April 18, 2009

Membaca Ugo, Membaca Naomi

Catatan Harian Tentang Ugo Untoro


Judul: The Sound of Silence and Colors Between the Tip of a Cigarette and Fire of the Lighter (17 Years of Ugo Untoro’s Fine Arts, 1989-2006).
Penulis: Omi Intan Naomi
Tebal: 483 halaman.
Bahasa: Inggris dan Indonesia
Penerbit: Museum dan Tanah Liat, Yogyakarta
Tahun: 2008


Judul panjang itu adalah salah satu penggalan dari kata-kata Ugo Untoro dalam katalog pameran Corat-Coret 91-95, pameran tunggalnya di Bentara Budaya Yogyakarta, 1995. “ Saya ingin menjadi yang melintas di antara rokok dan korek api. Dalam hati kecil saya, saya ingin berbisik kepada udara Yogya, bahwa saya ada dan berbeda.” Demikian ungkapan Ugo yang juga dikutip dalam buku setebal 483 halaman ini.

Siapa Ugo yang melintas di antara ujung rokok dan korek api itu? Naomi menafsirkannya sebagai Ugo yang memiliki kekuatan khusus, kemampuan untuk menari di perbatasan. Ugo yang “melintas” itu adalah Ugo yang memiliki apa yang diungkap oleh Delacroix mengenai “momentum.” Ugo mampu mencatat saat, mencurahkan isi hati tepat pada saat jatuhnya hujan, bunyi gerimis pertama kali, terlepasnya embun dari ujung daun, melayang jatuh ke tanah. Demikian bunyi sunyi Ugo yang direkam Naomi, penulis buku ini.

Ugo Untoro, senirupawan kelahiran Purbalingga 1970, melejit namanya dalam dunia seni rupa Indonesia. Lelaki yang dikenal sebagai pelukis ini, walau sering juga membuat boneka dan wayang, menetap di Yogyakarta sejak 1988. Karya-karyanya belakangan ini, diminati “pasar,” menjadi incaran kolektor dan investor seni rupa. Namun, bukan karena itu Naomi memutuskan menulis tentang Ugo.

“Lewat rancah yang tak terjelaskan, hanya melihat lukisan tanpa ingin tahu apapun tentang si pelukis, sedasawarsa saya ikuti karier Ugo secara sambil lalu. Yang hinggap kebanyakan kabar angin, sebagian diantaranya faktual.” Omi Intan Naomi (1970-2006), penulis, penerjemah dan pengumpul data yang tekun, menulis buku ini atas tawaran dari Dodo Hartoko, teman Ugo Untoro, untuk memilih menulis, antara Ugo dan S. Teddy. D. Naomi memilih Ugo. Ia merekam tujuh belas tahun kekaryaan Ugo Untoro sejak ia mengenal Ugo di 1989 sampai akhir hayatnya, 2006.

Dengan gaya bahasa seperti ngobrol, bergosip, setengah bercanda, terkadang menyindir, Naomi mengatakan kepelukisan Ugo secara berbeda dari yang dikatakan banyak kurator dan pengamat seni tentang karya Ugo. Hampir semua dari mereka, menurutnya, menafsir karya Ugo melalui buku-buku yang dibaca Ugo. Naomi menolak hal ini. Karya-karya Ugo, selain disebut Naomi seperti Haiku, puisi Jepang yang pendek, simbolis, namun sarat makna, juga “ … bukan soal renung-merenung dan baca-membaca.” Karena itu, Naomi tidak banyak menyinggung isi buku yang dibaca Ugo, apalagi mengaitkannya dengan karya-karya Ugo. Mengenai buku-buku yang dikonsumsi Ugo, Naomi hanya menyinggung judul buku dan jenisnya.

Naomi lebih banyak bercerita tentang sosok Ugo melalui lingkungan dan gaya hidupnya, teman-temannya, kesukaannya akan kuda dan wayang kardus, kegemarannya membaca buku, dari buku filsafat, sastra, hingga sejarah dan komik. “Ugo lahir triwulan lebih dulu dari saya di tahun yang sama. Kelihatannya dia dan saya juga tinggal di dunia yang sama, sedikitnya di perkara buku anak-anak, film animasi, dan wayang – tiga spesies kesenian yang juga andil dalam menghancurkan keintelekan saya sekarang ini, kata tetangga.” Demikian Naomi mencatat Ugo sekaligus mencatat hidupnya sendiri.

Ketika menyinggung karya-karya Ugo, kendatipun Naomi tidak sepenuhnya percaya, ia tetap mengacu pada ulasan kurator tentang karya Ugo. Hampir setiap menyinggung karya Ugo, ia mengutip tulisan dari, misalnya, Fajar Sidik, Dwi Marianto, Hendro Wiyanto, Mella Jaarsma, Suwarno Wisetrotomo, dan sebagian kecil teman-teman Ugo.

Buku dwibahasa ini lebih merupakan catatan harian Naomi tentang Ugo. Di bagian pertama, misalnya, Ugo Menurut Teman-Teman Sekecamatan, sesunguhnya tidak bercerita tentang komentar dari teman-teman sekampung Ugo, melainkan relasi Naomi dan alasannya menulis tentang Ugo. “Jadi begitulah, saya dekat dengan Ugo, sama seperti kedekatan antara dangdut dengan seriosa,” demikian Naomi mengilustrasikan sekilas perjumpaannya dengan sosok Ugo.

Menariknya, lewat cara bercerita Naomi itu, pembaca diajak berkeliling tidak hanya di peta hidup Ugo, melainkan juga dalam dunia seniman Yogyakarta. Pembaca diajak memahami habitus seniman Yogya. Lewat apa yang disebutnya, “kabar angin,” pembaca awam memiliki gambaran, sedikit banyak, tentang Malioboro, Rumah Seni Cemeti, “markas Suwage” yang disebut Naomi semacam “simbiosis parasitisme” bagi perupa pemula, “demamnya” pelukis mengoleksi istilah-istilah filosofis untuk memperlihatkan “keintelekan,” kebiasaan mengkonsumsi obat-obatan di kalangan seniman, kegemaran memelihara dan membawa hewan piaraan ke kampus ISI, sampai uneg-uneg pemilik galeri tentang kerja kurator, serta hal-hal lain yang belum tentu berelasi signifikan dengan karya Ugo, melainkan dengan penulis buku ini.

Disamping paparan naratifnya, buku ini bisa dibilang menarik karena Naomi berhasil menunjukkan sikap dan penilaiannya terhadap sosok Ugo. Ia tidak hanya memaparkan tentang kehidupan Ugo, juga menyangkal beberapa pandangan Ugo tentang hidup. Sayangnya, pernyataan kesendirian, kesunyian dan kesepian Ugo Untoro yang dikatakan Naomi sebagai “kesepian tanpa kesakitan,” itu tidak disajikan mendalam dalam buku ini.

Rerasanan Wong Cilik:




Seni Komik dan Kesadaran Publik


Suatu siang, langit cerah. Jalan raya lancar, hanya ada beberapa kendaraan bermotor yang lewat. “Alon-alon Truk, mandek dhisik,” Gareng yang dibonceng Petruk naik motor, mengingatkan. Sementara itu pengendara lain, sejajar dengan mereka, mempercepat kendaraannya sebelum lampu berubah merah. “Wis kuning … nekat mbablas, tabrakan lagi kroso ,” seru Petruk kesal. Detik berikutnya, belakang motor mereka ditabrak pengendara lain. “Ayo cepet mlaku, durung abang,” kata si penabrak. Gareng langsung menoleh ke belakang, “Asem ki, wis mandek isih ditabrak …”

Sepenggal kisah itu merupakan salah satu adegan lakon Petruk dan Gareng dalam Lampu, komik karya Surya Wirawan. Di sebelah kiri judul, gambar Petruk dan Gareng menyemprotkan cat Pilox hijau ke lampu merah dan kuning. Adegan ini terkesan menyindir, begitu seluruh ceritanya.

Karya lain, Sumur Butuh Banyu (2007). Dalam karya ini, fenomen 'sogokan' dalam penerimaan pegawai negeri, Surya mengkritik dengan kiasan. Suatu pagi, Gareng yang bersiap mandi, bertemu Petruk di dekat sumur. “… Ora kerja Truk … jare lolos seleksi pegawe,” tanya Gareng melihat Petruk tidak melakukan persiapan apa pun. Petruk yang sedang memegang alat pancing dan seekor ikan lele, menjawab, “Ya, tapi isih kurang.” Petruk yang melihat Gareng tampaknya belum paham, lalu melanjutkan sambil menuangkan air ke dalam sumur: "Kurang ngene iki: wong arep golek sumur kok dikon nggowo banyu ..." Baru Gareng tanggap. Katanya sambil “menyogokkan” sikat gigi ke dalam mulutnya: "Ooo ... kurang sogokan." Suap oleh Surya diumpamakan mengisi sumur dengan air, dan ‘menyogok’ dipertegas dengan gambar Gareng menyogokkan sikat gigi.

Dalam pameran tunggalnya di Kedai Kebun Forum, Yogyakarta, 5 sampai dengan 31 Desember 2008, Surya Wirawan, kerap dipanggil Yoyok, menampilkan karya-karya 2000 sampai dengan 2008. Tak hanya komik, ada juga karya poster, ilustrasi buku dan kartu pos. Media yang digunakannya beragam: etsa, cukil kayu, cukil lino, cat air, antara lain. Karya-karya Surya menyuguhkan suasana yang biasanya kita lihat dalam pameran kelompok Taring Padi: komentar sosial dengan bentuk yang grotesque (kasar, fantastik, sembarangan). Surya memang salah satu pendiri kelompok ini. Karya-karyanya mengusung isu-isu sosial-politik-budaya dengan penyampaian yang terkesan “revolusioner,” lugas, misalnya: “Tanah adalah Hidup Kami,” “Perang adalah Teror,” “Stop Perdagangan Senjata,” “Militerisme Selamanya Ganas dan Primitif”.

Dalam pameran kali ini karya-karya Surya tetap saja bertemakan komentar sosial namun dengan penggambaran yang lebih “elegan”, bukan dengan bentuk poster melainkan komik. Dan komik Surya bertokohkan Petruk dan Gareng, tokoh dalam pewayangan Jawa, tokoh yang tak asing bagi penggemar wayang. Petruk dan Gareng, dalam pewayangan Jawa adalah dua dari empat anggota punakawan (pengawal, pengikut) yang mengabdi pada pihak yang “benar” (dalam cerita Mahabharata, misalnya, orang Jawa memasukkan punakawan ini ke pihak Pandawa). Punawakan mewakili suara rakyat dan sekaligus sebagai penasihat para ksatria. Punakawan merupakan simbol dari wong cilik, yang sering terdominasi dan tersubordinasi. Sebelum Surya, pada 1950-an, terbit komik “Petruk-Gareng” oleh Indri S. Namun komik 1950-an ini lebih besar kadar humornya daripada sindiran sosialnya. Juga komik “Petruk-Gareng” terbitan 1980an yang diciptakan oleh Tatang S.

Karya-karya komik “Petruk-Gareng” Yoyok dalam pameran menyuguhkan satu tema: “Rasan-Rasan”. Kata Jawa ini bermakna “pembicaraan sederhana, singkat, sambil lalu, bisik-bisik tentang masalah tertentu”. Dengan “Rasan-Rasan” rupanya Yoyok lebih leluasa bercerita berbagai hal dengan santai, menyindir, dan lucu. Dan, lebih detail. Misalnya soal mahalnya biaya sekolah, dalam karya berjudul Kabeh-Kabeh Sekolah (Semuanya Bersekolah), Surya menceritakan satu keluarga kelas menengah bawah masyarakat Jawa. “Sekolah kok larang tenan ragate,” ucap si bapak bersarung yang duduk di sebuah dipan kayu. “Yen durung mbayar aku wegah mangkat,” kata sang anak setengah mengancam menambah kebingungan bapaknya. Lalu muncul ide di kepala sang bapak: menggadaikan televisi untuk membayar sekolah anaknya. Esok paginya, sang bapak mengantarkan dua-duanya: anak dan televisi, sama-sama ke sekolah. Bedanya, anaknya ke sekolah sebenarnya, televisi itu disekolahkan ke pegadaian. Kata si bapak, “Disekolahne sisan, tapi neng gaden.”

Tampaknya, betapapun kuatnya gambar Surya, ia masih memerlukan kata, memerlukan kalimat untuk dialog. Dialog itu dikembangkan menjadi tak sekadar percakapan lugas. Dalam Kijang Mata Duitan (2004) misalnya, ia berpantun. Kata Petruk, “Kalau ada ‘kijang’ di jalan, mungkin membawa bandit celaka.” Sampiran ini disambung oleh Gareng yang menyampaikan isi: “Kalau Anda dihadang ‘keamanan’, mungkin untuk minta duit saja.” Surya tak hanya bercerita. Kadang ia juga berteka-teki. Dalam Anti Suap, Petruk menjawab pertanyaan tentang dua polisi yang tak bisa disuap. Petruk pun menjawab, polisi pertama adalah “yang senantiasa jujur yang disingkirkan pada masa Soeharto …” Dan polisi kedua, kata Petruk sambil menunjuk ke jalan: “Tuh di depan rumah …” Petruk menunjuk ke hambatan yang melintang di tengah jalan, yang disebut “polisi tidur”.

Lingkungan kota Yogya menjadi inspirasi Surya dalam berkarya. Karya komik yang dipamerkan ini kebanyakan berbahasa Jawa, bahasa pergaulan di Daerah Istimewa ini. Selain itu, latar belakang atau setting peristiwa yang ia kisahkan pun kebanyakan Yogyakarta. Ada bangunan Pojok Benteng dalam Ampas, Alun-Alun dengan dua beringin besar dan warung angkringan dalam Cengkiling (2008), antara lain. Juga, pakaian kebaya, besek berisi pisang dan pepaya dalam etsa Kijang Mata Duitan, lalu jarit, sarung, sepeda onthel dalam Kabeh-Kabeh Sekolah semuanya mengingatkan tentang Yogya.

Sebagai senirupawan memori Surya tentang berbagai hal yang visual yang ada di Yogya terhitung tajam. Dalam Sejak Pagi Hujan Tak Reda (2001), tulisan di slebor becak yang berada di depan tempat berteduh si abang becak mudah dikenali sebagai becak Yogya: “Sumber Urip”. Nah, bagaimana orang Yogya memperingatkan para pengebut dengan sepeda motor? Dalam karyanya yang menggambarkan sebuah kampung, Rambu Terakhir (2004), terlihat papan ditempelkan di pohon; bunyinya: “Ngebut Sikat Ndase!”. Meski bukan hanya ada di Yogya, penjaja barang keliling yang menjual dagangannya dengan cara kredit, dalam karya Surya jelas yang digambarkannya adalah peristiwa sehari-hari di kampung Yogya. Ketika si mendreng datang menagih, ternyata ibu-ibu pada ngumpet. Inilah karya komik berjudul Mendreng Datang Ibu Sembunyi (2001).

Selain “muatan lokal”, Surya “mendandani” Petruk dan Gareng sebagaimana orang Indonesia sehari-hari. Dalam beberapa gambar, Petruk dan Gareng naik Honda Bebek, di saat lain mereka naik Honda BS, lalu sepeda Onthel. Di berapa karya Petruk memakai sweater, bercelana jeans, bertas pinggang, sedangkan Gareng memakai kaos bergaris merah hitam, kaos khas kesebelasan AC Milan (Kabar Angin). Di gambar lain, kedua tokoh itu mengenakan kaos oblong bertuliskan “Bakpia Pathuk 05” dan “Paguyuban Ojek Rejeki …” (Pantun Janji , 2002).

Dari pameran ini terasakan bahwa Suryawirawan mampu menciptakan suasana khas Yogya. Surya, seniman yang tinggal di Kasongan, Bantul, ini berhasil menciptakan ruang interaksi antara komik ciptaannya dan pembaca. Dengan demikian pembaca atau penonton pameran ini diberi jalan untuk merasa terlibat dalam seluruh peristiwa yang diceritakan oleh Surya. Kata-kata seru yang sehari-hari sering terdengar di pergaulan Yogya --"Asem ki," "Sikat ndase, "Dipisui polisi” – muncul juga dalam karya Surya.

Komik Yoyok atau si Surya Wirawan ini dengan lokalitasnya yang kental (baik dalam bahasa visual maupun yang non-visual) berhasil menyampaikan masalah-masalah sosial dan budaya kita secara akrab dan kocak. Ia mengkritik dengan kiasan dan humor, ia mengingatkan tanpa menunjuk.



Alon-alon Truk, mandek dhisik = Pelan-pelan Truk, berhenti dulu
Wis kuning … nekat mbablas, tabrakan lagi kroso = Sudah kuning … nekat ngebut, kalau tabrakan tahu rasa
Ayo cepet mlaku, durung abang = Ayo cepat jalan, belum merah
Asem ki, wis mandek isih ditabrak = Sialan, sudah berhenti masih juga ditabrak
Ora kerja Truk … jare lolos seleksi pegawe = Tak berangkat kerja Truk … katanya sudah lulus seleksi pegawai
Kurang ngene iki: wong arep golek sumur kok dikon nggowo banyu = Kurang seperti ini: mau mencari sumur disuruh membawa air
Sekolah kok larang tenan ragate = Bersekolah benar-benar mahal biayanya
Yen durung mbayar aku wegah mangkat = Kalau belum membayar [sekolah] aku enggan masuk
Disekolahne sisan, tapi neng gaden = Sekalian disekolahkan, tapi di pegadaian
Ngebut Sikat Ndase! = Ngebut, gasak kepalanya
Dipisui polisi = Dimaki oleh polisi

Rerasanan Wong Cilik:

Penelitian Selayang Pandang

Judul: Mapping Contemporary Visual Art Spaces in Bali (Pemetaan Ruang Seni Rupa Kontemporer di Bali).
Penulis: Grace Samboh
Penerbit: Sika Gallery, 2009.
Bahasa: Inggris dan Indonesia
Tebal: 87 halaman.


“Penelitian ini menawarkan informasi mengenai bagaimana terminologi kontemporer digunakan, dipahami dan diaplikasikan di medan seni rupa Bali.”

Dengan kalimat jelas, Grace Samboh, mahasiswa Jurusan Pengkajian Seni Rupa Pascasarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, merumuskan tujuan penelitiannya. Namun, agaknya, tidak demikian dengan eksplorasi dan temuan yang dihadirkan dalam buku ini.

Merasa “terganggu” dengan istilah “kontemporer,” Grace Samboh bekerjasama dengan Sika Gallery, Bali, mulai berkeliling Ubud dan Gianyar untuk memeriksa bagaimana galeri-galeri seni rupa yang sedang ‘naik daun” memandang dan menggunakan istilah “kontemporer.” Grace ingin melihat bagaimana galeri-galeri tersebut, melalui sikap dan perilakunya, khususnya dalam hal pengadaan pameran dan manajemennya, mencitrakan diri sebagai “galeri seni rupa kontemporer.”

Buku ini terbagi dalam dua bagian besar. Bagian pertama dikatakan Grace memuat “ruang-ruang yang informasinya bisa diakses publik.” Karena itu, Alila-Ubud Gallery, Kendra Gallery of Contemporary Art, Biasa Art Space, Gaya Art Space, Komaneka Fine Art Gallery, Seniwati Gallery of Art by Woman, TonyRaka Art Gallery dan Sika Contemporary Gallery, yang memiliki andil besar dalam “boom” seni rupa dua tahun terakhir ini, dipilih untuk dideskripsikan.

Bagian kedua dikatakan berisi “ruang pamer yang ada namun hampir tidak bisa diakses dengan cara apapun (tidak ada informasi yang bisa diakses publik, jaringan komunikasi melalui surat elektronik tidak berjalan, atau wawancara tatap muka).” Maka muncul nama-nama galeri seperti Bale Contemporary Art Studio, Krisna Gallery, I Ketut Molog Contemporary Mask, Mohammad Yanan Modern and Contemporary, SatuHati Contemporary Art Space, Natasha Gallery dalam www.indonesianartgallery dan sebuah foto website beralamat www.balicontemporaryart.com. Galeri-galeri tersebut tidak dideskripsikan dalam buku ini, hanya dipampang fotonya. Sayangnya, di bagian ini penulis tidak berhasil melakukan eksplorasi lanjut mengenai keberadaan dan aktivitas ruang-ruang pamer tersebut, yang sebenarnya signifikan sebagai pembanding untuk meneliti persepsi galeri seni rupa di Bali mengenai “seni kontemporer.”

Selain lewat media massa, iklan, artikel dan website, Grace juga menelusuri informasi mengenai galeri-galeri itu melalui apa yang disebutnya sebagai “tanda-tanda yang ditampilkan di ruang publik (neon box, marka jalan, dll), dan publikasi-publikasi yang beredar secara terbatas (katalog-katalog, blog-blog dan jurnal online).” Namun, “Tanda-tanda di ruang publik” yang dimaksud tidak terolah dalam buku ini. “Data-data lapangan” tersebut hanya berhasil difoto dan “dipajang” sebagai bukti dari penelitiannya. Dalam menulis penelitiannya, Grace terkesan lebih banyak menggunakan data dari Wikipedia, sebuah “ensiklopedi umum” online yang bebas diakses.

Disamping kriteria pemilihan galeri tidak dijelaskan, persepsi pengelola galeri tentang “seni kontemporer” juga sangat minim, hampir semua diperoleh melalui wawancara Grace dengan pengelola galeri melalui surat elektronik.

“Galeri kontemporer komersial, sebagaimana ditulis dalam Wikipedia, seringkali memilih untuk menampilkan perupa secara ekslusif, memberikan mereka kesempatan untuk mengadakan pameran tunggal secara berkala.” Dalam hal ini, Grace, akhirnya, memandang “galeri seni rupa kontemporer” dari sisi sistem dan mekanisme kerjanya, yang sayangnya, disesuaikan dengan kriteria dalam Wikipedia. Anggapan itu juga muncul ketika ia mengomentari Gaya Art Space yang menurutnya “janggal” karena mengaku sebagai galeri nirlaba, namun mengaplikasikan sistem kerja galeri kontemporer. Dengan mereferensi Wikipedia dan Olav Velthuis, Grace Samboh agaknya percaya bahwa yang kontemporer itu muncul dalam bentuk galeri yang, selain memiliki “manajemen profesional”, juga profit oriented.

Sebagai peneliti, Grace rupanya kurang mahir dalam melakukan pencarian data. Kepercayaan pada sumber-sumber sekunder dan sumber internet sangat mungkin menyebabkan buku ini menyesatkan orang yang mau memahami “seni kontemporer.” Pemahaman Grace tentang “galeri seni kontemporer” didapatnya dari Wikipedia, demikian juga ketika ia merujuk istilah “pusat kesenian” untuk Seniwati Gallery. Padahal, menengok kembali tujuan penelitian yang dirumuskannya, penelitian Grace ini terkesan penelitian lapangan yang harusnya digarap dengan metode induktif. Jika penelitian ini digali lebih serius, Grace seharusnya bisa menemukan kriteria lain yang ada di lapangan penelitiannya, selain kriteria yang “diturunkannya” dari Wikipedia.