Tragedy
of the Figural
Stanislaus Yangni
Dalam “Line and the Letter,”
sebuah tulisannya yang didedikasikan pada Paul Klee dan Andre Lhoté;
Jean-Francois Lyotard, pemikir yang banyak dipengaruhi oleh gagasan
fenomenologi, menuliskan bahwa “the less
‘recognizable’ the line, the more it becomes visible.” Semakin suatu garis
tidak dapat dikenali, garis itu justru semakin kelihatan (ketok). Ia menyatakan dirinya sendiri secara langsung di depan
kita, entah melalui apa yang dibentuknya, atau hanya ia sendiri. Tapi apa yang
bisa dilihat dari sesuatu yang tak dapat dikenali? Lyotard menjawab: Yang
Figural.
Yang
Figural (akan dibedakan sangat tajam dengan yang figuratif) ini, konon adalah
sebuah cara, jalan untuk menyingkapkan ‘yang visual’ di dalam yang terlihat, “ ... the figural is the way to reveal the
visual inside the visible,” yang dalam istilah Klee, mungkin “invisible force,” Maldiney mengatakannya
“ritme,” sementara Cezanne menyebutnya “sensation.”
“Yang visual” ini bukanlah suatu esensi bentuk, atau semacam ‘bentuk ideal’
dari sesuatu, melainkan suatu peristiwa,
“an event in the visible itself.”
Bisa
jadi, seni adalah suatu peristiwa yang terjadi dalam pengalaman melihat itu
sendiri.
“Figuring-text,
Texting-Figure” ini memberi kesempatan pada kita bicara tentang “yang
visual” dalam lukisan. Sekilas, di sini
mungkin terlihat, dan mungkin muncul anggapan bahwa ini adalah semacam ‘ajang’
duet antara pelukis realis-figuratif yang “memuja bentuk” dengan abstrak-ekspresionis
yang dianggap “melalaikan” bentuk. Tapi bukan itu. Keduanya tidak berangkat
hanya dari perihal bentuk, dan tulisan ini tak akan bicara tentang
kecenderungan gaya, maupun narasi di balik karya.
1/teks
Saat berhadapan pada sebuah
karya (lukisan) yang sekilas berisikan sekumpulan teks, coretan, garis tak
beraturan, dan sebagainya, pengalaman kita yang pertama adalah pengalaman
melihat. Pendek kata, sebelum membaca, kita lebih dulu melihat teks. Teks itu
terbentuk dari sambungan garis yang berupa abjad, huruf, lalu sekumpulan kata.
Tapi teks yang tertulis di sana, andai terbaca pada momen pertama kita melihat
pun, bukannya tanpa dilema. Ia tetap bagian dari karya lukis di atas kanvas
(misalnya), sejelas apapun teks itu hadir di depan kita. Di Indonesia, kanvas
yang semata-mata berisikan teks saja rupanya belum digarap. Selalu ada
ruang-ruang lain, semacam sapuan lain yang menyertai teks, “menghias teks,”
atau memberi semacam “penyangga” sebagai ‘landasan’ teks di atas kanvas, yang
efeknya jadi terlihat bak lukisan abstrak. Di sana, seringkali teks terlihat
belum mampu menyatakan dirinya sendiri padahal ia - di sini saya bisa
menyebutnya juga dengan tulisan – tetaplah punya roh Figural: “yang Figural”
tetap punya kemungkinan muncul dalam yang tekstual. Figur, atau “yang Figural”
ini memang tak mesti berbentuk.
Teks,
mula-mula dalam karya Dedy, Damai Semesta
Alam (2013) dan Humanist Theory (2013),
dibentuk lewat screen (teknik sablon)
di atas kanvas, beberapa kali hingga tampak berlapis-lapis. Teks ‘tumpang
tindih’ yang awalnya dimaksudkan sebagai tekstur itu masih sangat jelas
terbaca, sekeras apapun Dedy memberi “coretan” lain di atasnya, mencoba
“melemahkan outline,” menyamarkan
garis tepi yang serupa frame pada Damai
Semesta Alam, misalnya. Teks yang berupa cuplikan dari buku - atau naskah
yang pernah dibaca Dedy ini, antara lain,“Manusia hasil rekayasa Tuhan?” dan
sebagainya ini - kendati fungsi awalnya sebagian besar sebagai background yang akan diangkat kembali
menjadi ‘teks depan,’ namun bak terlanjur tampak dominan menyangga keseluruhan
kesan dalam lukisan Dedy.
Teks
yang terbentuk dengan coretan tangan Dedy pun tampak ‘kalah saing’ dengan teks
yang ditulis komputer. Begitu tegas, formal, dingin. Namun ini menarik karena
terlihat interaksi antara yang manual dan yang optikal: Dedy, dengan tangannya
sendiri bak berusaha menghapus, mengangkatnya kembali, menimpanya dengan
tulisan yang makin tak terbaca.
Karya
lainnya, yang terlihat jauh berbeda dengan tiga karya screennya, yaitu Berpikir
Dosa (2013) dan Alice in Wonderland
(2013) menyuguhkan kesan spontan yang kuat. Teks dibentuk oleh tangan. Di karya
tersebut Dedy seperti sedang menulis, mencatat, dan mencoret-coret buku tulis,
atau papan tulis. Kalaupun teksnya terbaca, misal “Lucky luke,” “Iras-Isar,”
dan angka-angka dalam Berpikir Dosa,
ia (coretan-coretan itu) tampak sebagai Figur itu sendiri, bukan penyangga,
bukan hiasan. Teks di sini berbeda dengan teks screen Dedy. Kalau di karya screen,
teks bagai jadi penyangga, tapi juga terlalu tegas hingga agaknya teks malah
menjadi sesuatu yang figuratif. Namun, di karya ini, “Yang Figural” bak mulai
muncul lewat efek hapusan putih, sapuan kuas putih, merah, serupa tip-ex,
kadang merah, kadang abu-abu. Kesan jejak di sini lebih kuat. Hubungan
teks-figur pada Alice in Wonderland
(Figur tidak dalam arti obyek, melainkan garis yang menggabungkan diri: gambar
wajah, garis serupa awan-awan, dsb) membentuk jalinan yang ritmis. Pendek kata,
Gambar itu menyatu dengan garis-tulisan yang melahirkan ritme. Di sinilah “yang
visual” bisa dikatakan muncul dalam teks.
Dua
karya Dedy itu setidaknya menuntun kita pada dua fenomen kreasi, selain
gagasannya mengenai intertekstualitas, yaitu: pertama, teks-image (teks yang sudah menjadi image, cenderung bersifat figuratif),
dan kedua, teks-form, semacam teks
yang seolah-olah sedang menjadi, mencari bentuk.
Kecenderungan
pertama, teks-image ini muncul pada,
misalnya karya Farhan yang mengambil ikon-ikon produk makanan, obat, dan
sebagainya yang sering kita lihat di mana-mana, dan karya Agus Baqul, Ayat Kursi #8. Kalau Dedy membangun
ritme dengan cara menghapus, mengisi, mengosongkan, melanggar, Farhan mungkin
punya cara serupa, walau ia nampak masih gamang karena teks yang digunakannya
sudah jadi ikon, image yang sudah
mapan.
Lewat
ikon, teks yang sudah menjadi image ini,
Farhan agaknya ingin bermain dengan “space.”
Ia mencari yang kosong dalam yang penuh, dan yang penuh dalam yang kosong.
“Space available” dalam karya Fill More
in the Blank (2013) yang bisa kita
kenali lewat conteng-conteng merah itu sekaligus menandai ruang putih (kosong)
yang terjepit. Kosong dan penuh itu agaknya bergantian, saling menyatakan diri,
menjadi sama. Bisa jadi, keduanya memang sama-sama ilusi. Kosong itu penuh,
demikian sebaliknya. Di karya yang lainnya, Just
Eat It Up, kita melihat bungkus bermerek makanan instan yang jadi sampah
dibuang. Di sini space lebih
ditonjolkan lewat bentukan tak beraturan ikon yang serupa tumpukan sampah itu.
Ikon-ikon mereka jadi jungkir balik. Agaknya di sini, Figur punya celah lahir:
lewat space yang tak terduga
kemunculannya.
Dalam
karya Agus Baqul, Ayat Kursi #8, teks
nampak begitu dominan, jelas terbaca. Teks itu bak meminimalisasi permainan
warna yang biasa diolah Baqul. Dalam karya ini, warna bak sekadar memberi
dimensi, bayangan di belakang teks.
Karya
tersebut berbeda dengan karya Baqul lainnya yang memiliki kekuatan pada lapisan
warna, dan tampak lebih spontan, misalnya jalinan ritmis antara garis (huruf
kaligrafi) cokelat tua dan biru pada At
Thariq ayat 1. Semua warna dalam karya Baqul agaknya bisa muncul,
tenggelam, muncul lagi, tenggelam lagi. Tak
selesai. Tak ada habisnya ketika ia tidak memutuskan mana warna “akhir”
yang akan diangkat, dimunculkan. Bahkan, ketika warna itu tak diinginkan, bisa
diangkat warna lainnya. Begitulah, ritme lahir lewat tone, ketidakselesaian perjumpaan dan saling-kelindan antar warna.
Karya TAB IV dan TAB V merupakan dua seri terbaru dan tergolong eksperimentatif.
Baqul menggunakan warna dan gerak, dan efeknya pada mata ketika penimpaan warna
tak seberagam biasanya, malah cenderung silau di TAB seri V, di mana warna merah muda yang dioleskan hanya sekali
pada kanvas (karena efeknya menarik Baqul, ia tak menimpanya lagi), diisi
tulisan abu-abu yang ternyata teks dari lagu Tanah Air Beta. Tulisan teks lagu
“Tanah Air Beta.” Pada TAB seri VI,
walau tak kaya warna, tampak bahwa rangkaian kata Baqul sedang bergerak menuju,
atau menjadi sesuatu yang entah. Di sini, bukan pesannya yang berjalan,
melainkan bentukan visualnya: gerak garisnya yang bak ‘meleleh’ dari huruf semula.
2/ Figur
Kalau teks yang terlalu mapan,
solid dan pasti itu berisiko menggugurkan “yang figural,” atau “yang visual”
dalam lukisan, demikian juga figur. Agaknya keberadaan figur ini akan selalu
dihantui oleh satu bahaya besar: figurasi, representasi. Karena untuk menemui
“yang visual,” logika pemaknaan, signifikasi, representasi tak berlaku di sini.
Seperti musik, dalam lukisan, “yang visual” ini ditemukan lewat ritme.
Menariknya,
perjumpaan figur dan teks ini bisa dilihat pada zona di mana keduanya melebur,
yaitu garis. Seperti juga pada teks, figur pun bisa menjadi image, ikon, atau form (proses menjadi “yang Figural”)
karena keberadaan garisnya.
Kalau
dalam karya yang dominan berisi “teks” kita bak penjelajah pencari “yang
Figural” dalam teks lewat ritme, dalam karya bernuansa figuratif kita bak
sedang menjadi tim penyelamat: me-rescue
Figur, juga lewat ritme. Figur sudah ada di sana, tapi bagaimana
menyelamatkannya, menariknya keluar agar ia tidak terjebak dalam figurasi.
Agaknya, ini beban berat bagi para seniman.
Namun, apakah benar ia, yang visual, “yang Figural” itu dapat
diselamatkan?
Mula-mula
di sini ada Seno dan Anis yang dengan teknik realisnya menggarap figur yang
juga realis, figur manusia. Anis memilih nada parodi, sedang Seno menghadirkan
potret, apa adanya, yang tentu saja menonjolkan wajah dan pose manusia.
Ada
yang menarik di Seno, kendati ini sangat riskan untuk menyelamatkan Figur: ia
bak sedang menggarap dua lukisan dalam satu kanvas. Latar belakang dan figur.
Keduanya ini digarap terpisah, dalam arti berbeda kecenderungan dan cara
memperlakukannya. Bagi Seno, latar belakang diperlakukan, dan digarap sebagai
lukisan abstrak, dengan akrilik, dan figur digarap setelahnya dengan teknik
realis cat minyak. Keduanya tampak terpisah, bak potret sesungguhnya di mana
figur berpose di depan sesuatu, kain layar, misalnya, yang jadi latar
belakangnya.
Lihat
karya Tjindur III (Harmony). Sekilas,
figur tampak menonjol, menguasai bidang kanvas, bak mengalahkan latarnya.
Namun, agaknya, kemunculannya tidak banyak diantisipasi oleh latar belakangnya.
Dengan kata lain, ia bak tidak menyatu dengan latarnya hingga ritme tak muncul.
Kendati pun di latar belakang tampak diusahakan memberi konteks pada figur,
misalnya dengan coret-coretan serupa gambar anak TK (mungkin ingin
menggambarkan bahwa figur itu masih usia TK, atau SD), namun figur tampak
tenggelam lagi dalam latar yang meriah itu. Demikian juga pada Tjindur II (Rain). Anak laki-laki duduk
di atas semacam tiang beton, membawa payung yang tak dibuka. Mungkin ia sedang
dalam posisi kedinginan, setelah bermain-main di bawah hujan. Latarnya
coretan-coretan serupa rumus-rumus di bangku sekolah. Pendek kata, figur
manusia Seno seolah sendiri, tak sedang menempati space-nya, atau berinteraksi dengan latarnya. Salah satu yang
tampak menyatu (utuh), figur dan latarnya, agaknya bisa dilihat pada sebuah
karya lama Seno, Message for My
Government (2011).
Anis
mungkin tak punya pengalaman sebagai pelukis potret seperti Seno. Figur manusia
Anis tampak ‘steril,’ namun menyimpan potensi untuk dideformasi. Figur-figur
Anis mengingatkan kita akan ikon-ikon
Farhan: keduanya mengacu pada bentuk solid. Di sini, Anis kelihatannya asyik
bermain-main dengan “potongan tubuh” yang bisa jadi image yang sedang dalam proses dikembalikan pada “form.” Ia melakukannya lewat permainan
mimik. Ia sangat mungkin kaya teknik visual menghadirkan beragam ekspresi dan
cara orang tertawa, entah menyimpan sinisme, atau ironi kehidupan, lihat pada
karya-karya Puppet Director Series.
Karya barunya, sebuah karya kolaborasi ia dengan anaknya, Father and His Son Fight (the First) mungkin menjadi babak baru
eksperimentasinya dengan kanvas terisi penuh – walau tampaknya tak sekuat karya
sebelumnya.
Kemudian
ada Popok dan Januri yang figur-figurnya tampak imajiner. Figur-figur mereka
bukan sosok manusia realis seperti Seni dan Anis. Popok dengan figur-figur
manusia yang saya sebut “serupa dengan kayu,” dan manusia Januri yang
“patah-patah dan berserat” dengan masih nuansa kayu.
Popok
dan Januri memiliki kekuatan di garis, dengan karakter yang jelas berbeda.
Garis Popok tampak tertutup, tebal, kuat dan tampak “membungkus figur.”
Kecenderungan ini agaknya memang melekat sejak lama, dan diperkuat dari
pengalamannya sebagai ilustrator. Dalam figur-figurnya yang komikal, tampak
kesan visual garis dan warna kuat. Kesan figuratif diperoleh terutama lewat
garis outline yang menutup, bak
mengikat figur, misalnya dalam Fetching a
Glory. Namun itu tampaknya bisa disiasati dengan pengolahan beragam
ekspresi pada figur-figurnya, sapuan kuas, atau dengan warna yang mungkin lebih
‘gosong,’ untuk menunda efek ilustratif yang masih kuat. Garis Popok bisa
dikatakan “garis yang berkarakter cukil” walaupun di atas kanvasnya ini
garisnya tidak dihasilkan dari cukilan.
Kalau
Agus Baqul bereksperimentasi dengan warna pink
di karya terbarunya, Januri menggunakan monokrom biru dan hijau terang
serupa permen di dua kanvas karya terbarunya.
Ia memenuhi bidang kanvas dengan figur yang tampak tumpang tindih, tanpa
landscape yang biasanya lebih besar
dari figur, dan tampak jadi space
figur walaupun figur tetap tampak tak menjejak tanah. Figur penuh bak tanpa
pusat, menyebar (pada Rame Ing Gawe #2).
Selain itu, di karya terbarunya ini, ada perubahan bentuk figur, yaitu tampak lebih
deformatif, lebih tanpa karakter khusus (tanpa kostum “petani” yang biasanya
dihadirkan), lebih anonim, dan lebih gemuk. Di sini, agaknya, bukan figur yang
menempati space, seperti karya-karya
sebelumnya, tapi figur yang mencipta space.
Pendek kata, “yang Figural” itu agaknya dapat ditemukan lewat space, ruang perspektif, komposisi yang
tercipta lewat figur. Figur Januri tampak bergerak ritmis, dan rapi. Kalau di
musik klasik, ia mungkin seumpama Mozart.
Epilog
Barangkali, jejak “yang
Figural” ini dapat kita rasakan saat kita melihatnya: ia memancing kita untuk
melanjutkannya, entah dalam bentuk apa. Ia tak pernah berhenti pada pesan, dan
tak selesai sebagai image.
Pameran
ini bisa menjadi ruang eksperimentasi agar teks lebih imajinatif dan figur bisa
mengatasi dirinya sendiri. Keduanya disandingkan agar mampu melihat batas
masing-masing, dan pada gilirannya ‘batas’ itu bisa menjadi “ruang ketiga,”
semacam zone of indiscernibility,
zona ketika teks dan figur saling mengadakan, merasuk, menjadi: mereka ada pada
momen tanpa dikotomi.