Juli 18, 2009

Propaganda Dalam Reklame



Iklan-iklan yang dibahas di sini diambil dari beberapa koran dan majalah yang terbit pada masa Jepang (1942-1945), yaitu Asia Raja, Sinar Matahari, Tjahaja, Sinar Baroe, Soeara Asia, Djawa Baroe, Almanak Djawi, Majalah d’Orient, Sri wedari Fair, dan Almanak Kabe.



Pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia tak hanya menggunakan poster untuk propaganda politiknya. Juga pemerintah pendudukan itu campur tangan dalam iklan-iklan komersial di media massa.

Tujuan propaganda itu,dilihat dari iklan-iklan di media massa tersebut, pertama, menjadikan Indonesia “saudara muda,” Jepang – serupa Jepang (yang mengaku sebagai “saudara tua”), tapi tidak sama, tidak akan pernah sama dengan Jepang. Dengan kata lain, indoktrinasi ini, agaknya, bisa dikatakan bertujuan menanamkan hasrat bangsa Indonesia untuk menjadi “serupa tapi tak sama” dengan Jepang. Kedua, menjadikan Indonesia bersama-sama Jepang memerangi “Barat” (Amerika dan Inggris yang waktu itu sedang diperangi Jepang).

Aiko Kurosawa dalam Propaganda Media on Java Under the Japanese 1942-1945 tahun 1987 menjelaskan bahwa Jepang menyadari benar masyarakat Indonesia masih buta huruf, sehingga propaganda itu lebih banyak dalam bentuk visual, misalnya teater tradisional, pertunjukan boneka Jepang, performance arts, dan terutama, film.

Namun dalam iklan-iklan di media massa, agaknya Jepang menganggap media massa adalah dunia intelektual, sehingga bahasa gambar dinomorduakan dan lebih mengemukakan teks.

Di antara yang lebih mengemukakan teks itu, ada juga contoh iklan yang dari sisi visualnya cukup kuat, yaitu iklan eau de cologne. Inilah iklan yang mempropagandakan secara lebih visual agar orang Indonesia menjadi Indonesia (untuk bersama-sama Jepang melawan Barat). Iklan ini bergambar Arjuna dan eau de cologne cap kepala kerbau.

Teks iklan itu seperti ini: “ARDJOENA! Ksatriya terpoedja. Toean maoepoen njonja akan poela terpoeja oleh sekalian wanita begitoepoen priya, djika senantiasa memakainya EAU de COLOGNE keloearan FAPA TJAP KERBOU ialah tanda jang njata.”

Adapun gambarnya, Arjuna sedang berdiri tegak dengan kostum setengah badan (dada terbuka). Tangan kanannnya sedikit menekuk, jari kirinya menyentuh tutup botol Eau de Cologne. Itu salah satu contoh iklan yang terpampang dalam surat kabar Asia Raya, harian yang terbit mulai 1942.

Dengan hanya melihat sosok Arjuna, dan kerbau, asosiasi orang melihat iklan ini bahwa eau de cologne ini milik Indonesia, tidak lagi “Barat” seperti biasanya. Sebab, lazimnya, iklan eau de cologne di media massa Indonesia bergambar wanita atau pria bertampang barat. Ini juga bisa ditafsirkan sebagai ajakan untuk melawan “Barat.”

Ada sebuah contoh iklan yang lebih tegas lagi, yaitu obat Nippon. Dalam surat kabar Asia Raya, Maret 1944, iklan obat ini diilustrasikan dengan gambar bola dunia yang depannya peta Asia Pasifik, termasuk Jepang, Cina dan Indonesia. Di tengah-tengah gambar itu ada tulisan “Basmikanlah Amerika, Enggeris! Dirikanlah Asia Timoer Raja! Obat Nippon ialah jang paling mandjoer dalam doenia.”

Salah satu iklan yang minim visual, namun dari sisi teks lebih lugas adalah iklan kamus Bahasa Indonesia. Diberitahukan bahwa kamus tersebut adalah kamus baru, “Alat di Zaman baroe oentoek Bahasa Indonesia.” Kemudian kalimat “… dalam kamoes ini terdapat: kata-kata jang lazim dipakai di Indonesia: tidak lagi ditjampoeri kata-kata Asing jang dipinjam dalam zaman jang laloe,” seakan-akan mau mengatakan, selain kamus ini adalah kamus bahasa yang non-melayu, juga kamus yang “bersih” dari “resapan” kata-kata yang terpengaruh Bahasa Belanda, atau yang disebut ‘musuh bersama’ (juga Indonesia) menurut Jepang, yaitu “Barat.” Dari sini nampak tendensi Jepang untuk membangun rasa benci Bangsa Indonesia terhadap segala yang berbau “Barat.”

Contoh lain, misalnya, Rokok kretek tjap Delima. Dengan gambar sederhana, yaitu buah delima di sudut kiri dan gunung yang ditanami tembakau di bagian bawah iklan, serta tulisan “Ada satoe-satoenja rokok jang sangat digemari, dan selaloe di-isap oleh kebanjakan bangsa kita (Indonesia),” rokok Delima “ditahbiskan” menjadi “rokoknya bangsa Asia.”

Kemudian, iklan Djamoe Tjap Djago & Babon yang bergambar dua ayam, jantan dan betina. “… diminoem oleh semoea bangsa Asia.” Salah satu metode persuasi yang khas dari iklan-iklan zaman ini adalah adalah penekanan pada barang yang diiklankan itu sebagai barang yang sudah banyak dipakai oleh bangsa Asia (dan Indonesia tentu di dalamnya).

Iklan Passel Osama, misalnya, juga adalah produk Jepang yang diperkenalkan ke Indonesia. Passel Osama adalah semacam kapur warna yang “… dibikin dari material dari Selatan, dan tida akan hantjoer djika kena sinar matahari jang panas …” dengan visualisasi sederhana, di kiri ada sebuah kotak persegi panjang, gepeng, ditulisi dengan bahasa Jepang, di sebelah kanan atas segitiga yang dalamnya bergambar lambang “King” dalam kartu bridge dan bagian bawahnya tulisan Jepang. Kata “Selatan” dan “Negeri jang panas” adalah dua istilah yang bisa menjadi strategi persuasif bagi Indonesia – sama dengan Jepang sebagai negeri “Asia yang panas – Negeri Matahari Terbit.”

Iklan lain yang bertujuan serupa, misalnya Sabun Lifebuoy. Iklan ini adalah salah satu iklan yang memiliki desain dengan komposisi yang cukup imbang antara gambar dan kata-kata. Ada seorang laki-laki dan perempuan yang berdiri berdampingan memakai pakaian adat Jawa. Mereka seperti berada di tengah acara resmi. Di sampingnya ada tulisan “Pertjaja Pada Diri Sendiri,” dan beberapa deret di bawahnya ada tulisan yang menceritakan apa itu Body Odour dan pencegahannya. Alasan lain yang menegaskan keberadaan sabun itu di Indonesia diungkap melalui kata-kata yang menyatakan Lifebuoy sebagai “Saboen toilete spesial boeat negeri jang panas.”

Kalau beberapa contoh iklan di atas adalah bentuk “pengindonesiaan” untuk menghapus imaji-imaji “Barat” yang sudah melekat di masyarakat Indonesia, seperti sudah disebut di atas, contoh berikutnya adalah iklan-iklan bermodel “Penjepangan.”

“Penjepangan” atau proses “peng-Asia-an” ini diikuti oleh usaha Jepang menjadikan dirinya sebagai “yang dihasrati” Indonesia. Maka,“Indonesia” haruslah menjadi “Djawa Baroe” yang ‘berkiblat” pada Jepang, menjadikan Jepang sebagai negeri yang eksotis, kaisar Jepang, Tenno Heika, sebagai yang patut disembah, dan bahasa Nippon adalah bahasa yang layak dipelajari.

Dalam hal bahasa, “Penjepangan,” bisa dilihat dalam iklan buku pelajaran bahasa Nippon. Bahasa Nippon diproklamirkan sebagai bahasa yang harus dipelajari karena menjadi syarat utama untuk membangun negeri Indonesia yang disebut sebagai “Djawa Baroe.” Disertai gambar buku tebal yang sampulnya bertuliskan “Moedah dan Gampang,” lalu dilanjutkan di bawahnya, “Oentoek dapat berbahasa Nippon,” iklan itu memuat tulisan panjang: “… menjoembangkan tenaga sepenoeh2nja oentoek membangoenkan Djawa Baroe pertama2 perloelah mempeladjari bahasa Nippon.” Agaknya, kata-kata itu tidak semata-mata bertujuan agar buku pelajaran bahasa Nippon itu laku, melainkan, terutama, untuk membangkitkan “hasrat” para pelajar Indonesia untuk fasih berbahasa Jepang.

“Penjepangan” yang berpretensi menjadikan Indonesia “serupa tapi tak sama” dengan Jepang juga dapat diamati dalam iklan buku Kewajiban Pemoeda. Dengan pernyataan “Satoe Bokoe – Satoe Pemoeda” seakan-akan mau mengatakan “Kalau mau jadi pemuda (Nippon, menyerupai Nippon, meneladani Nippon ‘saudara tua’ Indonesia), harus baca ini!” Kaum laki-laki, yang menjadi sasaran utamanya, seakan-akan mau di-upgrade menjadi “pemuda” setelah membaca habis buku tersebut. “Pemuda” yang dicita-citakan pun bukan pemuda biasa, melainkan pemuda yang “Memelihara semangat perang mentjapai kemenangan Asia Raja.” Pemuda yang memenuhi kriteria (ideal) tersebut adalah Pemuda Nippon – pemuda Indonesia yang “serupa tapi tak sama” dengan Nippon: laki-laki muda Indonesia ‘dipanggil’ menjadi pemuda ‘yang Nippon’ tapi ‘tidak sepenuhnya Nippon.’

Iklan lain yang bisa mewakili strategi “penjepangan” adalah iklan pasta gigi CLUB. Obat gosok gigi (istilah pada waktu itu untuk pasta gigi) CLUB divisualisasikan melalui seorang perempuan Jepang berkimono sedang tersenyum menampakkan gigi-giginya yang putih. Obat gosok gigi ini tidak hanya berguna untuk membuat gigi tak berlubang, sehat, namun juga “poetih, tjantik, bertjahaja” seperti perempuan Jepang itu. Iklan ini, daripada menjual produknya, bisa dikatakan memiliki tujuan lebih, yaitu membangkitkan “hasrat” perempuan Indonesia agar “serupa,” tapi “tak akan pernah sama,” dengan perempuan Jepang yang diimajikan sebagai “putih, bersih, dan cantik.”

Ada pula iklan yang agaknya menanamkan nilai-nilai mengenai peran laki-laki dan perempuan, serta relasi keduanya. Iklan Teh cap Kartoe, misalnya. Dalam iklan ini digambarkan seorang laki-laki sedang membaca koran sementara isterinya menyediakan “Teh tjap Kartoe.” Membaca koran di ruang duduk sambil menghirup teh yang disediakan oleh sang isteri adalah sebuah gambaran gaya hidup. Kalau dikaitkan dengan kondisi perang Jepang, agaknya, ada nilai yang dilekatkan terhadap sosok perempuan ideal dan laki-laki ideal. Perempuan ideal di masa perang Jepang adalah perempuan yang merelakan suaminya/kekasihnya pergi berperang, dan mau menanti dengan setia kepulangan suaminya/kekasihnya itu dari medan perang.

Lewat iklan, sepertinya, Jepang ingin mengatakan kepada bangsa Indonesia, “Saya dan kamu adalah sama, tapi tidak benar-benar sama dan tidak akan pernah bisa sama karena kamu adalah “saudara muda” yang harus patuh dan hormat terhadap “saudara tua.” Singkat kata, seni rupa, lewat berbagai tampilannya, dalam hal ini iklan, merupakan medium yang paling “fleksibel” untuk menjalankan “Penjepangan” itu.

Masuknya propaganda Jepang ke dalam dunia periklanan itu lewat badan yang disebut Sendenbu (Barisan Propaganda Balatentara Dai Nippon). Iklan-iklan yang masuk dalam surat kabar adalah iklan yang dinilai mempropagandakan Jepang sebagai negara bersemboyan 3A: “Jepang Pelindung Asia, Jepang Cahaya Asia, Jepang Pemimpin Asia.”

Iklan-iklan zaman Jepang ini jauh berbeda dengan zaman-zaman sebelumnya (Belanda, etc) atau setelahnya (setelah kemerdekaan dan demokrasi di Indonesia, di mana mulai banyak perusahaan periklanan yang mampu merancang iklan dengan berbagai teknik). Selain soal teknik, baik di jaman Belanda maupun di jaman Kemerdekaan, kekuasaan Pemerintah tidak masuk ke dunia komersial. Sedangkan Jepang ingin menggunakan segala bidang untuk propaganda.






Mencari Identitas Lewat Stereotipe

Seorang bapak, usianya sekitar tujuh puluh tahun, kedua tangannya terikat. Ia diseret oleh seorang polisi. Matanya seperti ingin mengatakan sesuatu, wajahnya lelah. Bapak tua itu tidak bisa membela diri, hanya berharap seseorang datang menolongnya. Polisi yang digambarkan berkebangsaan Belanda itu menuduhnya sebagai si Pitung, jagoan desa yang menjadi buronan pemerintah Belanda, karena sarung yang dipakainya. Sarung itu sama dengan sarung yang hampir selalu dipakai Pitung ketika beraksi. Dengan kasarnya sang polisi menjalankan tugasnya. Namun tiba-tiba, secepat kilat, si Pitung datang …

Kalau di Holywood dikenal Superman, Batman dan Spiderman, di dunia film Indonesia ada si Pitung, Bajing Ireng dan Jaka Sembung. Seperti di film-film kepahlawanan, sang pahlawan biasanya datang di saat yang tepat. Pengalaman Indonesia yang pernah diduduki Belanda ratusan tahun melahirkan berbagai representasi kisah “penjajahan” itu lewat berbagai media, dalam hal ini film.

Film-film seperti Si Pitung, digolongkan sebagai “film-film kompeni” karena narasi dan penokohannya. Film-film tersebut lahir saat Indonesia memasuki masa pembangunan, 1970-1980an. Mengapa tidak lebih dini? Karena, menurut catatan Eric Sasono, kritikus film Indonesia, pada masa 1950an, jenis film yang muncul adalah film-film revolusi. Film-film kompeni mulai marak pada 1970an.

Salah satu ciri dari film kompeni adalah adanya sosok seorang pahlawan (hero) yang biasanya selalu mampu mengalahkan pemerintah Belanda. Pitung adalah pahlawan bagi rakyat Indonesia di era 1970an. Si Pitung beraksi layaknya Robin Hood, berperang fisik melawan tuan-tuan tanah kaya dan kompeni Belanda demi membela masyarakatnya. Demikian juga dengan sosok Bajing Ireng, seorang perempuan bertopeng, berkostum ninja, hanya muncul di malam hari untuk merampok orang kaya, dan hasil rampokannya diberi pada orang miskin. Si Pitung, disutradarai Nawi Ismail pada 1970 dan 1977 dan Jaka Sembung dan Bajing Ireng, disutradarai Tjut Djalil pada 1983, merupakan dua diantara film-film Indonesia lain yang dirujuk Eric dalam penelitiannya.

Umumnya, stereotip, sebagai suatu istilah, berkonotasi negatif. Dalam makalahnya, Untuk Kekisahan Fantastik: Stereotip Belanda dalam Film Indonesia, dibawakan dalam rangkaian kuliah umum Stereotip Dalam Seni, Komunitas Salihara, 28 Maret 2009, Eric Sasono seperti “menetralisir” efek dari istilah stereotip itu dengan mengatakan bahwa stereotip tidak hanya menghasilkan penggambaran negatif, namun juga positif mengenai kelompok yang dikenai stereotip.

Eric tidak mengeksplorasi sejarah terjadinya stereotip di Indonesia. Definisi stereotip diambil dari definisi yang sudah disepakati bersama, yaitu anggapan atau penilaian tentang sesuatu, dalam hal ini sifat, sikap dan perilaku, yang diyakini kebenarannya dalam realitas. Dalam penelitiannya, Eric menghubungkan pemahaman stereotip tersebut dengan sejarah film Indonesia, khususnya film-film yang dikategorikan sebagai film genre kompeni dalam periode 1970-1990an.

Sosok pahlawan Indonesia dalam film-film itu pun tak lepas dari stereotip. Mereka digambarkan sebagai pahlawan religius, taat beragama, berkostum islami, memakai sorban, peci, membaca Al-Qur’an, mengucapkan doa-doa, memiliki ilmu supranatural dan beladiri yang tak tertandingi, membela kepentingan rakyat, dicintai masyarakatnya, sopan, patriotis, nasionalis, dan sebagainya. Dalam film Pahlawan Goa Selarong (Lilik Sudjio, 1972), misalnya, sosok Diponegoro berkostum jubah dan sorban putih ketika mengumumkan perang melawan Belanda, atau si Pitung, dalam film Si Pitung, mencium tangan guru dan orang tuanya untuk menggambarkan budaya sopan-santun, penghormatan orang muda terhadap orang yang lebih tua.

Berlawanan dari sosok pahlawan Indonesia, tokoh yang berperan sebagai orang Belanda digambarkan kasar, suka memaki, peminum alkohol, pemabuk, kejam, licik, rakus, menghalalkan segala cara, juga bodoh. Dalam Mereka Kembali (Nawi Ismail, 1972), orang Belanda digambarkan sedang berpesta ria sambil mabuk-mabukan. Dan pada beberapa film lain, sosok Belanda digambarkan sedang memaki-maki orang dan menggoda perempuan.

Dalam kajian Eric, stereotip terhadap kedua belah pihak itu berimbas luas. Stereotip tersebut tidak hanya menimpa Belanda, namun juga ke negara-negara yang dianggap “Barat.” Lebih khusus lagi, stereotip “Barat” itu menjadi stereotip terhadap kolonialisme. Stereotip, dalam hal ini, menjadi stereotip Bangsa Indonesia, sebagai yang mengaku diri “Timur,” terhadap kolonialisme, terhadap apa yang disebut sebagai “Barat.”

Yang menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah “pengecualian-pengecualian” terhadap stereotip itu. Mengenai Barry Prima, misalnya, sosok yang sering berperan sebagai pahlawan dalam film-film kompeni, adalah sosok yang berhidung mancung dan bertubuh tinggi, tegap, menyerupai ras kaukasus. Karakter fisik Barry jauh lebih nampak sebagai orang Belanda daripada jawara atau pahlawan lokal. Karena itu, sosok ini dikatakan Eric sebagai anomali dalam stereotip.

Barry Prima digolongkan Eric sebagai sebuah kekecualian, lepas dari stereotip yang berlaku. Namun, agaknya, tidak sesederhana itu. Jangan-jangan ini bukan masalah pengecualian stereotip. Ada relasi lain yang meminta untuk dikaji lebih lanjut, agaknya, perihal colonial mimicry, meminjam istilah Homi Bhabha, merujuk tentang ambivalensi hubungan antara Indonesia dan Belanda.

Dalam diskusi, Hikmat Darmawan, pengamat seni komik dan film, membuka pembicaraan tentang kompleks inferioritas. “Kalau mau studi poskolonial pasti ada inferiority complex …,” demikian tanggapan Eric terhadap komentar Hikmat. Sosok Barry bisa menjadi titik berangkat untuk melakukan penelitian lanjutan. Barry Prima bisa digunakan sebagai “indikator” adanya hasrat bangsa Indonesia untuk menyerupai “Barat,” sekaligus membedakan diri dengan “Barat.” Relasi antara “Timur” dan “Barat” yang dikaji lebih dalam lewat tema stereotip dan film Indonesia ini bisa memberi sumbangan pada kajian budaya dan poskolonial di Indonesia, tidak sekedar menghasilkan deskripsi isi film dan menemukan beragam stereotip di dalamnya.

Nampak disini bahwa stereotip merupakan konstruksi manusia atas lingkungannya, sebuah upaya menghadapi realitas. Eric Sasono menulis bahwa keberadaan stereotip itu memang dibutuhkan agar cerita mudah dipahami dan dicerna oleh kalangan penonton film, dalam hal ini, kelas pekerja. Namun, lepas dari sekedar mempermudah pemahaman penonton film, agaknya, melalui kajian lebih dalam mengenai stereotip, kita dapat mengetahui bagaimana stereotip itu difungsikan sebagai sebuah strategi, atau mungkin, mekanisme pertahanan diri dalam menghadapi the Other.

Grafis Marah-Marah


Tantangan Untuk Seniman Grafis




“Aksi diam melawan impunitas.” Demikian kata-kata yang tertera di atas selembar kain hitam. Spanduk hitam itu dikelilingi delapan payung hitam terbuka bertuliskan huruf putih, yang hampir semuanya diawali dengan kata “Tuntaskan.” “Tuntaskan kasus tragedi Mei 98,” “Tuntaskan kasus Talangsari 89,” “Tuntaskan kasus 65/66,” dan sebagainya. Di pojok kanan berhadapan dengan payung-payung hitam itu, ada beberapa poster Munir dan poster bergambar orang-orang hilang. Demikian Kontras, salah satu komisi yang menangani kasus orang hilang dan korban tindak kekerasan, melakukan aksinya.
Di pojok lainnya, ada beberapa gambar ilustrasi mengenai kekerasan yang terjadi pada 98, poster mengenai kasus kekerasan di Papua, penculikan para Jenderal pada 1965, kasus Marsinah, dan berbagai tindak kekerasan lain, yang hampir semua posternya pernah kita lihat di masa lalu.
Soeharto adalah salah satu sosok yang bernilai tinggi untuk dihadirkan di sini, sejajar dengan sosok Munir, Wiji Thukul, dan orang-orang hilang lainnya. Soeharto menginspirasi para desainer poster ini untuk menampilkan asosiasi dan imajinasi mereka. Sosok Soeharto dikaitkan langsung dengan segala bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi sejak ia menjabat, sampai dengan lengsernya, 1998.
“Bongkar Tuntas Kejahatan Suharto 1965,” misalnya, diikuti ilustrasi Soeharto bersosok menyerupai monster. Di sana ia sedang berdiri dengan bersepatu dan berbaju tentara, yang pangkatnya sudah diubah gambarnya, tidak lagi bintang, melainkan kantung uang dan tengkorak, berkuku panjang dan tajam, tangan kanannya menggenggam selembar kertas bertuliskan “Supersemar,” dan tangan kirinya memegang kertas bertuliskan “TAP MPRS 25/66.”
Kemudian, salah satu sampul Majalah Kontras 1998 memuat gambar Soeharto. Pada sampul depannya tertulis “Soeharto, Kontroversi Hingga Matinya. Layakkah Bendera Setengah Tiang?” lalu di sampul belakangnya, Soeharto tampil bertopi koboi, bersenjata pistol, “Wanted, Soeharto Untuk Diadili,” diikuti tulisan “Reward 15-35 milyar dikembalikan pada rakyat.” Dan dilanjutkan daftar kejahatan yang dituduhkan kepadanya.
Begitulah sekilas suasana pameran “Grafis Melawan Lupa: Pameran Media Kampanye Masyarakat Sipil Tentang Pelanggaran HAM Masa Lalu” yang diselenggarakan oleh Kontras, Elsam, ISSI (Institut Sejarah Sosial Indonesia), Grafis Sosial, dan DKJ (Dewan Kesenian Jakarta), 3-7 Juli 2009. Pameran ini diikuti oleh beberapa LSM, lembaga sosial, penerbit majalah, dan komunitas seniman grafis yang berkonsentrasi pada isu sosial-politik Indonesia, beberapa di antaranya adalah PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia), Institut Sosial Jakarta, Suara Ibu Peduli, Unifem, Yayasan Jurnal Perempuan, Amnesty Internasional, Yayasan Maju Bersama, HAH Project, Taring Padi, Atap Alis, Propagraphic Movement, dan sebagainya.
Praktek impunitas, kejahatan tanpa hukuman, di sini, menjadi topik penting yang dipersoalkan. Kejahatan kemanusiaan, pelanggaran Hak Asasi Manusia yang sudah terjadi namun selalu dibiarkan, adalah sasaran protes berbagai komunitas dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Karena itu, muncul berbagai poster yang meneriakkan dan mengingatkan adanya pelanggaran HAM, yang hampir semuanya terjadi di masa Orde Baru.
Sebagian besar poster-poster itu berbunyi “Menolak Dibodohi,” “Hentikan Perang,” “Bangkit dan Hantam Pemodal yang Rakus. Jangan Biarkan Mereka Menghisap Kita,” “Waspada Janji Palsu,” “Hapuskan Hukuman Mati dari Bumi Indonesia,” dan lain-lain. Berbagai nada protes, marah, dan dendam mewarnai poster-poster itu. Kalimat lugas dan tegas membuat pesan dapat dibaca dan mudah dipahami. Sebagian besar suasana marah yang muncul itu dalam konteks peristiwa G30S/PKI 1965, dan peristiwa kekerasan 1998.
Sekilas, dalam poster kampanye itu, yang terutama muncul adalah kampanye politik dan keberpihakan terhadap yang lemah. Unsur lain, yang juga penting dan tidak boleh dilupakan dalam sebuah poster berisi pesan pada publik, yaitu penyadaran, belum nampak di sini. Sejak dulu sampai sekarang, nampaknya tidak banyak yang mengeksplorasi dan mencipta karya yang menghadirkan kejahatan terhadap kemanusiaan dengan daya ungkap berbeda, yang sasarannya, tidak hanya marah-marah, melainkan juga (sambil) mendidik pembaca.
Ada sebuah poster yang sedikit banyak memuat daya ungkap agak berbeda, misalnya, poster himbauan dari Suara Perempuan. Poster ini bergambar komik, judulnya Perempuan Sadar Pemilu,” episode 2, diisi cerita tentang dua perempuan yang baru selesai nyoblos di TPS. Ibu Meinar, salah satu perempuan dalam komik ini, baru keluar dari bilik TPS saat Bu Siti masuk. Setelah memasukkan surat suara ke kotak suara, Bu Meinar tidak segera pulang. “Lho Bu Meinar, kok belum pulang?” tanya Bu Siti saat keluar dari bilik. “Oh saya mau nunggu sampai perhitungan suara selesai …” jawab Bu Meinar. Lalu Bu Siti spontan menjawab, “Wah untuk apa? Itu kan tugas orang laki, mendingan kita pulang nonton telenovela.” Jawaban itu disangkal oleh Bu Meinar, “Bu Siti gimana sih? Pemilu ini kan menentukan nasib kita semua.” Selain poster ini berisi pesan untuk sama-sama memantau pemilu karena keamanan dan kejujuran pemilu adalah tugas kita semua, di sini juga dapat dilihat bagaimana ideologi pembedaan jender itu begitu kentara dalam ungkapan Bu Siti. Selain isu politiknya, poster ini menarik karena jawaban Bu Meinar sangat logis dalam menyanggah pandangan kaku Bu Siti. Bu Siti tidak sadar bahwa dirinya menjadi korban atas pembedaan gender yang seharusnya tidak boleh berlaku dalam pemilu. Bahkan dalam pemilu pun perempuan ternyata tidak setara dengan laki-laki!
Poster-poster karya Taring Padi, Apotik Komik dan Propagraphic Movement, misalnya, dengan teknik seni grafis, jelas mereka lebih unggul menyuguhkan gambar. Kesan gambar itu sendiri sudah demikian kuat, andai pun tidak disertai kata. Di sini, kata lebih berfungsi sebagai tambahan, nilai tambah gambar itu sebagai poster kampanye. Seniman grafis berpotensi besar menciptakan poster kampanye dengan metode ungkap berbeda dari biasanya. Agaknya, dengan gambar pun, tanpa harus banyak kata, seniman grafis punya kekuatan untuk menciptakan poster yang lebih berkarakter, dan dengan demikian, mampu menjadi medium pembelajaran.
Dalam poster kampanye, nampak bahwa kita berjuang melawan kekerasan, dan memperjuangkan nasib siapapun yang mengalami kekerasan. Namun, hal yang perlu ditanyakan adalah: bagaimana jika orang yang menjadi korban tidak sadar bahwa dirinya menjadi korban? Karena itu, poster sebagai media kampanye seharusnya bisa menyentuh kesadaran korban; sebagai media pembelajaran dan penyadaran bagi korban terhadap kondisinya. Ia harus tahu bahwa dirinya dikondisikan menjadi korban, dan bagaimana pengkondisian itu terjadi pada dirinya.
Poster lain, misalnya, bertuliskan “Hindarkan Mereka dari Eksploitasi.” Sebagai sebuah himbauan, poster ini lugas dan tepat, namun sebagai sebuah media penyadaran, poster ini kurang mengelaborasi segi-segi kekerasan yang diungkapkannya sendiri. Kalimat “Perempuan dieksploitasi pada papan-papan iklan, …” kurang dieksplorasi dalam gambar. Hanya pojok kiri atas, dan kecil sekali, menggambarkan perempuan pada papan iklan, baliho di jalanan, nampak seperti latar belakang, tidak yang termasuk subyek utama poster. Padahal, kekerasan tidak hanya terjadi lewat fisik, tapi juga kata-kata.
Sebagian besar poster dalam pameran ini mampu menjadi media protes dan kritik sosial, namun hanya sedikit yang bisa menjadi media penyadaran dan pembelajaran bagi masyarakatnya.
Kejahatan kemanusiaan masa kini pun bisa dilupakan, dan ideologi kekerasan selalu bisa direproduksi lewat media massa. Poster-poster media kampanye ini agaknya kurang menyentuh persoalan kelupaan masa kini. Poster-poster itu, dengan kediamannya, masih menyimpan dendam. Dendam masa lalu, yang menuntut untuk diingat. Menjadi kenangan.