April 18, 2009

Rerasanan Wong Cilik:




Seni Komik dan Kesadaran Publik


Suatu siang, langit cerah. Jalan raya lancar, hanya ada beberapa kendaraan bermotor yang lewat. “Alon-alon Truk, mandek dhisik,” Gareng yang dibonceng Petruk naik motor, mengingatkan. Sementara itu pengendara lain, sejajar dengan mereka, mempercepat kendaraannya sebelum lampu berubah merah. “Wis kuning … nekat mbablas, tabrakan lagi kroso ,” seru Petruk kesal. Detik berikutnya, belakang motor mereka ditabrak pengendara lain. “Ayo cepet mlaku, durung abang,” kata si penabrak. Gareng langsung menoleh ke belakang, “Asem ki, wis mandek isih ditabrak …”

Sepenggal kisah itu merupakan salah satu adegan lakon Petruk dan Gareng dalam Lampu, komik karya Surya Wirawan. Di sebelah kiri judul, gambar Petruk dan Gareng menyemprotkan cat Pilox hijau ke lampu merah dan kuning. Adegan ini terkesan menyindir, begitu seluruh ceritanya.

Karya lain, Sumur Butuh Banyu (2007). Dalam karya ini, fenomen 'sogokan' dalam penerimaan pegawai negeri, Surya mengkritik dengan kiasan. Suatu pagi, Gareng yang bersiap mandi, bertemu Petruk di dekat sumur. “… Ora kerja Truk … jare lolos seleksi pegawe,” tanya Gareng melihat Petruk tidak melakukan persiapan apa pun. Petruk yang sedang memegang alat pancing dan seekor ikan lele, menjawab, “Ya, tapi isih kurang.” Petruk yang melihat Gareng tampaknya belum paham, lalu melanjutkan sambil menuangkan air ke dalam sumur: "Kurang ngene iki: wong arep golek sumur kok dikon nggowo banyu ..." Baru Gareng tanggap. Katanya sambil “menyogokkan” sikat gigi ke dalam mulutnya: "Ooo ... kurang sogokan." Suap oleh Surya diumpamakan mengisi sumur dengan air, dan ‘menyogok’ dipertegas dengan gambar Gareng menyogokkan sikat gigi.

Dalam pameran tunggalnya di Kedai Kebun Forum, Yogyakarta, 5 sampai dengan 31 Desember 2008, Surya Wirawan, kerap dipanggil Yoyok, menampilkan karya-karya 2000 sampai dengan 2008. Tak hanya komik, ada juga karya poster, ilustrasi buku dan kartu pos. Media yang digunakannya beragam: etsa, cukil kayu, cukil lino, cat air, antara lain. Karya-karya Surya menyuguhkan suasana yang biasanya kita lihat dalam pameran kelompok Taring Padi: komentar sosial dengan bentuk yang grotesque (kasar, fantastik, sembarangan). Surya memang salah satu pendiri kelompok ini. Karya-karyanya mengusung isu-isu sosial-politik-budaya dengan penyampaian yang terkesan “revolusioner,” lugas, misalnya: “Tanah adalah Hidup Kami,” “Perang adalah Teror,” “Stop Perdagangan Senjata,” “Militerisme Selamanya Ganas dan Primitif”.

Dalam pameran kali ini karya-karya Surya tetap saja bertemakan komentar sosial namun dengan penggambaran yang lebih “elegan”, bukan dengan bentuk poster melainkan komik. Dan komik Surya bertokohkan Petruk dan Gareng, tokoh dalam pewayangan Jawa, tokoh yang tak asing bagi penggemar wayang. Petruk dan Gareng, dalam pewayangan Jawa adalah dua dari empat anggota punakawan (pengawal, pengikut) yang mengabdi pada pihak yang “benar” (dalam cerita Mahabharata, misalnya, orang Jawa memasukkan punakawan ini ke pihak Pandawa). Punawakan mewakili suara rakyat dan sekaligus sebagai penasihat para ksatria. Punakawan merupakan simbol dari wong cilik, yang sering terdominasi dan tersubordinasi. Sebelum Surya, pada 1950-an, terbit komik “Petruk-Gareng” oleh Indri S. Namun komik 1950-an ini lebih besar kadar humornya daripada sindiran sosialnya. Juga komik “Petruk-Gareng” terbitan 1980an yang diciptakan oleh Tatang S.

Karya-karya komik “Petruk-Gareng” Yoyok dalam pameran menyuguhkan satu tema: “Rasan-Rasan”. Kata Jawa ini bermakna “pembicaraan sederhana, singkat, sambil lalu, bisik-bisik tentang masalah tertentu”. Dengan “Rasan-Rasan” rupanya Yoyok lebih leluasa bercerita berbagai hal dengan santai, menyindir, dan lucu. Dan, lebih detail. Misalnya soal mahalnya biaya sekolah, dalam karya berjudul Kabeh-Kabeh Sekolah (Semuanya Bersekolah), Surya menceritakan satu keluarga kelas menengah bawah masyarakat Jawa. “Sekolah kok larang tenan ragate,” ucap si bapak bersarung yang duduk di sebuah dipan kayu. “Yen durung mbayar aku wegah mangkat,” kata sang anak setengah mengancam menambah kebingungan bapaknya. Lalu muncul ide di kepala sang bapak: menggadaikan televisi untuk membayar sekolah anaknya. Esok paginya, sang bapak mengantarkan dua-duanya: anak dan televisi, sama-sama ke sekolah. Bedanya, anaknya ke sekolah sebenarnya, televisi itu disekolahkan ke pegadaian. Kata si bapak, “Disekolahne sisan, tapi neng gaden.”

Tampaknya, betapapun kuatnya gambar Surya, ia masih memerlukan kata, memerlukan kalimat untuk dialog. Dialog itu dikembangkan menjadi tak sekadar percakapan lugas. Dalam Kijang Mata Duitan (2004) misalnya, ia berpantun. Kata Petruk, “Kalau ada ‘kijang’ di jalan, mungkin membawa bandit celaka.” Sampiran ini disambung oleh Gareng yang menyampaikan isi: “Kalau Anda dihadang ‘keamanan’, mungkin untuk minta duit saja.” Surya tak hanya bercerita. Kadang ia juga berteka-teki. Dalam Anti Suap, Petruk menjawab pertanyaan tentang dua polisi yang tak bisa disuap. Petruk pun menjawab, polisi pertama adalah “yang senantiasa jujur yang disingkirkan pada masa Soeharto …” Dan polisi kedua, kata Petruk sambil menunjuk ke jalan: “Tuh di depan rumah …” Petruk menunjuk ke hambatan yang melintang di tengah jalan, yang disebut “polisi tidur”.

Lingkungan kota Yogya menjadi inspirasi Surya dalam berkarya. Karya komik yang dipamerkan ini kebanyakan berbahasa Jawa, bahasa pergaulan di Daerah Istimewa ini. Selain itu, latar belakang atau setting peristiwa yang ia kisahkan pun kebanyakan Yogyakarta. Ada bangunan Pojok Benteng dalam Ampas, Alun-Alun dengan dua beringin besar dan warung angkringan dalam Cengkiling (2008), antara lain. Juga, pakaian kebaya, besek berisi pisang dan pepaya dalam etsa Kijang Mata Duitan, lalu jarit, sarung, sepeda onthel dalam Kabeh-Kabeh Sekolah semuanya mengingatkan tentang Yogya.

Sebagai senirupawan memori Surya tentang berbagai hal yang visual yang ada di Yogya terhitung tajam. Dalam Sejak Pagi Hujan Tak Reda (2001), tulisan di slebor becak yang berada di depan tempat berteduh si abang becak mudah dikenali sebagai becak Yogya: “Sumber Urip”. Nah, bagaimana orang Yogya memperingatkan para pengebut dengan sepeda motor? Dalam karyanya yang menggambarkan sebuah kampung, Rambu Terakhir (2004), terlihat papan ditempelkan di pohon; bunyinya: “Ngebut Sikat Ndase!”. Meski bukan hanya ada di Yogya, penjaja barang keliling yang menjual dagangannya dengan cara kredit, dalam karya Surya jelas yang digambarkannya adalah peristiwa sehari-hari di kampung Yogya. Ketika si mendreng datang menagih, ternyata ibu-ibu pada ngumpet. Inilah karya komik berjudul Mendreng Datang Ibu Sembunyi (2001).

Selain “muatan lokal”, Surya “mendandani” Petruk dan Gareng sebagaimana orang Indonesia sehari-hari. Dalam beberapa gambar, Petruk dan Gareng naik Honda Bebek, di saat lain mereka naik Honda BS, lalu sepeda Onthel. Di berapa karya Petruk memakai sweater, bercelana jeans, bertas pinggang, sedangkan Gareng memakai kaos bergaris merah hitam, kaos khas kesebelasan AC Milan (Kabar Angin). Di gambar lain, kedua tokoh itu mengenakan kaos oblong bertuliskan “Bakpia Pathuk 05” dan “Paguyuban Ojek Rejeki …” (Pantun Janji , 2002).

Dari pameran ini terasakan bahwa Suryawirawan mampu menciptakan suasana khas Yogya. Surya, seniman yang tinggal di Kasongan, Bantul, ini berhasil menciptakan ruang interaksi antara komik ciptaannya dan pembaca. Dengan demikian pembaca atau penonton pameran ini diberi jalan untuk merasa terlibat dalam seluruh peristiwa yang diceritakan oleh Surya. Kata-kata seru yang sehari-hari sering terdengar di pergaulan Yogya --"Asem ki," "Sikat ndase, "Dipisui polisi” – muncul juga dalam karya Surya.

Komik Yoyok atau si Surya Wirawan ini dengan lokalitasnya yang kental (baik dalam bahasa visual maupun yang non-visual) berhasil menyampaikan masalah-masalah sosial dan budaya kita secara akrab dan kocak. Ia mengkritik dengan kiasan dan humor, ia mengingatkan tanpa menunjuk.



Alon-alon Truk, mandek dhisik = Pelan-pelan Truk, berhenti dulu
Wis kuning … nekat mbablas, tabrakan lagi kroso = Sudah kuning … nekat ngebut, kalau tabrakan tahu rasa
Ayo cepet mlaku, durung abang = Ayo cepat jalan, belum merah
Asem ki, wis mandek isih ditabrak = Sialan, sudah berhenti masih juga ditabrak
Ora kerja Truk … jare lolos seleksi pegawe = Tak berangkat kerja Truk … katanya sudah lulus seleksi pegawai
Kurang ngene iki: wong arep golek sumur kok dikon nggowo banyu = Kurang seperti ini: mau mencari sumur disuruh membawa air
Sekolah kok larang tenan ragate = Bersekolah benar-benar mahal biayanya
Yen durung mbayar aku wegah mangkat = Kalau belum membayar [sekolah] aku enggan masuk
Disekolahne sisan, tapi neng gaden = Sekalian disekolahkan, tapi di pegadaian
Ngebut Sikat Ndase! = Ngebut, gasak kepalanya
Dipisui polisi = Dimaki oleh polisi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar