September 29, 2013

Birth of Creation

Stanislaus Yangni

esai untuk pameran Dollanan #2, JNM, 2013







1/re-kreasi

Paris, pertengahan September 1932. Antonin Artaud menulis sebuah surat, yang dilanjutkannya dua bulan setelahnya. Seluruhnya ada tiga surat pendek. Letters of Cruelty. Di sana Artaud tak hanya memaparkan kembali mengenai manifestonya, Theater of Cruelty, melainkan, lebih spesifik, tentang suatu keniscayaan dalam hidup, dan dalam penciptaan yang dinamainya sebagai “cruelty.” Demikian lah istilah “cruelty” di tangan Artaud didefinisikan kembali, tidak dalam kerangka bahasa terberi sebagai suatu terror, kekerasan, kengerian, melainkan suatu daya hidup, force, élan vital. Cruelty bak tegangan antara eros dan tanatos. Sebab hidup adalah mencipta, menjadi. Maka, cruelty, dalam konteks ini, menjadi sesuatu yang niscaya dalam hidup.

Kalau Artaud ingin mengembalikan yang teatrikal dalam teater sebagai sesuatu yang hidup, menjadi tak hanya tontonan, Dollanan #2 ini menawarkan semangat yang hampir serupa: menemukan kembali daya cipta yang hilang dalam jagad seni rupa kita, yang di dalamnya termuat spontanitas dan keberanian berproses. Dalam konteks pameran ini, dolanan tidak sekadar dipahami begitu saja sebagai sesuatu yang lucu, menghibur, bisa dinikmati, ditonton, atau dimainkan. Dollanan ingin menarik kita lebih jauh ke ihwal penciptaan itu sendiri.  

Maka, dolanan, atau dalam pameran ini Dollanan (L dobel merujuk pada pameran Dollanan #1), menjadi sesuatu yang vital. Dalam pameran ini, orang diajak untuk benar-benar dolan, bermain, tanpa pretensi menciptakan, membuat sesuatu menjadi sesuatu yang disebut sebagai “dolanan,” atau mainan, melainkan bermain itu sendiri - sebelum dolanan didefinisikan sebagai dolanan, sebelum dikatakan, sebelum ‘menyandang gelar’ dolanan. Dan sebelum ‘dinamai’ dolanan, yang ada hanyalah hasrat bermain-main. Singkatnya, dolanan di sini lebih mengacu pada gairah berkreasi (eksperimentasi).


2/dollanan

Apa yang terjadi dalam peristiwa dolanan? Atau kegiatan bermain? Orang berjumpa dengan dirinya sendiri yang paling personal, semacam ada monolog antara dia dengan dirinya sendiri tanpa ia sendiri sepenuhnya menyadarinya. Di sana ada kejujuran, kebebasan. Ia berdialog dengan tangannya, dengan mainannya, dengan apa yang sedang dikerjakannya: ia tenggelam dalam keasyikan utak-atik, trial and error, coba-coba - semangat ini yang agaknya hilang di jagad seni rupa kita. Ada wilayah yang dilupakan: wilayah sebelum sesuatu dinamakan “benda seni” dan senirupa (karena di wilayah ini lah orang berjumpa dengan dirinya yang paling jujur). Pendek kata, semangat bermain, dalam konteks ini adalah utak-atik (yang di dalamnya memuat unsur eksperimen), adalah hal yang inheren dalam sebuah proses kreasi (penciptaan).

Dalam aktivitas bermain, manusia menjadi manusia yang tidak hanya berpikir. Ada “asyik” yang berada dalam ambang batas antara kesadaran dan ketidaksadaran, hingga suatu saat, pada momen yang seringkali tak terduga, “Eureka!” Sebuah penemuan terjadi. Teriakan Archimedes yang artinya “Aku menemukannya!” ini justru terjadi dalam keadaan tidak sengaja – di Syracuse, beberapa abad silam, Sebelum Masehi, ia mandi dan terpeleset dalam bak mandinya, menjumpai keadaan tumpahnya air ketika tubuhnya terpeleset masuk bak mandi. Karene terlampau girang, ia langsung lari telanjang dan berteriak “Eureka!” Dari sini, di kemudian hari, lahirlah teori mengenai tekanan hidrostatik.

Maka, interaksi antara seseorang dengan hal-hal di sekitarnya menjadi hal yang penting. Dalam dolanan, yang terjadi bukan sekadar iseng-iseng, tapi juga bukan dengan gagahnya berusaha membuat atau mewujudkan sesuatu lewat konsep. Dolanan tidak berawal dari konsep diwujudkan ke bahan, tapi sebaliknya. Ia berasal dari pengalaman konkret, sentuhan, dan sensasi yang dipunyai oleh bahan yang mungkin mendorong orang untuk ‘memperlakukannya,’ ... Seseorang hanya nampak sedang serius (asyik) pada sesuatu yang secara tiba-tiba disentuhnya, dipegangnya, diperlakukan sedemikian rupa .. bahkan saking asyiknya, ia tak berfikir akan dijadikan apa sesuatu yang sedang dipegangnya itu  ... dan ketika tiba-tiba menjadi sesuatu ... yang juga tanpa nama karena mungkin bentuk-bentuknya, atau tampakan visualnya, belum mampu membuat ia atau kita mendefinisikannya ... karena ternyata hasilnya lepas dari segala definisi – di sinilah mereka mungkin belajar menemukan ruang di mana mereka pernah jujur, ‘nekat,’ dan bebas. Maka, bermain menjadi peristiwa yang sangat mendasar dalam hidup.

Bahan, atau keberadaan benda-benda di sekitar kita lah yang seringkali memancing hasrat orang untuk bermain. Ini misalnya terjadi pada berbagai benda milik Puthut. Puthut memiliki banyak potongan-potongan arang di halaman belakang rumahnya. Arang-arang itu sebagian sudah disusunnya dengan bentuk yang entah tergantung susunan – mana bisa menyanggah mana, hingga berderet arang-arang itu, diletakkan begitu saja dengan susunan yang juga ‘enaknya’ saja. Tapi, arang-arang itu tetap menarik dilihat kalaupun tak ada kaidah teknis komposisi apapun ketika disusun oleh sang empunya. Puthut hanya menyusunnya mengikuti kondisi, bentuk, dan besar kecilnya arang.

Kedekatan personal dengan lingkungan sekitarnya ini terlihat, misalnya Mudjitha dengan batu-batu bekas bongkaran di rumahnya yang kemudian disusun dan ditanami, Puthut dengan “sampah-sampah”nya, Ali Umar dengan rokok kretek Gudang Garam Merah yang dikonsumsinya sekitar dua tahun terakhir, Lely dengan anjing-anjingnya yang selalu diberinya tulang besar-besar untuk ‘mainan,’ Sekar dengan potongan-potongan wayang serupa boneka yang diisinya dengan kisah-kisah yang setiap malam diceritakan untuk anaknya, Ahmad Ranggi dengan laptopnya, Arif Mulyadi dengan bantal tidurnya yang penuh coretan. Pendek kata, dalam dolanan, termuat semacam kesatuan, peleburan antara seseorang dengan apa yang disentuhnya.

Peristiwa ‘kesatuan’ tersebut analog dengan kedekatan yang amat personal antara seorang anak dengan mainannya, misalnya, boneka. Meskipun sang boneka sudah sangat usang karena selalu ada bersama anak itu, dipeluk ketika tidur, dimandikan (mungkin), diajak bicara, diajak bermain, diajak pergi ke mana-mana, dan sebagainya, anak itu tak mau melepaskannya.

Kedekatan dengan sesuatu ini melahirkan bahasa baru, cara komunikasi yang berbeda, yang secara visual, misalnya, dapat dilihat pada benda-benda seperti umpan buatan Ronald.

Kegemaran memancing Ronald, misalnya, menghasilkan ‘karya’ umpan-umpan buatan yang ditempeli kail, bahkan telah digunakan untuk memancing. Ronald menikmati ‘bermain’ (proses membuat) umpan buatan itu – umpan-umpan tiruan (berbentuk berbagai jenis ikan, dan potongan-potongan ikan) dirangkai dengan mata kailnya. Ia tertarik mengamati dan mencari cara bagaimana ikan-ikan bisa ditipu dengan umpan buatannya. Ia bak membuat media komunikasi baru untuk para ikan yang tak dikenalnya, juga tak mengenalnya. Umpan itu memiliki beragam warna dan bentuk, kalau pun Ronald lebih suka yang polos dan potongannya sederhana. Melalui dolanan umpan itu lah ia mempelajari daya sensor ikan, hal-hal apa saja yang menarik ikan, misalnya bentuk, gerak, warna, ataukah cahaya.

Selain kedekatan personal itu, ada unsur lain yang juga inheren dalam peristiwa bermain, yaitu keasyikan. Tri menikmati memasukkan benda-benda kecil satu persatu ke dalam botol-botol kecil yang jumlahnya ratusan, bahkan ribuan itu. Ada bungkus obat, rambut, butiran merica, dan sebagainya yang dimasukkan ke dalam botol. Ia menikmati memilih, memasukkan, dan melihat kembali setelah sesuatu itu ada di dalam botol, seperti sedang merasai asyiknya anak-anak di tepi pantai membangun rumah-rumahan dan istana pasir.

Lihat juga misalnya empat buah kanvas kecil telah berdebu dan tak terawat yang ditemukan dalam studio Joko ‘Gundul.’ Di sana tak tampak sama sekali ciri Joko yang biasa kita kenal. Tapi, dengan begitu karya ini tampak otonom – Bisa jadi, karya ini lahir saat Joko di awal ‘karir’nya sedang mengeksplorasi tekstur, warna, ketebalan cat. Ada lagi batu-batu ‘belah’ Albara. Batu-batu tersebut telah diperlakukan sedemikian rupa dengan benda keras, digrenda, dikapak, dilukai entah dengan benda apa lagi, entah apa bentukannya. Mungkin dengan itu Albara sedang mencoba bentuk, melihat berbagai efek dalam berbagai jenis batu. Demikian juga dengan sapuan-sapuan kuas, coret-coret milik Hananta, meskipun tak beraturan, namun spontanitasnya memungkinkan ia mencari dan menemukan ritme garis dan sapuannya sendiri. Dolanan di sini bak jadi embrio: ia mampu melahirkan sesuatu yang lain yang bahkan sama sekali tak terduga oleh si pendolan.

Dalam dolanan juga termuat unsur spontanitas. ‘Karya’ berupa selembar amplop Nasirun tempat ia berandai-andai, dan ‘menyeket’ langsung apa karyanya nantinya, misalnya. Kendati tak tampak artistik, Nasirun yang dengan tiba-tiba mencoret-coret sebuah nama, namanya sendiri, dan memberi tambahan di belakang namanya dengan gelar “B.A” itu seakan menertawai dirinya sendiri dengan sesuatu yang amat sederhana. Karya itu pun langsung ia beri judul: Warisan Bung Karno. ‘Karya’ ini dibuat tepat pada 17 Agustus 2013. Ia seperti sedang bermain-main dengan dirinya sendiri lewat namanya.

Berbeda dengan yang lain, benda (‘karya’) milik Teddy sepintas tampak ‘bersih,’ steril. Namun, ada yang menarik jika dibongkar lebih jauh. Benda itu sudah tercatat sebagai karya – pernah dipamerkan, dibuat untuk pameran “Jalan Gambar.” Benda itu merupakan ‘wadah’ berikut alat gulungnya, untuk mendisplay gambar panjang. Pendek kata, benda itu fungsional. Penggulungnya dapat digerakkan oleh tangan (pada kanan-kirinya) untuk menggeser gambar di atasnya (gambar sepanjang sekitar 10 meter di atas kertas). Namun, ketika karya tersebut dipamerkan beserta gambarnya, gambar pasti menjadi sesuatu yang dominan hingga pada akhirnya, alat gulung itu menjadi sesuatu yang sekadar membantu.

Dalam pameran ini, Teddy telah menjawab sebuah pertanyaan besar Dollanan: bagaimana caranya kembali pada proses, pada alat gulung, alat display itu, bukan semata gambarnya. Gulungan pada alat itu yang ingin ditonjolkan agar orang tak semata terjebak pada gambar, karena unsur ‘dolanan’nya terletak pada gulungannya – dan keberadaan gulungan ternyata tak bisa dilepaskan dari keberadaan gambar. Akhirnya, ia harus memilih gambar apa yang tak ‘membunuh’ gulungan. Sebab ketika yang hadir berupa gambar sekuensial, semua orang bisa berhenti menggulung kapan saja dan di titik mana saja. Maka, gambar yang dipilih Teddy haruslah tunggal, dan memenuhi panjang bidang gambarnya.

Begitulah tiba-tiba Teddy memutuskan: ia akan menggambar kontol (penis) panjang dalam seluruh gulungan kertas, atau kanvasnya.

Akhirnya, gambar itu, kendati hampir pasti semua orang sudah menduga gambar apa itu, tapi mau tidak mau, keberadaan alat penggulung menjadi diperhatikan. Karena adanya satu gambar thok, yaitu penis super panjang itu, maka selain fungsional, kita bisa melihat proses menggulung, dan merasai memutar penggulungnya hingga sepuluh meter dengan dibantu gambar yang tak putus, sebab gambarnya memang hanya bisa tampak ‘selesai’ dengan memutar mesin penggulung sampai usai.

Dolanan lain, karya kinetik Harlen. Di sana tampak terjadi eksplorasi bunyi-bunyian, getaran, dan gerak. Ada sekitar empat buah (alat berbeda) ditanam di atas meja, terpisah, dan masing-masing bisa hidup, dinyalakan dengan dinamo mesin jahit.

Ada pun benda-benda dengan bentuk tak definitif, misalnya beberapa yang tampak sebagai patung, namun ‘setengah’ patung, misalnya Perisman Nazara – kendati ia membuat patung, yang notabene masih bisa dikatakan sebagai karya, bukan dolanan, namun batu apung itu tak memiliki bentuk pasti, juga tampak hanya disusun, tanpa anatomi tertentu, tanpa bentukan tertentu.

Hampir punya kecenderungan serupa dengan Nazara, ada Titus Garu, “patung-patung” mini yang bentukan visualnya tak simetris.

Selain itu, ada karya yang tampak amat berbeda di antara bentuk-bentuk “nyaris” dan nondefinitif itu. Di Dollanan ini muncul karya yang terlampau definitif: Memmo, robot milik Dukan Wahyudi. Saking definitifnya, robot Memmo agaknya minim dari peristiwa bermain itu sendiri yang notabene melibatkan ‘kenakalan’ tangan. Memmo tampak memenuhi syarat teknis dan secara visual wangun untuk dipajang dalam pameran-pameran seni visual era kini, karena ia memang agaknya dimaksudkan untuk menjadi sesuatu. Namun kehadiran Memmo di sini menarik untuk dibandingkan dengan, misalnya benda-benda milik Dwinanda Agung yang cenderung ‘lepas kontrol’ dan sama sekali tak simetris, namun tampak sedap dipandang. Paku-paku berderet yang ditempeli pada kayu secara tak simetris, selang-selang, sisa-sisa bungkus bangunan yang tak digunakan lagi bersama-sama ditempel-tempel, dirangkai-rangkai, menjadi satu, entah apa bentuknya.


3/ “pokoke jo nganti dadi uwuh.”

“Pokoknya jangan sampai jadi sampah.” Demikian pesan Bapak Mudjitha, untuk dicatat di pameran Dollanan ini. Mudjitha mungkin peserta tertua dalam pameran Dollanan #2 ini. Pesan itu sangat tepat mengingat sangat tipisnya perbedaan antara dolanan (yang selalu tampak ‘setengah jadi’) dengan sampah. Sampah bisa dimainkan, demikian sampah juga bisa diambil dan dipamerkan begitu saja. Keduanya beda tipis, tapi jelas berbeda.

Puthut mungkin bisa dikatakan hidup berdampingan bersama sampah yang berjenis-jenis. Tapi dari seluruh sampah itu, ada benda-benda mini yang ‘tertata’ unik, dari bungkus rokok, bekas pasta gigi, dsb. Menariknya, ia menyusunnya menjadi benda kecil-kecil dan diletakkan di mana saja, di pojok-pojok dinding, di tepi dinding pemisah ruangan hingga itu tak berceceran dan tak bertumpuk bak sampah, tapi juga tampak tak dimaksudkan menjadi pajangan. Puthut agaknya hanya mengambil bahan-bahan tak terpakai itu, dilinting, dirangkainya, kemudian diletakannya begitu saja di belahan rumah mana, tanpa memperhitungkan displaynya. Benda itu juga tampak tidak dengan sengaja dijadikan sesuatu dan terpisah dari sampah-sampahnya. Tak ada tempat eksklusif bagi benda-benda mini itu. Mereka bisa ada di mana-mana. Sebagian besar dari benda itu telah berdebu, tak terawat, namun bentuk hasil tangan Puthut tak hilang.

Ada lagi ‘karya’ Ali Umar. Ratusan kotak rokok kretek Gudang Garam Merah yang telah kosong itu jadi sampah, seandainya tidak disusun dan dikemas kembali oleh Ali Umar. Ia tanpa maksud mengemas itu kembali pada sebungkus plastik laundry yang masing-masing diisi penuh kotak rokok Gudang Garam itu hingga satu dus besar berisi kemasan itu. Ia hanya mengumpulkan, dan menyusunnya saja, tanpa pretensi. Kegiatan ini mengingatkan kita pada Mudjitha yang menyusun batu-batu bongkaran bangunan menjadi sesuatu yang berguna di belakang rumahnya: berbagai tanaman ditanam dan tumbuh di sana.

Dolanan, tampaknya, jika menilik lebih jauh aspek visualnya, punya ritme, punya komposisi estetik (aesthetics composition) yang mengatasi komposisi teknis. Mungkin inilah sebabnya mengapa arang-arang Puthut tampak tetap nyaman dilihat, juga spanram terbakar Pico, benda trimatra Dwinanda, batu-batu Mudjitha, trimatra Dwinanda, dan beberapa lainnya. Itulah yang membuat dolanan tampak berpotensi menjadi apa yang pada akhirnya dinamai ‘karya seni,’ kendati terlalu dini menamainya. Sampah, sebaliknya. Sampah tampak mati, ready-made, sementara dolanan in-process: ia memiliki kehidupannya sendiri, dan selalu berlangsung. Maka, beberapa benda seperti batu Albara, kelelawar raksasa Joko Widodo, gitar kayu bersenar tiga milik Alie Gopal, coretan-coretan Hananta  tampak ‘tak selesai,’ tampak hanya ‘nyaris,’ tak pasti, karena ia demikian cair untuk menjadi. Mereka bersuara, mampu bercerita, dan punya otonomi. Maka, dolanan bukan sekadar pecahan-pecahan keramik, batu-batu yang digeletakkan ditumpuk begitu saja hasil bongkaran rumah, sisa-sisa guntingan, bekas cetakan, dan semacamnya. Dalam dolanan, ada semacam “ritme” yang mau tidak mau telah demikian membedakannya dengan sampah.

Namun seringkali ada bentuk-bentuk yang tak disengaja ada begitu saja, dan ketika kita menemukannya, ia telah begitu menggoda hingga kita ragu untuk memperlakukannya lebih jauh.

Mungkin ini yang terjadi pada Iabadiou Pico. Ia mungkin menemukan bentuk ‘artistik’ dari spanram terbakar. Benda itu tampak memiliki dirinya sendiri, hingga agaknya Pico ragu untuk memperlakukannya. Ia mungkin juga ragu ketika spanram itu hanya tampak seperti sampah yang dipungut. Maka ia menempelkan itu di atas kertas, dan kertas itu diberi nama. Jadilah karya.

Sayangnya, justru ketika spanram itu telah menjadi karya karena diletakkan di atas kertas, ia seperti kehilangan kediriannya. Ia jadi benda yang dipajang. Padahal, yang menarik adalah sebuah momen di mana ketika Pico menemukan spanram terbakar dan teronggok itu, dan ia tak membuangnya.

Kisah di balik spanram terbakar ini mungkin serupa dengan yang terjadi pada setumpuk kertas HVS milik Latif yang terkena rayap, berbagai lubang hasil kerja rayap membuat Latif tak ingin membuangnya karena tampak ‘enak dilihat.’

Seperti juga Pico, Latif tak bisa menganggap kertas-kertas HVSnya itu sampah setelah dilubangi rayap. Ia tetap menyimpannya sebagai sesuatu yang bukan sampah, walau entah nantinya untuk apa. Mungkin ini juga yang menjadi keunikan dolanan, setidaknya dalam spanram terbakar dan kertas Latif: ada semacam ‘tatanan’ lain yang menggoda, sebuah tegangan mungkin - tak bisa didefinisikan secara teknis, tapi mereka (benda-benda itu) telah hadir dan mengundang kita untuk menahan keberadaannya, tidak membuangnya tanpa pikir panjang sebelumnya.


4/epilog

Pameran Dollanan ini menjadi relevan mengingat kondisi saat ini di mana kecenderungan orang langsung ingin membuat sesuatu yang disebut sebagai karya, atau “berkarya” jika ada pameran. Agaknya mereka gentar berada dalam kondisi berproses, mungkin tak tahan berlama-lama di dalamnya. Spontanitas dan keberanian berproses yang menjadi ruh dalam penciptaan telah lenyap oleh karena apa-apa yang sudah latah dinamai “Karya Seni.” Dollanan mengajak kita untuk mengenali bagaimana yang sensibel itu hadir tidak dalam apa yang “dibuat-buat.”

Maka, di sini, Dollanan, seperti telah disinggung sebelumnya, juga adalah sebentuk re-kreasi, kembali pada semangat penciptaan sebab di dalam peristiwa dolanan, manusia kembali pada sesuatu yang amat sederhana, paling mendasar, sekaligus kompleks: yang sensibel, belajar merasai kembali gairah hidup.