 1950 oleh PKI (Partai Komunis Indonesia), salah satu partai terkuat di Indonesia periode 1950-1965.

Di masa itu ia juga sempat melukis poster-poster perjuangan yang berisi pesan-pesan, seperti “Awas mata-mata musuh,” “Bamboe Roentjing Siap Mengoesir Pendjadjah,” “We Fight For Democracy,” termasuk yang paling dikenal, “Boeng, Ajo Boeng,” buatan Affandi dari kata-kata Chairil Anwar. Di samping itu, bersama anggota sanggarnya, Hendra juga membuat patung batu Jendral Sudirman di halaman DPRD Yogyakarta pada 1950, Tugu Muda di Semarang, dan Urip Sumohardjo di Magelang.

Sejak awal Hendra tertarik pada kehidupan sehari-hari masyarakat (rakyat jelata), dan ini menjiwai seluruh karyanya. Maka, selain melukis tema perjuangan seperti Gerilya (1960), Pengantin Revolusi (1955), Perang antara Pangeran Sumedang dan Daendels (1960), ia juga melukis tema keseharian seperti kesibukan pasar, tukang cukur yang sedang bekerja, ibu-ibu menyusui, mencari kutu, memasak bekicot, pertunjukan ular, pertunjukan wayang, upacara Melasti di Bali, topeng Cirebon, dan sebagainya. Inspirasi didapatnya terutama dari dunia air (kehidupan ikan, pantai), tradisi Cirebon, dan Bali.

Pada periode 1947-1950-an, lukisannya becorak realis-ekspresif. Figurnya realis, warnanya condong ke warna-warna tanah: cokelat tua, oker, hijau gelap, hitam, dan sebagainya. Teksturnya pun tebal. Mulai pertengahan 1950-an, warna-warna seperti biru, merah, kuning, hijau, agaknya mulai diolah. Kesan gembira, enerjik, muncul mengganti kesan suram, gelap dan terancam. Warna-warna demikian makin menonjol pada 1970-1980-an, dan hampir selalu dihadirkan secara bersamaan, misalnya pada kaki, tangan, wajah, dan tubuh figur. Di periode ini pula, figur Hendra jauh dari kesan realis.

Figur dalam karya Hendra cenderung besar, hampir memenuhi bidang kanvas. Dengan pakaian sehari-hari bercorak kedaerahan, figur yang kebanyakan perempuan itu selalu sedang beraktivitas. Tubuh mereka tidak lagi proporsional, melainkan deformatif, mengalami ‘pergeseran’ bentuk: tidak lagi realis yang mengutamakan proporsi-anatomi, melainkan tampak ‘surealis,’ dalam arti terjadi pemanjangan, pembengkakan pada beberapa bagian tubuh, yaitu tangan, kaki, leher, bibir, dan payudara. Sekilas, tubuh-tubuh itu nampak ‘mengganggu.’ Mereka sama sekali tidak indah, malah cenderung ganjil. Tubuh-tubuh itu bergerak semaunya, seperti tanpa tulang. Kendati pun nampak seperti tanpa rangka penyangga, tubuh-tubuh itu terkesan kuat, bertenaga. Selain itu, ekspresi wajahnya pun menyerupai, atau lebih memiliki tipologi wayang dibanding manusia biasanya.

Dalam figur yang mengalami “pembengkakan” atau pemanjangan (elongation), Hendra seperti “menghadirkan” kekuatan rakyat yang tidak kelihatan: kekuatan tidak dalam arti kekuatan kebersamaan (sosial), melainkan sebagai manusia individual yang bertahan hidup (survival). Mereka adalah manusia yang sosial sekaligus asosial (hasrat untuk mempertahankan hidup sendiri). Lewat figur-figur yang menjulur, meliuk-liuk seperti sedang menari, atau berusaha meraih sesuatu itu, lukisan Hendra seperti menyampaikan “gelombang” kekuatan yang nampaknya ingin melepaskan diri dari batas-batas anatomis tubuh, sejenis kekuatan yang lahir dari tegangan antara yang sosial dan asosial.

Pada Mekutu I (1980) tampak ekspresi menyeramkan dari sosok-sosok pencari kutu. Posisi dan ekspresi mereka lebih nampak curiga satu sama lain daripada bekerja sama mencari kutu. Mereka seperti saling berebut makanan! Dalam lukisan ini, mulut, kaki dan payudara tampak dominan memperlihatkan “kejanggalan” – ditonjolkan bersama anak-anak yang sedang menyusu pada payudara yang menjulur kanan-kiri, dan seorang ibu tua yang nampak sedang memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya, diikuti tatapan dua pencari kutu lain yang nampak tak rela. Di sini, agaknya, figur-figur yang nampaknya bersama itu, masing-masing menyimpan hasrat (kekuatan yang tidak kelihatan) bertahan hidup dengan cara makan, memangsa.

Demikian pula warna. Warna menempati posisi penting dalam karya Hendra, terutama mulai 1960-an. Warna-warna itu mulai ‘berani’ berdiri sendiri sebagai warna yang menemukan variasinya lewat eksperimen. Warna-warna Hendra bisa dilekatkan pada apa saja: wajah, kaki, atau pun tangan bisa memiliki warna berbeda dan bercampur, bahkan baur dengan latar belakang. Hasilnya, figur Hendra tampak menyatu, “meleleh” di latar belakang, namun tidak hilang. Fungsi warna tak murni (pure) yang mendominasi karya Hendra agaknya berperan besar dalam membentuk figur yang cair, ekspresif dan memiliki energi. Lihat, misalnya pada Saya Melukis (1967) di mana jari-jari figur memanjang, menjulur, dengan warna senada dengan kuas dan kanvas yang menjadi latar belakangnya. Jari-jari itu seperti menunjukkan hasrat menuju apa yang disentuhnya.

Maka, lewat elemen rupa itulah agaknya Hendra mampu menghadirkan “Rakyat:” ia lahir melalui tegangan antara yang sosial dan asosial.


-Sty-

Fadjar Sidik (1930-2004)

“Desain Ekspresif:” Geometri yang Hidup


“Keindahan rakyat atau keindahan alam yang saya lukis telah berubah. Menurut saya, ada dikotomi estetik antara produk teknologi dan alam. Saya senang menggunakan produk teknologi seperti TV atau mobil, dan memang bagus, tapi saya tidak bisa menggambar TV atau mobil dalam lukisan saya. Ada keterbelahan estetis kalau saya menggambarkannya. Seperti orang membuat pesawat itu, mereka tidak meniru sesuatu, tetapi membuat bentuk sendiri. Saya ini seperti desainer, membentuk sesuatu untuk ekspresi nurani saya, dan mudah-mudahan bisa selaras dengan produk teknologi dan alam.” – Fadjar Sidik -

Begitulah kira-kira pandangan dasar Fadjar Sidik, pelukis kelahiran Surabaya, 1930 ini mengenai pencapaian estetiknya pada sekitar 1963, yaitu lukisan abstrak yang dalam perjalanan karyanya sering disebut “dinamika keruangan.”

Setelah sebelumnya melukis realis dengan tema kehidupan rakyat, mulai 1961-an, Fadjar Sidik mengalihkan konsentrasinya ke lukisan abstrak. Namun, kematangan abstrak ini baru dicapainya sekitar 1968. Pada tahun itu, menurut Sanento Yuliman, Fadjar mulai membuang bentuk hewan, citraan-citraan makhluk hidup dalam bentuk-bentuknya – ia murni menuju pada bentuk-bentuk ruang dasar, seperti persegi panjang, bujursangkar, lingkaran, segitiga, trapesium, belahketupat, dan jajaran genjang.

Bentuk-bentuk tersebut disusun sedemikian rupa, nampak menyatu dengan latar belakang. Dalam hal ini, Fadjar lebih banyak bermain dengan komposisi dan warna daripada dengan obyek dan latar belakangnya. Bentuk itu disusun berwarna warni dan berulang-ulang. Dalam lukisannya, elemen garis sangat menonjol. Nampaknya, ia menggunakan beragam garis: lengkung, lurus, bergelombang, zigzag, dan sebagainya untuk membentuk ‘ruang imajiner’ baru – yang dibentuk dari permainan bidang-bidang geometri dasar itu, semacam ‘desain ekspresif’ yang pernah dikatakannya.

Susunan bentuk dan warna yang berulang (repetitif) bisa menjadi semacam ‘benang merah’ untuk melihat dimensi ruang dalam lukisan itu. Dengan kata lain, warna dan bentuk saling merespon dalam keseluruhan bidang lukisan – membentuk ritme khas lukisan Fadjar. Misalkan, warna merah cerah berbentuk lingkaran ‘direspon’ dengan segitiga kecil-kecil berderet berwarna sama pada Kota (1993), atau Dinamika Matahari (1990) yang menggambarkan lingkaran merah dengan ukuran berbeda menyebar di hampir seluruh bidang gambar. Singkatnya, beberapa kecenderungan dasar yang membentuk perwajahan lukisan Fadjar itu adalah: (1) bentuk (bidang dasar) direspon dengan bentuk yang sama di bagian lain, misalnya Dinamika Fauna (1981), (2) bentuk berbeda di satu bagian direspon dengan warna sama di bagian lain (Awang-Awang (1980), Trapesium Ruang (1986), Sangkakala Pagi, 1999), (3) warna berbeda dengan bentuk sama di bagian lain (Mandala (1990), Kota, 1983), dan (4) bentuk sama warna berbeda (Metropole 1997).

Salah satu bentuk yang sering muncul dalam lukisan-lukisannya adalah lingkaran dengan bulan sabit. Karena warnanya yang tampak menonjol dan posisinya yang disendirikan, bentuk tersebut menjadi semacam “focus of interest” dalam bahasa desain, atau nirmana.

Dinamika dalam konteks karya Fadjar nampaknya bisa dipahami sebagai ‘sifat.’ Nampaknya, di era kematangan abstraknya ia banyak meninggalkan bentuk-bentuk nyata (representasional) - beralih pada sifat (sifat organis yang dilukiskannya sebagai ‘dinamika’). Karena itu mungkin ia dikatakan “memadukan bidang-bidang geometris (yang kaku) dengan sifat-sifat organik, hayati (hidup, dinamis).” Maka, dinamika di sini tidak lagi ditangkap sebagai gerak bentuk, apalagi bentuk itu sendiri (masih terlihat dalam Banteng (1990), atau Bercengkerama, 1990), melainkan sifatnya. Jadi, geometri tidak lagi ‘mengabdi’ pada bentuk-bentuk organis yang bertujuan membentuk citraan makhluk hidup, melainkan geometri yang hidup: bidang-bidang geometri yang ‘mati’ berhasil dihidupkan dengan susunan (komposisi) dan warnanya.

Fadjar, yang sejak kecil sudah banyak dipengaruhi sistem pendidikan Barat dan nasionalisme Indonesia (perjuangan kemerdekaan), mengenal seni rupa dan tokoh-tokoh pelukis Indonesia dari majalah Djawa Baroe dan Orient. Di awal kesenimanannya, ia pernah bergabung dengan Pelukis Rakyat. Sketsa-sketsanya muncul di beberapa majalah dan surat kabar, seperti Siasat, Orientasi, Mimbar Indonesia, Zenith, dsb yang terbit pada masa itu. Selain sebagai pelukis, ia juga dosen di ASRI. Karena kontribusinya dalam seni rupa Indonesia, ia memperoleh Anugerah Seni dari Pemerintah Indonesia pada 1971. (IndoArt-014)

-sty-

Dullah (1919-1996)

Realisme ”Impresif” Dullah


Kalau Basuki Abdullah disebut-sebut sebagai pelukis istana raja Thailand, Dullah adalah pelukis istana presiden Republik Indonesia, tepatnya pada jaman Soekarno, sekitar 1950-1960. Ia lah yang pertama kali bertugas mengurusi koleski Bung Karno, sekaligus menyusun buku koleksi lukisan Presiden (1956).

Konon, ia pernah menjadi model dari poster perjuangan ”Boeng, Ajo Boeng” yang dibuat oleh Affandi. Dari sanalah ia mulai dikenal oleh Bung Karno. Perkenalan Dullah dengan Bung Karno terjadi pada 1944, atas perantara S. Sudjojono setelah Bung Karno mengetahui perihal model poster Affandi itu.

Dalam berkarya, Dullah sendiri mengakui bahwa ia banyak dipengaruhi oleh Sudjojono dan Affandi, walau jelas terlihat dalam lukisan-lukisannya ia memiliki gaya amat berbeda dari mereka. Pada 1940-an, Dullah banyak merekam perjuangan revolusi di atas kanvasnya. Namun, setelah ia menjadi pelukis istana pada 1950-an, ia lebih banyak mengurasi koleksi Bung Karno, melukis apa yang diminta Beliau, dan kadang-kadang menemani Bung Karno melukis.
Selain tema-tema perjuangan, dengan gaya realisnya, Dullah banyak mengeksplorasi pemandangan alam sebagaimana lukisan-lukisan potret lainnya. Sebagai pelukis istana, ia sering diajak berpergian oleh Bung Karno, dan diminta melukis pemandangan atau hal tertentu yang pada saat berpergian itu menarik hati Bung Karno.

Karakteristik umum yang nampak pada lukisan Dullah, antara lain, warna gelap cenderung kusam, cat tidak tebal, dan subyek lukisannya berkisar pada model, aktivitas keseharian, dan pemandangan alam. Ia menghadirkan subyek dalam kesehariannya yang amat biasa, seakan tanpa mengalami ’perbaikan’ sebagaimana yang sering dilakukan oleh pelukis ’mooi indie.’ Di samping menggambarkan aktivitas masyarakatnya, ia juga merekam detail ekspresi wajah mereka.

Dibanding dengan lukisan realis bertema keseharian itu, hanya sedikit tema perjuangan yang diolah Dullah, di antaranya adalah ”Persiapan Gerilya” dan ”Praktek Tentara Pendudukan Asing.”

Dalam melukis, Dullah sangat memperhatikan efek pencahayaan dan perspektif. Ada ’efek blur’ pada lukisan Dullah sehingga garis kontur subyek tidak jelas terlihat - menggunakan istilah Wolffin, ’painterly.’ Efek ’painterly’ ini tampak dalam subyek lukisan Dullah yang memang tidak tajam konturnya, cenderung membulat, berkesan tanpa batas (tepi), blur. Lihat, misalnya pada ”Barong Dance” dan ”Balinesse Procession.” Dibanding kejelasan subyek lukisan, di sana suasana yang lahir dari efek cahaya dan peristiwa barong atau prosesi adat di Bali lebih dominan.
Begitu pula pada beberapa lukisan figur Dullah, yaitu ”Nenek dan Cucu” (1979), dan ”Portrait of a Woman (1976).” Ekspresi wajah diangkat melalui efek ’painterly’ tersebut. Kecenderungan demikian terdapat pada Rembrant, Renoir, Pierre Bonnard, antara lain. Kecenderungan ”painterly” dibedakan dengan ”linearity” yang dihasilkan oleh Ingres, dan Vermeer, misalnya.
Tidak berbeda jauh dengan lukisan potret, sekilas, pada lukisan pemandangan Dullah, selain memiliki ciri realis, juga impresionis. Penekanan cahaya dan bayangan pada ”Kebun Sajur,” ”Ngarai Minangkabau,” dan ”Pemandangan di Kintamani” misalnya, terlihat pengolahan cahaya (terang-gelap) dan sapuan kuas yang jelas terlihat dan menghasilkan kesan lembut.

Penggunaan warna-warna gelap-kusam pada lukisan Dullah dan ketidakkontrasan antara warna latar dan figur, agaknya, memberi kesan keruh, lembut, dan lampau pada lukisan Dullah. Pendek kata, secara umum, lukisan Dullah memiliki ’tone’ monokrom – ’senada.’ Lihat pada, misalnya, ”Halimah Gadis Atjeh” – pakaian daerah yang dikenakan gadis itu berwarna hijau lumut-kecokelatan, dengan efek cahaya samping, dan latar belakang pun berwarna seragam, hijau kekuningan, kecokelatan. Demikian pula pada lukisan ”Kebun Istana Presiden Soekarno Sewaktu di Jogja” yang menekankan dominasi gelap-terang hijau-kuning sebagai ’tone’ dominannya.

Dullah, yang lahir di Solo dari keluarga pembatik ini, selain bekerja pada Bung Karno, juga mendirikan HBS (Himpunan Budaya Surakarta) pada 1950, menjadi pimpinan Sanggar Pejeng, Bali pada 1974, dan mendirikan museum Dullah pada 1988 di Jl. Cipto Mangunkusumo, Solo, dengan arsitektur tiga gaya: Jawa, Cina, dan Hindu. (IndoArt-014)

-sty-

Basoeki Abdullah (1915-1993)

“Yang Cantik” dan Nasionalisme dalam Seni Rupa


Nama Basoeki Abdullah hampir tidak bisa dilepaskan dari “yang cantik.” Dalam konteks Basoeki dan lukisan-lukisannya, “yang cantik” ini berarti sesuatu (fisik) yang dapat dilihat (visible), yaitu tubuh dan wajah wanita cantik dan keindahan pemandangan alam. Selain pelukis potret, ia dikenal dengan seorang pelukis pemandangan alam. Seni lukis ini berkembang, selain karena pengaruh pendidikan Eropa, di mana Basoeki bersekolah, juga karena gaya hidup kelas menengah atas Eropa waktu itu. Seni lukis, waktu itu, dipandang sebagai sarana pelepasan (katarsis) bagi penikmatnya.

Dan bagi pelukisnya, melukis seni lukis pemandangan semacam itu butuh keahlian khusus untuk menampilkannya agar ‘lebih indah’ dari aslinya. Maka, salah satu kecenderungan seni lukis pemandangan alam ini, dalam catatan Sanento Yuliman, adalah “memperbaiki alam.” Alam yang terlihat bersemak-semak, rimbun, mengerikan, dalam lukisan, harus tampak indah, molek, cantik, dan selalu didambakan. Kecenderungan ini tampak pula dalam lukisan potret Basoeki, dan pemandangan-pemandangan alamnya, juga lukisan mitologi dan pertempuran alam gaib yang lebih menampilkan keindahan daripada kengeriannya.

Karena itu, pose menduduki tempat penting dalam lukisan Basoeki. Pose model dalam lukisan potret harus tertata, sehingga hampir tidak terlihat pose alami di sana. Beberapa yang nampak ‘alami’ pun selalu harus sudah melewati sentuhan ‘perbaikan’ agar tampil sebagai ‘foto model.’ Misal saja sosok gadis berselendang merah yang memegang selendangnya separuh menutupi tubuhnya, Selendang Merah (1960).

Julukan ‘pelukis istana’ didapatnya ketika ia melukis tokoh-tokoh kenegaraan di negara yang ia singgahi. Maka, Selain Soekarno, Bung Hatta, Soeharto, Ibu Tien, ia juga melukis wajah Ratu Juliana (1981), Imelda Marcos (1981), Mahatir Muhammad (1985), Tengku Abdurahman (1981), Paus Johannes Paulus II (1989), Ratu Sirikit, Bhumidol Adulyadej, dan beberapa anggota kerajaan Thailand. Ada pula lukisan yang berakrakter romantisme eropa ala Delacroix ketika ia bermukim di Spanyol, antara lain Pertarungan Adu Banteng (1954), dan Salome and the head of St. John (1954).

Selain itu, ada pula potret berbagai gadis dari berbagai negara, misalnya Gadis Sunda (1951), Gadis Pakistan (1951), dan Gadis Thailand Berpayung. Kemudian, tema mitologi juga sentral dalam karya Basoeki, misal Jaka Tarub (1959), Gatutkaca dan Antasena Sedang Duel (1955), Nyi Roro Kidul, dan lainnya. Selain itu, Basoeki juga membuat beberapa sketsa revolusi, walau pada saat revolusi Basoeki tak ada di Indonesia sehingga pada waktu kepulangannya ke Indonesia pada 1974, ia ditanggapi ‘dingin’ oleh sesama pelukis. Keindahan alam di Quilin, Cina, juga tak luput dari kuasnya. Demikian juga tema agama, lukisan Maria diangkat ke Surga yang tampil unik karena menampilkan sosok Maria berkarakter wajah Indonesia, dan latar belakangnya juga tanah Indonesia.

Mungkin karena itulah ia sering berseberangan dengan Sudjojono, pelukis yang terkenal dengan realisme dan tema-tema perjuangannya. Sudjojono pernah berkomentar perihal tiadanya nasionalisme pada diri Basoeki karena yang digambar Basoeki hanya seputar wanita cantik dan pemandangan alam. Basoeki, walau sempat bergabung dengan Putera (Pusat Tenaga Rakyat) dan Keimin Bunka Shidoso, tidak banyak menghasilkan lukisan yang bertema dan berjiwa perjuangan.

Namun, di lain pihak, Basoeki, dalam arti tertentu mungkin bisa juga dikatakan nasionalis, karena, dalam komentar Abas Alibasyah, Basoeki berperan “mendekatkan Indonesia dengan sebagian besar pemimpin di Asia dengan melukis tokoh-tokoh tersebut.” Menarik mungkin, bagi siapa pun yang mau mengadakan penelitian mengenai Basoeki dalam perdebatan mengenai nasionalisme dalam seni rupa, dan perbandingannya dengan Raden Saleh, misalnya.
Basoeki Abdullah, anak dari Abdullah Surio Subroto (pelukis), dan cucu dari Dr. Wahidin Sudirohusodo (1857-1917), tokoh pergerakan nasional ini meninggal karena dibunuh di rumah kediamannya, Jl. Keuangan Raya Cilandak (sekarang Museum Basoeki Abdullah), oleh tukang kebunnya sendiri yang berniat mencuri koleksi jam tangannya. (IndoArt-014)

-sty-

Amang Rahman Jubair (1931-2001)

Penantian Yang Hening


Ada satu jalan
Ku tak tahu
Di langit
Atau di bumi
Ketika aku bicara
Aku bicara pada diri sendiri


Demikian bunyi salah satu puisi berjudul “Puisi Dua” (1991) karya Amang Rahman, pelukis yang juga penulis sastra, dan pernah menggeluti dunia teater, srimulat, dan ludruk.

Kediaman, kesunyian, dan kesendirian adalah suasana yang tampak pada lukisan Amang Rahman. Di sana ia merenungkan kesatuan antara semesta dirinya, jagad cilik (jagad alit, mikrokosmos) dan alam raya, jagad gedhe (makrokosmos). Selain lewat kata, renungan itu disanpaikannya lewat warna-warna dalam karya lukisnya.

Kendati pun ia dikenal sebagai pelukis kaligrafi, Amang juga banyak melukis figuratif yang nonkaligrafi. Dalam lukisan nonkaligrafinya, ia menghadirkan garis-garis semacam garis cakrawala, sosok-sosok anonim, dan juga beberapa bentuk, seperti bulatan (semacam bulan, biasanya juga berwarna serupa bulan), garis-garis semacam awan, angkasa. Ia seperti sedang melukis relasi antar kedua jagad itu.

Sekitar 1970-an, kaligrafi modern Islam mulai menjadi kecenderungan di Indonesia, dan marak pada festival Istiqlal I (1991) dan II (1995). Selain Amang, beberapa pelukis yang tergolong pelukis kaligrafi adalah Ahmad Sadali, AD Pirous, Abay Subarna, Amri Yahya, Syaiful Adnan, Hatta Hambali, dan lainnya.

Salah satu pendiri dari Dewan Kesenian Surabaya dan penggagas Aksera (Akademi Seni Rupa Surabaya) ini tidak hanya suka bicara mengenai kematian. Ia juga merenungkan kematian - ketiadaan itu. Maka, tak heran jika ia cukup sering ditemukan sedang berdiam diri di makam-makam tua, misalnya makam Eyang Puspo, Bupati Pertama Gresik.

Salah satu keunikannya adalah bahwa Amang mengolah “warna surga” seperti yang sejak dulu dipahaminya, yaitu “hijau yang bukan hijau” dan “biru yang tidak seperti biru yang ada.” Amang mengikuti kata kakeknya yang pernah mengatakan bahwa surga itu warnanya biru, namun biru yang tidak seperti biru di dunia. Penasaran masa kanak-kanak itu mendorongnya mengeksplorasi warna-warna biru, biru kehijauan, biru kehitaman, dan sebagainya. Karena itu, biru kelam cenderung gelap mewarnai sebagian besar karyanya, mengesankan kesenduan, kesunyian, kedalaman. Dan untuk lebih menemukan apa yang “dalam” dan “jauh” dan “misterius” dari surga itu, ia menggunakan efek pencahayaan, gelap terang sehingga yang tampil, baik dalam lukisan kaligrafinya dan nonkaligrafinya, adalah lipatan-lipatan, keratan-keratan.

Sebahagian Doa Akasyah (1994), misalnya. Warna monokrom biru mendominasi seluruh bidang, dan ayat-ayat doa itu tampak seperti lipatan, cekungan, dan cembungan. Kesan tegas dan tajam terpancar dari pengolahan efek cahaya itu. Karya ini ditujukan untuk sahabatnya, K. H. A. Mustofa Bisri.

Selain biru dan hijau, warna yang sering digunakan Amang adalah kuning. Efek cahaya diperkuat dengan kuning, dan kesan “agung,” “megah” itu muncul. Ilaaha Illallah (1995) dengan tegas menggunakan paduan antara kuning, hijau, biru, dan hitam seakan-akan menggambarkan Tuhan. Selain itu, jenis kuning matang kecokelatan dieksplorasi juga dalam Ya Rachman Ya Rahim (1993).

Lukisan-lukisan Amang sarat dengan bahasa simbol. Bahasa ungkap yang sederhana dan sangat simbolis. Sebagian besar figurnya tanpa ekspresi wajah yang detail, hanya serupa wajah anonim yang sedang berada pada posisi semacam bersila, berlari, melayang, berdiri, duduk, diam, menanti. Tubuh-tubuh itu seperti sedang menanti sesuatu. Karena itu, mungkin, Lukisan Amang kerap diidentikkan dengan gaya surealis, sufis, mistis, dan spiritualis.

Figur-figur yang hadir dalam lukisannya tampak seperti lekukan-lekukan kaligrafinya, misalnya pada Impresi sebuah Lagu (1992), dan Berita Akhir Tahun (1990). Figur-figur itu juga sering tampil secara berulang (repetitif) membentuk irama dalam lukisannya. Dua atau lebih sosok, dengan ukuran yang berbeda, tampak seperti bayangan, pantulan cermin. Misalnya, Nenek (1976), Kasih Sayang (1988), dan Perjalanan Malam (1982) yang menggambarkan kisah Buraq.
Pengolahan penghayatan terhadap jagad kecil dan jagad besar tampak, misalnya Dalam Kehidupan Ini (1994), Meditasi (1991), Impresi Gerhana (1995), Lalu Kudekap Dia (1997), Alam di Luar Alam di Dalam (2000). Demikian juga imaji tentang keseimbangan, Yin-Yang dihadirkannya lewat Putaran Keseimbangan (1999) yang menggunakan paduan warna biru- hijau kehitaman serta bulatan-bulatan bak simbol Yin-Yang. (IndoArt-14)

-sty-

Ahmad Sadali (1924-1987)

“Ulul-al-bab:” Bahasa Rupa Sadali


Ahmad Sadali, pelukis kelahiran Garut, 1924, yang dikenal sebagai Bapak Seni Lukis Abstrak ini, menemukan relasi yang erat antara ilmu pengetahuan, seni, dan agama dalam seni rupa Islam. Ia, selain pelukis modern yang sekular, juga menjadi aktivis islam, posisi yang tidak lazim dalam sudut pandang keislaman umumnya.

Namun, surat Ali Imron, 190-191 dalam Al Qur’an sendirilah yang menjadi dasar kuat bagi posisi yang diambil Sadali itu. Di sana termuat bahwa manusia dianugerahi tiga potensi, yaitu berzikir, berpikir, dan beriman untuk menjadi “manusia ideal dan paripurna” (ulul-al-bab). Pendeknya, manusia harus mengembangkan akal, logika, daya pikirnya melalui ilmu pengetahuan, daya cipta, rasa, dan imajinasinya melalui seni (wilayah zikir), dan mengembangkan keyakinannya (wilayah iman).

Maka, seni, menurut Sadali, tak bisa dipisahkan dari daya zikir seseorang. Bagi Sadali, kemampuan zikir yang makin baik akan mempertajam kepekaan estetik seseorang. Dalam seni pun, Sadali mengungkapkan keterkaitan yang tak terpisahkan antara akal, rasa, dan iman itu.
Dalam lukisan abstrak Sadali, terlihat adanya konsep (pemikiran Sadali mengenai seni lukis), sensasi (rasa yang dicapai lewat warna, efek, dan bentuk visualnya), juga keyakinan (lewat format bidang, pilihan warna, dan seringkali juga lewat ayat-ayat yang dicantumkan di sana). Ketiganya (akal, iman, dan rasa) menyatu dalam lukisan Sadali yang adalah eksplorasi “budidaya rupa” (istilah Sanento Yuliman).

Sanento menyebutkan tiga hal pokok dalam lukisan Sadali, yaitu sosok, latar, dan format bidang. Kalau dilihat lebih cermat, pengolahan relasi tiga elemen itu tampak dalam tekstur, garis, komposisi, semacam ‘tema’ ala Sadali: bongkahan, jajaran, susunan, dataran, gunungan, dan semacamnya hingga tampak di sana efek lelehan, bercak, lapukan, patahan, kerutan, pecahan, sobekan, dan lipatan.

Melalui pengolahan tekstur, garis, bidang, dan warna-warna kelam (oker, biru, ungu, hijau, hitam, cokelat) dipadu dengan warna emas (membentuk kontras dan menonjolkan ‘sosok’ lukisan), serta format bidang sehingga tampak membentuk komposisi melingkar, vertikal, horizontal, membelah, menyilang, dan sebagainya, Sadali bicara tentang ketajaman rasa. Di sana ia mengolah “bahasa ruang,” “bahasa indera” – melatih pencerapan visual kita. “Sosok,” semacam ‘figur’ utama yang kerap ditonjolkan Sadali berupa sobekan, lelehan emas, tampak kontras dengan latar, namun berelasi erat. Kadangkala ‘sosok’ ini berupa bentuk geometris yang tak rata sisi-sisinya, batang-batang, garis, titik-titik (“Batang Horizontal dengan Emas Ungu Biru” (1987), “Bongkahan Kayu dan Sisa-Sisa Emas” (1980), misalnya). Selain tampak dalam elemen visualnya, keterkaitan sosok dan latar itu juga terlihat dari judul yang diberikan Sadali, “Lelehan Emas Pada Bidang Ultramarin” (1973), “Gunungan dengan Garis Vertikal Biru” (1974) yang dengan langsung menyatakan bentuk visual dan warnanya.

Relasi antara susunan kata, latar, sosok dan format bidang juga menyatakan kehadiran bersamaan antara elemen akal, logika: ia bicara mengenai “bidang-bidang yang disusun,” atau ”bahasa ruang,” rasa, sensasi inderawi: kerutan yang digabung dengan lipatan, patahan, memisah, atau membelah bidang (“Bongkahan Emas Latar Merah dan Hijau” 1976), “Bidang Melintang dengan Sisa Emas” (1987), dan keimanan: efek tiga dimensional, ketuaan, kerinduan, dan sebagainya melalui simbol, misalnya “Gunungan Emas” (1980) dengan warna-warnanya yang terkesan “berat,” juga format segitiga tiga dimensi (limas), dan sobekan, patahan, guratan hitam keemasan, agaknya, di sini, dapat dikatakan sebagai ekspresi pengalaman religius melalui citra misterius, fana, simbolis, tua.

Maka, dengan judul yang menunjuk langsung pada relasi antara sosok, latar dan format bidang itu, Sadali, lulusan ITB di bawah bimbingan Ries Mulder, mendapat beasiswa belajar ke Amerika, dan mengembangkan seni lukis abstrak dengan spiritualitas Islam ini, agaknya, tidak bermaksud harafiah. Sebaliknya, ia, dengan kegamblangannya, kejelasan judul dengan gambarnya itu, menuntun kita untuk melihat lebih jauh, wilayah zikir itu: mengenal persepsi, rasa, daya cerap indera kita – melihat dengan sungguh-sungguh, perlahan-lahan, satu demi satu – melalui garis, tekstur, bidang, dan warna dalam lukisannya. (IndoArt-014)

-sty-

(Re)Posisi Jendela Yogyakarta

Catatan FGD Reposisi Taman Budaya (Yogyakarta)



Suatu pemandangan yang sudah lazim bila setiap hari menjelang sore, Taman Budaya Yogyakarta, yang diapit oleh Pasar Beringharjo dan pasar buku “shopping,” terlihat ramai dikunjungi. Uniknya, jenis kunjungan yang terjadi bukan lah kunjungan dalam arti ada pementasan, atau acara pameran tertentu, melainkan kedatangan, baik direncanakan mau pun spontan, untuk berbagai keperluan, baik yang terjadwal di TBY, atau pun yang tak terjadwal di TBY, misalkan sekelompok anak SD yang datang hanya sekadar untuk bermain-main, atau orang-orang nongkrong berbincang di selasaran depan ruang pamer, tanpa ada event tertentu.

Layaknya taman, seluruh area TBY, walau tak tampak padat atau penuh sesak, tampak berfungsi dengan sendirinya. TBY bukan lah gedung yang “disegani” atau hanya dikunjungi bila ada acara tertentu, melainkan terbuka bagi siapa saja dalam keadaan tanpa acara pun. Pendek kata, TBY bak “taman” – walau bukan taman kota seperti yang kita kenal - berumput dan banyak tanaman, melainkan ruang – taman sebagai ruang publik yang bisa diakses siapa saja, dengan kepentingan apa pun, terutama yang berkaitan dengan aktivitas kesenian.

Maka tak heran bila kemudian, selain mungkin pertemuan panitia acara, kita juga melihat sekelompok anak berseragam sekolah berlatih teater, tari, atau dansa kontemporer dengan musik pop-rock masa kini, atau juga orang-orang tua yang bercengkerama, orang-orang nongkrong sendiri, atau bersama, bertemu, makan minum di kantin, beberapa di kantor sekretariat kegiatan, atau art shop, dan sebagainya. Pendek kata, TBY menjadi semacam ruang publik yang bisa difungsikan untuk apa saja.

Begitulah sekilas gambaran suasana TBY sekitar tiga tahun terakhir ini, paling tidak, yang terasa dan teramati oleh saya. Berbagai kegiatan segala usia hadir di sini. Mungkin, dari sisi ini, kita bisa mengatakan bahwa TBY telah menjadi semacam ruang belajar dan bermain masyarakat Yogyakarta.

Kemudian, tepatnya pada 28 Februari 2011 lalu, terjadi pergantian (yang dianggap mendadak oleh seluruh komunitas seni Yogya) terhadap kepala TBY, Dyan Anggraini. Dyan digantikan oleh GPH Yudhadiningrat. Setelah menjabat sejak 1989, dan menjelang pensiunnya dua tahun kemudian, Dyan Anggraini secara mendadak digantikan oleh GBPH Yudhaningrat. Bu Dyan dipindah ke bagian lain, yaitu sebagai Kepala Bidang Tradisi, Seni, dan Film di lingkungan Dinas Kebudayaan DIY.

Perpindahan itu menimbulkan kekhawatiran di kalangan para seniman dan komunitas seni yang sudah demikian akrab dengan Bu Dyan, bahwa Gusti Yudha akan punya kebijakan yang jauh berbeda dari Bu Dyan, kebijakan yang belum tentu bisa memfasilitasi gairah kesenian warga Yogya.

Tulisan ini merupakan catatan dan tanggapan mengenai diskusi yang diadakan atas kerjasama Mata Jendela, Taman Budaya Yogyakarta, dan Dewan Kebudayaan DIY sehubungan dengan pergantian Kepala TBY itu. Forum ini diberi nama FGD (Focus Group Discussion) kemudian diberi judul “Reposisi Taman Budaya (Yogyakarta)” berlangsung di ruang seminar TBY, 9 April 2011. Peserta inti diskusi ini antara lain: Ons Untoro (perwakilan Rumah Budaya Tembi), Hairus Salim (Perwakilan Pers, bekerja di Majalah Seni Budaya GONG), Rain Rosidi (dosen Fakultas Seni Rupa ISI dan kurator independen), Lono Simatupang (dosen Fakultas Ilmu Budaya, UGM), Aprinus Salam (dosen Fakultas Ilmu Budaya, UGM), Kuskrido Dodi Ambardi (Direktur Riset LSI, dosen Fisipol UGM), Wisnu Martha Adiputra (dosen Jurusan Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial Politik, UGM), Gunawan Maryanto (aktivis Teater “Garasi”), dengan moderator Kuss Indarto dan Suwarno Wisetrotomo (redaksi Mata Jendela).

Maka, dalam tulisan ini, secara berurutan akan disampaikan, pertama, “(Re)Posisi” berisi latar belakang yang memicu FGD bertema Reposisi ini, kedua, “Reposisi (tanpa) Posisi” yang secara khusus meneropong empat kecenderungan sikap dan ide pada peserta diskusi, ketiga, “Jendela Yogyakarta: Kreatif, Informatif-Dokumentatif, Apresiatif,” semacam catatan akhir atas diskusi ini.


1. (Re)Posisi

“TBY butuh siluman,” kata Ons Untoro. Dalam konteks TBY, siluman, menurut Ons, “Bukan orang, melainkan komunitas yang bisa diakomodasi.” Pendek kata, TBY butuh komunitas-komunitas yang mampu mendinamisasi geraknya. Komunitas yang istilahnya “Siluman” ini bisa berfungsi sebagai ‘tandingan’ dari corak birokrasi-hirarki. Ons memberi contoh sosok Halim HD di TBS (Taman Budaya Surakarta). Halim merupakan seorang “aktivis” kesenian yang bisa menjadi motor bagi berbagai kegiatan kesenian di kota itu.

Nampaknya, dari peserta diskusi, Ons lah yang terang-terangan menentang kemungkinan munculnya birokrasi baru, tatanan hirarkis yang nantinya (diramalkan) akan terbangun di TBY setelah Bu Dyan tak lagi menjabat sebagai kepala TBY.

Pindahnya bu Dyan secara tiba-tiba ini menimbulkan banyak dugaan, mungkin terkait dengan kasus penggelapan artefak merapi di JNM beberapa waktu lalu, atau dengan “debat” bu Dyan dengan Djoko Dwianto, kepala Dinas Kebudayaan DIY.

Posisi Bu Dyan sekarang, agaknya, membatasi ruang geraknya karena ia tak lagi ikut campur di level operasional, melainkan di level ‘konseptual.’ Padahal, Dyan, diakui para seniman, merupakan sosok yang mampu mengakomodasi berbagai kepentingan sehingga membuat TBY “hidup” sebagai ruang bersama. Karena itu, kepindahan bu Dyan ke bagian lain ini banyak disesalkan oleh para seniman dan berbagai komunitas seni di Jogja. Dan mereka ragu, khawatir akan adanya pimpinan baru yang masih diragukan kedekatannya dan keterbukaannya di dunia seni rupa.

Mengawali diskusi, Gusti Yudha mengetengahkan problem. Bagi Beliau, masalah yang terjadi di semua Taman Budaya di kota mana pun, adalah kenyataan bahwa keberadaannya selalu dinomorduakan di daerahnya. Karena itu, disepakati bahwa Taman Budaya ikut pemerintah pusat, baik dalam hal dana maupun fasilitas.

Tapi nampaknya, kalau pun dalam forum diskusi problem ini sedikit banyak disinggung, namun bukan ini yang agaknya menjadi latar belakang FGD ini.

Bagi kalangan seni rupa, nampaknya, yang jadi masalah, kalau bisa dirumuskan di sini, “Bagaimana nasib TBY nantinya di tangan Gusti Yudha, setelah ditinggal Bu Dyan, yang notabene lebih dianggap memahami dunia seni rupa?” Apakah sosok Gusti Yudha akan menjadi pengejawantahan “birokrasi,” atau ia bisa dengan terbuka ‘melanjutkan’ suasana kebersamaan ‘warisan’ Bu Dyan? Hal ini perlu diperhatikan mengingat Yogya, dengan suasana yang diistilahkan Lono sebagai “suasana workshop,” tak bisa difasilitasi dengan model birokrasi bercorak hirarkis.


2. Reposisi (tanpa) Posisi?

Pertanyaan pentingnya, mungkin yang utama ketika bicara mengenai reposisi TBY adalah: Posisi mana yang direposisi? Posisi TBY (kini) dianggap bermasalah sehingga perlu reposisi? Posisi sekarang yang dipimpin Gusti Yudha? Atau posisi sebelumnya semasa Bu Dyan?

Menilik hasil diskusi, setidaknya, ada empat sikap yang ‘menjangkiti’ peserta diskusi sehubungan dengan cara mereka memahami problem di balik reposisi ini. Pertama, reposisi atas posisi TBY sewaktu kepemimpinan Bu Dyan. Mereka yang memahami dari sisi ini berkecenderungan mengadakan evaluasi atas kinerja TBY selama ini. Maka muncullah masalah mengenai visi misi TBY, kekurangan dan kelebihan, serta cita-cita, harapan mereka atas TBY ke depan. Sikap ini bisa diamati pada Dodi, Lono, Salim, Wisnu, dan Aprinus.

Kedua, reposisi atas posisi TBY di masa kepemimpinan (baru) Gusti Yudha, mereka ini lah yang punya dugaan kuat, kecurigaan dan kekhawatiran akan adanya kepentingan lain di balik rotasi Bu Dyan. Sikap ini terlihat pada Ons dan Thomas. Mereka memahami problem reposisi terletak pada peralihan jabatan itu.

Ketiga, posisi peralihan – posisi semacam “jembatan penghubung” antara TBY masa lalu dan TBY masa depan. Sikap ini bisa dilihat pada Gunawan yang sering berhubungan langsung dengan, khususnya fasilitas fisik TBY. Posisi keempat bisa dikatakan posisi “apatis.” Kita bisa ambil contoh Rain yang tampak tak terlalu banyak berpikir apakah TBY akan tetap sebagai ruang publik, atau tidak – seakan ingin mengatakan, “Tak harus TBY, toh banyak ruang publik lain di Yogya ini.”


2.1 Sikap Pertama: Mimpi untuk TBY

Kecenderungan paling tampak pada sikap pertama ini yaitu mengevaluasi kinerja TBY selama ini (semasa kepemimpinan Bu Dyan, walau tak pernah menyebut saat TBY dipimpin Bu Dyan), dan mengungkapkan harapan-harapan atas TBY di masa akan datang.

Sikap ini muncul karena berbagai hal, salah satunya kenyataan bahwa mereka tak secara khusus mengikuti, mengamati gerak laju TBY sehingga mereka belum berhasil memetakan problem TBY. Karena itu, pandangan-pandangan yang muncul sebagian besar berisi pemikiran umum mengenai Taman Budaya, khususnya harapan-harapan untuk TBY di masa depan.

Dari sisi reposisi, sikap pertama ini seakan-akan sedang mengadakan “reposisi” TBY dengan melihat peran dan fungsi TBY secara umum sepengalaman mereka (tanpa menyadari sungguh bahwa “TBY selama ini” berarti “TBY semasa dikepalai Bu Dyan”). Maka, tampak di sini seakan mereka sedang mengadakan “urun rembug,” mencari, memilih, menetapkan posisi TBY untuk masa akan datang.

Kendati pun, menurut Ons, menanggapi peryataan Dodi bahwa masalahnya belum diungkap oleh para pembicara di sesi pertama (Ons, Rain, Salim, Gunawan), Dodi sebenarnya ingin membuka persoalan yang tak diungkap di sini (yang notabene bisa ditarik Ons menjadi persoalan kepentingan yang disembunyikan, semacam “upaya untuk sembunyi”), namun, dalam pemaparan Dodi selanjutnya, ia tak tampak kuat memiliki “kecenderungan” politis seperti Ons. Maka, Dodi agaknya lebih pas menduduki “sikap” pertama ini.

Dodi nampak membaca problem TBY tak berkaitan langsung dengan pergantian pimpinan, melainkan problem kinerja TBY sesuai dengan pengalamannya. Wisnu, sebaliknya, tak banyak menemukan problemnya, namun ia memberi usulan konkret atas TBY. Demikian juga Salim yang cenderung berharap TBY bisa menjadi partner dalam pengembangan apresiasi seni. Posisi Lono tak jauh berbeda, ia memberi masukan mengenai TBY dan jaringan-jaringannya, juga Aprinus yang melihat problem besar TBY dikaitkan dengan Indonesia.

Dodi memahami problem dari pengalaman. Ia berangkat dari “frustrasi” nya terhadap visi misi TBY yang sesuai pengalamannya, jauh dari sempurna. Ketertarikannya pada dunia teater sejak 1986 meningkatkan rasa ingin tahu segala sesuatu yang berkaitan dengan dunia teater. “Sejarah teater di jogja, “eksplorasi eksperimen estetika, pergeseran pendekatan, dan mengenai teater sampakan yang khas jogja,” antara lain hal-hal yang diharap bisa dicari dan didapatnya di TBY. Namun, sayang, ia tak dapat menemukannya.

Kedua, Dodi juga berangkat dari harapannya atas keberadaan ruang seni yang bisa dijadikan lahan pendidikan budaya dan karakter anak, sesuai pengalamannya di Amerika, ada workshop membuat tembikar, membaca cerita, dan sebagainya, sehingga ia “nyaman melepas anak di sini.” Pendek kata, ia ingin “TBY menjadi semacam orang tua yang membawa anak jadi dewasa melalui muatan seni dan budayanya.” Maka, ia juga berharap ada semacam “Baliho kegiatan di TBY yang berisi acara dan target penonton, keterangan mengenai layak tidaknya suatu acara untuk disuguhkan pada anak.”

Problem Dodi, diakuinya, lebih sebagai problem awam yang mencari sesuatu dalam TBY. Mencari informasi, mencari ruang bermain dan belajar. Maka, baginya, reposisi TBY berangkat dari masalah-masalah itu. Paling tidak, bagi Dodi, TBY harus merumuskan secara tegas perihal keharusan TBY memilih prioritasnya, apakah akan berfokus ke ekonomi perkotaan, atau kah kultural-edukatif, misalnya. Dari sana baru ditentukan berbagai langkahnya. Sekilas, usulan Dodi tampak sangat sistematis. Ia berangkat bahkan dari tataran konsep, sampai pada implementasinya.

Harapan Dodi, TBY juga bisa menjadi “Jendela Yogyakarta’; dalam arti orang bisa belajar dan paham kultur Yogya melalui dokumentasi dan informasi di TBY.

Seperti Dodi, dokumentasi memang menjadi masalah penting yang harus diperhitungkan oleh TBY. Bahkan, kalau perlu, demi dokumentasi, TBY bisa bekerjasama dengan berbagai organisasi dan media, misalnya GONG. Dodi memberi contoh, kalau TBY tak memadai mengenai seni tradisi, misalnya, link bisa diarahkan ke GONG.

Dalam hal jurnalisme, Salim (yang pernah mengelola GONG Majalah Budaya, sekarang tak terbit lagi, hanya ada website yang melayani kebutuhan dokumentasi, khususnya foto, di www.gong.tikar.or.id) mengaitkannya dengan kesenian. Sesuai pengalamannya dengan GONG, secara khusus, Salim menyatakan bahwa kita memiliki persoalan apresiasi, khususnya dalam hal seni, “Bagaimana peristiwa kesenian disampaikan ke masyarakat melalui media, dalam hal ini, cetak?”

“Jurnalisme kesenian kita lemah,” ungkapnya. Hal ini, menurut Salim, terbukti dari, khususnya, dua hal: pertama, minimnya peristiwa kesenian yang dilaporkan (hanya yang terkesan “besar,” dan dianggap “punya pamor” saja), di antara sekian banyak acara kesenian, terlebih yang hanya diadakan oleh segelintir orang, atau komunitas kecil. Kedua, peristiwa yang ditulis pun hanya berupa berita, bukan tulisan kritik, atau apresiasi. Dua hal itu pernah dicita-citakan GONG, namun sayangnya, gagal.

Maka, TBY, diharapkan Salim, bisa menjadi partner dalam pemberdayaan tradisi “mengapresiasi seni.” Sangat disayangkan juga, oleh Salim, bahwa istilah-istilah semacam, “presiden penyair” yang dulu muncul sebagai ekspresi jurnalisnya atas hal yang ditulisnya, atau memberi “nama” bagi fenomena tertentu, kini tak ada.

Praktisnya, menurut Salim, aspek pemberdayaan apresiasi ini dapat dilakukan TBY dengan mengadakan berbagai acara, misal workshop penulisan apresiasi, misalnya seperti pernah dilakukan oleh IVAA dan Kedai Kebun.

Agak sedikit berbeda nuansa adalah Wisnu, yang lebih tampak sebagai “pengamat.” Bagi Wisnu, dibandingkan dengan Gelanggang Remaja dan Taman Budaya di Lampung yang masih “tipikal Orba”, TBY jauh lebih hidup. Wisnu tergugah dengan pertunjukan musik Efek Rumah Kaca. Dari situ ia mulai melihat ada pergeseran dalam TBY: TBY sekarang cenderung mengarah ke anak muda, budaya populer yang santai, demoratis, dinamis, gaul. Dan baginya, ini suatu kemajuan. TBY diharapkan Wisnu juga mampu “memanfaatkan teknologi untuk mengembangkan budaya, yang bisa mengundang anak muda untuk mengurusnya agar dinamis.”

Sementara Wisnu mengamati dari sudut pandang penikmat, pengamat lepas, Lono memposisikan dirinya dari sudut pandang lain, “Saya berusaha melihat dari sudut pandang dinas,” kata Lono Simatupang, yang memiliki pengalaman khususnya berkaitan dengan kebijakan negara atas kebudayaan. Singkatnya, dari perspektif itu lah Lono melihat reposisi TBY dalam arti sinerginya dengan berbagai elemen, misalnya Diperindag, Pariwisata, serta lembaga-lembaga lain.

Menurutnya, tiga pilar yang bersinergi, namun belum didukung dengan kebijakan yang matang, adalah pendidikan, kebudayaan, dan pariwisata. Dari sisi ini juga Lono mengungkapkan kemungkinan efek ekonomi dari kegiatan budaya yang selama ini kurang diperhitungkan. Bagaimana, misalnya, pertunjukan budaya seperti Reog Ponorogo, punya efek ekonomi bagi negara?

Tak hanya di Yogyakarta, dalam diskusi ini, pembicaraan mengenai TBY diperluas berkaitan dengan strategi politik negara. Hal ini dilakukan mengingat nasib Taman Budaya di kota-kota lain. Pada kenyataannya, Taman Budaya di beberapa kota keberadaannya lebih ‘tragis.’ “Ada yang dibubarkan, cantolannya nggak jelas di dinas-dinas mana saja, orientasinya juga tak jelas …” demikian ungkap Suwarno.

Maka, sesi kedua diskusi, secara khusus membahas TBY berkaitan langsung dengan keberadaan TBY sebagai, apa yang dikatakan Suwarno “representasi negara terhadap aktivitas kebudayaan.”

Posisi TBY, Indonesia, dan perihal keindonesiaan dibahas secara khusus oleh Aprinus Salam. Ia mengaitkan TBY dengan politik identitas. Aprinus mengenang Hamengkubuwono IX yang pernah mengatakan bahwa kita telah dilokalkan oleh politik identitas. Bagi Aprinus, HB IX “mengajarkan posisi jadi orang Jogja tapi berpikir Indonesia.”

Maka, “TBY berpeluang mengatasi politik identitas – dia harus melampaui – tak hanya berpikir mengenai “keyogyakartaan,” tapi kemungkinan kontribusi ke Indonesia. Kalau mau mengistimewakan Yogya, justru kita harus memikirkan NKRI. Reposisi dalam hal ini artinya TBY jangan terjebak politik identitas,” ungkapnya.

Sekilas, pembicaraan mengenai “keindonesiaan” ini tampak masih berada di tataran konseptual. Bahkan, sekadar usulan, harapan, “Jangka panjang akan mempertanyakan program TBY yang dikaitkan dengan kemungkinan seandainya TBY bisa menjadi wadah representasi keindonesiaan.”

Sehubungan dengan “keindonesiaan” ini, Salim menyambung dengan pertanyaan, “Bagaimana TBY memainkan peran menjaga keindonesiaan ini?” Dalam hal ini, Salim, sedikit banyak sudah memberi jawabannya, yaitu dengan cara meng-update informasi, misalnya kegiatan kebudayaan, adanya museum yang menyimpan karya seniman, TBY pendek kata, di sini, mungkin memfasilitasi atau mendukung adanya museum seniman, “Misal ada Kusbini, Nasjah Djamin, dan sebagainya … paling tidak membuat anak-anak bisa paham.”

Usaha TBY dalam menjaga “Indonesia,” menurut Salim, perlu kerjasama, “sinergi,” seperti yang dikatakan Lono. Semua pihak harus saling membantu. Sinergi ini, bagi Lono, dianalogikan sebagai “perkawinan” misalnya antara seni, desain produk, dan sebagainya, semacam jejaring, interseksi-interseksi (istilah Lono).

Mungkin, tak perlu muluk-muluk bercita-cita mengenai keindonesiaan. Dengan kemampuan TBY memfasilitasi ruang – menyediakan ruang terbuka pun, Ini berarti TBY sudah menjaga negeri kita, memfasilitasi “tradisi workshop” warga Yogyakarta.


2.2. Sikap Kedua: Kekuasaan vs. Kebudayaan

Sikap kedua ini muncul berdasar pemahaman khusus atas mekanisme TBY, mengenal dekat sosok Dyan, dan memperhatikan perkembangan TBY dari waktu ke waktu. Sikap ini paling tampak pada Ons dan Kuss.

“Problemnya ada pada tingkat hirarki yang tak paham.” Demikian ungkap Ons menanggapi ‘kebingungan’ beberapa orang atas problem apa yang terjadi di TBY. Untuk lebih jelasnya, Ons memberi contoh Umar Khayyam. “Sewaktu menjabat sebagai Dirjen, selalu mencari staf, orang yang tak perlu punya pangkat tertentu, namun memahami seluk beluk seni dan organisasi,” kata Ons. “Serangan” Ons tampak makin jelas: Gusti Yudha selaku orang yang dianggap tak berpengalaman bidang seni. Mengenai pangkat ini, dilanjutkan Thomas, yang juga mengkritisi keadaan kita, mengapa kepala dinas selalu (dulu) pangkatnya, “Ir”?

Singkatnya, sikap kedua ini memuat semacam kekhawatiran jika TBY nantinya, setelah berganti pimpinan, menjadi TBY yang tak lagi terbuka, melainkan TBY yang dianggap “adiluhung,” … aksesnya dibatasi untuk kalangan tertentu, dan kegiatan khusus lainnya yang menghambat fungsi TBY sebagai ruang publik.

Mungkin, kekhawatiran ini, didukung oleh pernyataan Gusti Yudha sendiri mengenai beberapa hal, salah satunya mengenai anggaran sewa ruang, “Seniman, kurator, pemilik seni mau pentas minta keringanan bahkan pembebasan,” katanya. Nampaknya, dalam kalimat itu tersirat bahwa, pertama, Gusti Yudha tak memahami geliat dan isu mengenai perupa, pemilik galeri, kurator, bahkan berbagai istilah yang ada dalam dunia seni rupa – ini mengindikasikan kemungkinan Beliau memang belum berpengalaman di bidang seni-budaya. Kedua, nampaknya, sudah ada asumsi bahwa biasanya para seniman “maunya gratis.” Ini asumsi Beliau, atau kah pernah dialami langsung oleh Gusti Yudha?

Hal lain yang menarik adalah perihal “relasi saudara” antara Gusti Yudha dengan Sultan HB X. Menanggapi hal ini, Kuss seakan punya ‘strategi’ untuk menggelitik Gusti Yudha, “Birokrasi Jogja mungkin juga bisa bersifat kekeluargaan. Mengingat hubungan kekerabatan antara Gusti Yudha dan Sultan, ada dugaan-dugaan, harapan-harapan bahwa mungkin anggaran juga besar, atau mungkin juga TBY punya keistimewaan tertentu sehingga tidak dibebani PAD.”

“Kami memang saudara, tapi profesionalitas dijaga,” jawab gusti Yudha, sembari tersenyum dan melanjutkan dengan topik lomba seni budaya karena lomba-lomba semacam itu tak bisa lagi didanai oleh APBD dan APBM. “Dulu lomba tari, karawitan tak ada lagi karena memang tak ada dananya dan tak diperbolehkan. Ini perlu terobosan,” lanjutnya.

Perihal lomba, khususnya lomba untuk anak-anak, agaknya cukup mendapat perhatian Gusti Yudha. “Lomba-lomba ini penting, mampu memberi suatu nuansa saingat yang sehat yang perlu kita antisipasi dari awal. Semoga anak biasa bersaing dan tak ada keminderan untuk hidup bermasyarakat,” ucapnya. Menurutnya, perlu juga ada semacam pertemuan, kerjasama dengan pihak pariwisata, dinas kebudayaan, seniman, dan budayawan untuk ikut mendukung lomba-lomba ini.

Masih mengenai lomba, kali ini bukan lomba untuk anak-anak, Gusti Yudha membandingkan kondisi Yogya dengan Jakarta, “Kalau Jakarta ada lomba perkutut, dan sebagainya, apa di sini bisa, peserta bayar, ada dananya … Sini tidak ada dana untuk perlombaan.”

Jawaban-jawaban Gusti Yudha, walau pun terkesan normatif, namun bagi segelintir orang, tetap lah menyimpan sebuah harapan.

Dari kecurigaan atas adanya birokrasi berbelit dan corak kepemimpinan hirarkis seperti diajukan Ons itu, kita bisa bertanya: mampukah TBY tetap berpihak pada publik, tak hanya pemangku kepentingan sepihak .. misalkan, contoh dari Ons, ketika ada pentas dari partai tertentu dengan tujuan kampanye ingin memakai ruang TBY, bagaimana Gusti Yudha menyikapinya?

Bagi Ons, ada kemungkinan yang bisa dilakukan TBY, yaitu meniru usaha Pers: memisahkan antara ranah bisnis dan ranah redaksional. Ons mengambil contoh pers Ekspress yang mati pada tahun 70-an. Waktu itu GM (Goenawan Mohamad) diminta oleh Ciputra membuat majalah, dan ia memisahkan antara redaksional dan bisnis. Jadi ada ranah redaksional yang punya otonomi di bidang isi, dan ranah bisnis yang urusannya dagang, keduanya bisa dipisah.

Menyinggung perihal rotasi kepemimpinan TBY, Thomas mempertanyakan pertimbangan rotasi tersebut, dan bagaimana sustainable (keberlangsungan hidup) program-program yang sudah ada (sejak kepemimpinan Dyan), mampukah Gusti Yudha menjaganya.

Hal lain yang juga sangat berkaitan dengan “kepentingan di balik penguasa baru” adalah transparansi anggaran (dana). Hal ini disinggung Thomas, diajukan berupa pertanyaan retoris pada peserta diskusi, terutama Gusti Yudha: apakah Gusti Yudha bersedia, misalnya, membeberkan anggarannya, cukup atau tidak untuk suatu kegiatan tertentu.

Perihal anggaran ini lebih praktis dipertanyakan Kuss, kaitannya dengan PAD (Pendapatan Asli Daerah). Bagaimana kebijakan PAD untuk TBY? Apakah, misalkan, Kuss memberi contoh, “Jika TBY ada ArtJog, event seni rupa besar di mana kolektor, pemilik galeri di Eropa, dan sebagainya, semua datang ke Jogja, dan hotel-hotel penuh, kolektor Jakarta turun semua … apakah ini bisa dilihat sebagai nilai yang bisa disetarakan dengan PAD?” tanya Kuss. Pertanyaan ini agaknya memang tak terjawab sebab Gusti Yudha, mungkin, belum pernah berhadapan langsung dengan peristiwa seni besar yang mengubah “wajah” kota Jogja … atau mengamati khusus imbasnya.

Dalam hal ini, Kuss juga melontarkan kritik, semacam mempertanyakan kembali, apakah benar bahwa TBY memang memiliki masalah dalam hal anggaran. “Ketika ada MLM (Multilevel Marketing), yang notabene tak ada kaitannya dengan seni-budaya, diadakan di salah satu ruang di TBY, apakah itu berkaitan dengan problem anggaran di TBY sehingga dimasukkan ke dalam agenda acara TBY?” tanya Kuss.

“PAD hanya gedungnya saja,” jawab Gusti Yudha. Namun, ia tak banyak melanjutkan keterangan perihal PAD ini karena agaknya belum begitu hapal jumlahnya.


2.3. Sikap Ketiga: Kini dan Nanti

Mungkin, dari seluruh peserta diskusi hanya Gunawan lah yang paling hapal seluk beluk area TBY. Ia, sebagai anggota dan aktivis teater Garasi, tentu saja pernah bersentuhan langsung dengan ruang-ruang itu, berpengalaman dalam hal sewa menyewa ruang, bahkan sampai mengatur pencahayaan, kamar mandi, kursi, meja, dan seluruh fasilitas TBY. Pendek kata, hampir seluruh fasilitas TBY pernah difungsikan. Karena itu, mungkin, dia lah yang paling “ingat” menyebut “jasa” Bu Dyan, “Taman Budaya benar-benar menjadi “taman” karena memang semua bisa mengaksesnya … ini luar biasa. Dan dalam hal ini, peran Bu Dyan penting, yaitu menggulirkan perubahan yang sangat signifikan ini,” katanya.

Ya, Taman Budaya, seperti yang kita rasakan beberapa tahun terakhir ini, tak nampak “angkuh,” atau hanya milik kalangan tertentu, TBY lebih memasyarakat – dengan slogan “Jendela Yogyakarta”nya – seperti yang dikatakan Wisnu Matra, “TBY itu bukan lagi Taman Budaya untuk budaya yang serius dan jauh-jauh …”

Berkaitan dengan “transformasi kekuasaan” seperti yang diungkapkan Ons, Garasi punya pengalaman sendiri karena ia mengalami “krisis” akibat transformasi itu. Garasi yang berdiri pada 1993 menjelang reformasi, dan akhirnya harus mencari dana sendiri dengan mengubah diri menjadi Yayasan Teater Garasi pada 2002 – tapi mengambil hikmahnya, yaitu mereka jadi punya perpustakaan dan pusat dokumentasi sendiri.

Untuk visi ke depan, Gunawan juga menyinggung perihal “budaya workshop” dan “jejaring” TBY. Ia berharap TBY juga mampu mengumpulkan seluruh lembaga kebudayaan di Yogyakarta, saling bertemu, berkenalan, dan bekerjasama demi memberdayakan workshop ini.


2.4 Sikap Keempat: Aktif, yo monggo, Pasif, luweh

Menarik membandingkan Ons dengan Rain dalam hal pandangan politisnya. Kalau Ons seakan penuh kecurigaan atas adanya kepentingan politis di balik keberadaan kepala baru TBY, Rain sekilas tampak apatis – cenderung bernada ‘apolitis.’

Berbeda dengan Ons yang ungkapannya terkesan sangat “politis,” Rain Rosidi, generasi yang lebih muda di bawah Ons, seakan mengamini slogan “Ada nggak ada pemerintah, di Jogja, seni rupa baik-baik saja.” Bagi Rain, teman-teman seni rupa jaman sekarang ini, yang terdiri dari beragam komunitas, dalam proyek-proyek keseniannya, tak lagi bicara mengenai aspek kekuasaan pemerintah – ini berbeda jika kita bandingkan karya zaman Orde Baru, zaman GSRB, dan sebagainya

Rain bisa dikatakan generasi zaman yang sedang disibukkan dengan istilah “kontemporer” – dan ia juga ikut di dalamnya dengan menjadi kurator …. Salah satu praktik yang keberadaannya tak bisa dilepaskan dari perkembangan istilah kontemporer itu sendiri dalam era “booming” seni rupa 2007-2009.

Karena itu, TBY dilihatnya dari sudut pandang seni rupa belakangan ini. ia kaitkan langsung dengan semacam State Gallery dan praktik kuratorial – “Di negara maju,” katanya, “State Gallery merupakan galeri pemerintah yang tugasnya mengukur, melayani ekspresi budaya kota, atau daerah itu.” Rain mencontohkan Queensland Art Gallery di Australia yang ‘memfasilitasi’ budaya kota tersebut. Bagaimana dengan TBY? Penekanan Rain jelas: pertama, apakah mungkin TBY menjadi semacam State Gallery? Kedua, bagaimana aspek kuratorial yang mungkin diterapkan di TBY? Dengan kata lain, TBY bagi Rain, kalau tak mau apatis – tak hanya menjadi penyedia ruang, melainkan menjadi pelaku aktif, harus ikut memproduksi wacana lewat kuratorial yang dibagi per bidang (seni rupa, teater, tari, film, dan sebagainya).

Kalau kita menilik lebih jauh, TBY selama ini sudah berfungsi sebagai “ruang publik,” berbeda fungsi dengan State Gallery. Paling tidak, kita tak bisa menyamakan, atau membentuk TBY menjadi seperti Galeri Nasional, atau mungkin, kalau di Jogja, Jogja Gallery. Pemanfaatan dan fungsi yang diemban, agaknya, memang berbeda. Dan kalau disamakan, atau andai TBY dijadikan State Gallery, apakah ini malah mengecilkan sifat ruang publiknya?

Agaknya, pada Rain, tampak sikap demikian: jika TBY memang mau eksis, atau dengan kata lain, ikut aktif sebagai pelaku budaya, ya fasilitasi kurator. Kalau tidak, ya tak mengapa.


3. Jendela Yogyakarta: Kreatif, Informatif-Dokumentatif, Apresiatif

Dari keempat sikap di atas, terkesan bahwa kita “melupakan” posisi TBY - dalam arti sumbangan dan pencapaian Dyan untuk TBY. Hampir tidak disinggung perihal apa saja yang sudah dimiliki TBY semasa Bu Dyan. Dengan kata lain, kita seakan sudah memulai reposisi tanpa posisi sebelumnya diungkap.

Nampaknya, istilah reposisi di sini pun masih rancu. Adakah ia berarti mengulang posisi, memantapkan kembali posisi, atau memposisikan ulang? – apa pun artinya, dalam diskusi ini diakui cukup beragam cara peserta memahami “reposisi” itu walau tanpa sepatah kata pun dari Bu Dyan mengenai posisi TBY sebelum Gusti Yudha.

Akhirnya, hampir semua mengungkapkan apa yang seperti ditanyakan Dodi, “Mau dijadikan apa TBY?” dan diskusi “dituntun” seakan-akan memberi harapan-harapan, usulan-usulan dalam rangka pencarian posisi ini. Bagaimana posisi sebelumnya? Apa warisan “posisi” TBY selama kepemimpinan Bu Dyan (yang sayangnya, saat diskusi terjadi, tidak ikut ‘urun rembug,’ bercerita, atau bicara singkat mengenai apa saja yang sudah ada)? Dengan kata lain, pemetaan masalah yang dilakukan dalam diskusi ‘masih’ sebatas pelekatan harapan – tak tampak menelusuri, menoleh posisi sebelumnya.

Diskusi ini menyiratkan adanya semacam “ambisi,” cita-cita untuk melekatkan posisi baru bagi TBY. Berbagai harapan digulirkan di ruang diskusi untuk TBY. Namun yang paling terlihat adalah kecenderungan memilih TBY tetap sebagai ruang publik. TBY diharapkan dapat menjadi “wadah di mana terjadi movement, bukan pada bangunan dan kekurangan fasilitasnya, melainkan sebagai ruang bertemu,” tutur Thomas.

Mengenai “ruang bertemu” ini, agaknya, sudah kita miliki. Tugas kita lah sekarang melanjutkannya. Selebihnya, perihal dokumentasi di TBY, memang diakui perlu ada peningkatan, baik dalam hal mekanisme pengambilan, pendataan, penomoran, pemberian judul, penyimpanan, sampai cara aksesnya ke publik.

Hal lain yang muncul dan menguat adalah TBY sebagai ‘partner’ pengembangan apresiasi. Perihal apresiasi ini, nampaknya juga, sudah tampak ada di masa beberapa tahun terakhir ini. Kalau pun belum sesuai harapan, namun benihnya sudah ada. Tugas TBY sekarang lah yang melanjutkan, tentu saja dengan berbagai program pendukungnya (sinergi antara program baru dan program yang sudah ada).

Pemihakan kepentingan publik daripada kepentingan penguasa tampaknya menjadi tema sentral dalam pemikiran mengenai reposisi ini. TBY diharapkan tak memihak partai politik tertentu, (bukan berarti anti politik). Setidaknya, di sini bisa dirumuskan tiga jenis “tuntutan” untuk TBY selanjutnya – yang setengahnya mungkin pernah diusahakan dan sudah berhasil dilakukan – yaitu: pertama, TBY sebagai ruang (publik) kreatif, kedua, pusat dokumentasi dan informasi yang bisa dipercaya, dan ketiga, sebagai fasilitator dan partner dalam hal pengembangan apresiasi seni dan budaya (menyokong budaya workshop).

Karena itu, empat sikap di atas bisa diperhitungkan dalam gerak laju TBY selanjutnya. Singkatnya, empat sikap berbeda itu bisa dimaknai sebagai “dinamisasi” langkah TBY, menjaga TBY tetap fleksibel di tengah gairah kebudayaan masyarakat. Melalui sikap pertama, TBY bisa belajar ‘menjadi bukan-TBY,’ untuk melihat TBY. Paling tidak, dari sikap pertama itu, TBY bisa memiliki ‘panduan’ ketika mencipta program-program barunya, menambah dan melengkapi program yang sudah ada.

Sikap kedua adalah sikap kritis. Sikap ini bisa menjadi “otokritik” bagi TBY sendiri saat akan mengambil keputusan – mempertimbangkan kembali, mengingat bahwa kepentingan publik lah yang didahulukan. Sikap ini juga bisa menjadi semacam “remainder” TBY agar terus belajar, terbuka bagi perkembangan seni budaya di Yogyakarta.

Sikap ketiga dapat ‘digunakan’ TBY sebagai penuntun untuk selalu mengelaborasi, mengevaluasi – menoleh ke belakang untuk maju (untuk maju kita perlu menengok ke belakang, sekadar meyakinkan, mengecek apa yang tertinggal … apa yang perlu kita bawa). Singkatnya, perencanaan dan pembuatan program tak bisa tidak mengelaborasikannya dengan yang sudah ada, atau bahkan sudah terbukti berjalan sebelumnya.

Sikap keempat bisa ‘difungsikan’ sebagai celah bagi TBY, dorongan untuk tak hanya menjadi yang pasif, tapi kadang-kadang, perlu menjadi motor –TBY masa depan diharapkan tak hanya dimotori, digerakkan, melainkan juga menjadi penggerak, penyemangat, pemberi daya bagi masyarakat Yogya, mengingat kata Ons, “TBY harus mampu mengakomodasi komunitas, ‘siluman-siluman’ yang nongkrong di beringin TBY.”



-sty-