Catatan Harian Tentang Ugo Untoro
Judul: The Sound of Silence and Colors Between the Tip of a Cigarette and Fire of the Lighter (17 Years of Ugo Untoro’s Fine Arts, 1989-2006).
Penulis: Omi Intan Naomi
Tebal: 483 halaman.
Bahasa: Inggris dan Indonesia
Penerbit: Museum dan Tanah Liat, Yogyakarta
Tahun: 2008
Judul panjang itu adalah salah satu penggalan dari kata-kata Ugo Untoro dalam katalog pameran Corat-Coret 91-95, pameran tunggalnya di Bentara Budaya Yogyakarta, 1995. “ Saya ingin menjadi yang melintas di antara rokok dan korek api. Dalam hati kecil saya, saya ingin berbisik kepada udara Yogya, bahwa saya ada dan berbeda.” Demikian ungkapan Ugo yang juga dikutip dalam buku setebal 483 halaman ini.
Siapa Ugo yang melintas di antara ujung rokok dan korek api itu? Naomi menafsirkannya sebagai Ugo yang memiliki kekuatan khusus, kemampuan untuk menari di perbatasan. Ugo yang “melintas” itu adalah Ugo yang memiliki apa yang diungkap oleh Delacroix mengenai “momentum.” Ugo mampu mencatat saat, mencurahkan isi hati tepat pada saat jatuhnya hujan, bunyi gerimis pertama kali, terlepasnya embun dari ujung daun, melayang jatuh ke tanah. Demikian bunyi sunyi Ugo yang direkam Naomi, penulis buku ini.
Ugo Untoro, senirupawan kelahiran Purbalingga 1970, melejit namanya dalam dunia seni rupa Indonesia. Lelaki yang dikenal sebagai pelukis ini, walau sering juga membuat boneka dan wayang, menetap di Yogyakarta sejak 1988. Karya-karyanya belakangan ini, diminati “pasar,” menjadi incaran kolektor dan investor seni rupa. Namun, bukan karena itu Naomi memutuskan menulis tentang Ugo.
“Lewat rancah yang tak terjelaskan, hanya melihat lukisan tanpa ingin tahu apapun tentang si pelukis, sedasawarsa saya ikuti karier Ugo secara sambil lalu. Yang hinggap kebanyakan kabar angin, sebagian diantaranya faktual.” Omi Intan Naomi (1970-2006), penulis, penerjemah dan pengumpul data yang tekun, menulis buku ini atas tawaran dari Dodo Hartoko, teman Ugo Untoro, untuk memilih menulis, antara Ugo dan S. Teddy. D. Naomi memilih Ugo. Ia merekam tujuh belas tahun kekaryaan Ugo Untoro sejak ia mengenal Ugo di 1989 sampai akhir hayatnya, 2006.
Dengan gaya bahasa seperti ngobrol, bergosip, setengah bercanda, terkadang menyindir, Naomi mengatakan kepelukisan Ugo secara berbeda dari yang dikatakan banyak kurator dan pengamat seni tentang karya Ugo. Hampir semua dari mereka, menurutnya, menafsir karya Ugo melalui buku-buku yang dibaca Ugo. Naomi menolak hal ini. Karya-karya Ugo, selain disebut Naomi seperti Haiku, puisi Jepang yang pendek, simbolis, namun sarat makna, juga “ … bukan soal renung-merenung dan baca-membaca.” Karena itu, Naomi tidak banyak menyinggung isi buku yang dibaca Ugo, apalagi mengaitkannya dengan karya-karya Ugo. Mengenai buku-buku yang dikonsumsi Ugo, Naomi hanya menyinggung judul buku dan jenisnya.
Naomi lebih banyak bercerita tentang sosok Ugo melalui lingkungan dan gaya hidupnya, teman-temannya, kesukaannya akan kuda dan wayang kardus, kegemarannya membaca buku, dari buku filsafat, sastra, hingga sejarah dan komik. “Ugo lahir triwulan lebih dulu dari saya di tahun yang sama. Kelihatannya dia dan saya juga tinggal di dunia yang sama, sedikitnya di perkara buku anak-anak, film animasi, dan wayang – tiga spesies kesenian yang juga andil dalam menghancurkan keintelekan saya sekarang ini, kata tetangga.” Demikian Naomi mencatat Ugo sekaligus mencatat hidupnya sendiri.
Ketika menyinggung karya-karya Ugo, kendatipun Naomi tidak sepenuhnya percaya, ia tetap mengacu pada ulasan kurator tentang karya Ugo. Hampir setiap menyinggung karya Ugo, ia mengutip tulisan dari, misalnya, Fajar Sidik, Dwi Marianto, Hendro Wiyanto, Mella Jaarsma, Suwarno Wisetrotomo, dan sebagian kecil teman-teman Ugo.
Buku dwibahasa ini lebih merupakan catatan harian Naomi tentang Ugo. Di bagian pertama, misalnya, Ugo Menurut Teman-Teman Sekecamatan, sesunguhnya tidak bercerita tentang komentar dari teman-teman sekampung Ugo, melainkan relasi Naomi dan alasannya menulis tentang Ugo. “Jadi begitulah, saya dekat dengan Ugo, sama seperti kedekatan antara dangdut dengan seriosa,” demikian Naomi mengilustrasikan sekilas perjumpaannya dengan sosok Ugo.
Menariknya, lewat cara bercerita Naomi itu, pembaca diajak berkeliling tidak hanya di peta hidup Ugo, melainkan juga dalam dunia seniman Yogyakarta. Pembaca diajak memahami habitus seniman Yogya. Lewat apa yang disebutnya, “kabar angin,” pembaca awam memiliki gambaran, sedikit banyak, tentang Malioboro, Rumah Seni Cemeti, “markas Suwage” yang disebut Naomi semacam “simbiosis parasitisme” bagi perupa pemula, “demamnya” pelukis mengoleksi istilah-istilah filosofis untuk memperlihatkan “keintelekan,” kebiasaan mengkonsumsi obat-obatan di kalangan seniman, kegemaran memelihara dan membawa hewan piaraan ke kampus ISI, sampai uneg-uneg pemilik galeri tentang kerja kurator, serta hal-hal lain yang belum tentu berelasi signifikan dengan karya Ugo, melainkan dengan penulis buku ini.
Disamping paparan naratifnya, buku ini bisa dibilang menarik karena Naomi berhasil menunjukkan sikap dan penilaiannya terhadap sosok Ugo. Ia tidak hanya memaparkan tentang kehidupan Ugo, juga menyangkal beberapa pandangan Ugo tentang hidup. Sayangnya, pernyataan kesendirian, kesunyian dan kesepian Ugo Untoro yang dikatakan Naomi sebagai “kesepian tanpa kesakitan,” itu tidak disajikan mendalam dalam buku ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar