April 14, 2011

Eksekusi "Identitas" Abstrak Jopajapu

“Sampai sekarang saya masih tetap berpegang teguh pada konsep ‘Tiga Non’ yang sering diuraikan secara keliru oleh pengamat seni lukis.” Di atas tulisan tangan itu ada simbol, semacam “tanda tangan” khas yang selalu hadir dalam lukisan Nashar. Dan di sebelah tulisan itu, ada wajah Nashar. Itulah Tiga Non (2010), salah satu karya Ida Bagus Punia, anggota Jopajapu yang agaknya ingin membicarakan kembali seni lukis Indonesia lewat karya. Di kanvas lain, tulisan dengan cat merah, “Tidak Ada Seni di Indonesia” tanpa obyek lain. Ida Bagus Punia mungkin paling profokatif dalam pameran ini. Dengan gamblang ia memadukan kata-kata dan gambar seperti mengajak kita berefleksi: di tengah carut marutnya ulasan seni rupa oleh pengamat seni yang berkecenderungan menuruti selera pasar, mungkin akan muncul pertanyaan mendasar, apakah seni itu? dan apakah ia (seni) masih bisa diselamatkan? Ada pula, Lubang (2010), yang nampak realis, sebuah gunung yang puncaknya ditutup oleh lingkaran kosong. Melihat bentuk, tekstur gunung, dan patahan serupa jurang menganga di sisi kanannya, nampak bahwa gunung itu adalah Merapi. Dan lubang (lingkaran kosong) di puncaknya membawa kita pada misteri lain. Lubang di Merapi. Itu salah satu karya Alfairus yang tampak realis. Pada karya lainnya, dan hampir di semua karya Alfairus, terlihat kecenderungan kuat pada abstrak. Dengan nuansa yang sangat berbeda dari Lubang, karya lainnya tak memiliki obyek khusus yang bisa dikenali. Bunga di Taman 2 (2010), misalnya. Tak ada bunga, tak ada rumput, tak ada tanah di sana. Kalau tak ada judulnya, kita tak akan tahu isi lukisan itu. Di sana hanya ada gurat-gurat kasar, benjolan-benjolan, garis-garis tak beraturan, sapuan kuas warna hitam, bercak warna merah, biru kehitaman, dan semacamnya. Agaknya, tekstur nyata, warna, dan garis-garis itulah kekhasan Alfairus. Karya lain, The Pieta (2010). Sosok bak berkostum ninja sedang dipangku oleh sosok lain yang kepalanya terbentuk dari sapuan hitam kuas. Di kiri bidang gambar, ada tulisan “St. F. Nietzsche,” dan di sebelah kanan “Meriem.” Tampakan keduanya seperti lukisan Mesir, bagian depan seluruhnya menghadap langsung ke kita, walau seharusnya tampakan itu agak menyamping. Sosok-sosok itu seperti tanpa volume – mengambang di seluruh bidang gambar. Itulah karya FX. Nanang. Dengan sangat minim warna, cenderung monokrom, Nanang menggambar sosok-sosok yang mungkin mengingatkan kita pada sosok yang digambar Ugo: Sosok-sosok dua dimensi yang nampak ‘dikaburkan’ dengan coretan-coretan, dibentuk dari sapuan kuas, satu warna, dan garis kontur yang jelas (outline). Agaknya, salah satu ciri dalam lukisan Nanang adalah garis linear persegi, kotak-kotak –bak “kandang kawat,” “saringan,” seperti berfungsi sebagai ‘penyangga’ figur (antara lain pada Good Bye Fool, Free Sex, The Pieta) atau ‘struktur’ semu yang mencipta ruang dalam bidang gambar (Pendatang, Human Diary, 10:10). Yang nampak berbeda gaya adalah karya Didik. Tak ada garis-garis tanpa arah, tekstur nyata, sapuan kuas tak beraturan, dan bidang yang penuh. Didik lebih khusus mengeksplorasi bentuk, warna, komposisi. Maka, karya-karyanya terkesan lebih bersih, cermat, dan terukur. Dua Dunia (2010) seperti memperlihatkan ritme dari bentuk-bentuk organis – bentuk-bentuk yang tak kita kenali, terjalin dan bergerak bersama. Demikianlah pameran bersama kelompok JOPAJAPU (terbentuk 2009), yang terdiri dari FX Nanang, Alfairus Hazbi, Didik Widiyanto, dan Ida Bagus Punia, mahasiswa ISI Yogyakarta angkatan 1998. Kali ini mereka mengangkat tema “Identitas.” Agaknya, bukan perihal tema yang patut diapresiasi, melainkan cara mereka mengeksekusi “identitas” itu sendiri sebagai sesuatu yang selama ini dianggap mapan. Pameran di Bentara Budaya Yogyakarta ini berlangsung 15-22 Maret 2011. Agaknya, kecenderungan mereka hampir sama, abstrak yang berada di tegangan ekspresionis dan figuratif. Di sini, Kalau kita bandingkan dengan era maraknya abstrak di indoneisa 1950-1960an yang nampak formalis: bentuk-bentuk yang tertata, susunan geometris, warna, dan sebagainya seperti yang dilakukan, misalnya Fadjar Sidik, atau Ahmad Sadali – JOPAJAPU lebih menekankan pada efek yang dihasilkan dari “kecelakaan-kecelakaan kecil,” sebuah spontanitas ekspresi (sapuan kuas, garis-garis tak beraturan, tekstur, cipratan cat).

Dikte Foto Pada Cat Air dan Kertas

Sekitar 20 karya lukis cat air Mimi Fadmi (Bandung, 1979) yang kesemuanya seragam, bergambar bangunan – terpajang di ruang pamer Kedai Kebun Forum, 19 Februari – 12 Maret 2011. Di bawah setiap karya, diberi keterangan lokasi, pengambilan foto yang merupakan sumber gambar, dan sedikit paparan mengenai lokasi tersebut. Sekilas, lukisan Mimi nampak sebagai sebuah dokumentasi. Mungkin karena itu pameran ini diberi judul “The Long Road.” Sebuah catatan perjalanan Mimi seakan disuguhkan kembali dalam lukisan-lukisan itu, khususnya rekaman mengenai bangunan, sudut perkampungan, persimpangan, dan tepi jalan. Maka, tampak di sana pom bensin megah dengan segala kebaruan desainnya – agaknya memang pom bensin jaman sekarang. Di bagian lain ada sebuah ruang kelas kenangan sekolah ayahnya dulu, sebuah bangunan bergaya Belanda (School #1), lalu ada sebuah pojokan jalan di Rosa Luxemburg Platz (Rosa Luxemburg Platz, 2011), di mana terekam langit berawan di kaca mobil-mobil yang seakan sedang antre di sana, sisi samping bangunan bertingkat (Four Star Hotel), kolong jembatan, pancuran dan tempat mandi umum, dan sebagainya yang diambil dari berbagai lokasi, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Dominasi abu-abu dalam semua karyanya, walau beberapa di antaranya ada merah dan biru dengan nuansa yang juga gelap membuat lukisan itu tampak seperti foto hitam putih. Dengan warna itu, seakan Mimi ingin mengungkap kenangan, rekaman masa lalu, Sekilas, semuanya tampak seperti foto: rapi, tertata. Agaknya, Mimi memang menyalin seluruhnya dari foto-foto, baik yang diambil oleh dirinya, suaminya, ayahnya, dan adiknya. Dalam pameran cat air di atas kertas, seniman asal STSI Bandung yang mulanya bergelut dalam dunia performance art ini agaknya tak banyak mengolah, memainkan efek transparan – yang menjadi salah satu kekuatan dari cat air terbukti dari kesan garis, warna, dan bentuk yang tampak sangat rapi dan terkontrol dalam semua karyanya. Salah satu karya yang dipamerkan, School #1 - digambar dari sebuah foto kuno yang sudah menguning, berkisah mengenai sebuah kelas tempat berpuluh tahun lalu ayah Mimi mengenyam pendidikan. Karya itu, seperti juga karya lainnya, memiliki kekuatan yang sayangnya tak berhasil dimunculkan. Pendek kata, kekuatan “kekunoan” masa lalu dari kelas sekolah itu – dan mungkin efek ini sebenarnya bisa dicapai dengan teknik cat air dan medium kertas yang digunakan Mimi – tak hadir, sehingga gedung itu masih tampak seperti bangunan-banguann lain dalam seluruh lukisannya. Hal lain yang agaknya belum banyak diolah adalah sudut pandang lukisan, yang notabene berbeda dengan sudut pandang pengambilan foto. Angle lukisan – demi menampilkan kekuatan kesan, efek – agaknya, memang mau tak mau harus berbeda dengan kamera. Menilik karya Mimi, nampaknya tak banyak angle – dan semuanya, bisa dikatakan sama dengan angle pengambilan foto. Perspektif dalam lukisan Mimi bisa dikatakan sama dengan angle foto yang dirujuknya. “Dalam The Long Road, hadir ruang-ruang yang sepaham dengan pemikiran saya, yang membuat nyaman, hadir pula tempat-tempat yang bertentangan dengan diri yang membuat saya terganggu.” Agaknya, dalam karya Mimi, perbedaan ‘mengganggu’ dan ‘nyaman’ itu belum hadir, dan kita semua akan menunggu Mimi untuk melahirkannya. Semoga.

Dialog Imajiner Mata dan Tangan

Hampir semua karya bernuansa bidang-bidang persegi, garis, dan warna. Ada kertas yang diremas, kain yang tampak kusut dengan beberapa sobekan, kain lapuk, sisa-sisa benang jahitan, kawat, sampai lempeng logam patah-patah dengan beragam corak dan sifat mengisi bidang kanvas atau papan. Semuanya tampak berada pada kanvas atau papan yang tergantung di dinding ruang pamer Tembi Contemporary, Yogyakarta, 14 Februari – 14 Maret 2011. Namun, jangan salah lihat. Kain itu bukan kain sesungguhnya, dan kertas itu pun tak ada. Semuanya hanya tekstur. Perwajahan dari benda-benda itulah yang membuat kita berilusi bahwa itu benda sesungguhnya. Itulah sejumlah karya Anggar Prasetyo (Cilacap, 1973) yang diberi judul sesuai esai pengantar pameran, Texture Structure. Texture Structure adalah judul pameran diambil dari esai pengantar pameran yang ditulis oleh Hardiman. Penulisan ini mengacu pada kata-kata Anggar sendiri, “Bagi saya, persoalan seni rupa adalah persoalan elemen seni rupa itu sendiri. Karenanya, mengolah elemen visual adalah cara untuk menekankan bahwa seni rupa itu untuk mata.” Dan kalau itu bisa dikatakan pilihan berkesenian Anggar, maka pilihan itu agaknya jatuh pada tekstur. Maka, dalam pameran tunggalnya yang keempat ini tampak bahwa ia mengeksplorasi khusus mengenai cara menghadirkan ilusi optis dalam karyanya: mata menangkap ruang tiga dimensi yang dihasilkan dari tekstur, namun ketika diraba, sebagian karya nampak biasa saja, datar. Itulah olahan tekstur semu Anggar, yang juga dihadirkannya secara bersamaan dengan tekstur nyatanya, salah satunya Drapery Texture XVIII (2011), akrilik berwarna putih bergelombang dengan beberapa lubang di permukaanya, dilekatkan di atas papan. Tak hanya tekstur, Anggar juga mengolah komposisi: garis, bidang dan warna. Line Colour Composition VIII (2010), misalnya, bidang kuning yang bagian atasnya dibagi-bagi oleh garis-garis terbuat dari kawat (tekstur nyata), perpotongan vertikal-horizontal, dan di ruang yang tercipta dari perpotongan garis itu ada lingkaran, segitiga, setengah lingkaran, dan setengah segitiga. Lihat juga dalam Horizontal Line V (2010) yang mengolah garis (tebal-tipis) sebagai pembentuk tekstur (garis yang nampak ‘sengaja’ dikonstruksi sebagai struktur pembentuk tekstur), dan garis menyilang tampak membelah bidang. Menyoal mengenai figur, atau obyek pada karya Anggar, maka garis, bidang persegi, benang-benang lepas, sobekan-sobekan, atau sepotong sabit mungil pada Horizontal Line V itu bisa dikatakan dengan sendirinya muncul, lahir sebagai figur ‘baru’ dalam lukisannya. Dalam esai pengantar pameran, Hardiman menyebutkan bahwa Anggar memiliki kecenderungan formalisme, yaitu memperhatikan bentuk (form) daripada isi (content). “Seni rupa untuk mata,” tegas Anggar. Kecenderungan seni lukis abstrak formalis, seperti pendisiplinan elemen, konstruksi yang cermat, dan bentuk yang minimalis sehingga menghasilkan “purely optical space,” inilah mungkin ‘jalan’ yang ditempuhnya. Karena itu, karyanya seringkali terkesan kaku, kering, datar, ketat. Namun, ia mengingatkan kita pada bentuk abstrak geometris, misalnya pada “dinamika keruangan” Fadjar Sidik dan “de stijl” (The Style) Piet Mondrian. Kendati pun keduanya tidak secara khusus mengolah tekstur, atau tidak sama sekali, dan pengolahan bidang serta warnanya pun berbeda dengan Anggar, penyederhanaan, pemecahan bentuk menjadi elemen-elemen primer yang menyusunnya: garis (dengan kecenderungan arah vertikal dan horizontal), warna (kecenderungan pada warna-warna primer), dan bidang yang dibentuk oleh perpotongan garis bisa dibandingkan dengan ideologi estetik Anggar. Karya mereka bertiga ini nampak bergerak menuju minimalisme, nonrepresentasional - terutama dalam karya-karya komposisi garis dan warnanya. Tekstur (pada karakteristik permukaan, sifat perwajahan: halus, kasar, bergelombang, bergerigi, berlubang, dan sebagainya) dan struktur (susunan, konstruksi, bangunan) dalam karya Anggar menjadi dua hal tak terpisahkan: tekstur sebagai struktur. Keduanya saling membentuk. Salah satu yang nampak kaya dalam hal warna, tekstur, komposisi adalah Texture Composition (2010). Dua belas bidang kanvas disusun berdampingan membentuk bujursangkar. Setiap bidang memiliki permukaan, perwajahan dan warna yang khas. Tampak di sini pengolahan aspek gradasi dan kontras memegang peran penting. Pengolahan pada tekstur dan struktur nampaknya membawa Anggar pada persoalan pokok lukisan abstrak: tegangan antara yang optikal (visual, mata), dan taktikal (peraba, tangan). Agaknya, lukisan abstrak mengajak kita menyadari sensasi yang hadir lewat ‘dialog imajiner’ antara tangan (taktikal) dan mata (optikal) itu. Maka, mungkin pameran ini bukan terobosan, tapi kehadiran karya-karya Anggar ini bisa mengajak kita mengolah pengalaman “sense of touch.” Garis yang terbentuk dari lipatan, cerukan, roncetan, perjumpaan gelap-terang, dan sebagainya itu seperti mengundang “mata” kita untuk berdialog.

Menjumpai "Yang Estetis" Lewat Desain Elementer

"Art begins not with flesh but with the house. That is why architecture is the first of the arts.” – Gilles Deleuze – Deleuze dan Guattari, dalam salah satu artikelnya, Percept, Affect and Concept, mendeskripsikan bahwa seni dimulai dari kegiatan manusia membangun teritori, wilayah, “habitat” bagi dirinya. Seni tidak mulai dengan body painting, body art, melainkan rumah, dalam artian bangunan, konstruksi, usaha untuk mencipta batas-batas, memberi “dinding,” membedakan yang di dalam (inside) dan yang di luar (outside). Pembedaan ini mengandung dua pemahaman, yaitu spasial (indoor – outdoor) dalam konteks bangunan (fisik, material), dan sensibilitas (perasaan berada di dalam sesuatu, dan di luar sesuatu itu), juga perasaan untuk membuat “yang asing” itu personal, “menjadi miliknya.” Hasrat untuk mencipta itu adalah seni, di mana, menurut Deleuze dan Guattari, bisa dianalogikan dengan hewan yang membangun teritori, “territory-house,” habitatnya sendiri. Dengan kata lain, seni tidak dipahami dengan bukti adanya ruang nyata itu sendiri (rumah, dinding, bangunan-bangunan lain), melainkan perihal kemunculan, kelahiran sensibilitas manusia terhadap ruang – ekspresi mereka untuk “meruang.” Seni muncul dalam bentuk kreatifitas manusia dalam menciptakan ruang dalam dunia (bumi) ini. Maka, dalam hal ini, teritori bisa mengimplikasikan kemunculan “pure sensory qualities,”[1] semacam perasaan, kepekaan khusus untuk membuat sesuatu yang tidak hanya sebatas fungsional, melainkan juga ekspresif. “This emergence of pure sensory qualities is already art … It is an outpouring of feature, colours, sounds that are inseparable insofar as they become expressive …”[2] Di sanalah kekuatan berpikir dan merasa dalam diri manusia diangkat menjadi suatu kekuatan untuk mencipta. Lewat hasrat untuk “mencipta ruang,” dan “meruang” itulah ekspresi manusia lahir. Dan ekspresi ini dinyatakan melalui ekperimen mereka untuk mengadakan ruang itu. Dengan kata lain, kekuatan mencipta sebenarnya adalah kekuatan dasar manusia untuk membentuk dan mengubah dirinya (self-forming power). Proses meruang, mencipta ruang, teritori bisa dikatakan sebagai proses “membingkai diri.” Bingkai, batas-batas, struktur, “pagar” (frame) ini bisa dipahami sebagai hasil komposisi manusia ketika membentuk “teritori:” – hasrat manusia untuk “memagari” sesuatu, menjadikan sesuatu itu personal (dekat, akrab). Lewat pemahaman mengenai frame, arsitektur bisa dipahami sebagai kekuatan manusia untuk mengubah diri melalui pembentukan teritori. Kekuatan ini (dalam rangka menciptakan frame) muncul melalui elemen dasar (yang sudah ada dalam alam), yaitu titik, garis, bidang, bentuk, warna, tekstur, dan ruang, yang dalam hal ini, disebut sebagai elemen dasar desain visual. Elemen-elemen ini adalah tata bahasa, semacam rumus, alat, “senjata” bagi para desainer untuk mencipta. Titik, garis, bidang, dan gempal adalah elemen dasar dari seni rupa. Istilah tata rupa ini sering disejajarkan dengan nirmana. Sadjiman Ebdi Sanyoto, dalam Dasar-Dasar Tata Rupa dan Desain (2005), mendefinisikan nirmana sebagai “Pengorganisasian atau penyusunan elemen-elemen visual seperti titik, garis, warna, ruang dan tekstur menjadi satu kesatuan yang harmonis.”[3] Dalam desain visual, elemen tersebut dikembangkan lagi menjadi beberapa hal, misalnya tekstur, warna, bentuk, bidang negatif, bidang positif, volume, ruang, dan sebagainya. Desain grafis, desain komunikasi visual, dan arsitektur masing-masing memiliki elemen lain yang sudah dikembangkan dari elemen dasar tersebut. Selanjutnya, Sanyoto menjelaskan bahwa nirmana adalah hasil angan-angan dalam bentuk dwimatra dan trimatra. Nirmana, dalam desain, yang dipahami juga sebagai sesuatu yang tidak berbentuk (nir: tidak, mana: bentuk), tidak memiliki bentuk yang dapat didefinisikan, non-representasional, tidak imitatif, memiliki kekuatan, salah satunya pada gerak, ritme. Gerak ini dapat dibangun melalui komposisi elemen-elemen dasarnya (garis, titik, bentuk, warna, tekstur, dan sebagainya). Di sini nirmana sebagai suatu bentuk yang tidak berbentuk (bentuk imajiner, tidak nyata), berhasil dipersonalisasi, diberi makna. Pendeknya, lewat ketidakbermaknaannya, bentuk dan ruang imajiner itu sendiri akhirnya menyatakan dirinya sehingga bisa “dimaknai.” Dalam dunia arsitektur, pemaknaan ini seringkali hanya didasarkan pada fungsi. Ruang Imajiner dan Gerak Beberapa karya dalam pameran ini memperlihatkan kemunculan ritme gerak yang merupakan salah satu hal pembentuk persepsi tentang ruang imajiner (maya). Ritme ini bisa dilihat dalam beberapa karya dengan menggunakan beberapa cara, misalnya, lewat perulangan bentuk. Hal ini tampak dalam image c(2) (kategori segitiga yang membentuk ruang fantasi) yang menampilkan bentuk dasar segitiga. Melalui eksplorasi bentuk segitiga, dengan kecenderungan orientasi horizontal, pengulangan bentuk (gerak, ritme) dicapai melalui bentuk yang sama, tersebar dengan posisi berbeda, tidak merata, namun ada garis imajiner yang membuatnya tampak sebagai satu kesatuan. Agaknya, masing-masing segitiga berdiri sendiri (independen) dengan karakternya masing-masing, sekaligus terkait. Ruang imajiner didapat melalui gerak di antara segitiga-segitiga tersebut dan garis imajinernya. Kedua, interaksi antar warna pun bisa membentuk ruang imajiner. Hal ini tampak, misalnya dalam The Birth of Secondary Colours 2. Sekilas, karya ini cenderung mencipta kontras warna daripada gradasi. Ungu dipasangkan dengan kuning, dan letaknya berseberangan dengan biru-merah. Biru dengan orange, merah dengan hijau. Efek gerak dicapai lewat posisi yang nyaris diagonal, dan tekstur, pola yang dibentuk dari garis lengkung. Ruang maya di sini tercipta tidak hanya berupa rongga kecil, tekstur-tekstur yang secara fisik muncul karena sudut-sudut yang dibentuknya, melainkan lewat efek gerak garis-garis lengkung dari bahan dasar (material sendok es krim) itu. Perjumpaan mereka, susunan, dan posisinya berperan penting dalam membentuk efek gerak itu. Demikian pula dengan image b(20).[4] Titik-titik, bulatan-bulatan berwarna merah, hitam, dan putih, membangun bentuk imajiner yang terkesan non-geometris. Kendati pun nampak monoton, karya ini mencapai gerak lewat interaksi antar warna: merah, hitam, putih, yang melalui titik-titik tak beraturan itu, menyebar, saling memasuki satu sama lain, membentuk satu kesatuan, mencapai volume yang terkesan padat. Ada pula gerak yang terlihat lewat perulangan elemen garis. Misalnya pada karya 29042010101 (kategori garis lurus yang membentuk ruang fantasi), menampilkan gerak (ritme) lewat pengulangan elemen garis, tinggi-rendah saling bergantian, dan melalui kecenderungan arah, horizontal-vertikal, berpasangan dengan elemen yang cenderung ke atas. Barisan atau susunan garis-garis itu membentuk lipatan, lengkungan, rongga yang tanpa tutup. Walau kurang variatif, namun lipatan-lipatan ini berpotensi untuk diolah lebih lanjut. Efek gerak pun dapat dicapai lewat tekstur. Misalnya, karya Bayu yang berupa batu disusun. Penggunaan elemen batu, tekstur alami dari batu-batuan, penyusunan dengan sedikit sudut kemiringan, membuat batu itu seakan-akan berusaha berdiri, dan agaknya, gerak yang dihasilkan lewat tekstur kasar alami itu berbaur dengan kerapuhannya, keterpelesetannya ketika disusun. Ruang maya dalam karya yang sederhana, minimalis ini muncul lewat tegangan yang terjadi antar batu, tekstur dan interaksi mereka. Dan tegangan antara kekerasan, kekasaran tekstur dengan susunannya menimbulkan kesan kokoh tapi dinamis. Keindahan dalam Desain Pameran yang menampilkan karya-karya hasil olahan desain elementer ini menggunakan material benda-benda alam, tumbuhan, biji-bijian, dan beberapa benda keseharian, seperti kelereng, kawat, kabel, seng, kayu, batang korek api, uang logam, dan sebagainya untuk membentuk ruang yang non-representasional. Penciptaan bentuk imajiner dimulai ketika dengan benda-benda yang ada di alam, yang notabene memiliki bentuk khas, dapat dibentuk sesuatu yang lain yang tak ada (prinsip dasar nirmana, yaitu mencipta bentuk imajiner), entah itu bentuk-bentuk yang nampak organis, maupun yang nampak geometris. Melalui pengolahan atas elemen-elemen dasar visual, karya-karya ini muncul dalam beragam bentuk. Namun, ada beberapa kecenderungan besar yang terlihat di sini. Pertama, karya-karya cenderung memiliki orientasi vertikal dibanding dengan horisontal atau diagonal. Dengan arah vertikalnya, dan bentuk-bentuk dominan geometris, kesan tertutup, angkuh, dan megah menjadi dominan. Dalam arsitektur kota-kota besar sekarang, terutama Jakarta, implikasi dari bentuk-bentuk tertutup dan arah vertikal ini menampakkan kesan kurangnya komunikasi, baik dengan sesama manusia, maupun dengan lingkungan sekitarnya. Kedua, sebagian besar karya masih terfokus pada teknik, misalnya perihal susunan elemen, prinsip keseimbangan, aturan pewarnaan, dan sebagainya, sehingga karya-karya terkesan “formalis.” Untuk desain elementer, prinsip-prinsip visual ini penting diterapkan. Dan di sini, mereka terlihat bereksperimen dalam menerapkan itu, walau seringkali terkesan tidak variatif, namun usaha untuk “setia” pada standar elementer desain ini patut mendapat perhatian. Kendati pun keberadaan variasi seringkali terkesan artifisial dengan beberapa penambahan, misalnya saja pada d(6). Image d(6), yang termasuk dalam kategori kombinasi garis lurus, lengkung, dan putus-putus, adalah salah satu contoh image yang bervariasi, baik dalam hal warna, bidang, garis, bentuk-bentuk (ada bentuk segitiga, kubus, persegi, bulatan, dan sebagainya). Variasi ini tampak menemui kebuntuannya tepat di titik ia makin bervariasi, makin variatif. Lihat pada, misalnya, ground (landasan) segitiga yang ada dalam karya itu. Landasan itu tampaknya kurang menyatu dengan bentuk di atasnya. Segitiga yang mungkin awalnya diajukan sebagai floor (lantai), selanjutnya malah menghilangkan efek ‘landasan’ itu sendiri karena beradu dengan apa yang disanggahnya, dan menyaingi efek atap karena keseluruhan bentuk tampak tertutup (karena sudah ada ‘atap’ persegi itu). Kalau pun segitiga landasan itu dihilangkan, efek landasan sudah bisa ditemukan lewat benda di atasnya. Benda di atasnya sudah mencipta ground-nya sendiri. Maka, prinsip kesatuan, keseimbangan dan proporsionalitas harus mendapat perhatian di tengah variasi. Ketiga, perihal keindahan. Keindahan dapat diperoleh melalui perpaduan komposisi teknis dan komposisi estetis. Komposisi teknis melibatkan prinsip desain secara umum, yaitu keseimbangan susunan (balance), proporsi, penekanan, fokus (emphasis), kejelasan (clarity), irama, gerak (rhythm), kesatuan (unity), dan variasi (variety). Sedangkan komposisi estetis melibatkan pengalaman estetis dari pembuat karya. Dalam pameran desain elementer ini, komposisi teknis mendapat penekanan dibanding dengan komposisi estetis. Yang estetis itu, dalam hal ini, adalah yang memenuhi standar teknis. Namun, ketika karya ini harus “keluar,” atau untuk dimasukkan dalam konteks yang lebih luas, perlu ada kepekaan terhadap konteks sosial-budaya (yang bisa menjadi sumber bagi pengalaman estetis) agar karya itu mampu dimaknai secara lebih dalam. Maka, keindahan, dalam arsitektur, atau pun dalam desain visual secara umum, tidak hanya melibatkan kemampuan memenuhi standar desain elementer, melainkan kemampuan “ruang dan bentuk imajiner” itu berelasi dengan situasi sekitarnya. Dengan kata lain, keindahan, kepadatan, sensasi, keberhasilan suatu bangunan adalah ketika ia mampu berelasi dengan lingkungan sekitarnya, kontekstual, sehingga menjadi satu kesatuan dengan konteks, tidak ngambang. Untuk mencapai ini, pertama-tama dibutuhkan penguasaan atas desain elementer karena desain elementer bisa dikatakan sebagai “rambu-rambu” teknis dalam berkarya. Beberapa hal yang belum banyak diolah, misalnya warna, tekstur, lipatan-lipatan, rongga-rongga, nampaknya merupakan hal potensial untuk menciptakan keleluasaan eksperimen, dan mengolah efek komunikasi dalam ruang (dalam dunia arsitektur ini berimplikasi pada hadirnya suasana terbuka, santai, akrab, menjauh dari kesan angkuh, tertutup, dan kaku). Pendek kata, selain didukung oleh material alam yang digunakan, elemen-elemen tersebut, jika dieksplorasi lebih dalam, agaknya bisa menjadi peluang dan sangat berguna menciptakan desain yang “ramah lingkungan.” [1] Gilles Deleuze & Félix Guattari. 1994. What is Philosophy? (Trans. Hugh Tomlinson & Graham Burchill). London: Verso, hal. 184. [2] Idem. [3] Sadjiman Ebdi Sanyoto. 2005. Dasar-Dasar Tata Rupa dan Desain. Yogyakarta [4] Kategori “Titik-titik yang membentuk ruang geometris.”

Februari 09, 2011

La Belle Captive

Surealisme Magritte dalam La Belle Captive


Tirai merah tua itu separuh terbuka. Tampak di baliknya laut dan pasir pantai dengan garis cakrawalanya. Ombak laut bergulung seperti arak-arakan awan di langit biru. Di pasir pantai itu tampak sepatu perempuan, berwarna hitam, bertali, tergeletak miring. Tepat di sebelah kanan sepatu, di tirai yang masih tertutup, tampak easel dengan kanvas di atasnya, sudah terisi langit dan laut, semacam sambungan dari pemandangan yang tampak di balik tirai itu. Kanvas transparan itu seperti sebidang kaca menembus tirai yang harusnya menjadi penghalang pemandangan di baliknya. Itulah salah satu shot dalam La Belle Captive (1983) yang mereproduksi salah satu ide dalam lukisan Magritte.

Lukisan tersebut diambil dari dua seri pokok lukisan Magritte, The Fair Captive (1931, 1947) dan The Human Condition (1933, 1935). Keduanya menampilkan “lukisan dalam lukisan,” salah satu ciri utama karya Magritte. Salah satu bentuknya paling jelas terlihat pada Double Self-Portrait (1936): Magritte yang sedang melukis Magritte yang sedang melukis burung. Ada perjumpaan, peleburan antara kenyataan yang satu dengan yang lain, luar-dalam, depan-belakang, dulu-sekarang sehingga seakan-akan tak ada lagi waktu kronologis: Magritte yang sedang dilukis (sedang melukis Magritte), dan Magritte yang sedang melukis (dirinya sendiri yang sedang melukis burung), dan seterusnya. Mise en-abyme. Di sana nampak ketidakterbatasan gambar dalam gambar, selalu ada versi yang lebih kecil yang sama persis dalam versi yang lebih besar, begitu seterusnya.

"Art evokes the mystery without which the world would not exist." Seni menghadirkan misteri yang tanpanya dunia tidak akan ada. Kira-kira begitulah arti dari kata-kata Rene Magritte (1898-1967), salah satu pelopor surealisme Belgia yang kemunculannya ditandai oleh terbitnya Correspondance pada 1924, tahun yang sama dengan Manifesto Surealisme pertama yang ditulis oleh André Breton.

Bagi Magritte, keberadaan dunia tidak dapat dilepaskan dari misteri. Dengan kata lain, dunia terbentuk dari relasi-relasi yang tidak diketahui. Relasi ini menjadi tema penting karya Magritte. Namun, perlu diingat bahwa misteri dalam konteks Magritte, dan para surealis pada umumnya, lebih berarti teka-teki, sesuatu yang sulit, tak terjelaskan, tak diketahui oleh pikiran, daripada sebuah horror (nuansa mengerikan).

Misteri semacam ini mengingatkan kita pada pemahaman mengenai “keindahan” oleh Comte de Lautréamont alias Isidore Ducasse (1846-1870), salah seorang pelopor sastra sureal, dalam kumpulan karyanya, Les Chants de Maldoror (1869). Di sana ia mengatakan bahwa "As beautiful as the chance meeting on a dissecting-table of a sewing-machine and an umbrella!" Keindahan, atau bisa dikatakan di sini, misteri, terjadi karena suatu perjumpaan, kemungkinan perjumpaan dan penyatuan antara hal-hal yang sama sekali tidak berhubungan, misalnya, sebuah mesin jahit dan payung. Kalimat itu seakan menjadi kredo bagi para surealis karena berhasil “menangkap” dan “menyampaikan” pemikiran inti dari surealisme yang waktu itu berkembang pesat terutama setelah Perang Dunia II.

Pemikiran Lautréamont banyak menginspirasi para surealis Perancis waktu itu, namun visualisasi paling jelas dapat dilihat pada karya Magritte. Dengan teknik realis, obyek-obyek digambarkan Magritte sebagaimana adanya, dihadirkan bersamaan, sehingga pemaknaan baru lahir melalui relasi antar benda-benda yang secara riil tidak berhubungan langsung. Hegel’s Holiday (1958), misalnya, sebuah gelas berisi air putih yang berdiri di atas payung hitam. Misteri, dengan kata lain, ditemukan dalam perjumpaan antar obyek di kanvas Magritte, sebagaimana dikatakannya sebagai “hubungan yang puitis,” “tatanan puitis” di mana “figur-figur yang sangat akrab dari dunia yang kelihatan/nyata disatukan dalam tatanan yang ritmis, liris, dan menggugah persepsi.”

Salah satu yang khas dari Magritte, yang juga menandai perkembangan surealisme Belgia, adalah elaborasi terhadap hubungan antara kata, gambar, dan obyek (“alphabet paintings”). Bagi Magritte, hubungan tersebut bersifat arbitrer (manasuka), sehingga obyek tidak terikat oleh kata, misalnya, benda sepatu sangat mungkin tidak menyandang nama “sepatu.” Salah satu lukisan yang kerap dibahas sehubungan dengan itu adalah This is not a Pipe (1928/29).
Kecenderungan “alphabet paintings” ini agaknya yang membedakan surealisme Belgia ala Magritte dengan surealisme Prancis ala Breton yang mengambil psikoanalisis Freud sebagai inspirasi utamanya. Menurut Magritte, dalam benda yang hadir di sekeliling kita, hadirlah yang lain, obyek tersembunyi.” Dengan kata lain, misteri (sesuatu yang tidak diketahui, tak terjelaskan) itu menyatakan diri, menyingkapkan diri lewat relasi benda-benda yang ada di dekat kita. Agaknya, surealisme Magritte ini dapat dikatakan pula sebuah ekplorasi mengenai “ketidakhadiran dalam kehadiran.”

Berbeda dengan film yang menceritakan mengenai lukisan, atau pun biografi tokoh tertentu, La Belle Captive merupakan film yang pengolahan sinematografi, mise en-scene, dan editingnya nampak seperti lukisan Magritte. Alain Robbe-Grillet, sang sutradara, yang dikenal juga sebagai novelis berkebangsaan Perancis pelopor nouveau roman, “the new novel” pada 1950-1960an, beserta dengan Henri Alekan, sinematografernya, memadukan narasi yang non-linear itu dengan logika surealisme Magritte. Demikianlah keduanya berhubungan secara timbal balik: lukisan Magritte bisa dibicarakan dan dipahami lebih jauh lewat gambar-gambar bergerak dalam film, sementara film itu pun bisa “bercerita” lewat logika lukisan Magritte. Karena itu, lepas dari segala bentuk intepretasi, tulisan ini akan memberi gambaran singkat mengenai logika surealisme Magritte yang menjiwai La Belle Captive.

Film ini bercerita tentang perjalanan Walter (Daniel Mesguich) yang terobsesi dengan Marie-Ange van de Reeves (Gabrielle Lazure), perempuan misterius hingga membawanya pada teka-teki mengenai dirinya sendiri. Perempuan yang pernah mengatakan “Time doesn’t exist for me” pada pertemuan pertama dengan Walter itu memiliki karakteristik fisik persis seperti tunangan Henri de Corinthe, lelaki yang harus dicari Walter untuk menerima surat Sara Zeitgeist (Cyrielle Claire, bos Walter, yang ternyata persis isterinya sendiri). Tunangan de Corinthe itu konon dikabarkan sudah lama meninggal di tepi pantai tanpa ditemukan mayatnya. Ketika Walter sampai di rumahnya, Henri de Corinthe ditemukan sudah tak bernyawa, dan di lehernya ada bekas luka semacam gigitan, luka yang sama seperti yang dimiliki Walter malam setelah ia bersama dengan Marie-Ange.

“Perjumpaan” karya Magritte dengan film La Belle Captive, paling jelas ditemukan, misalnya dalam beberapa scene, seperti suasana malam dan bangunan Villa Seconde dengan Empire of Light, 1954, Villa Seconde yang porak poranda pagi harinya, juga shot close-up dr. Morgentodt bersebelahan dengan rangkaian lilin yang di tengahnya ada patung wajah serupa dengan Memory, 1948, medium close-up Walter menggigit tangannya sendiri dengan lukisan Magritte, Pleasure (1927), shot tubuh Marie-Ange terbaring di tepi pantai dengan Collective Invention (1934). Selain lukisan karya Magritte, film ini diinspirasi oleh puisi Johann Wolfgang van Goethe, The Bride of Corinth, legenda Yunani mengenai sosok drakula (penghisap darah) perempuan, dan lukisan Edouard Manet, The Execution of Emperor Maximilian (1868).

Secara visual, kehadiran “lukisan dalam lukisan” di mana unsur transparan berperan, khususnya bisa diamati pada salah satu scene dalam rumah de Corinthe, saat Walter sedang bicara pada pelayan de Corinthe. Keduanya berada persis di depan sebuah bingkai kosong yang melekat di dinding, maka bingkai itu seakan-akan hanya berisi mereka. “Lukisan dalam lukisan” atau “cerita dalam cerita” tampak pula pada scene pengepungan, penangkapan, dan penembakan Walter yang memiliki kemiripan komposisi dengan The Execution of Emperor Maximilian (1868).

Lihat pula scene saat Walter dengan tidak sengaja “menjenguk” mayat de Corinthe. Di sana terlihat “Walter dalam “Henri de Corinthe,” Walter “de Corinthe,” dan sebaliknya. Di sini Walter dan de Corinthe dihadirkan bersamaan untuk membangun imaji dan kesan bahwa mereka berdua memiliki kesamaan karakter, baik fisik maupun kisahnya lewat teknik eyeline match, di mana medium close-up wajah de Corinthe dan luka gigitan di lehernya, diikuti shot pandangan mata Walter dan tangan Walter yang sedang meraba lehernya (karena sebelumnya ia memiliki luka yang sama setelah tidur dengan Marie-Ange, namun saat itu lukanya tak muncul). Singkatnya, mereka berdua terhubung oleh karena Sara, Marie-Ange, dan luka bekas gigitan pada leher. Di sini, Walter sebagai pengunjung (agen utusan Sara) sekaligus juga menjadi Walter yang sedang tergeletak tak bernyawa (de Corinthe). Perjumpaan kehidupan dan kematian, Walter yang hidup dalam Walter yang mati, dan sebaliknya. Scene tersebut seakan menegaskan ‘ruang’ di antara yang nyata dan yang diimajinasikan, identifikasi, atau mekanisme ‘pemindahan’ (displacement) antara sosok Walter dengan Henri de Corinthe.

Di sini, misteri, dalam La Belle Captive, dibangun dan dipertahankan lewat repetisi scene, shot dan obyek. Seperti juga “lukisan dalam lukisan” yang memuat pengulangan, maka ada beberapa keserupaan shot untuk memperkuat kesan misterius. Dengan kata lain, semakin banyak adegan sama, atau simbol-simbol dihadirkan, maka “yang misterius” itu semakin dicari dan membuat pencari penasaran. Peristiwa pengepungan, penangkapan, dan penembakan Walter, dihadirkan beberapa kali dengan lokasi, subyek, dan konteks yang berbeda, juga benda tertentu (gelas minuman, sepatu, gambar sepatu, dan sebagainya) sebagai simbol diangkat berulang dengan close-up. Ada pun pengulangan pada lokasi dan sudut pandang sama, nyaris monoton adalah pada Sara, yang ditekankan sebagai “malaikat kematian,” dengan kacamata hitamnya, melaju kencang dengan sepeda motornya menembus malam.

Agaknya, lebih dari sekadar kisah pelacakan kasus melalui sepatu misterius, La Belle Captive memaparkan sekian mekanisme keseharian yang seringkali berada di luar kesadaran manusia. Dalam psikoanalisis, film ini mungkin bisa ‘dibaca’ sebagai mekanisme kastrasi, pembentukan rasa bersalah, dan perburuan obyek hasrat.