Februari 19, 2009

Humanisme Driyarkara Dalam Karya Visual








Bellum omnium contra omnes, homo homini lupus, perang semua melawan semua, manusia adalah serigala bagi manusia lain, begitu pandangan Thomas Hobbes (1588-1679) tentang manusia. Pada dasarnya, manusia itu egois, brutal dan berbahaya. Berbeda dengan Hobbes, John Locke (1632-1704) menganggap manusia itu pada dasarnya memiliki kekuatan sejajar, memiliki kebebasan dan berelasi satu sama lain tanpa saling merugikan. Di sanalah letak perbedaan pandangan tentang manusia dari Hobbes dan Locke.

Kemudian, Driyarkara (1913-1967) dalam rumusan filsafat manusianya, mengganti pengandaian state of nature manusia dari Hobbes itu. Ia memperkuat bentuk relasi yang terjalin antar manusia, yaitu relasi pertemanan. Karena itu, Homo Homini Socius, manusia adalah teman bagi sesamanya, menjadi titik tolak pemikirannya tentang manusia, masyarakat dan negara.

Konsep penting yang lahir dari rumusan Homo Homini Socius adalah komunikasi. Komunikasi dipandang sebagai struktur eksistensi manusia. Manusia adalah makhluk yang berkomunikasi, ada dan berdinamika dengan dunia, in-der-Welt-sein, ada dan berdinamika dengan sesamanya, Mitsein. Karena itu, komunikasi menjadi konsep kunci yang melatarbelakangi seluruh pemikiran Driyarkara.

Nicolaus Driyarkara dikenal sebagai pendidik, guru, filsuf, rohaniwan dan pengamat kebudayaan. Ia lahir pada 1913 di pengunungan Menoreh, Jawa Tengah. Driyarkara adalah pendiri sekaligus rektor pertama di perguruan tinggi Sanata Dharma (1955-1967). Dipengaruhi kuat oleh budaya Jawa, ia berhasil menerjemahkan dan merumuskan kembali pemikiran filsafat Barat ke dalam bahasa dan konteks budaya Indonesia.

Pameran bertajuk “Gelar Perupa Mendidik: Membaca Kembali Driyarkara, Kemanusiaan, Pendidikan, Kebangsaan” diselenggarakan atas kerjasama Sanata Dharma dengan kelompok SEPI (Seniman Pinggiran) dan iCAN (Indonesia Contemporary Art Network). Pameran yang diselenggarakan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta ini bertujuan mengenang saripati pemikiran Driyarkara. Beberapa pemikirannya tentang kemanusiaan, pendidikan dan kehidupan bernegara, dalam pameran senirupa 17 Desember 2008 – 17 Januari 2009 dalam rangka Dies Natalis ke-53, berusaha ditafsirkan kembali oleh para seniman melalui karya-karya visualnya.

Pemikiran-pemikiran Driyarkara yang diolah dan diangkat dalam pameran ini, antara lain, homonisasi dan humanisasi, pendidikan, moral, identitas dan kebangsaan. Karena itu, lahirlah bermacam tema dari senirupawan yang ikut dalam pameran ini.

Perihal Homo Homini Lupus, misalnya, digarap oleh Ali Rubin dalam karya instalasinya, Untitled (2008). Puluhan kepala bayi mengambang di sebuah kolam yang airnya putih. Air kolam itu diumpamakan sebagai susu. Di sana, Ali Rubin menceritakan tentang susu dan makanan instan yang meracuni bayi. Begitulah refleksi atas Homo Homini Lupus. Padahal, Driyarkara tidak berhenti pada Homo Homini Lupus.

Konsep homonisasi dan humanisasi dari Driyarkara diterjemahkan dalam karya visual yang hampir semuanya mengetengahkan kritik sosial, ketidakpuasan terhadap sistem. Dalam konteks kritik sosial itu, proses "memanusia," menjadi human, homo yang human itu sendiri belum bisa terjelaskan dalam pameran ini. Jika istilah itu sekarang dipahami sebagai yang terbalik: human yang homo, dengan alasan “peradaban” dianggap sudah “luntur”, sehingga manusia kembali ke naluri primitifnya, saling membunuh, maka agaknya, ini bukan state of nature manusia dalam pandangan Driyarkara.

Jim Allen Abel, dengan tema sejenis, dalam Epistleheaven (2008), mengisahkan pertentangan antara Homo Homini Lupus dan Homo Homini Socius. Pertentangan ini ditinjau dalam konteks sebuah blog, Epistleheaven.wordpress.com di internet. Bagaimana bentuk pertentangan itu? Tidak bisa diceritakan secara visual dalam karya ini. Karya ini sebatas pemaparan, belum sampai pada refleksi dan penjelasan tentang jenis dan bentuk hubungan kedua konsep itu.

Konsep hominisasi dan humanisasi Driyarkara tidak bisa dilepaskan dari pemikirannya tentang pendidikan. Pendidikan, pendeknya adalah proses memanusiakan manusia: homo yang human. Homonisasi adalah proses penjadian manusia dan humanisasi dipahami sebagai proses “peradaban” manusia. Humanisasi adalah pembentukan manusia menjadi persona, subyek yang terkait dan mampu berelasi, berkomunikasi dengan sesamanya. Pendidikan adalah proses yang melibatkan homonisasi dan humanisasi. Pendidikan, menurut Driyarkara, adalah pengangkatan manusia muda sampai setinggi mungkin sampai ia mampu menjalankan hidupnya sebagai manusia, mampu membudayakan diri.

Tema pendidikan dan pengajaran digarap oleh, antara lain, Dona Prawita Arisuta dan Hari Budiono. Karya ini merupakan kritik terhadap kaum intelektual yang tidak melek terhadap situasi sosial masyarakat. Mereka seakan-akan terperangkap dalam “menara gading,” dunia kampus. Mereka seperti “katak dalam tempurung.” Karya instalasi Dona, House of Freedom (2008) itu menghadirkan delapan sangkar burung mini, di dalamnya berderet-deret patung orang, bertengger di dahannya. Mereka seperti menanti tanpa ekspresi. Siapa yang dianggap ‘salah’ dalam karya ini? Sistem pendidikan, atau orang-orang yang dikatakan ‘kaum intelektual’ itu?

Hari Budiono mempersoalkan nasib guru. Walaupun persoalan guru, kalau mau dicermati dan dibandingkan, guru sebagai “pendidik” atau guru sebagai “pengajar”, belum bisa ditampilkan secara visual di sini, Lukisan tiga panel itu mengajukan pertanyaan yang cukup refleksif bagi yang melihat. Trilogi Pensil Merah Hitam: Guru Miskin Kita Prihatin, Guru Kaya Kita Bertanya (2008) milik Hari Budiono, mengangkat dilematisnya sosok guru. Kanvas pertama, sebuah pensil “Chung-Hwa” berwarna merah-hitam menusuk mata kiri seseorang. Air mata keluar dari mata itu. Panel kedua, tangan yang sedang memegang pensil, menulis “Guru miskin kita prihatin, guru kaya kita bertanya.” Lalu kanvas terakhir, orang sedang menggigit batang pensil, mulut terbuka, giginya tampak.

Konsep komunikasi dari Driyarkara yang ditarik ke dalam dunia pendidikan berimplikasi pada sosok dan peran guru. Relasi antara guru dan murid berbasis komunikasi, dialog timbal balik, dalam rangka “mendidik,” “memanusiakan manusia (muda)” dalam pandangan Driyarkara, belum banyak disentuh dalam pameran ini.

Tema kritik sosial paling banyak digarap. Pemberkatan (2008) milik Djoko Pekik, dengan kekhasan obyeknya, babi celeng, memunculkan sosok Driyarkara sebagai rohaniwan berbusana pastor. Driyarkara sedang memberkati seekor babi celeng yang tubuhnya ditulisi “Sabarlah, … sabarlah … sabarlah.” Orang-orang di belakangnya, mungkin umatnya, mengikuti ritual pemberkatan itu. Babi celeng, yang selama ini menjadi simbol sosok koruptor dan segala kejahatan sosial politik yang dilakukannya, diberkati. Pemberkatan, dalam hal ini, bisa jadi, menjadi judul yang menampilkan ironisnya mentalitas bangsa kita. Bisa jadi ritual ini adalah ritual pura-pura. Jenis mentalitas yang bagaimana yang tersaji dalam lukisan ini, kalau mau dilihat tokoh-tokohnya: rohaniwan yang disimbolkan dengan sosok Driyarkara, babi celeng bertuliskan “Sabarlah …” dan orang-orang yang di belakang rohaniwan, mengikuti, atau sekedar mengamati.

Tema komunikasi secara khusus dicoba digarap oleh Anang Saptoto melalui Toleransi (2008). Beberapa sosok manusia terbuat dari papan, datar, bagian bawahnya diberi roda. Sosok-sosok itu berderet, menempel satu sama lain, seperti bergandengan. Namun, agaknya, keberhasilan dari penafsiran ulang tentang tema komunikasi Driyarkara tidak terletak, semata-mata pada sebuah karya yang memaparkan tema itu, melainkan pada potensi sebuah karya untuk berkomunikasi, berelasi, berinteraksi dengan yang melihatnya.

Agaknya, pameran ini menemukan nilai humanitasnya bukan pada konsep Driyarkara yang berusaha diwujudkan dalam bentuk karya seni, melainkan karya-karya itu, dengan peristiwanya sendiri, melalui imajinasi senirupawannya, melahirkan “bahasa” baru untuk memaknai humanisme Driyarkara.

Karena itu, keberhasilan mengangkat “yang humanis” atau konsep humanisme ala Driyarkara tidak bisa dibuktikan dengan isi karya, atau isu-isu sosial budaya yang diangkat mereka. Keberhasilannya terletak pada terciptanya suasana “lucu dan unik,” dalam kampus Sanata Dharma. Aturan formal dan resmi diganti dengan ungkapan-ungkapan yang memiliki nilainya sendiri, misalnya dalam beberapa karya yang terletak di luar gedung: “Wong urip kudu tanggap, dab” gambar Petruk dan Gareng sedang menggotong orang sakit, “Saiki urip kudu hemat, mbok” Petruk sedang membonceng seorang ibu. “Abhot podho dipikul, entheng podho dithenteng” tertera di pintu masuk gedung. Kemudian, karya yang dipasang di pintu masuk kampus, “Pelan-pelan pasti aman,” dengan gambar bebek berjajar. “10 km/jam,” di lahan parkir motor. Lalu, di kolam-kolam kecil halaman kampus, tertulis “Dilarang nyetrum dan mengobati.” Karya-karya itu tampil lugas, dengan warna dan gambarnya, orang seakan diajak terlibat, diajak untuk betah, tidak merasa ‘diadili,’ tidak merasa ‘dituding.’ Melalui karya seni, orang “disadarkan” tanpa doktrin. Kesadaran, dalam hal ini, dibangun lewat suasana cair, menggelitik dan humoris.

Karya-karya itu, baik karya lama, yang sudah pernah dipamerkan, ataupun karya baru, mengisahkan persoalan manusia sepanjang sejarah. Ketidaksesuaian atau ketidakberhasilan seniman menangkap konsep filsafat manusia dan filsafat sosial Driyarkara, tidak semata-mata dipandang sebagai kegagalan. Walaupun tidak bisa disebut “pembacaan ulang” atas Driyarkara, dan tidak semua karya bisa dikatakan “memiliki muatan filosofis,” para senirupawan berusaha mewujudkan karya yang merupakan refleksi dari “filsafat” personal mereka tentang situasi sosial.

Konsep-konsep filsafat Driyarkara memang hampir tidak bisa diwujudkan, ditafsir ulang, atau diproblematisasi kembali lewat karya-karya itu. Tapi setidaknya, karya-karya seni yang dipamerkan di lantai 3 dan 4 gedung pusat administrasi Sanata Dharma, berikut lahan parkiran, pintu masuk kampus dan pintu masuk gedungnya, mampu, sedikit banyak, “memanusiakan” alam kampus, menjadikan kampus Sadhar “manusiawi,” akrab. Paling tidak, inilah yang dimaksud Driyarkara dengan “membudayakan diri,” membuat kampus menjadi “kampus yang manusiawi,” nyaman ditempati.

Wajah-Wajah Di Ruang Imajiner Ardana

Wajah-wajah itu menatap kita. Mereka seperti mencoba berkomunikasi dengan kita walau tanpa ekspresi khusus. Namun, tampilnya wajah-wajah itu cukup membuat kita menangkap bahwa ada proporsi yang kurang sempurna dalam lekuk wajah mereka.

Non Existence # 7, misalnya, saat menatapnya, kita cepat menangkap bahwa bagian wajah kiri beda dengan kanan. Alis kirinya berwarna krem, nyaris menyerupai kulit wajah, tipis, dan letaknya dengan mata. Mata kirinya lebih kecil dan tanpa lipatan mata, sementara mata kanannya berlipat, alisnya hitam tebal terangkat agak jauh di atas mata. Permukaan kulit pipi sebelah kanan nampak memiliki luka dan banyak kerutan, sementara pipi kirinya lebih halus. Tatap-tatap itu, lekuk hidung, bibir dan dagu itu seperti mengajak kita mengenali seseorang, membawa imaji tentang “yang lain” di benak kita. Siapa itu yang lain yang kemudian hadir ketika melihat lukisan wajah itu? Entah. Yang lain yang, hidungnya, bibirnya, atau matanya, mengundang persepsi lampau, mengundang rasa penasaran, rasa cemas, bahkan rasa mual sekalipun. “yang lain” itu muncul begitu saja, tapi tidak serta merta kita ketahui siapa dia. Dia bukan kenalan kita. Namun, dia hadir menyerupai seseorang yang sangat kita kenal, entah kapan, entah dimana.

Tujuh belas karya lukis Dewa Ngakan Made Ardana bertajuk Anonymous Project dipamerkan di Galeri Semarang, 31 Januari 2009 – 10 Februari 2009. Masing-masing diberi judul sama: Non Exixtence. Dari Non Existence #1 sampai dengan Non Existence #17, kita bisa melihat ketidaklaziman wajah-wajah mereka, baik dalam hal proporsi, maupun bentuk elemen-elemen wajah, seperti mata, hidung, alis, bibir, rahang, dan sebagainya.

Representasi tidak datang dari realitas (kenyataan di luar diri), melainkan dari ruang-ruang imaji. Demikian gagasan dasar dari Ardana. Sebelum seri wajah ini, Ardana melukis bawang putih yang dipamerkan tunggal di Ark Gallery, 2008. Dua obyek berlainan itu memiliki prinsip dasar sama. Ardana ingin membalik konsep representasi yang biasanya dipahami orang. Representasi tidak hanya dipahami sebagai sebuah tampilan, imitasi dari benda di luar diri. Representasi yang satu ini melahirkan, apa yang disebut Ardana sebagai “potret ilusif.” Demikian kekuatan representasi lebih disandarkan pada ruang-ruang imajinatif seseorang.

Dalam episode “potret ilusif,” Ardana menggeser persepsi orang tentang istilah “imaji,” atau ‘gambaran.” Pertama, ia tidak menampilkan wajah orang apa adanya seperti yang ada dalam realitas obyektif (kenyataan). Kedua, ia mempermak wajah itu sedemikian rupa (dengan cara menggabungkannya dengan bagian wajah orang lain) menjadi wajah yang “tidak proporsional.” “Permak wajah” biasanya dipahami berfungsi untuk menyembunyikan kerutan, ketidakberesan bentuk wajah, anatomi, dan sebagainya. Pada lukisan Ardana berlaku kebalikannya. Kemudian, Ardana menampilkan wajah baru yang tidak ada dalam kenyataan. “Wajah nyata baru” yang muncul, dengan demikian adalah “fantasi,” “ilusi” “imajinasi,” “wilayah imajiner” dari Ardana.

Apakah Ardana, dalam karya-karyanya kali ini, sedang membuat potret diri? Menurutnya tidak. Ardana tidak pernah membuat self potrraitnya sendiri, selain karena tidak suka, menurutnya, “Self portrait” sudah menjadi mainstream sejak dulu …” dalam hal ini, mungkin, potret diri dipahami Ardana dalam artian umum, gambar self portarit semacam Rembrant, yang cukup akurat, layaknya “pas foto.” Namun, kalau kita memahami self portrait lebih jauh, Ardana bisa dikatakan sedang merumuskan self portrait-nya sendiri melalui imaji-imaji wajah ilusif itu.

“Struktur wajah sama, biar lebih jelas adanya perubahan-perubahan yang dikerjakan. Tapi, mata, hidung dan sebagainya mengambil dari orang usia anak sampai dengan orang tua.” Ardana masih mempertahankan struktur wajah. Dengan kata lain, wajah-wajah yang dilukis Ardana tidak benar-benar terputus dengan kenyataan. Ardana sebatas “menampilkan apa yang tidak ada dalam kenyataan.” Dan ini tidak berarti terputus dari kenyataan. Tujuh belas karya yang diberi judul Non Existence ini menggambarkan pemahaman Ardana atas istilah “eksistensi.” Eksistensi dipahami Ardana sebagai “keberadaan nyata,” realitas. Dan non eksistensi berarti yang tidak ada dalam kenyataan obyektif. Bisa dikatakan bahwa seri wajah Ardana itu melahirkan realitas baru. Namun, wajah-wajah dalam seri Non Existence ini belum bisa dibilang sebagai, meminjam istilah Baudrillard, pure simulacrum.

Februari 06, 2009

Rerasanan Wong Cilik: Seni Komik dan Kesadaran Publik

Suatu siang, langit cerah. Jalan raya lancar, hanya ada beberapa kendaraan bermotor yang lewat. “Alon-alon Truk, mandek dhisik,” Gareng yang saat itu dibonceng Petruk naik motor, mengingatkan. Lampu lalu lintas berpindah segera: hijau menyala kuning, lalu sekejap merah. Pengendara lain, sejajar dengan mereka, mempercepat kendaraannya, sesaat sebelum lampu berubah merah. “Wis kuning … nekat mbablas, tabrakan lagi kroso …” Petruk mengomentari. Detik berikutnya, belakang motor mereka ditabrak pengendara lain. “Ayo cepet mlaku, durung abang,” katanya terburu-buru. Gareng langsung menoleh ke belakang, “Asem ki, wis mandek isih ditabrak …”

Demikian salah satu lakon Petruk dan Gareng dalam Lampu, komik karya Surya Wirawan. Di sebelah kiri judul, ada gambar Petruk dan Gareng beraksi memegang cat pilok (semprot), menyemprotkan cat itu ke dua lampu deret atas dari lampu lalu lintas. Dua lampu itu, yang harusnya merah dan kuning, dalam sekejap, diubah menjadi hijau. Gambar ini terkesan menyindir, begitu pula dengan isi ceritanya.

Karya lain, Sumur Butuh Banyu (2007). Dalam karya ini, fenomen 'sogokan' penerimaan pegawai negeri diceritakan menggunakan semacam perumpamaan. Suatu pagi, Gareng yang bersiap mandi, bertemu Petruk di dekat sumur. “… Ora kerja Truk … jare lolos seleksi pegawe,” tanya Gareng melihat Petruk tidak melakukan persiapan apapun. Petruk yang sedang memegang alat pancing dan seekor ikan lele, menjawab, “Ya, tapi isih kurang.” Petruk sudah lulus seleksi pegawai negeri, tetapi tidak bisa bekerja. Hal itu membuat Gareng bertanya. "Kurang ngene iki: wong arep golek sumur kok dikon nggowo banyu ..." jawab Petruk sambil menuangkan air ke dalam sumur. "Ooo ... kurang sogokan," timpal Gareng sambil memasukkan sikat gigi ke dalam mulutnya. “Sogokan” diumpamakan dan diperkuat dengan dua simbol: gayung berisi air yang dituang ke dalam sumur oleh Petruk, sambil berucap “wong arep golek sumur kok dikon nggowo banyu …” dan Gareng yang sedang ‘menyogrok’ giginya dengan sikat gigi.

Dalam pameran tunggalnya di Kedai Kebun Forum, 5 Desember sampai dengan 31 Desember 2008, Surya Wirawan, kerap dipanggil Yoyok, menampilkan karya-karya yang dikerjakan mulai 2000 sampai dengan 2008. Bentuk karyanya meliputi poster, kartu pos dan komik. Teknik yang digunakannya juga beraneka ragam, misalnya etsa, cukil kayu, linocut, drawing, dan cat air. Seluruh karyanya banyak dipengaruhi oleh Taring Padi, sebuah lembaga kerakyatan yang ikut dirintisnya sejak 1999.

Sejak 2000 sampai dengan 2008, terlihat perubahan cara penyampaian pesan dalam karya-karya Yoyok. Karya-karya terbarunya mencerminkan strategi penyampaian pesan yang lebih sederhana, menggelitik dan mudah dicerna segala kalangan. Jika Yoyok dalam karya sebelumnya banyak mengusung isu-isu sosial politik budaya dengan penyampaian yang terkesan “revolusioner,” lugas: “Tanah adalah Hidup Kami,” “Perang adalah Teror,” “Stop Perdagangan Senjata,” “Militerisme Selamanya Ganas dan Primitif,” dan sebagainya dengan medium poster ala Taring Padi, terutama, karya-karya terbarunya banyak menggunakan komik.

Melalui komik, isu-isu ketidakadilan sosial tersebut tetap sampai di masyarakat, namun dengan bentuk yang lebih ringan. Bentuk komik dengan tokoh Petruk dan Gareng ini sudah dengan sendirinya akrab di benak masyarakat. Petruk dan Gareng, dalam cerita wayang Jawa, adalah punakawan (pengawal, pengikut) yang memiliki rasa solidaritas dan rasa setiakawan tinggi terhadap ksatria yang diikutinya. Petruk dan Gareng merupakan simbol dari wong cilik, yang sering terdominasi dan tersubordinasi. Tokoh Petruk dan Gareng ini pernah tenar di masa 1980an, digarap oleh Tatang S dan Indri S.

Karya-karya komik Yoyok tergabung dalam satu tema: Rasan-Rasan. Rasan-Rasan, atau rerasanan bisa diartikan sebagai pembicaraan sederhana, singkat, sambil lalu, bisik-bisik orang karena mendengar masalah tertentu, dan semacamnya. Di bawah kategori Rasan-Rasan, agaknya Yoyok lebih fleksibel untuk bercerita berbagai hal dibanding melalui karya-karya posternya.

Melalui Rasan-Rasan, komik Yoyok mampu memaparkan narasi sosial dengan lebih detail. Mahalnya biaya sekolah diceritakan dalam Kabeh-Kabeh Sekolah (2008). Komik ini memperlihatkan situasi dan kondisi sebuah keluarga kelas menengah bawah masyarakat Jawa. “Sekolah kok larang tenan ragate,” ucap si bapak bersarung di atas sebuah dipan kayu. “Yen durung mbayar aku wegah mangkat,” sang anak menambah kebingungan bapaknya. Tak lama kemudian, muncul ide untuk menggadaikan televisi. Esok paginya, televisi itu dibawa ke pegadaian, menggunakan sepeda, sembari mengantar si Jambul, anaknya, ke sekolah. Semuanya sekolah, termasuk televisi. “Di ‘sekolah’ ne sisan, tapi neng gaden.” Tentu saja, situasi yang digambarkan dalam bentuk panel-panel itu lebih komunikatif daripada selembar poster.

Melalui dua punakawan itu, Yoyok mengungkap kritik dengan beberapa cara. Kritik terhadap perilaku polisi, misalnya, diangkat lewat teknik dan model penceritaan beragam. Model komik strip Setan Lewat dan Kambing Hitam (2005) berisi tiga panel berurutan, menceritakan perilaku polisi di jalan yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas. Kedua, karya etsa Kijang Mata Duitan (2004) berisi gambar dengan satu dialog berbentuk pantun: “Kalau ada ‘kijang’ di jalan mungkin membawa bandit celaka,” ungkap Petruk, lalu disambung Gareng dengan bait “Kalau Anda dihadang ‘keamanan’ mungkin untuk minta duit saja.” Sedangkan, Anti Suap berbentuk komik yang isinya percakapan, teka-teki yang diajukan Petruk pada Gareng tentang dua jenis polisi yang tidak bisa disuap. “ Polisi yang senantiasa jujur yang disingkirkan pada masa Soeharto …” kata Petruk, dan jenis polisi kedua, “Tuh di depan rumah …” Petruk menjawab sambil menunjuk sebuah polisi tidur. Agaknya, ini salah satu cara jitu mengajak masyarakat memperhatikan situasi politik negara ini.
Petruk dan Gareng melontarkan dialog bernada satir menggunakan bahwa Jawa ngoko dan bahasa Indonesia. Tidak hanya bahasa, latar belakang, suasana kota Yogya juga ditampilkan. Bangunan Pojok Benteng dalam Ampas, Alun-Alun dengan dua beringin besar dan warung angkringan dalam Cengkiling, antara lain, bisa diamati dalam panel-panel komiknya. Pakaian kebaya, besek berisi pisang dan pepaya dalam etsa Kijang Mata Duitan, jarit, sarung, sepeda onthel dalam Kabeh-Kabeh Sekolah, Becak ditulisi “Sumber Urip” dalam Sejak Pagi Hujan Tak Reda (2001), Palang bertuliskan “Ngebut Sikat Ndase!” yang ditempelkan di pohon dalam karya Rambu Terakhir (2004), keberadaan Mendreng dalam Mendreng Datang Ibu Sembunyi (2001), dan sebagainya, menampilkan dinamika kota Yogyakarta.

Selain perihal lokalitas, yang lama dan baru dalam sejarah kota dan perkembangannya, juga disinggung di sini. Sosok Petruk dan Gareng dalam komik ini adalah Petruk Gareng yang “lahir” dan memiliki “roh” kota Yogya era Orde Baru sampai saat ini. Dalam beberapa gambar, Petruk dan Gareng naik Honda Bebek, di saat lain mereka naik Honda BS, lalu sepeda Onthel. Kemudian, dalam hal kostum, Petruk memakai sweater, bercelana jeans, bertas pinggang, Gareng memakai kaos bergaris merah hitam, kelompok sepakbola AC Milan dalam Kabar Angin. Kemudian, di saat lain, kaos bertuliskan “Bakpia Pathuk 05” dan “Paguyuban Ojek Rejeki …” dalam Pantun Janji (2002).

Persinggungan antara tradisi, mitos dan masalah konkret dinarasikan, misalnya dalam Kabar Angin ( ). Petruk sedang menanam bougenvile di depan rumahnya. Saat itu, Gareng, memakai kaos AC Milan, datang dan mengatakan bahwa bunga bougenvile di depan rumah dapat mendatangkan kesialan. Kata-kata itu dibenarkan oleh penjual bunga yang lewat di depan rumah, “Benar, lebih baik tanam Ephorbia, bunganya mirip angka delapan, angka keramat pembawa rejeki.” Petruk menyanggah seluruh “mitos” itu. “Semuanya baik dan indah asal ada pekerjaan, tak ada pengangguran …” ungkapnya.

Kekuatan dalam komik Yoyok, selain teknik gambarnya, juga penciptaan suasana. Cara bercerita Yoyok memberikan suasana akrab bagi pembaca, terutama pembaca yang berdomisili di Yogyakarta. Yoyok, seniman yang tinggal di Kasongan, Bantul, nampaknya, berhasil menciptakan ruang interaksi antara komiknya dengan pembaca. Pembaca mungkin merasa aktual, merasa terlibat dalam seluruh peristiwa yang diceritakan Yoyok. Istilah "Asem ki," "Sikat ndase,"Dipisui polisi,” sering dipakai dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Yogyakarta. Dengan kata lain, bahasa non-verbal dalam karya komik Yoyok mampu mengajak pembaca, untuk, sedikit banyak, menjawab, mengomentari, merasakan dan menegaskan keberadaannya.

Yoyok menggarap komik tidak sebagai sebuah buku komik yang dicetak, diterbitkan dan diedarkan. Komik-komik Yoyok tinggal sebagai karya seni komik, sebagai rasan-rasan, medium penyampai pesan yang perlahan-lahan membentuk dan mengubah kesadaran publik. Selain bersifat “propaganda,” komik Yoyok juga memiliki pesan moral, yaitu penerimaan yang tidak pasif terhadap segala situasi dan permasalahannya. Pesan ini bersinggungan erat dengan mentalitas bangsa. Kehidupan dengan segala permasalahannya, dalam lakon Gareng dan Petruk ini, diamini, dicintai, sekaligus digugat.