Februari 06, 2009

Rerasanan Wong Cilik: Seni Komik dan Kesadaran Publik

Suatu siang, langit cerah. Jalan raya lancar, hanya ada beberapa kendaraan bermotor yang lewat. “Alon-alon Truk, mandek dhisik,” Gareng yang saat itu dibonceng Petruk naik motor, mengingatkan. Lampu lalu lintas berpindah segera: hijau menyala kuning, lalu sekejap merah. Pengendara lain, sejajar dengan mereka, mempercepat kendaraannya, sesaat sebelum lampu berubah merah. “Wis kuning … nekat mbablas, tabrakan lagi kroso …” Petruk mengomentari. Detik berikutnya, belakang motor mereka ditabrak pengendara lain. “Ayo cepet mlaku, durung abang,” katanya terburu-buru. Gareng langsung menoleh ke belakang, “Asem ki, wis mandek isih ditabrak …”

Demikian salah satu lakon Petruk dan Gareng dalam Lampu, komik karya Surya Wirawan. Di sebelah kiri judul, ada gambar Petruk dan Gareng beraksi memegang cat pilok (semprot), menyemprotkan cat itu ke dua lampu deret atas dari lampu lalu lintas. Dua lampu itu, yang harusnya merah dan kuning, dalam sekejap, diubah menjadi hijau. Gambar ini terkesan menyindir, begitu pula dengan isi ceritanya.

Karya lain, Sumur Butuh Banyu (2007). Dalam karya ini, fenomen 'sogokan' penerimaan pegawai negeri diceritakan menggunakan semacam perumpamaan. Suatu pagi, Gareng yang bersiap mandi, bertemu Petruk di dekat sumur. “… Ora kerja Truk … jare lolos seleksi pegawe,” tanya Gareng melihat Petruk tidak melakukan persiapan apapun. Petruk yang sedang memegang alat pancing dan seekor ikan lele, menjawab, “Ya, tapi isih kurang.” Petruk sudah lulus seleksi pegawai negeri, tetapi tidak bisa bekerja. Hal itu membuat Gareng bertanya. "Kurang ngene iki: wong arep golek sumur kok dikon nggowo banyu ..." jawab Petruk sambil menuangkan air ke dalam sumur. "Ooo ... kurang sogokan," timpal Gareng sambil memasukkan sikat gigi ke dalam mulutnya. “Sogokan” diumpamakan dan diperkuat dengan dua simbol: gayung berisi air yang dituang ke dalam sumur oleh Petruk, sambil berucap “wong arep golek sumur kok dikon nggowo banyu …” dan Gareng yang sedang ‘menyogrok’ giginya dengan sikat gigi.

Dalam pameran tunggalnya di Kedai Kebun Forum, 5 Desember sampai dengan 31 Desember 2008, Surya Wirawan, kerap dipanggil Yoyok, menampilkan karya-karya yang dikerjakan mulai 2000 sampai dengan 2008. Bentuk karyanya meliputi poster, kartu pos dan komik. Teknik yang digunakannya juga beraneka ragam, misalnya etsa, cukil kayu, linocut, drawing, dan cat air. Seluruh karyanya banyak dipengaruhi oleh Taring Padi, sebuah lembaga kerakyatan yang ikut dirintisnya sejak 1999.

Sejak 2000 sampai dengan 2008, terlihat perubahan cara penyampaian pesan dalam karya-karya Yoyok. Karya-karya terbarunya mencerminkan strategi penyampaian pesan yang lebih sederhana, menggelitik dan mudah dicerna segala kalangan. Jika Yoyok dalam karya sebelumnya banyak mengusung isu-isu sosial politik budaya dengan penyampaian yang terkesan “revolusioner,” lugas: “Tanah adalah Hidup Kami,” “Perang adalah Teror,” “Stop Perdagangan Senjata,” “Militerisme Selamanya Ganas dan Primitif,” dan sebagainya dengan medium poster ala Taring Padi, terutama, karya-karya terbarunya banyak menggunakan komik.

Melalui komik, isu-isu ketidakadilan sosial tersebut tetap sampai di masyarakat, namun dengan bentuk yang lebih ringan. Bentuk komik dengan tokoh Petruk dan Gareng ini sudah dengan sendirinya akrab di benak masyarakat. Petruk dan Gareng, dalam cerita wayang Jawa, adalah punakawan (pengawal, pengikut) yang memiliki rasa solidaritas dan rasa setiakawan tinggi terhadap ksatria yang diikutinya. Petruk dan Gareng merupakan simbol dari wong cilik, yang sering terdominasi dan tersubordinasi. Tokoh Petruk dan Gareng ini pernah tenar di masa 1980an, digarap oleh Tatang S dan Indri S.

Karya-karya komik Yoyok tergabung dalam satu tema: Rasan-Rasan. Rasan-Rasan, atau rerasanan bisa diartikan sebagai pembicaraan sederhana, singkat, sambil lalu, bisik-bisik orang karena mendengar masalah tertentu, dan semacamnya. Di bawah kategori Rasan-Rasan, agaknya Yoyok lebih fleksibel untuk bercerita berbagai hal dibanding melalui karya-karya posternya.

Melalui Rasan-Rasan, komik Yoyok mampu memaparkan narasi sosial dengan lebih detail. Mahalnya biaya sekolah diceritakan dalam Kabeh-Kabeh Sekolah (2008). Komik ini memperlihatkan situasi dan kondisi sebuah keluarga kelas menengah bawah masyarakat Jawa. “Sekolah kok larang tenan ragate,” ucap si bapak bersarung di atas sebuah dipan kayu. “Yen durung mbayar aku wegah mangkat,” sang anak menambah kebingungan bapaknya. Tak lama kemudian, muncul ide untuk menggadaikan televisi. Esok paginya, televisi itu dibawa ke pegadaian, menggunakan sepeda, sembari mengantar si Jambul, anaknya, ke sekolah. Semuanya sekolah, termasuk televisi. “Di ‘sekolah’ ne sisan, tapi neng gaden.” Tentu saja, situasi yang digambarkan dalam bentuk panel-panel itu lebih komunikatif daripada selembar poster.

Melalui dua punakawan itu, Yoyok mengungkap kritik dengan beberapa cara. Kritik terhadap perilaku polisi, misalnya, diangkat lewat teknik dan model penceritaan beragam. Model komik strip Setan Lewat dan Kambing Hitam (2005) berisi tiga panel berurutan, menceritakan perilaku polisi di jalan yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas. Kedua, karya etsa Kijang Mata Duitan (2004) berisi gambar dengan satu dialog berbentuk pantun: “Kalau ada ‘kijang’ di jalan mungkin membawa bandit celaka,” ungkap Petruk, lalu disambung Gareng dengan bait “Kalau Anda dihadang ‘keamanan’ mungkin untuk minta duit saja.” Sedangkan, Anti Suap berbentuk komik yang isinya percakapan, teka-teki yang diajukan Petruk pada Gareng tentang dua jenis polisi yang tidak bisa disuap. “ Polisi yang senantiasa jujur yang disingkirkan pada masa Soeharto …” kata Petruk, dan jenis polisi kedua, “Tuh di depan rumah …” Petruk menjawab sambil menunjuk sebuah polisi tidur. Agaknya, ini salah satu cara jitu mengajak masyarakat memperhatikan situasi politik negara ini.
Petruk dan Gareng melontarkan dialog bernada satir menggunakan bahwa Jawa ngoko dan bahasa Indonesia. Tidak hanya bahasa, latar belakang, suasana kota Yogya juga ditampilkan. Bangunan Pojok Benteng dalam Ampas, Alun-Alun dengan dua beringin besar dan warung angkringan dalam Cengkiling, antara lain, bisa diamati dalam panel-panel komiknya. Pakaian kebaya, besek berisi pisang dan pepaya dalam etsa Kijang Mata Duitan, jarit, sarung, sepeda onthel dalam Kabeh-Kabeh Sekolah, Becak ditulisi “Sumber Urip” dalam Sejak Pagi Hujan Tak Reda (2001), Palang bertuliskan “Ngebut Sikat Ndase!” yang ditempelkan di pohon dalam karya Rambu Terakhir (2004), keberadaan Mendreng dalam Mendreng Datang Ibu Sembunyi (2001), dan sebagainya, menampilkan dinamika kota Yogyakarta.

Selain perihal lokalitas, yang lama dan baru dalam sejarah kota dan perkembangannya, juga disinggung di sini. Sosok Petruk dan Gareng dalam komik ini adalah Petruk Gareng yang “lahir” dan memiliki “roh” kota Yogya era Orde Baru sampai saat ini. Dalam beberapa gambar, Petruk dan Gareng naik Honda Bebek, di saat lain mereka naik Honda BS, lalu sepeda Onthel. Kemudian, dalam hal kostum, Petruk memakai sweater, bercelana jeans, bertas pinggang, Gareng memakai kaos bergaris merah hitam, kelompok sepakbola AC Milan dalam Kabar Angin. Kemudian, di saat lain, kaos bertuliskan “Bakpia Pathuk 05” dan “Paguyuban Ojek Rejeki …” dalam Pantun Janji (2002).

Persinggungan antara tradisi, mitos dan masalah konkret dinarasikan, misalnya dalam Kabar Angin ( ). Petruk sedang menanam bougenvile di depan rumahnya. Saat itu, Gareng, memakai kaos AC Milan, datang dan mengatakan bahwa bunga bougenvile di depan rumah dapat mendatangkan kesialan. Kata-kata itu dibenarkan oleh penjual bunga yang lewat di depan rumah, “Benar, lebih baik tanam Ephorbia, bunganya mirip angka delapan, angka keramat pembawa rejeki.” Petruk menyanggah seluruh “mitos” itu. “Semuanya baik dan indah asal ada pekerjaan, tak ada pengangguran …” ungkapnya.

Kekuatan dalam komik Yoyok, selain teknik gambarnya, juga penciptaan suasana. Cara bercerita Yoyok memberikan suasana akrab bagi pembaca, terutama pembaca yang berdomisili di Yogyakarta. Yoyok, seniman yang tinggal di Kasongan, Bantul, nampaknya, berhasil menciptakan ruang interaksi antara komiknya dengan pembaca. Pembaca mungkin merasa aktual, merasa terlibat dalam seluruh peristiwa yang diceritakan Yoyok. Istilah "Asem ki," "Sikat ndase,"Dipisui polisi,” sering dipakai dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Yogyakarta. Dengan kata lain, bahasa non-verbal dalam karya komik Yoyok mampu mengajak pembaca, untuk, sedikit banyak, menjawab, mengomentari, merasakan dan menegaskan keberadaannya.

Yoyok menggarap komik tidak sebagai sebuah buku komik yang dicetak, diterbitkan dan diedarkan. Komik-komik Yoyok tinggal sebagai karya seni komik, sebagai rasan-rasan, medium penyampai pesan yang perlahan-lahan membentuk dan mengubah kesadaran publik. Selain bersifat “propaganda,” komik Yoyok juga memiliki pesan moral, yaitu penerimaan yang tidak pasif terhadap segala situasi dan permasalahannya. Pesan ini bersinggungan erat dengan mentalitas bangsa. Kehidupan dengan segala permasalahannya, dalam lakon Gareng dan Petruk ini, diamini, dicintai, sekaligus digugat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar