esai untuk pameran Melupa, Ugo Untoro, 20 September 2013, Ark Galerie, Yogyakarta
Stanislaus Yangni
Ugo Untoro, Dari Bawah ke Atas (2013) |
1/ melepas lukisan
Ugo yang kita kenal selama ini adalah Ugo yang melukis
tubuh, figur, bentuk. Kendati ia salah satu yang sering menyertakan tulisan
dalam lukisannya, tapi kita lebih mengenalnya sebagai pelukis figuratif, dalam
arti ada bentuk, ada sosok dalam lukisannya.
Tapi ada suatu masa di mana bentuk itu menjadi begitu
membosankan, dan melukis tampak menjadi seperti menghias. Ini mungkin merekam
ingatan masa awal remajanya, saat Ugo masih berseragam putih-biru, jatuh hati
pada lukisan Sudjojono di buku Koleksi Lukisan Soekarno. Lukisan itu tak hanya
figur, tapi juga ada tulisannya.
Sejak itu, Sudjojono begitu hidup dalam ingatannya.
Tapi ia tak melukis seperti Sudjojono melukis. Terlebih kali
ini. Ugo sedang tak ingin menggambar bentuk. Pendeknya, ia jenuh dengan bentuk.
Maka, sapuan kuas yang terkesan asal-asalan ‘ala’ Sudjojono pun tak tampak, dan
satu pun bentuk dalam arti figur tak muncul. Kali ini seluruh latar belakang
lukisannya monokrom, dan sapuannya tak kelihatan sama sekali. Ia menulis di
atas kanvas. Lukisannya tulisan. Ugo melukis tulisan. Dengan kata lain, Ugo
menulis.
Tak hanya bentuk. Ada hal lain yang khas dalam lukisan yang ingin
ia ‘singkirkan,’ yaitu yang dia katakan sebagai aspek artistik. Lukisan, atau
karya yang memuat kata ‘seni,’ mau tak mau mengandung, atau nilainya terletak
pada “artistik.” Artistik – dalam konteks ini (berbeda dengan ‘Yang Indah’)
berupa elemen-elemen rupa yang sudah dianggap ‘standar,’ mapan dalam seni rupa,
seperti komposisi, garis, warna, tekstur, volume, dan sebagainya. Walaupun
dalam lukisan figuratifnya itu semua sudah tak dipedulikan, dalam arti
tertentu, dilampaui – namun, setidaknya, ketika melukis, menurutnya, tetap masih
memuat pertimbangan pilihan, misalnya warna, atau komposisi. Masih
dilihat-lihat enaknya gimana. Ia ingin membebaskan diri dari itu, bak laku kenosis – mengosongkan diri, melepaskan
diri dari lukisan, melupa sebentar, menjaraki diri, sambil tak bisa, dan tak
mungkin menyangkal bahwa ia sedang melukis.
Ia seperti sedang kembali pada yang tampak bukan lukisan dengan semangat melukis.
Maka muncul lah karya-karya yang kalau dilihat lebih jauh,
tampak sangat manusiawi - dan mungkin saya bisa katakan: telanjang. Ugo tidak
ingin berhias, atau pun menghias. Ia hanya ingin bercerita, apa pun isinya. Dengan
menulis ia merasa lebih bebas, tanpa harus distilisasi, diurutkan, dan
sebagainya, hingga pada akhirnya ia menemukan bahwa menulis – tangan yang
bergerak membentuk huruf, mengurutkannya - dirasainya sama dengan melukis.
2/ melukis tulisan
Lukisan tulisan ini mengingatkan kita pada kecenderungan karya
yang menggunakan teks. Bahkan, ada
beberapa karya yang tampakan visualnya mirip karya Ugo. Tapi Ugo bukan seniman
teks. Ia tak menggunakan teks seperti tren seni konseptual era avant-garde yang konon marak di Amerika 1970an. Teks, atau
tulisan dalam karyanya, itulah lukisannya.
Oleh karena itu ia berbeda dengan Annabel Daou yang menyalin
konstitusi, The Declaration of the Cause
and Necessity of Taking Up Arms (2006), atau karya transliterasi pada In Constitution (2006) yang mentranskrip
teks dari bahasa Inggris ke Arab, kendati tampilan visualnya tulisan tangan
nyaris penuh, sekilas serupa karya Ugo. Ada tujuan, semacam konsep dalam karya Daou:
ia ingin memperlihatkan adanya missing
character yang tak bisa dielakkan pada proses transliterasi.
Ugo juga tidak mengabadikan pendapatnya mengenai seni dan
lukisan seperti pada karya John Baldessari, What
Is Painting (1966-68) dengan huruf cetak dan latar belakang polos, atau Mel Bochner, yang kendati memang ingin
membuat “apa yang tidak tampak sebagai seni,” namun pada karyanya tampak ‘tertata,’
ada pertimbangan komposisi, olahan latar belakang, dan cenderung sarat konsep
hingga orang harus berpikir ketika melihatnya.
Tulisan Ugo juga tak ditata sedemikian rupa seperti puisi
Sutarji yang ditata sedemikian rupa memiliki aspek ornamentik melalui permainan
suku kata, bukan pula karya kolase berupa tempelan teks dari berbagai sumber seperti
Leonore Tawney, misalnya, atau Molly
Springfield yang banyak menggunakan teks dari buku teks yang difotokopi, atau
dirangkum, semacam notes bacaan.
Karya tulisan Ugo juga berbeda dengan Mira Schor yang ‘melukisi’ bidang kosong
dengan sepatah kata, Joseph Kosuth yang karyanya pernah dijuluki linguistic art, atau yang lebih lampau,
Rene Magritte yang bak bermain dengan teka teki antara teks dan image.
Mereka tampak punya kesadaran ‘memainkan’ teks dan makna,
membuat orang berpikir. Mereka melek
tipografi. Tapi Ugo tidak. Ia hanya ingin bercerita dan melukis dengan cara
terus menulis. Ia bahkan tampak tanpa maksud untuk berkomunikasi, maka, kalau
pun tampak ada cerita pada beberapa kanvas, semuanya terkesan hanya mengalir
dan patah. Sobek. Ia menulis tidak berawal dari tema, dan kalimat selanjutnya
setelah kalimat sebelumnya adalah rangkaian kata-kata yang muncul begitu saja,
lahir di saat bersamaan ketika ia dengan kuas, pena, atau spidolnya menyentuh
kanvas.
3/ act of painting
Dulu ia pernah menulis dengan sangat pendek, dikumpulkan
dalam sebuah buku Short Short Stories.
Tapi kini ia menulis lebih panjang dan lebih banyak dari yang selama ini
mungkin pernah ia tulis. Ugo bak ngomong
dhewe, bicara sendiri lewat tulisan tangannya. Tak peduli apa itu akan
dibaca, ditelaah, atau diapakan. Ia hanya ingin menulis. Maka, kanvas
besar-besar diawalinya dari ujung tanpa garis tepi, sampai ke ujung kanan tanpa
garis tepi.
Tulisan tak bertepi ini muncul pada sebagian besar karyanya,
di antaranya Mata Kaki (2013), Akhirnya Anjing (2013), Dari Bawah ke Atas (2013). Di sana kesan
tak selesai begitu kuat. Kendati pun kanvas telah penuh, kesan belum selesai
itu tetap muncul. Juga pada karya lainnya, misal Minus (2013). Tulisannya bak bertahan selalu di tengah-tengah,
selalu seakan ‘sedang dalam proses pengerjaan’ hingga pada akhirnya bukan lagi isi yang akan
kita lihat, melainkan act of painting,
yang dalam istilah Deleuze sebagai “diagram,” atau “graph,” dari kata Yunani, Diagraphein yang artinya memberi
tanda-tanda, coretan, garis-garis, sesaat sebelum lahirnya lukisan. Ia bak
sketsa yang meminta kita kembali karena nyaris selesai, tampak selesai, bisa
sudah, bisa belum, bisa barusan mulai, dan bisa dilanjutkan. Ia meminta untuk
dilanjutkan, dimulai kembali, karena awal dan akhir, mulai atau selesai, pada
akhirnya adalah sebuah keputusan, bisa jadi ilusi, demi pemahaman.
Mata Kaki (2013),
misalnya. Di sana tampak kisah yang terus ngomong,
bicara pada kita, sembari terus melintas, seperti sebuah nomadic line, garis yang dinamis, berpindah, tanpa arah yang pasti,
dan tampak tanpa henti. Maka, di sini, bisa jadi Ugo sebenarnya sedang melukis (tentang)
melukis, melukiskan melukis, atau menulis (tentang) menulis, menuliskan menulis.
Tanpa sadar ia membawa kita pada pengalaman melukis itu sendiri, sebuah perjalanan
kreasi: Kembalinya spontanitas yang inheren dalam proses melukis itu, sebuah
“aksi melukis” – yang harusnya bebas dari kekhawatiran akan yang artistik.
Pada karya Dari Bawah
ke Atas (2013), kita bisa membacanya dari manapun. Ugo memang menulis dari
bawah ke atas, tanpa berurusan dengan urutan apa yang ditulisnya hingga kita
bisa membacanya dari mana saja. Ada cerita di dalam cerita, dan berbagai adegan
yang tak direncanakan. Lapisan-lapisan ini dimungkinkan hadir karena Ugo tidak
terperangkap alur dan tanda waktu. Ada tokoh cerita dengan nama dan
kegiatannya, ada deskripsi kejadiannya, dan hampir semua bidang ditulisi bisa
jadi tanpa klimaks, hanya cuplikan, sobekan (ingat sobekan kertas koran
pembungkus nasi yang kalau kita baca dan merasa beritanya menarik, tapi kita
sedikit kecewa karena ia terpotong). Klimaks bisa saja terjadi di kanvas yang
lain secara tiba-tiba, sebuah klimaks dari kisah yang lain lagi. Tak jarang,
dengan gaya tutur seperti ini, cerita lahir di tengah, atau menjelang akhir,
misalnya Dinamit (2013), yang setelah
banyak bertutur tentang apapun, kemudian merucut pada sebuah adegan
menegangkan.
Selain kanvas yang tanpa tepi dan dipenuhi kalimat ‘cerita,’
ada lagi bentuk lain: berbagai adegan yang tak ada kaitannya bak tumpang tindih
dihadirkan dalam satu kanvas. Pada Puntung
Panjang (2013), kanvas besar di bagian kanan tengah berisi potongan-potongan
kalimat, “Lautan karang. Burung-burung yang berjatuhan. Simpang tujuh.
Perempuan cantik” dan berisi beberapa baris frase-frase semacam itu. Di bagian
lain, ada tulisan kalimat sangat tipis, tak sebanding dengan latar belakang
hijau tua gelap itu, dan di bagian lainnya, ada huruf-huruf Arab. Kanvas ini berisi
setidaknya sepuluh sobekan (kalimat-kalimat yang tak ada hubungannya satu sama
lain tapi ada bersamaan di atas kanvas). Bentuk sobekan-sobekan yang terkumpul
ini juga tampak pada Igau #2, ada
kalimat yang dicoret, ada tulisan pensil, dan cerita super pendek tentang
seekor gagak yang bunuh diri.
Kita bertemu juga pada kalimat runtut dalam tulisan Ugo,
seperti karya Sangkuriang (2013),
sebuah cerita tentang bocah kecil yang dipukul ibunya karena senang bertualang
di hutan. Namun, kalaupun kalimat itu runtut, alur jelas, paling tidak bisa
kita bayangkan peristiwanya, tetapi ada yang lain: perihal waktu. Antara mimpi,
kenyataan, dulu, kini, atau masa depan seakan lebur jadi satu. Tanda waktu
hanya melintas, dan ia hanya hadir di balik kata “sore,” “siang,” “hujan,” dan
sebagainya. Waktu tampak begitu tiada di tangan Ugo. Tidakkah ia, waktu, punya
tanda, dibunyikan dengan angka karena kita memang harus menyebutnya?
Kesan ‘tanpa tepi’ ini muncul juga pada bentuk lain, Regasa (2013). Walau terkesan masih
muncul kesadaran akan komposisi: tulisan di tepi kiri memenuhi bidang kanvas, rata
kanan hanya beberapa centimeter dari tepi kiri kanvas, sedangkan bidang
sisanya, monokrom hijau muda, kosong. Yang kosong ini barangkali juga penuh,
dipenuhi yang lain yang ‘mendesak’ tulisan hanya di tepian, nyaris terpotong. Ruang
kosong itu seakan meminta untuk diisi, tapi juga sekaligus telah ‘dimatikan,’
sudah penuh. Isinya bak sobekan cerita dari dunia persilatan.
Bentuk lainnya, tulisan-tulisan pada lakban (isolasi),
misalnya, sebuah adegan yang tak lengkap, hanya berapa baris, bisa dibaca berputar,
mulainya bisa dari mana saja. Karya ini tampak ‘penuh,’ lengkap, sekaligus tak
lengkap, sebab membacanya pun tak pasti, selalu berputar, bisa berawal lagi
tepat ketika berakhir, karena ketika membaca dan merasa maju, sebenarnya kita kembali
lagi ke kalimat yang barusan, one-just-after
dan one-just-before: ia hanya
melintas.
Karya isolasi ini agak bertolak belakang dengan meteran,
kendati semangatnya sama. Pada karya meteran, kita bisa dengan sangat jelas
membacanya, kiri ke kanan, dan hanya satu baris. Meteran, yang notabene ada
ukurannya, telah menjadi begitu cair justru karena ia ditulisi – bukan karena
dihapus ukurannya. Kata-kata itu yang memancing kita untuk tidak berhenti. Ia
berguna, mungkin, untuk mengingatkan kita bahwa ada jenis waktu yang tak bisa
sepenuhnya diukur. Meteran itu dibentang penuh dengan tulisan yang berisi
potongan kisah seperti juga karya pada tepian buku.
Kendati diam, tulisan di mana-mana itu mengajak kita untuk
sama-sama mumet, dengan kesan monoton
yang kuat, sama-sama merasakan pengalaman membaca: potongan-potongan tersebut hampir
pasti langsung bisa dilupakan dan demikian cepat berganti dengan potongan lain,
seperti serpihan ingatan yang barusan dijejerkan, dipakai, dibuang, diganti.
Kini, kata-kata jadi terlihat usang.
Ada lagi karya berbentuk surat-surat, menarik, tapi tak
sekuat karya-karya tak bertepi di kanvas besar Ugo. Foto Keluarga (2012-2013), misalnya, tulisan pada potongan
kardus-kardus bekas yang diframe. Ada
banyak kisah di sana hingga kita bisa menikmati membacanya, kisah-kisah tampak
lebih personal, cenderung melankolis. Karya lain, tulisan lama, tertanda 2011
pada batang-batang rokok Marlboro, sebagian besar surat-surat super pendek
untuk Tanah, anaknya. Ada lagi autobiografi, tertutup di dalam sebuah amplop
putih besar, misterius seperti kisah Purloined Letter karya Edgar Alan Poe.
Menulis, dalam konteks ini, mungkin adalah sebuah kesadaran
bahwa kita selalu tergelincir karena tiada sebuah kata pun yang mampu mengungkap
keinginan, kalau mengutip kata-kata dalam film Andrei Tarkovsky, Stalker, “How would I know the right
word for that I want?” Barangkali ada lubang pada setiap kata hingga ada puisi,
ada kalimat, kata yang selalu ditulis lagi – di momen ini, Ugo menulis terus
dengan satu kesadaran yang sudah dicerapnya lama: menghindari kata sambung
sebisanya. Ia merasa bahwa banyaknya kata sambung, seperti “Yang,” “Serta,” “Dan,”
“Atau,” dan semacamnya membuat kalimat tampak terlalu jelas, selesai,
ilustratif, naratif, mematikan peristiwa. Kisah bisa jadi terlalu linear, sudah
tampak jadi, selesai, dan tak lagi melahirkan imajinasi bagi pembaca. Semangat
Ugo tetap puisi, walau di karyanya kali ini, agaknya hanya satu dua yang tampak
‘puitis.’
Ketika Ugo ‘melepas lukisan,’ ia telanjang, dan kembali pada
proses kreasi itu sendiri, act of
painting, pada sebuah momen ‘coret.’
Melalui momen menulis yang tak henti itu, ia seperti sedang mengoreksi
lagi melukis, mengoreksi lagi menulis. Ia seakan mengalami lagi melukis dengan
cara yang berbeda. Setiap kata, setiap kalimat sebelumnya seakan meminta untuk
‘direvisi’ hingga tak ada selesainya untuk ditulis lagi. Tulisan yang selalu (harus) dituliskan kembali ... karena kata tak
pernah abadi. Kesadaran akan kesementaraan itu yang mungkin mengundang
Derrida untuk berfilsafat tentang jejak, trace,
kemudian meninggalkan sebuah pesan pada kita tentang cara menggunakan kata: bahwa
kita harus belajar menggunakan bahasa dan menghapusnya pada waktu yang
bersamaan.
Stanislaus ‘sius’ Yangni