Desember 19, 2008

Ramai-Ramai Meramaikan Pasar

Tulisan ini memaparkan keberadaan galeri, art space dan balai lelang baru sepanjang 2008.

Trilogy Monster Logos, Pisang Seger, Ring Road Art, Papermoon, Simponi, GAS, Mulyakarya, Club Vivid Animamix, Performance Klub, Katalis Art Forum, dan Axcen Vigur pameran bersama di bawah tajuk Jogja Deathmach. Inilah pameran perdana Roomate, menghadirkan kelompok-kelompok seni rupa yang sebagian besar namanya mungkin masih asing di telinga para pencinta dan pengamat seni di Indonesia.

Roomate, bertempat di Suryodiningratan, Yogyakarta, salah satu ruang pamer baru yang muncul dalam 2008 ini. Konsep Roomate, dirancang oleh Sing Sing, pemilik Koong Gallery dan Rizki A. Zaelani, kurator. Salah satu keunikan Roomate, bisa menyelenggarakan pameran yang sekaligus mengetengahkan beberapa kurator dengan masing-masing senirupawannya. Ini dimungkinkan karena Roomate terdiri dari beberapa ruang pameran, rata-rata berukuran 4m X 4m. Ini membuka peluang buat senirupawan yang belum atau sulit mengumpulkan banyak karya untuk berpameran tunggal.

Kemunculan berbagai galeri dan art space pada 2008 ini agaknya merupakan respon pasar seni rupa terhadap “boom seni rupa” 2007. Dengan sebab berbeda, ramainya galeri baru di tahun ini mirip dengan ramainya tumbuh galeri baru di awal 1990-an menyusul “boom seni rupa” pada akhir 1980an. It terjadi antara lain di Ubud, Bandung, Yogyakarta, dan Jakarta. Pada periode awal ini, awal 1990-an itu, galeri-galeri lebih memfokuskan diri pada penjualan karya, jarang yang mengadakan pameran tunggal seorang senirupawan. Bisa dikatakan sebagian besar galeri waktu itu mirip toko barang-barang seni.

Dalam perjalanan waktu beberapa galeri periode pertama itu tak melanjutkan usahanya alias ditutup di tengah jalan. Selain soal manajemen bisnis masing-masing galeri, kondisi ekonomi nasional tampaknya ikut menentukan bisnis galeri.

Pada 2007 dan berlanjut ke 2008, galeri yang sempat mati, dibuka kembali. Kolektor yang merasa memiliki lukisan “bagus,” mulai berani menggunakan uangnya untuk memulai bisnis galeri. Pertumbuhan ekonomi yang cepat mengakibatkan pula harga lukisan meningkat.


Ruang Pamer Alternatif

Di tengah ramainya galeri baru itu, di Yogya muncul ‘ruang pamer’ alternatif, didukung oleh tumbuh dan berkembangnya komunitas-komunitas seni ‘pinggiran.’ Apa pun namanya, mereka bergerak di berbagai bidang, tidak hanya seni lukis dan patung yang selama ini mendominasi dunia seni rupa Indonesia. Ruang pamer alternatif mengembangkan seni grafis, komik, instalasi, kriya, sablon, sticker, kaos, gambar mural, grafiti, seni pertunjukan, film, video, animasi dan benda-benda mainan.

Termasuk yang alternatif itu antara lain Langgeng Art Project, yang mengawali proyek seninya dengan tajuk Re-Form, awal Juni 2008. Berlokasi di Nitiprayan, konon ini desanya seniman Yogya, Langgeng Art Project merupakan sebuah eksperimen baru untuk mengelola hubungan galeri-seniman-kurator. “Di sini kami mau menciptakan sistem yang adil dan bermanfaat bagi semua,” ungkap Arahmaiani selaku kurator Langgeng Art Project.

Langgeng Art Project juga menawarkan usaha baru untuk meningkatkan konsep berkarya seniman. “Di sini seniman harus mempresentasikan karya yang dibuat, kemudian melalui perdebatan dan diskusi dengan kurator, pemilik galeri dan ahli lain.” Beberapa presentasi dan diskusi yang ditekankan disini bertujuan untuk meningkatkan kualitas karya. Karena itu proyek baru Langgeng menurut Arahmaiani, “Lebih menekankan pada proses ketimbang hasil.” Karena itu, demi meningkatkan bobot karya dan konsep berpikir seniman, sering pula didatangkan, misalnya aktivis-aktivis dari beberapa bidang agar seniman paham tentang berbagai masalah yang berkecamuk di masyarakat.

Di proyek ini bisnis dijalankan secara manajemen terbuka. “Penjualan karya dilakukan melalui kesepakatan pemilik galeri, Deddy, dan senimannya,” kata Arahmaiani. Deddy, pemilk Langgeng Galeri, ikut terlibat dalam berbagai acara diskusi dan menjelaskan sistem kerja Langgeng. Karena itu, Arahmaiani menyebut sistem ini kerja yang “transparan.”

Hadirnya Roomate dan Langgeng Art Project memperlihatkan kecenderungan untuk memperkuat “wacana” di balik sebuah karya seni. Karya seni dianggap makin tinggi nilainya jika ‘dimuati’ cerita dan konsep yang ‘cerdas.’ Secara tak langsung, dengan demikian usaha ini juga meng-upgrade senimannya.

Galeri baru di Yogya yang bukan alternatif namun jelas-jelas memilih karya seni rupa kontemporer adalah Tembi Contemporary Gallery di Desa Wisata Tembi,,Bantul. Galeri ini menempati sebuah bangunan yang selamat dari gempa 2006. Pendiri Tembi Contemporary adalah Warwick Purser, seorang usahawan dan pecinta seni.

Sebagai salah satu kota penting dalam perkembangan seni rupa, di Bandung tumbuh juga galeri yang tergolong “alternatif.” Kata Herra Pahlasari, pemilik sekaligus pengelola S14, nama galeri alternatif ini, ruang pamer galeri ini terbatas, hanya 3m X 3m. Itu sebabnya karya yang dipajang kebanyakan berukuran kecil. Bila karya instalasi yang dipamerkan, hanya bisa memasang satu karya. S14 merupakan galeri yang non-profit oriented. Di sini calon pembeli bisa langsung berurusan dengan senimannya. Namun, “Karena seniman tahu bahwa kami tidak profit oriented, mereka mempercayai kami untuk mengurus penjualan karyanya.”

Pengelolaan Galeri dan Kampung Seni

PADA umumnya galeri dan art space dikelola dan dimiliki oleh pribadi. SIGIarts, terletak di Jalan Mahakam, Jakarta Selatan, didirikan oleh Rachel Ibrahim, berada di bawah sebuah badan usaha. Diharapkan dengan demikian kegiatan galeri ini dikelola secara profesional, baik dalam hal manajemen maupun konsep keseniannya tidak tergantung pada perseorangan. Sebelum diresmikan Juli 2008 lalu, manajemen SIGI sudah merencanakan tema per tahun. Tahun 2008 ini misalnya, pameran-pameran akan bertemakan The Relations of Identities. Pada 2009, The Triviality of Truth, Revisiting Trust, and the Betrayal of Memory. Tahun-tahun berikutnya direncanakan tema yang lain. SIGI telah menentukan tema sampai 2012.

Pameran pertama SIGI berjudul Sincere Subjects, Juli 2008, termasuk dalam tema The Relations of Identities, mengetengahkan karya-karya Jose Legaspi, Lie Fhung, Melati Suryodarmo, dan Ugo Untoro.

Lain halnya dengan Galeri Untuk Rakyat dan Kampung Seni Lerep. Dengan semangat mendirikan galeri siap pakai tanpa prosedur njlimet, Jogya National Museum, Museum dan Tanah Liat, Katalis Art Forum & Yustoni Volunteero dari Taring Padi mendirikan Galeri Untuk Rakyat, akhir Mei 2008 di lokasi Jogja National Museum. Pameran perdana galeri ini mengetengahkan karya Sudandyo Widyo Aprilianto.

Galeri di lokasi Kampung Seni Lerep, Ungaran, Jawa Tengah, sejak awal tidak diharapkan untuk jadi sumber dana. Kampung Seni Lerep didirikan oleh Handoko, perintis dan pendiri Galeri Semarang. Galeri di Kampung Seni Lerep terdiri dari dua lantai. Lantai bawah digunakan sebagai ruang pamer karya lukisan. Sementara ini terpajang lukisan koleksi pribadi, antara lain karya Mangu Putra, Agus Darto, Yayat Surya, dan Awiki. Lantai dua difungsikan sebagai museum benda-benda keseharian yang kuno, misalnya kamera, kain batik, koran-koran lama, dan beberapa perabot rumah tangga.

Galeri Seni Rupa: Antara Seni, Budaya dan Masyarakat

Salah satu galeri yang memusatkan perhatiannya pada perkembangan seni dan budaya secara luas adalah Salihara. Galeri Salihara tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari Komunitas Salihara. Pameran pertama Galeri Salihara bertajuk “Dari Penjara Ke Pigura”, digagas oleh Asikin Hasan, Nirwan Dewanto, dan Sitok Srengenge antara lain. Sejumlah senirupawan diundang untuk merespons gagasan atau sosok para intekektual Indonesia di masa perjuangan kemerdekaan dan sebelumnya.

Galeri Salihara dirancang oleh Marco Kusumawijaya, seorang arsitek yang punya minat pada kesenian, ketua DKJ 2006-2009. Salah satu keunikan galeri ini, rancang bangunannya. Bentuk galeri melingkar, memberi kesan tak berujung dan memberi efek luas pada ruang pandang. Interior galeri yang melengkung ini membuat penonton lukisan bisa menonton dengan leluasa, tidak dibatasi siku dinding. Standar yang mutlak diperhatikan adalah sistem pencahayaan. “Tugas sebuah gedung galeri hanya memberikan suatu ruang yang optimal untuk memamerkan karya seni dengan sebaik-baiknya,” ungkap Marco. Karena itu, faktor cahaya dan pengudaraan sangat diperhatikan di sini. “Ruang dalam perlu diberi cahaya alami semaksimal mungkin,” tandasnya.


Galeri yang juga menampung gagasan seni-budaya luas adalah Galeri RURU. Galeri ini merupakan salah satu kegiatan Ruang Rupa, lembaga seni-budaya nirlaba yang berdiri pada 2000, didukung oleh, antara lain, HIVOS, RAIN dan Stichting DOEN. Ruang Rupa bergerak dalam bidang pengembangan seni rupa dalam konteks budaya urban, penelitian dan pameran, lalu membuka Galeri RURU pada Juni 2008 ini. Beberapa yang terlibat di sini, antara lain, Ade Darmawan, Julia Sarisetiati, Reza Afisina, Indra Ameng, Hafiz, Ugeng T. Moetidjo dan Ardi Yunanto. RURU Gallery dibuka dengan pameran tunggal Irwan Ahmett, seorang desainer grafis.



Memanfaatkan Situasi Boom 2007

Sementara itu galeri yang muncul di Jakarta pada 2008 dan fokus pada seni rupa antara lain Vivi Yip Art Room, milik pasangan Bre Redana dan Vivi Yip. Lalu Galeri Roemah Roepa, Phthalo Watercolour Gallery, galeri khusus lukisan cat air milik Agus Budiyanto, seorang pelukis cat air yang kini mengajar melukis. Kemudian, A2A, milik kolektor Hendro Kuntjoro yang dibuka dengan pameran bertajuk Daya Perempuan, Juni 2008, serta iskusi tentang infrastruktur seni rupa kontemporer. Di Yogya, ada Tujuh Bintang Art Space dengan Tubi Art Shop-nya, dibuka pada 17 Agustus 2008 dengan pameran bertajuk Indonesian Contemporary All Star 2008. Galeri ini berdiri di bawah naungan PT. Sinar Abadi Communication, milik Saptoadi Nugroho. Juga ada Coral Gallery yang fokusnya, selain seni rupa, juga desain interior dan furniture. Galeri ini dinaungi P.T. Watukali Capita Ciptama.


Selain itu, ada pula Kendra Gallery dan HeArt Space di Bali, Rowo Art Gallery di Medan. Selain galeri, tumbuh pula balai lelang Denindo, milik Denny Pangkey, seorang kolektor seni, dengan lelang perdana “Affordable Art Auction," Juni 2008, dan Balai Lelang Dobel L.

Tampaknya galeri-galeri dan rumah lelang tersebut harus mengatur strategi untuk menghadapi ‘krisis moneter, global yang terjadi beberapa bulan menjelang akhir tahun 2008 ini.’ Hal ini tentulah di luar dugaan para pengusaha, termasuk pengusaha galeri ketika mendirikan usahanya. Bagaimana mereka akan menyikapi krisis ini, adalah cerita yang lain. Juga masalah lain apakah kondisi yang menumbuhkan galeri juga bisa memarakkan lahirnya prasarana seni rupa yang lain: media, kritikus, kurator, exhibition organizer, konservator, sejarawan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar