esai untuk pameran Dollanan #2, JNM, 2013
1/re-kreasi
Paris,
pertengahan September 1932. Antonin Artaud menulis sebuah surat, yang
dilanjutkannya dua bulan setelahnya. Seluruhnya ada tiga surat pendek. Letters
of Cruelty. Di sana Artaud tak hanya memaparkan kembali mengenai manifestonya,
Theater of Cruelty, melainkan, lebih spesifik, tentang suatu keniscayaan dalam
hidup, dan dalam penciptaan yang dinamainya sebagai “cruelty.” Demikian lah
istilah “cruelty” di tangan Artaud didefinisikan kembali, tidak dalam kerangka
bahasa terberi sebagai suatu terror, kekerasan, kengerian, melainkan suatu daya
hidup, force, élan vital. Cruelty bak
tegangan antara eros dan tanatos. Sebab hidup adalah mencipta, menjadi. Maka, cruelty, dalam konteks ini, menjadi
sesuatu yang niscaya dalam hidup.
Kalau
Artaud ingin mengembalikan yang teatrikal dalam teater sebagai sesuatu yang
hidup, menjadi tak hanya tontonan, Dollanan #2 ini menawarkan semangat yang
hampir serupa: menemukan kembali daya cipta yang hilang dalam jagad seni rupa
kita, yang di dalamnya termuat spontanitas dan keberanian berproses. Dalam
konteks pameran ini, dolanan tidak sekadar
dipahami begitu saja sebagai sesuatu yang lucu, menghibur, bisa dinikmati,
ditonton, atau dimainkan. Dollanan ingin menarik kita lebih jauh ke ihwal
penciptaan itu sendiri.
Maka,
dolanan, atau dalam pameran ini
Dollanan (L dobel merujuk pada pameran Dollanan #1), menjadi sesuatu yang
vital. Dalam pameran ini, orang diajak untuk benar-benar dolan, bermain, tanpa pretensi menciptakan, membuat sesuatu menjadi
sesuatu yang disebut sebagai “dolanan,” atau mainan, melainkan bermain itu
sendiri - sebelum dolanan didefinisikan
sebagai dolanan, sebelum dikatakan,
sebelum ‘menyandang gelar’ dolanan.
Dan sebelum ‘dinamai’ dolanan, yang
ada hanyalah hasrat bermain-main. Singkatnya, dolanan di sini lebih mengacu pada gairah berkreasi
(eksperimentasi).
2/dollanan
Apa
yang terjadi dalam peristiwa dolanan?
Atau kegiatan bermain? Orang berjumpa dengan dirinya sendiri yang paling
personal, semacam ada monolog antara dia dengan dirinya sendiri tanpa ia
sendiri sepenuhnya menyadarinya. Di sana ada kejujuran, kebebasan. Ia berdialog
dengan tangannya, dengan mainannya, dengan apa yang sedang dikerjakannya: ia
tenggelam dalam keasyikan utak-atik,
trial and error, coba-coba - semangat ini yang agaknya hilang di jagad seni
rupa kita. Ada wilayah yang dilupakan: wilayah sebelum sesuatu dinamakan “benda
seni” dan senirupa (karena di wilayah ini lah orang berjumpa dengan dirinya
yang paling jujur). Pendek kata, semangat bermain, dalam konteks ini adalah utak-atik (yang di dalamnya memuat unsur
eksperimen), adalah hal yang inheren dalam sebuah proses kreasi (penciptaan).
Dalam
aktivitas bermain, manusia menjadi manusia yang tidak hanya berpikir. Ada
“asyik” yang berada dalam ambang batas antara kesadaran dan ketidaksadaran,
hingga suatu saat, pada momen yang seringkali tak terduga, “Eureka!” Sebuah
penemuan terjadi. Teriakan Archimedes yang artinya “Aku menemukannya!” ini
justru terjadi dalam keadaan tidak sengaja – di Syracuse, beberapa abad silam, Sebelum
Masehi, ia mandi dan terpeleset dalam bak mandinya, menjumpai keadaan tumpahnya
air ketika tubuhnya terpeleset masuk bak mandi. Karene terlampau girang, ia
langsung lari telanjang dan berteriak “Eureka!” Dari sini, di kemudian hari,
lahirlah teori mengenai tekanan hidrostatik.
Maka,
interaksi antara seseorang dengan hal-hal di sekitarnya menjadi hal yang
penting. Dalam dolanan, yang terjadi
bukan sekadar iseng-iseng, tapi juga bukan dengan gagahnya berusaha membuat
atau mewujudkan sesuatu lewat konsep. Dolanan
tidak berawal dari konsep diwujudkan ke bahan, tapi sebaliknya. Ia berasal dari
pengalaman konkret, sentuhan, dan sensasi yang dipunyai oleh bahan yang mungkin
mendorong orang untuk ‘memperlakukannya,’ ... Seseorang hanya nampak sedang serius (asyik) pada sesuatu yang secara
tiba-tiba disentuhnya, dipegangnya, diperlakukan sedemikian rupa .. bahkan
saking asyiknya, ia tak berfikir akan dijadikan apa sesuatu yang sedang
dipegangnya itu ... dan ketika tiba-tiba
menjadi sesuatu ... yang juga tanpa nama karena mungkin bentuk-bentuknya, atau
tampakan visualnya, belum mampu membuat ia atau kita mendefinisikannya ...
karena ternyata hasilnya lepas dari segala definisi – di sinilah mereka
mungkin belajar menemukan ruang di mana mereka pernah jujur, ‘nekat,’ dan bebas.
Maka, bermain menjadi peristiwa yang sangat mendasar dalam hidup.
Bahan,
atau keberadaan benda-benda di sekitar kita lah yang seringkali memancing hasrat
orang untuk bermain. Ini misalnya terjadi pada berbagai benda milik Puthut.
Puthut memiliki banyak potongan-potongan arang di halaman belakang rumahnya.
Arang-arang itu sebagian sudah disusunnya dengan bentuk yang entah tergantung
susunan – mana bisa menyanggah mana, hingga berderet arang-arang itu, diletakkan
begitu saja dengan susunan yang juga ‘enaknya’ saja. Tapi, arang-arang itu tetap
menarik dilihat kalaupun tak ada kaidah teknis komposisi apapun ketika disusun
oleh sang empunya. Puthut hanya menyusunnya mengikuti kondisi, bentuk, dan
besar kecilnya arang.
Kedekatan
personal dengan lingkungan sekitarnya ini terlihat, misalnya Mudjitha dengan batu-batu
bekas bongkaran di rumahnya yang kemudian disusun dan ditanami, Puthut dengan
“sampah-sampah”nya, Ali Umar dengan rokok kretek Gudang Garam Merah yang
dikonsumsinya sekitar dua tahun terakhir, Lely dengan anjing-anjingnya yang
selalu diberinya tulang besar-besar untuk ‘mainan,’ Sekar dengan potongan-potongan
wayang serupa boneka yang diisinya dengan kisah-kisah yang setiap malam
diceritakan untuk anaknya, Ahmad Ranggi dengan laptopnya, Arif Mulyadi dengan
bantal tidurnya yang penuh coretan. Pendek kata, dalam dolanan, termuat semacam
kesatuan, peleburan antara seseorang dengan apa yang disentuhnya.
Peristiwa
‘kesatuan’ tersebut analog dengan kedekatan yang amat personal antara seorang
anak dengan mainannya, misalnya, boneka. Meskipun sang boneka sudah sangat
usang karena selalu ada bersama anak itu, dipeluk ketika tidur, dimandikan
(mungkin), diajak bicara, diajak bermain, diajak pergi ke mana-mana, dan
sebagainya, anak itu tak mau melepaskannya.
Kedekatan
dengan sesuatu ini melahirkan bahasa baru, cara komunikasi yang berbeda, yang
secara visual, misalnya, dapat dilihat pada benda-benda seperti umpan buatan
Ronald.
Kegemaran
memancing Ronald, misalnya, menghasilkan ‘karya’ umpan-umpan buatan yang
ditempeli kail, bahkan telah digunakan untuk memancing. Ronald menikmati
‘bermain’ (proses membuat) umpan buatan itu – umpan-umpan tiruan (berbentuk
berbagai jenis ikan, dan potongan-potongan ikan) dirangkai dengan mata kailnya.
Ia tertarik mengamati dan mencari cara bagaimana ikan-ikan bisa ditipu dengan
umpan buatannya. Ia bak membuat media komunikasi baru untuk para ikan yang tak
dikenalnya, juga tak mengenalnya. Umpan itu memiliki beragam warna dan bentuk, kalau
pun Ronald lebih suka yang polos dan potongannya sederhana. Melalui dolanan umpan itu lah ia mempelajari daya
sensor ikan, hal-hal apa saja yang menarik ikan, misalnya bentuk, gerak, warna,
ataukah cahaya.
Selain
kedekatan personal itu, ada unsur lain yang juga inheren dalam peristiwa
bermain, yaitu keasyikan. Tri menikmati memasukkan benda-benda kecil satu
persatu ke dalam botol-botol kecil yang jumlahnya ratusan, bahkan ribuan itu. Ada
bungkus obat, rambut, butiran merica, dan sebagainya yang dimasukkan ke dalam
botol. Ia menikmati memilih, memasukkan, dan melihat kembali setelah sesuatu
itu ada di dalam botol, seperti sedang merasai asyiknya anak-anak di tepi
pantai membangun rumah-rumahan dan istana pasir.
Lihat
juga misalnya empat buah kanvas kecil telah berdebu dan tak terawat yang
ditemukan dalam studio Joko ‘Gundul.’ Di sana tak tampak sama sekali ciri Joko
yang biasa kita kenal. Tapi, dengan begitu karya ini tampak otonom – Bisa jadi,
karya ini lahir saat Joko di awal ‘karir’nya sedang mengeksplorasi tekstur,
warna, ketebalan cat. Ada lagi batu-batu ‘belah’ Albara. Batu-batu tersebut
telah diperlakukan sedemikian rupa dengan benda keras, digrenda, dikapak,
dilukai entah dengan benda apa lagi, entah apa bentukannya. Mungkin dengan itu
Albara sedang mencoba bentuk, melihat berbagai efek dalam berbagai jenis batu. Demikian
juga dengan sapuan-sapuan kuas, coret-coret milik Hananta, meskipun tak
beraturan, namun spontanitasnya memungkinkan ia mencari dan menemukan ritme
garis dan sapuannya sendiri. Dolanan di
sini bak jadi embrio: ia mampu melahirkan sesuatu yang lain yang bahkan sama
sekali tak terduga oleh si pendolan.
Dalam
dolanan juga termuat unsur spontanitas. ‘Karya’ berupa selembar amplop Nasirun
tempat ia berandai-andai, dan ‘menyeket’ langsung apa karyanya nantinya,
misalnya. Kendati tak tampak artistik, Nasirun yang dengan tiba-tiba mencoret-coret
sebuah nama, namanya sendiri, dan memberi tambahan di belakang namanya dengan
gelar “B.A” itu seakan menertawai dirinya sendiri dengan sesuatu yang amat
sederhana. Karya itu pun langsung ia beri judul: Warisan Bung Karno. ‘Karya’
ini dibuat tepat pada 17 Agustus 2013. Ia seperti sedang bermain-main dengan
dirinya sendiri lewat namanya.
Berbeda
dengan yang lain, benda (‘karya’) milik Teddy sepintas tampak ‘bersih,’ steril.
Namun, ada yang menarik jika dibongkar lebih jauh. Benda itu sudah tercatat
sebagai karya – pernah dipamerkan, dibuat untuk pameran “Jalan Gambar.” Benda
itu merupakan ‘wadah’ berikut alat gulungnya, untuk mendisplay gambar panjang. Pendek
kata, benda itu fungsional. Penggulungnya dapat digerakkan oleh tangan (pada
kanan-kirinya) untuk menggeser gambar di atasnya (gambar sepanjang sekitar 10
meter di atas kertas). Namun, ketika karya tersebut dipamerkan beserta
gambarnya, gambar pasti menjadi sesuatu yang dominan hingga pada akhirnya, alat
gulung itu menjadi sesuatu yang sekadar membantu.
Dalam
pameran ini, Teddy telah menjawab sebuah pertanyaan besar Dollanan: bagaimana
caranya kembali pada proses, pada alat gulung, alat display itu, bukan semata
gambarnya. Gulungan pada alat itu yang ingin ditonjolkan agar orang tak semata
terjebak pada gambar, karena unsur ‘dolanan’nya terletak pada gulungannya – dan
keberadaan gulungan ternyata tak bisa dilepaskan dari keberadaan gambar. Akhirnya,
ia harus memilih gambar apa yang tak ‘membunuh’ gulungan. Sebab ketika yang
hadir berupa gambar sekuensial, semua orang bisa berhenti menggulung kapan saja
dan di titik mana saja. Maka, gambar yang dipilih Teddy haruslah tunggal, dan
memenuhi panjang bidang gambarnya.
Begitulah
tiba-tiba Teddy memutuskan: ia akan menggambar kontol (penis) panjang dalam seluruh gulungan kertas, atau
kanvasnya.
Akhirnya,
gambar itu, kendati hampir pasti semua orang sudah menduga gambar apa itu, tapi
mau tidak mau, keberadaan alat penggulung menjadi diperhatikan. Karena adanya
satu gambar thok, yaitu penis super
panjang itu, maka selain fungsional, kita bisa melihat proses menggulung, dan merasai
memutar penggulungnya hingga sepuluh meter dengan dibantu gambar yang tak putus,
sebab gambarnya memang hanya bisa tampak ‘selesai’ dengan memutar mesin
penggulung sampai usai.
Dolanan
lain, karya kinetik Harlen. Di sana tampak terjadi eksplorasi bunyi-bunyian,
getaran, dan gerak. Ada sekitar empat buah (alat berbeda) ditanam di atas meja,
terpisah, dan masing-masing bisa hidup, dinyalakan dengan dinamo mesin jahit.
Ada
pun benda-benda dengan bentuk tak definitif, misalnya beberapa yang tampak
sebagai patung, namun ‘setengah’ patung, misalnya Perisman Nazara – kendati ia
membuat patung, yang notabene masih bisa dikatakan sebagai karya, bukan dolanan, namun batu apung itu tak
memiliki bentuk pasti, juga tampak hanya disusun, tanpa anatomi tertentu, tanpa
bentukan tertentu.
Hampir
punya kecenderungan serupa dengan Nazara, ada Titus Garu, “patung-patung” mini yang
bentukan visualnya tak simetris.
Selain
itu, ada karya yang tampak amat berbeda di antara bentuk-bentuk “nyaris” dan
nondefinitif itu. Di Dollanan ini muncul karya yang terlampau definitif: Memmo, robot milik Dukan Wahyudi. Saking
definitifnya, robot Memmo agaknya minim dari peristiwa bermain itu sendiri yang
notabene melibatkan ‘kenakalan’ tangan. Memmo
tampak memenuhi syarat teknis dan secara visual wangun untuk dipajang dalam pameran-pameran seni visual era kini,
karena ia memang agaknya dimaksudkan untuk menjadi sesuatu. Namun kehadiran Memmo di sini menarik untuk dibandingkan
dengan, misalnya benda-benda milik Dwinanda Agung yang cenderung ‘lepas kontrol’
dan sama sekali tak simetris, namun tampak sedap dipandang. Paku-paku berderet
yang ditempeli pada kayu secara tak simetris, selang-selang, sisa-sisa bungkus
bangunan yang tak digunakan lagi bersama-sama ditempel-tempel,
dirangkai-rangkai, menjadi satu, entah apa bentuknya.
3/ “pokoke jo nganti dadi uwuh.”
“Pokoknya
jangan sampai jadi sampah.” Demikian pesan Bapak Mudjitha, untuk dicatat di
pameran Dollanan ini. Mudjitha mungkin peserta tertua dalam pameran Dollanan #2
ini. Pesan itu sangat tepat mengingat sangat tipisnya perbedaan antara dolanan (yang selalu tampak ‘setengah
jadi’) dengan sampah. Sampah bisa dimainkan, demikian sampah juga bisa diambil
dan dipamerkan begitu saja. Keduanya beda tipis, tapi jelas berbeda.
Puthut
mungkin bisa dikatakan hidup berdampingan bersama sampah yang berjenis-jenis.
Tapi dari seluruh sampah itu, ada benda-benda mini yang ‘tertata’ unik, dari
bungkus rokok, bekas pasta gigi, dsb. Menariknya, ia menyusunnya menjadi benda
kecil-kecil dan diletakkan di mana saja, di pojok-pojok dinding, di tepi dinding
pemisah ruangan hingga itu tak berceceran dan tak bertumpuk bak sampah, tapi
juga tampak tak dimaksudkan menjadi pajangan. Puthut agaknya hanya mengambil
bahan-bahan tak terpakai itu, dilinting, dirangkainya, kemudian diletakannya
begitu saja di belahan rumah mana, tanpa memperhitungkan displaynya. Benda itu juga
tampak tidak dengan sengaja dijadikan sesuatu dan terpisah dari
sampah-sampahnya. Tak ada tempat eksklusif bagi benda-benda mini itu. Mereka bisa
ada di mana-mana. Sebagian besar dari benda itu telah berdebu, tak terawat,
namun bentuk hasil tangan Puthut tak hilang.
Ada
lagi ‘karya’ Ali Umar. Ratusan kotak rokok kretek Gudang Garam Merah yang telah
kosong itu jadi sampah, seandainya tidak disusun dan dikemas kembali oleh Ali
Umar. Ia tanpa maksud mengemas itu kembali pada sebungkus plastik laundry yang masing-masing diisi penuh
kotak rokok Gudang Garam itu hingga satu dus besar berisi kemasan itu. Ia hanya
mengumpulkan, dan menyusunnya saja, tanpa pretensi. Kegiatan ini mengingatkan
kita pada Mudjitha yang menyusun batu-batu bongkaran bangunan menjadi sesuatu
yang berguna di belakang rumahnya: berbagai tanaman ditanam dan tumbuh di sana.
Dolanan, tampaknya, jika menilik
lebih jauh aspek visualnya, punya ritme, punya komposisi estetik (aesthetics composition) yang mengatasi
komposisi teknis. Mungkin inilah sebabnya mengapa arang-arang Puthut tampak
tetap nyaman dilihat, juga spanram terbakar Pico, benda trimatra Dwinanda,
batu-batu Mudjitha, trimatra Dwinanda, dan beberapa lainnya. Itulah yang
membuat dolanan tampak berpotensi
menjadi apa yang pada akhirnya dinamai ‘karya seni,’ kendati terlalu dini
menamainya. Sampah, sebaliknya. Sampah tampak mati, ready-made, sementara dolanan in-process:
ia memiliki kehidupannya sendiri, dan selalu berlangsung. Maka, beberapa benda
seperti batu Albara, kelelawar raksasa Joko Widodo, gitar kayu bersenar tiga
milik Alie Gopal, coretan-coretan Hananta tampak ‘tak selesai,’ tampak hanya ‘nyaris,’
tak pasti, karena ia demikian cair untuk menjadi. Mereka bersuara, mampu
bercerita, dan punya otonomi. Maka, dolanan bukan
sekadar pecahan-pecahan keramik, batu-batu yang digeletakkan ditumpuk begitu
saja hasil bongkaran rumah, sisa-sisa guntingan, bekas cetakan, dan semacamnya.
Dalam dolanan, ada semacam “ritme”
yang mau tidak mau telah demikian membedakannya dengan sampah.
Namun
seringkali ada bentuk-bentuk yang tak disengaja ada begitu saja, dan ketika
kita menemukannya, ia telah begitu menggoda hingga kita ragu untuk
memperlakukannya lebih jauh.
Mungkin
ini yang terjadi pada Iabadiou Pico. Ia mungkin menemukan bentuk ‘artistik’
dari spanram terbakar. Benda itu tampak memiliki dirinya sendiri, hingga
agaknya Pico ragu untuk memperlakukannya. Ia mungkin juga ragu ketika spanram
itu hanya tampak seperti sampah yang dipungut. Maka ia menempelkan itu di atas
kertas, dan kertas itu diberi nama. Jadilah karya.
Sayangnya,
justru ketika spanram itu telah menjadi karya karena diletakkan di atas kertas,
ia seperti kehilangan kediriannya. Ia jadi benda yang dipajang. Padahal, yang
menarik adalah sebuah momen di mana ketika Pico menemukan spanram terbakar dan
teronggok itu, dan ia tak membuangnya.
Kisah
di balik spanram terbakar ini mungkin serupa dengan yang terjadi pada setumpuk
kertas HVS milik Latif yang terkena rayap, berbagai lubang hasil kerja rayap
membuat Latif tak ingin membuangnya karena tampak ‘enak dilihat.’
Seperti
juga Pico, Latif tak bisa menganggap kertas-kertas HVSnya itu sampah setelah
dilubangi rayap. Ia tetap menyimpannya sebagai sesuatu yang bukan sampah, walau
entah nantinya untuk apa. Mungkin ini juga yang menjadi keunikan dolanan, setidaknya dalam spanram
terbakar dan kertas Latif: ada semacam ‘tatanan’ lain yang menggoda, sebuah
tegangan mungkin - tak bisa didefinisikan secara teknis, tapi mereka
(benda-benda itu) telah hadir dan mengundang kita untuk menahan keberadaannya, tidak
membuangnya tanpa pikir panjang sebelumnya.
4/epilog
Pameran Dollanan ini menjadi relevan mengingat kondisi saat
ini di mana kecenderungan orang langsung ingin membuat sesuatu yang disebut sebagai karya, atau
“berkarya” jika ada pameran. Agaknya mereka gentar berada dalam kondisi
berproses, mungkin tak tahan berlama-lama di dalamnya. Spontanitas dan
keberanian berproses yang menjadi ruh dalam penciptaan telah lenyap oleh karena
apa-apa yang sudah latah dinamai “Karya Seni.” Dollanan mengajak kita untuk
mengenali bagaimana yang sensibel itu hadir tidak dalam apa yang “dibuat-buat.”
Maka, di sini, Dollanan, seperti telah disinggung
sebelumnya, juga adalah sebentuk re-kreasi, kembali pada semangat penciptaan
sebab di dalam peristiwa dolanan,
manusia kembali pada
sesuatu yang amat sederhana, paling mendasar, sekaligus kompleks: yang
sensibel, belajar merasai kembali gairah hidup.