Mahasiswa Mencatat (Ibu) Kota
Pameran Jakarta 32°C mengajak kita melihat alternatif senirupa galeri dan balai lelang. Menjual karya memang perlu, namun karya seni yang dinilai dari sisi hanya harga bakal menggersangkan kreativitas, mencerminkan jiwa yang kering, membatasi penjelajahan estetika. Pameran karya mahasiswa ini menunjukkan bahwa jalan lain itu ada dan mungkin.
Di hampir setiap sudut Kota Jakarta kita jumpai warung kaki lima pecel lele. Selain ikan lele, disediakan juga ayam, bebek, burung dara dan ikan mas. Untuk mempermudah pembeli mengenali warung berisi menu-menu itu, dipasang spanduk yang sekaligus berfungsi sebagai tirai pemisah antara warung dan sekitarnya, bergambar hewan dan ikan tersebut. Pameran seni rupa Jakarta 32°C di Galeri Nasional belum lama ini (berakhir 29 Agustus lalu) mengangkat desain spanduk warung pecel lele itu menjadi gambar pada undangan dan gambar sampul pada katalog. Desain itu menyiratkan, penyelenggara pameran ini, Ruang Rupa, mengajak mahasiswa Jakarta, peserta pameran, berbicara tentang masalah yang ada di “Kota Pecel Lele” ini, Jakarta Metropolitan.
Di hampir setiap sudut Kota Jakarta kita jumpai warung kaki lima pecel lele. Selain ikan lele, disediakan juga ayam, bebek, burung dara dan ikan mas. Untuk mempermudah pembeli mengenali warung berisi menu-menu itu, dipasang spanduk yang sekaligus berfungsi sebagai tirai pemisah antara warung dan sekitarnya, bergambar hewan dan ikan tersebut. Pameran seni rupa Jakarta 32°C di Galeri Nasional belum lama ini (berakhir 29 Agustus lalu) mengangkat desain spanduk warung pecel lele itu menjadi gambar pada undangan dan gambar sampul pada katalog. Desain itu menyiratkan, penyelenggara pameran ini, Ruang Rupa, mengajak mahasiswa Jakarta, peserta pameran, berbicara tentang masalah yang ada di “Kota Pecel Lele” ini, Jakarta Metropolitan.
Yang segera menyedot perhatian adalah karya-karya interaktif. Misalnya kotak interaktif karya Mellodramamagenta, sebuah kotak dilukisi toga dengan latar belakang rak buku berisi buku-buku tebal yang dijajarkan. Persis di bagian kepala toga, kotak ini berlubang. Pengunjung yang berminat bisa berpose memunculkan wajahnya di lubang itu dari dalam kotak. Bila difoto, jadinya adalah foto pengunjung tersebut seolah-olah selesai diwisuda lengkap dengan baju toganya. Apalagi di bagian bawah kotak tertulis: “Wisuda-Wisudaan Universitas-Universitasan 2008.”
Karya lain, milik Eko Bintang, Aku = Kamu ≠ Aku. Di atas deretan gambar lima wajah, pengunjung bisa menggambar atribut tertentu pada salah satu wajah itu dengan spidol, dipotret, kemudian coretan spidol itu dihapus lagi. Karya ini seperti memberi pemahaman baru bahwa “diri” adalah konstruksi, konsep yang dibentuk oleh diri sendiri (personal) dan oleh orang lain. Figur Box (karya Jeany Pebriwayani) mengajak orang menuliskan keinginan atau cita-citanya pada sebuah notepad kemudian ditempel di papan gabus yang disediakan.
Berbeda dari dua pameran sebelumnya, Jakarta 32°C 2008 ini menyodorkan tema khusus, yaitu Kota Jakarta. Melalui berbagai bentuk karya: drawing, instalasi interaktif, patung, fotografi, fashion, desain grafis, lukis, film, performance art dan video, mereka merespon situasi dan makna Kota Jakarta. Pameran menghadirkan 43 karya dari 36 mahasiswa, diikuti presentasi khusus dari AP. Bestari, Arief Rachman, Bujangan Urban, Eko Bintang, Heri Bertus “Sutreb,” Lily Adi Permana, Marendra Suryaningtyas “Artignore” dan Maulana “Adel” Pasha. Selain pameran, ada juga workshop, artist talk, pemutaran film, performance art dan pemberian penghargaan khusus bagi lima karya terbaik.
Kecenderungan paling kuat yang terlihat di hampir semua karya adalah semangat mahasiswa memvisualisasi ulang kehidupan sehari-hari yang terjadi di kota metropolitan Jakarta. Mereka bercerita, atau mengulang cerita, lewat karya visual. Absennya lagu anak yang biasa dinyanyikan oleh anak-anak diganti lagu-lagu pop dewasa (Lagu Anak karya I Gede Adhi JP), tayangan televisi sarat dengan berita kriminal (Bermain Bersama karya Hendry Ong), bahaya acara televisi bagi anak (Efek Televisi karya Muhamad Andi), trotoar dan jembatan penyeberangan yang alih fungsi menjadi tempat berdagang (Kios karya Hendra Bhakti), rekaman kerja pengusaha mainan anak Odong-Odong (Odong-Odong Hidupku karya Tressia Asella), nasib anak jalanan (Lost Boy karya Christine Franciska), penggunaan kerekan di rumah susun (Dari Lantai 3 karya Angga Cipta), antara lain yang dikemukakan mahasiswa peserta pameran.
Pameran ini membagi tema menjadi empat kategori: Identitas, Ruang, Sejarah dan Budaya Massa. Pada kenyataannya, pembedaan kategori itu samar, belum dirumuskan secara ketat, atau sesungguhnya batas antara tema yang satu dengan yang lain pada kenyataannya memang samar. Konsep di balik karya All You Need is Laugh (karya Kemala Putri) adalah senyum sejenak untuk melupakan keresahan, berharap agar orang yang menonton ikut tersenyum. Bisa jadi senyum itu merupakan ajakan untuk menikmati ketiadaan ruang di kota sepadat Jakarta. Dalam Tatapan Pengharapan (karya Matahari Mahardhika), pencipta karya ini mengajak kita untuk menemukan harapan untuk hidup yang lebih baik; atau, justru karya itu mencerminkan ketiadaan harapan?
Di bawah kategori Identitas, ada kecenderungan peserta pameran memahami identitas sebagai yang tampak saja, artifisial. Trckr Cp vs Blngkn (Ario Kiswinar) mengusung konsep global vs lokal dengan menyandingkan foto orang bertopi dan ber-blangkon. Perdebatan identitas di bawah istilah global dan lokal kurang dikaji lebih mendalam. Demikian juga dalam “Petjes” Identitas Hidupku, peci dilekatkan begitu saja sebagai simbol identitas manusia Indonesia. Deretan foto tokoh-tokoh masyarakat, politikus, polisi, seniman, pejabat, dan segala jenis profesi mengenakan peci seakan menyiratkan adanya keragaman budaya. Karya ini mungkin bisa dibaca sebagai pengingat bahwa masyarakat Indonesia yang kaya tradisi hidup berdampingan bersama di bawah satu simbol: peci.
Kategori lain adalah Ruang. Masalah ruang Kota Jakarta divisualisasikan oleh Godit melalui Bermain dan 24 Jam. Foto anak-anak berderet berlatar belakang tembok gedung yang penuh grafiti. Beberapa pemuda berwajah ceria nongkrong di depan Circle K (24 Jam). Keduanya adalah karya fotografi yang jelas memperlihatkan ketiadaan ruang dalam pengertian fisik.
Kategori Sejarah adalah kategori yang paling sepi dieksplorasi. Hanya ada dua karya dari jenis ini, yaitu Beatlemania (1962-2008) karya Suneo dan Benjamin S.: Muke Gile …! Karya Tigersprong 3. Di sini sejarah dipahami sebatas hal yang berkaitan dengan masa lalu, agaknya.
Kategori terakhir adalah Budaya Massa. Setelah Identitas, Budaya Massa adalah kategori yang banyak mendapat respon dari peserta. Tidak sulit memahami karya mereka. Anastasia Cyntia mengritik film-film bernuansa agama (Pildacil, patung tangan yang memegang tasbih), Dini Ariani menyoroti budaya gosip di masyarakat (Bla … Bla … Bla … , tiga mulut menganga dengan gigi-gigi berwajah manusia), Muhamad Andi menceritakan bahaya siaran televisi bagi anak (Efek televisi, karya cetak digital tiga anak duduk di sofa, dijatuhi sinar putih oleh raksasa manusia berwajah televisi, bergigi gergaji) dan Kalvin Aditya memaparkan fenomen yang muncul di televisi Indonesia sekitar 2000an, yaitu keranjingan orang menjadi artis dadakan (Idola Baru Indonesia).
Secara keseluruhan, pameran ini menunjukkan kurangnya daya imajinasi dalam menceritakan hal-hal tentang Ibukota Jakarta yang sudah menjadi milik masyarakat. Karya-karya lebih-kurang hanya memvisualisasi-ulang hal-hal yang sudah sering kita lihat, dengar dan raba di Jakarta. Dengan kata lain, masalah Jakarta belum menjadi milik pribadi penciptanya (para mahasiswa itu) melainkan merupakan pengulangan ungkapan umum. Karya-karya mereka belum menjadi “seni alternatif di ruang publik.”
Lihat misalnya dalam video Lubang (Ray Sangga Kusuma), mengungkap ketidaknyamanan karena banyaknya jalan berlubang di Jakarta. Karya lainnya, video Ampas (Renal Rinoza Kasturi) memperlihatkan salah satu akibat limbah, yaitu sungai tidak lagi jernih, video Lari! (Deni Septiyanto) mengisahkan orang yang berlari untuk mengatasi kemacetan lalu lintas di Jakarta. Karya-karya itu nampak sebagai sebuah laporan peristiwa.
Di penutupan acara pada 29 Agustus 2008, diumumkan lima karya paling menarik. Walaupun sulit, dewan juri yang terdiri dari Indra Ameng, Ade Darmawan, Hafiz, Lisabona, Irwan Ahmett dan Restu Ratnaningtyas akhirnya memilih lima karya. Di antara empat puluh karya yang menurut istilah Lisabona masih “sopan-sopan,” ini, disaring menjadi sepuluh, kemudian disaring lagi menjadi lima. Pemenang berhak mengikuti tur ke Bandung, Yogyakarta dan Surabaya. Lima karya itu adalah Tambalan (Syahrul Amami) sebuah video yang mengisahkan orang yang mengecat lubang jalan untuk memberi tanda ‘hati-hati’ kepada pengendara, “Petjes” Identitas Hidupku (Daniel R. K. Kampua) kumpulan foto yang memperlihatkan orang-orang dari berbagai jabatan, pekerjaan dan tingkat penghasilan mengenakan peci. Magrudergrind (Gilang Merdeka)……….. Benjamin: Muke Gile …! (Tigersprong 3), dokumenter dengan visualisasi cukup menarik tentang kehidupan Benjamin, sosok seniman legendaris Indonesia. Yang kelima, Resign System (Carterpaper). Karya ini sudah dipasang di daerah Parung dan Matraman. Walaupun belum bisa mempengaruhi kebijakan sistem tanda resmi di jalan, namun ini cukup menarik karena mengimajinasikan sistem tanda baru untuk dipasang di ruang publik, misalnya “Tempat Prostitusi,” (di jalan raya Parung – depok), “Boleh Pacaran,” (di jalan Taman Matraman Timur), dan tempat-tempat lain.
Melalui Jakarta 32°C, kesadaran akan pentingnya seni di ruang publik mulai tumbuh. Kota mestinya memang tidak hanya hutan beton dan rambu-rambu lalu lintas, juga karya-karya seni yang bisa menjadi “pegangan” agar manusia tidak larut dalam hiruk-pikuk yang tak manusiawi. Lahirnya komunitas-komunitas seni yang berkonsentrasi pada permasalahan kota, seperti Sakit Kuning Collectivo, Propagraphic Movement, Bujangan Urban, SERRUM, dan sebagainya merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan acara ini. Komunitas-komunitas tersebut menjadi pemicu gerakan mahasiswa kampus.
Acara ini mengajak penonton memiliki dimensi lain dari seni rupa yang belakangan ini identik dengan galeri dan balai lelang. Komersialisasi seni pada akhirnya membuat karya seni “hilang” dari publik, menjadi simpanan para kolektor. Pameran ini justru menyuguhkan karya yang tidak untuk dipajang dan dikoleksi, namun bisa dinikmati dan ‘diajak bercerita.’ Hal-hal seperti gaya hidup, harapan, kekecewaan, strategi penyelesaian masalah, kompensasi, represi dan kecemasan orang kota bisa tergambar lebih jelas dalam eksplorasi yang lebih jeli. Paling tidak, melalui acara ini, mudah-mudahan mahasiswa menjadi lebih peka terhadap berbagai masalah di lingkungannya, dan mampu mengangkat masalah-masalah keseharian itu menjadi sebentuk karya seni. Kalau belum ada yang bisa dibilang habis-habisan menggarap ide, dan memunculkan karya yang mengejutkan, mungkin hanya soal waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar