Seorang bapak, usianya sekitar tujuh puluh tahun, kedua tangannya terikat. Ia diseret oleh seorang polisi. Matanya seperti ingin mengatakan sesuatu, wajahnya lelah. Bapak tua itu tidak bisa membela diri, hanya berharap seseorang datang menolongnya. Polisi yang digambarkan berkebangsaan Belanda itu menuduhnya sebagai si Pitung, jagoan desa yang menjadi buronan pemerintah Belanda, karena sarung yang dipakainya. Sarung itu sama dengan sarung yang hampir selalu dipakai Pitung ketika beraksi. Dengan kasarnya sang polisi menjalankan tugasnya. Namun tiba-tiba, secepat kilat, si Pitung datang …
Kalau di Holywood dikenal Superman, Batman dan Spiderman, di dunia film Indonesia ada si Pitung, Bajing Ireng dan Jaka Sembung. Seperti di film-film kepahlawanan, sang pahlawan biasanya datang di saat yang tepat. Pengalaman Indonesia yang pernah diduduki Belanda ratusan tahun melahirkan berbagai representasi kisah “penjajahan” itu lewat berbagai media, dalam hal ini film.
Film-film seperti Si Pitung, digolongkan sebagai “film-film kompeni” karena narasi dan penokohannya. Film-film tersebut lahir saat Indonesia memasuki masa pembangunan, 1970-1980an. Mengapa tidak lebih dini? Karena, menurut catatan Eric Sasono, kritikus film Indonesia, pada masa 1950an, jenis film yang muncul adalah film-film revolusi. Film-film kompeni mulai marak pada 1970an.
Salah satu ciri dari film kompeni adalah adanya sosok seorang pahlawan (hero) yang biasanya selalu mampu mengalahkan pemerintah Belanda. Pitung adalah pahlawan bagi rakyat Indonesia di era 1970an. Si Pitung beraksi layaknya Robin Hood, berperang fisik melawan tuan-tuan tanah kaya dan kompeni Belanda demi membela masyarakatnya. Demikian juga dengan sosok Bajing Ireng, seorang perempuan bertopeng, berkostum ninja, hanya muncul di malam hari untuk merampok orang kaya, dan hasil rampokannya diberi pada orang miskin. Si Pitung, disutradarai Nawi Ismail pada 1970 dan 1977 dan Jaka Sembung dan Bajing Ireng, disutradarai Tjut Djalil pada 1983, merupakan dua diantara film-film Indonesia lain yang dirujuk Eric dalam penelitiannya.
Umumnya, stereotip, sebagai suatu istilah, berkonotasi negatif. Dalam makalahnya, Untuk Kekisahan Fantastik: Stereotip Belanda dalam Film Indonesia, dibawakan dalam rangkaian kuliah umum Stereotip Dalam Seni, Komunitas Salihara, 28 Maret 2009, Eric Sasono seperti “menetralisir” efek dari istilah stereotip itu dengan mengatakan bahwa stereotip tidak hanya menghasilkan penggambaran negatif, namun juga positif mengenai kelompok yang dikenai stereotip.
Eric tidak mengeksplorasi sejarah terjadinya stereotip di Indonesia. Definisi stereotip diambil dari definisi yang sudah disepakati bersama, yaitu anggapan atau penilaian tentang sesuatu, dalam hal ini sifat, sikap dan perilaku, yang diyakini kebenarannya dalam realitas. Dalam penelitiannya, Eric menghubungkan pemahaman stereotip tersebut dengan sejarah film Indonesia, khususnya film-film yang dikategorikan sebagai film genre kompeni dalam periode 1970-1990an.
Sosok pahlawan Indonesia dalam film-film itu pun tak lepas dari stereotip. Mereka digambarkan sebagai pahlawan religius, taat beragama, berkostum islami, memakai sorban, peci, membaca Al-Qur’an, mengucapkan doa-doa, memiliki ilmu supranatural dan beladiri yang tak tertandingi, membela kepentingan rakyat, dicintai masyarakatnya, sopan, patriotis, nasionalis, dan sebagainya. Dalam film Pahlawan Goa Selarong (Lilik Sudjio, 1972), misalnya, sosok Diponegoro berkostum jubah dan sorban putih ketika mengumumkan perang melawan Belanda, atau si Pitung, dalam film Si Pitung, mencium tangan guru dan orang tuanya untuk menggambarkan budaya sopan-santun, penghormatan orang muda terhadap orang yang lebih tua.
Berlawanan dari sosok pahlawan Indonesia, tokoh yang berperan sebagai orang Belanda digambarkan kasar, suka memaki, peminum alkohol, pemabuk, kejam, licik, rakus, menghalalkan segala cara, juga bodoh. Dalam Mereka Kembali (Nawi Ismail, 1972), orang Belanda digambarkan sedang berpesta ria sambil mabuk-mabukan. Dan pada beberapa film lain, sosok Belanda digambarkan sedang memaki-maki orang dan menggoda perempuan.
Dalam kajian Eric, stereotip terhadap kedua belah pihak itu berimbas luas. Stereotip tersebut tidak hanya menimpa Belanda, namun juga ke negara-negara yang dianggap “Barat.” Lebih khusus lagi, stereotip “Barat” itu menjadi stereotip terhadap kolonialisme. Stereotip, dalam hal ini, menjadi stereotip Bangsa Indonesia, sebagai yang mengaku diri “Timur,” terhadap kolonialisme, terhadap apa yang disebut sebagai “Barat.”
Yang menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah “pengecualian-pengecualian” terhadap stereotip itu. Mengenai Barry Prima, misalnya, sosok yang sering berperan sebagai pahlawan dalam film-film kompeni, adalah sosok yang berhidung mancung dan bertubuh tinggi, tegap, menyerupai ras kaukasus. Karakter fisik Barry jauh lebih nampak sebagai orang Belanda daripada jawara atau pahlawan lokal. Karena itu, sosok ini dikatakan Eric sebagai anomali dalam stereotip.
Barry Prima digolongkan Eric sebagai sebuah kekecualian, lepas dari stereotip yang berlaku. Namun, agaknya, tidak sesederhana itu. Jangan-jangan ini bukan masalah pengecualian stereotip. Ada relasi lain yang meminta untuk dikaji lebih lanjut, agaknya, perihal colonial mimicry, meminjam istilah Homi Bhabha, merujuk tentang ambivalensi hubungan antara Indonesia dan Belanda.
Dalam diskusi, Hikmat Darmawan, pengamat seni komik dan film, membuka pembicaraan tentang kompleks inferioritas. “Kalau mau studi poskolonial pasti ada inferiority complex …,” demikian tanggapan Eric terhadap komentar Hikmat. Sosok Barry bisa menjadi titik berangkat untuk melakukan penelitian lanjutan. Barry Prima bisa digunakan sebagai “indikator” adanya hasrat bangsa Indonesia untuk menyerupai “Barat,” sekaligus membedakan diri dengan “Barat.” Relasi antara “Timur” dan “Barat” yang dikaji lebih dalam lewat tema stereotip dan film Indonesia ini bisa memberi sumbangan pada kajian budaya dan poskolonial di Indonesia, tidak sekedar menghasilkan deskripsi isi film dan menemukan beragam stereotip di dalamnya.
Nampak disini bahwa stereotip merupakan konstruksi manusia atas lingkungannya, sebuah upaya menghadapi realitas. Eric Sasono menulis bahwa keberadaan stereotip itu memang dibutuhkan agar cerita mudah dipahami dan dicerna oleh kalangan penonton film, dalam hal ini, kelas pekerja. Namun, lepas dari sekedar mempermudah pemahaman penonton film, agaknya, melalui kajian lebih dalam mengenai stereotip, kita dapat mengetahui bagaimana stereotip itu difungsikan sebagai sebuah strategi, atau mungkin, mekanisme pertahanan diri dalam menghadapi the Other.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar