Februari 19, 2009

Humanisme Driyarkara Dalam Karya Visual








Bellum omnium contra omnes, homo homini lupus, perang semua melawan semua, manusia adalah serigala bagi manusia lain, begitu pandangan Thomas Hobbes (1588-1679) tentang manusia. Pada dasarnya, manusia itu egois, brutal dan berbahaya. Berbeda dengan Hobbes, John Locke (1632-1704) menganggap manusia itu pada dasarnya memiliki kekuatan sejajar, memiliki kebebasan dan berelasi satu sama lain tanpa saling merugikan. Di sanalah letak perbedaan pandangan tentang manusia dari Hobbes dan Locke.

Kemudian, Driyarkara (1913-1967) dalam rumusan filsafat manusianya, mengganti pengandaian state of nature manusia dari Hobbes itu. Ia memperkuat bentuk relasi yang terjalin antar manusia, yaitu relasi pertemanan. Karena itu, Homo Homini Socius, manusia adalah teman bagi sesamanya, menjadi titik tolak pemikirannya tentang manusia, masyarakat dan negara.

Konsep penting yang lahir dari rumusan Homo Homini Socius adalah komunikasi. Komunikasi dipandang sebagai struktur eksistensi manusia. Manusia adalah makhluk yang berkomunikasi, ada dan berdinamika dengan dunia, in-der-Welt-sein, ada dan berdinamika dengan sesamanya, Mitsein. Karena itu, komunikasi menjadi konsep kunci yang melatarbelakangi seluruh pemikiran Driyarkara.

Nicolaus Driyarkara dikenal sebagai pendidik, guru, filsuf, rohaniwan dan pengamat kebudayaan. Ia lahir pada 1913 di pengunungan Menoreh, Jawa Tengah. Driyarkara adalah pendiri sekaligus rektor pertama di perguruan tinggi Sanata Dharma (1955-1967). Dipengaruhi kuat oleh budaya Jawa, ia berhasil menerjemahkan dan merumuskan kembali pemikiran filsafat Barat ke dalam bahasa dan konteks budaya Indonesia.

Pameran bertajuk “Gelar Perupa Mendidik: Membaca Kembali Driyarkara, Kemanusiaan, Pendidikan, Kebangsaan” diselenggarakan atas kerjasama Sanata Dharma dengan kelompok SEPI (Seniman Pinggiran) dan iCAN (Indonesia Contemporary Art Network). Pameran yang diselenggarakan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta ini bertujuan mengenang saripati pemikiran Driyarkara. Beberapa pemikirannya tentang kemanusiaan, pendidikan dan kehidupan bernegara, dalam pameran senirupa 17 Desember 2008 – 17 Januari 2009 dalam rangka Dies Natalis ke-53, berusaha ditafsirkan kembali oleh para seniman melalui karya-karya visualnya.

Pemikiran-pemikiran Driyarkara yang diolah dan diangkat dalam pameran ini, antara lain, homonisasi dan humanisasi, pendidikan, moral, identitas dan kebangsaan. Karena itu, lahirlah bermacam tema dari senirupawan yang ikut dalam pameran ini.

Perihal Homo Homini Lupus, misalnya, digarap oleh Ali Rubin dalam karya instalasinya, Untitled (2008). Puluhan kepala bayi mengambang di sebuah kolam yang airnya putih. Air kolam itu diumpamakan sebagai susu. Di sana, Ali Rubin menceritakan tentang susu dan makanan instan yang meracuni bayi. Begitulah refleksi atas Homo Homini Lupus. Padahal, Driyarkara tidak berhenti pada Homo Homini Lupus.

Konsep homonisasi dan humanisasi dari Driyarkara diterjemahkan dalam karya visual yang hampir semuanya mengetengahkan kritik sosial, ketidakpuasan terhadap sistem. Dalam konteks kritik sosial itu, proses "memanusia," menjadi human, homo yang human itu sendiri belum bisa terjelaskan dalam pameran ini. Jika istilah itu sekarang dipahami sebagai yang terbalik: human yang homo, dengan alasan “peradaban” dianggap sudah “luntur”, sehingga manusia kembali ke naluri primitifnya, saling membunuh, maka agaknya, ini bukan state of nature manusia dalam pandangan Driyarkara.

Jim Allen Abel, dengan tema sejenis, dalam Epistleheaven (2008), mengisahkan pertentangan antara Homo Homini Lupus dan Homo Homini Socius. Pertentangan ini ditinjau dalam konteks sebuah blog, Epistleheaven.wordpress.com di internet. Bagaimana bentuk pertentangan itu? Tidak bisa diceritakan secara visual dalam karya ini. Karya ini sebatas pemaparan, belum sampai pada refleksi dan penjelasan tentang jenis dan bentuk hubungan kedua konsep itu.

Konsep hominisasi dan humanisasi Driyarkara tidak bisa dilepaskan dari pemikirannya tentang pendidikan. Pendidikan, pendeknya adalah proses memanusiakan manusia: homo yang human. Homonisasi adalah proses penjadian manusia dan humanisasi dipahami sebagai proses “peradaban” manusia. Humanisasi adalah pembentukan manusia menjadi persona, subyek yang terkait dan mampu berelasi, berkomunikasi dengan sesamanya. Pendidikan adalah proses yang melibatkan homonisasi dan humanisasi. Pendidikan, menurut Driyarkara, adalah pengangkatan manusia muda sampai setinggi mungkin sampai ia mampu menjalankan hidupnya sebagai manusia, mampu membudayakan diri.

Tema pendidikan dan pengajaran digarap oleh, antara lain, Dona Prawita Arisuta dan Hari Budiono. Karya ini merupakan kritik terhadap kaum intelektual yang tidak melek terhadap situasi sosial masyarakat. Mereka seakan-akan terperangkap dalam “menara gading,” dunia kampus. Mereka seperti “katak dalam tempurung.” Karya instalasi Dona, House of Freedom (2008) itu menghadirkan delapan sangkar burung mini, di dalamnya berderet-deret patung orang, bertengger di dahannya. Mereka seperti menanti tanpa ekspresi. Siapa yang dianggap ‘salah’ dalam karya ini? Sistem pendidikan, atau orang-orang yang dikatakan ‘kaum intelektual’ itu?

Hari Budiono mempersoalkan nasib guru. Walaupun persoalan guru, kalau mau dicermati dan dibandingkan, guru sebagai “pendidik” atau guru sebagai “pengajar”, belum bisa ditampilkan secara visual di sini, Lukisan tiga panel itu mengajukan pertanyaan yang cukup refleksif bagi yang melihat. Trilogi Pensil Merah Hitam: Guru Miskin Kita Prihatin, Guru Kaya Kita Bertanya (2008) milik Hari Budiono, mengangkat dilematisnya sosok guru. Kanvas pertama, sebuah pensil “Chung-Hwa” berwarna merah-hitam menusuk mata kiri seseorang. Air mata keluar dari mata itu. Panel kedua, tangan yang sedang memegang pensil, menulis “Guru miskin kita prihatin, guru kaya kita bertanya.” Lalu kanvas terakhir, orang sedang menggigit batang pensil, mulut terbuka, giginya tampak.

Konsep komunikasi dari Driyarkara yang ditarik ke dalam dunia pendidikan berimplikasi pada sosok dan peran guru. Relasi antara guru dan murid berbasis komunikasi, dialog timbal balik, dalam rangka “mendidik,” “memanusiakan manusia (muda)” dalam pandangan Driyarkara, belum banyak disentuh dalam pameran ini.

Tema kritik sosial paling banyak digarap. Pemberkatan (2008) milik Djoko Pekik, dengan kekhasan obyeknya, babi celeng, memunculkan sosok Driyarkara sebagai rohaniwan berbusana pastor. Driyarkara sedang memberkati seekor babi celeng yang tubuhnya ditulisi “Sabarlah, … sabarlah … sabarlah.” Orang-orang di belakangnya, mungkin umatnya, mengikuti ritual pemberkatan itu. Babi celeng, yang selama ini menjadi simbol sosok koruptor dan segala kejahatan sosial politik yang dilakukannya, diberkati. Pemberkatan, dalam hal ini, bisa jadi, menjadi judul yang menampilkan ironisnya mentalitas bangsa kita. Bisa jadi ritual ini adalah ritual pura-pura. Jenis mentalitas yang bagaimana yang tersaji dalam lukisan ini, kalau mau dilihat tokoh-tokohnya: rohaniwan yang disimbolkan dengan sosok Driyarkara, babi celeng bertuliskan “Sabarlah …” dan orang-orang yang di belakang rohaniwan, mengikuti, atau sekedar mengamati.

Tema komunikasi secara khusus dicoba digarap oleh Anang Saptoto melalui Toleransi (2008). Beberapa sosok manusia terbuat dari papan, datar, bagian bawahnya diberi roda. Sosok-sosok itu berderet, menempel satu sama lain, seperti bergandengan. Namun, agaknya, keberhasilan dari penafsiran ulang tentang tema komunikasi Driyarkara tidak terletak, semata-mata pada sebuah karya yang memaparkan tema itu, melainkan pada potensi sebuah karya untuk berkomunikasi, berelasi, berinteraksi dengan yang melihatnya.

Agaknya, pameran ini menemukan nilai humanitasnya bukan pada konsep Driyarkara yang berusaha diwujudkan dalam bentuk karya seni, melainkan karya-karya itu, dengan peristiwanya sendiri, melalui imajinasi senirupawannya, melahirkan “bahasa” baru untuk memaknai humanisme Driyarkara.

Karena itu, keberhasilan mengangkat “yang humanis” atau konsep humanisme ala Driyarkara tidak bisa dibuktikan dengan isi karya, atau isu-isu sosial budaya yang diangkat mereka. Keberhasilannya terletak pada terciptanya suasana “lucu dan unik,” dalam kampus Sanata Dharma. Aturan formal dan resmi diganti dengan ungkapan-ungkapan yang memiliki nilainya sendiri, misalnya dalam beberapa karya yang terletak di luar gedung: “Wong urip kudu tanggap, dab” gambar Petruk dan Gareng sedang menggotong orang sakit, “Saiki urip kudu hemat, mbok” Petruk sedang membonceng seorang ibu. “Abhot podho dipikul, entheng podho dithenteng” tertera di pintu masuk gedung. Kemudian, karya yang dipasang di pintu masuk kampus, “Pelan-pelan pasti aman,” dengan gambar bebek berjajar. “10 km/jam,” di lahan parkir motor. Lalu, di kolam-kolam kecil halaman kampus, tertulis “Dilarang nyetrum dan mengobati.” Karya-karya itu tampil lugas, dengan warna dan gambarnya, orang seakan diajak terlibat, diajak untuk betah, tidak merasa ‘diadili,’ tidak merasa ‘dituding.’ Melalui karya seni, orang “disadarkan” tanpa doktrin. Kesadaran, dalam hal ini, dibangun lewat suasana cair, menggelitik dan humoris.

Karya-karya itu, baik karya lama, yang sudah pernah dipamerkan, ataupun karya baru, mengisahkan persoalan manusia sepanjang sejarah. Ketidaksesuaian atau ketidakberhasilan seniman menangkap konsep filsafat manusia dan filsafat sosial Driyarkara, tidak semata-mata dipandang sebagai kegagalan. Walaupun tidak bisa disebut “pembacaan ulang” atas Driyarkara, dan tidak semua karya bisa dikatakan “memiliki muatan filosofis,” para senirupawan berusaha mewujudkan karya yang merupakan refleksi dari “filsafat” personal mereka tentang situasi sosial.

Konsep-konsep filsafat Driyarkara memang hampir tidak bisa diwujudkan, ditafsir ulang, atau diproblematisasi kembali lewat karya-karya itu. Tapi setidaknya, karya-karya seni yang dipamerkan di lantai 3 dan 4 gedung pusat administrasi Sanata Dharma, berikut lahan parkiran, pintu masuk kampus dan pintu masuk gedungnya, mampu, sedikit banyak, “memanusiakan” alam kampus, menjadikan kampus Sadhar “manusiawi,” akrab. Paling tidak, inilah yang dimaksud Driyarkara dengan “membudayakan diri,” membuat kampus menjadi “kampus yang manusiawi,” nyaman ditempati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar