Juli 18, 2009

Grafis Marah-Marah


Tantangan Untuk Seniman Grafis




“Aksi diam melawan impunitas.” Demikian kata-kata yang tertera di atas selembar kain hitam. Spanduk hitam itu dikelilingi delapan payung hitam terbuka bertuliskan huruf putih, yang hampir semuanya diawali dengan kata “Tuntaskan.” “Tuntaskan kasus tragedi Mei 98,” “Tuntaskan kasus Talangsari 89,” “Tuntaskan kasus 65/66,” dan sebagainya. Di pojok kanan berhadapan dengan payung-payung hitam itu, ada beberapa poster Munir dan poster bergambar orang-orang hilang. Demikian Kontras, salah satu komisi yang menangani kasus orang hilang dan korban tindak kekerasan, melakukan aksinya.
Di pojok lainnya, ada beberapa gambar ilustrasi mengenai kekerasan yang terjadi pada 98, poster mengenai kasus kekerasan di Papua, penculikan para Jenderal pada 1965, kasus Marsinah, dan berbagai tindak kekerasan lain, yang hampir semua posternya pernah kita lihat di masa lalu.
Soeharto adalah salah satu sosok yang bernilai tinggi untuk dihadirkan di sini, sejajar dengan sosok Munir, Wiji Thukul, dan orang-orang hilang lainnya. Soeharto menginspirasi para desainer poster ini untuk menampilkan asosiasi dan imajinasi mereka. Sosok Soeharto dikaitkan langsung dengan segala bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi sejak ia menjabat, sampai dengan lengsernya, 1998.
“Bongkar Tuntas Kejahatan Suharto 1965,” misalnya, diikuti ilustrasi Soeharto bersosok menyerupai monster. Di sana ia sedang berdiri dengan bersepatu dan berbaju tentara, yang pangkatnya sudah diubah gambarnya, tidak lagi bintang, melainkan kantung uang dan tengkorak, berkuku panjang dan tajam, tangan kanannya menggenggam selembar kertas bertuliskan “Supersemar,” dan tangan kirinya memegang kertas bertuliskan “TAP MPRS 25/66.”
Kemudian, salah satu sampul Majalah Kontras 1998 memuat gambar Soeharto. Pada sampul depannya tertulis “Soeharto, Kontroversi Hingga Matinya. Layakkah Bendera Setengah Tiang?” lalu di sampul belakangnya, Soeharto tampil bertopi koboi, bersenjata pistol, “Wanted, Soeharto Untuk Diadili,” diikuti tulisan “Reward 15-35 milyar dikembalikan pada rakyat.” Dan dilanjutkan daftar kejahatan yang dituduhkan kepadanya.
Begitulah sekilas suasana pameran “Grafis Melawan Lupa: Pameran Media Kampanye Masyarakat Sipil Tentang Pelanggaran HAM Masa Lalu” yang diselenggarakan oleh Kontras, Elsam, ISSI (Institut Sejarah Sosial Indonesia), Grafis Sosial, dan DKJ (Dewan Kesenian Jakarta), 3-7 Juli 2009. Pameran ini diikuti oleh beberapa LSM, lembaga sosial, penerbit majalah, dan komunitas seniman grafis yang berkonsentrasi pada isu sosial-politik Indonesia, beberapa di antaranya adalah PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia), Institut Sosial Jakarta, Suara Ibu Peduli, Unifem, Yayasan Jurnal Perempuan, Amnesty Internasional, Yayasan Maju Bersama, HAH Project, Taring Padi, Atap Alis, Propagraphic Movement, dan sebagainya.
Praktek impunitas, kejahatan tanpa hukuman, di sini, menjadi topik penting yang dipersoalkan. Kejahatan kemanusiaan, pelanggaran Hak Asasi Manusia yang sudah terjadi namun selalu dibiarkan, adalah sasaran protes berbagai komunitas dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Karena itu, muncul berbagai poster yang meneriakkan dan mengingatkan adanya pelanggaran HAM, yang hampir semuanya terjadi di masa Orde Baru.
Sebagian besar poster-poster itu berbunyi “Menolak Dibodohi,” “Hentikan Perang,” “Bangkit dan Hantam Pemodal yang Rakus. Jangan Biarkan Mereka Menghisap Kita,” “Waspada Janji Palsu,” “Hapuskan Hukuman Mati dari Bumi Indonesia,” dan lain-lain. Berbagai nada protes, marah, dan dendam mewarnai poster-poster itu. Kalimat lugas dan tegas membuat pesan dapat dibaca dan mudah dipahami. Sebagian besar suasana marah yang muncul itu dalam konteks peristiwa G30S/PKI 1965, dan peristiwa kekerasan 1998.
Sekilas, dalam poster kampanye itu, yang terutama muncul adalah kampanye politik dan keberpihakan terhadap yang lemah. Unsur lain, yang juga penting dan tidak boleh dilupakan dalam sebuah poster berisi pesan pada publik, yaitu penyadaran, belum nampak di sini. Sejak dulu sampai sekarang, nampaknya tidak banyak yang mengeksplorasi dan mencipta karya yang menghadirkan kejahatan terhadap kemanusiaan dengan daya ungkap berbeda, yang sasarannya, tidak hanya marah-marah, melainkan juga (sambil) mendidik pembaca.
Ada sebuah poster yang sedikit banyak memuat daya ungkap agak berbeda, misalnya, poster himbauan dari Suara Perempuan. Poster ini bergambar komik, judulnya Perempuan Sadar Pemilu,” episode 2, diisi cerita tentang dua perempuan yang baru selesai nyoblos di TPS. Ibu Meinar, salah satu perempuan dalam komik ini, baru keluar dari bilik TPS saat Bu Siti masuk. Setelah memasukkan surat suara ke kotak suara, Bu Meinar tidak segera pulang. “Lho Bu Meinar, kok belum pulang?” tanya Bu Siti saat keluar dari bilik. “Oh saya mau nunggu sampai perhitungan suara selesai …” jawab Bu Meinar. Lalu Bu Siti spontan menjawab, “Wah untuk apa? Itu kan tugas orang laki, mendingan kita pulang nonton telenovela.” Jawaban itu disangkal oleh Bu Meinar, “Bu Siti gimana sih? Pemilu ini kan menentukan nasib kita semua.” Selain poster ini berisi pesan untuk sama-sama memantau pemilu karena keamanan dan kejujuran pemilu adalah tugas kita semua, di sini juga dapat dilihat bagaimana ideologi pembedaan jender itu begitu kentara dalam ungkapan Bu Siti. Selain isu politiknya, poster ini menarik karena jawaban Bu Meinar sangat logis dalam menyanggah pandangan kaku Bu Siti. Bu Siti tidak sadar bahwa dirinya menjadi korban atas pembedaan gender yang seharusnya tidak boleh berlaku dalam pemilu. Bahkan dalam pemilu pun perempuan ternyata tidak setara dengan laki-laki!
Poster-poster karya Taring Padi, Apotik Komik dan Propagraphic Movement, misalnya, dengan teknik seni grafis, jelas mereka lebih unggul menyuguhkan gambar. Kesan gambar itu sendiri sudah demikian kuat, andai pun tidak disertai kata. Di sini, kata lebih berfungsi sebagai tambahan, nilai tambah gambar itu sebagai poster kampanye. Seniman grafis berpotensi besar menciptakan poster kampanye dengan metode ungkap berbeda dari biasanya. Agaknya, dengan gambar pun, tanpa harus banyak kata, seniman grafis punya kekuatan untuk menciptakan poster yang lebih berkarakter, dan dengan demikian, mampu menjadi medium pembelajaran.
Dalam poster kampanye, nampak bahwa kita berjuang melawan kekerasan, dan memperjuangkan nasib siapapun yang mengalami kekerasan. Namun, hal yang perlu ditanyakan adalah: bagaimana jika orang yang menjadi korban tidak sadar bahwa dirinya menjadi korban? Karena itu, poster sebagai media kampanye seharusnya bisa menyentuh kesadaran korban; sebagai media pembelajaran dan penyadaran bagi korban terhadap kondisinya. Ia harus tahu bahwa dirinya dikondisikan menjadi korban, dan bagaimana pengkondisian itu terjadi pada dirinya.
Poster lain, misalnya, bertuliskan “Hindarkan Mereka dari Eksploitasi.” Sebagai sebuah himbauan, poster ini lugas dan tepat, namun sebagai sebuah media penyadaran, poster ini kurang mengelaborasi segi-segi kekerasan yang diungkapkannya sendiri. Kalimat “Perempuan dieksploitasi pada papan-papan iklan, …” kurang dieksplorasi dalam gambar. Hanya pojok kiri atas, dan kecil sekali, menggambarkan perempuan pada papan iklan, baliho di jalanan, nampak seperti latar belakang, tidak yang termasuk subyek utama poster. Padahal, kekerasan tidak hanya terjadi lewat fisik, tapi juga kata-kata.
Sebagian besar poster dalam pameran ini mampu menjadi media protes dan kritik sosial, namun hanya sedikit yang bisa menjadi media penyadaran dan pembelajaran bagi masyarakatnya.
Kejahatan kemanusiaan masa kini pun bisa dilupakan, dan ideologi kekerasan selalu bisa direproduksi lewat media massa. Poster-poster media kampanye ini agaknya kurang menyentuh persoalan kelupaan masa kini. Poster-poster itu, dengan kediamannya, masih menyimpan dendam. Dendam masa lalu, yang menuntut untuk diingat. Menjadi kenangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar