Mei 02, 2012

Agathos, The Invisible Gwen

catatan pendamping pameran Andre Tanama, Agathos, Langgeng Gallery, April 2012





1/prolog

Sewon, sekitar pertengahan Februari 2012. Matahari bak menembus ubun-ubun kepala saat saya sedang mencoba menerka kedatangan Andre dari menjemput anaknya di sekolah. Seperti pada umumnya orang yang baru pertama kali menunggu seseorang yang baru kali ini akan ditemuinya, saya mencoba mengingat-ingat dan membayangkan seperti apa rautnya.
Raut wajah Andre yang saya ingat dari foto di beberapa katalog pameran – walau saya yakin sosok sebenarnya tak mungkin persis seperti dalam foto - adalah raut wajah serupa salah seorang teman lama saya yang kini entah di mana. Namun, saat bertemu dengan Andre sungguhan, gambaran mengenai wajah teman saya itu buyar. Ya, mungkin memang wajah itu wajah serupa teman saya, namun saya tak lagi bisa membayangkan wajah teman saya justru saat saya bertemu sungguhan dengan sosok Andre. Sejak saat itu, saya berhenti mengasosiasikan wajah Andre dengan teman saya. Andre yang ada di depan saya ya Andre, sosok kurus berambut panjang dengan tatto di sekujur badannya.
Rumah Andre terletak di depan taman dalam sebuah kompleks perumahan. Rumah mungil itu kadangkala difungsikan sebagai studio untuk karya dua dimensi. Di sana ada jejeran kanvas besar-besar karya work in progress nya, dan pada beberapa sisi dindingnya, terpampang foto-foto keluarga. Namun ada yang langsung menghentikan mata saya ketika masuk agak ke dalam. Di dekat dapur mininya, ada rak buku yang isinya nyaris menggoda saya meminjamnya. Cukup banyak buku referensi seni rupa yang jika di perpustakaan, hanya boleh dibaca di tempat, tidak boleh dibawa pulang. Lalu, ketika kami mulai duduk mengobrol, ditemani Ilen yang sedang asik dengan botol susunya, saya baru memperhatikan bahwa tatto di sekujur tubuh Andre itu ternyata berpola persis seperti kaos oblong yang lehernya cekung, agak rendah, melengkung. Kaos oblong kain putih tipis Swan Brand. Kalau pun Andre melepas kaosnya, saya yakin ia seperti memakai kaos lain berwarna warni di kulitnya.
Hanya sekali itu kami bertemu. Bagi saya, pertemuan itu berkesan karena sebelumnya saya tidak pernah mengenal Andre secara personal. Saya bukan teman lama Andre. Bahkan, di dunia pameran seni rupa, saya juga baru kali ini menulis untuk Andre. Namun saya senang karena mulai saat itu, saya merasa punya teman sekaligus narasumber untuk bertanya mengenai teknik dalam seni grafis yang bagi saya masih asing dan selama ini sangat ingin saya ketahui. 
Kami berbincang dalam waktu yang sangat singkat. Tapi agaknya yang “sebentar” itu justru yang menarik – karena biasanya, atau kadang-kadang, ‘yang sebentar’ itu meninggalkan banyak tanya, mendorong kita untuk mulai mencari, lalu menulis. Tapi mungkin ini kelemahan saya, atau mungkin juga sekaligus menjadi keuntungan saya karena dengan “modal” ‘yang sebentar’ itu, saya bisa berharap tulisan ini cukup obyektif untuk bisa dicerna oleh pembaca, khususnya yang berkeinginan untuk melihat sungguh karya Andre. Alasan ini saya ungkap sebagai prolog karena saya yakin bahwa suatu hari nanti, Andre, dengan kemampuan teknisnya yang sangat baik, bisa menghasilkan karya yang jauh lebih baik dari sekarang dengan hanya satu langkah nekat, pergi ke wilayah “sebelum nama Agathos.”



2/ pada mulanya adalah Khaos ...

Wilayah apa sebelum agathos diberi nama “Agathos”? Wilayah tak bertuan. Wilayah sebelum dogma, sebelum hukum, sebelum definisi. Wilayah khaos.
“Pada mulanya adalah Khaos, lalu muncul Gaia ...” kata Hesiod dalam Theogony nya. Demikian lah Khaos melahirkan Gaia. Ia menjadi embrio bagi Gaia, bagi kosmos, bagi tatanan. Dalam konteks tulisan ini, khaos tidak dibicarakan dalam konteks ‘kekosongan mutlak’ sebagai awal mula yang melahirkan Gaia (dunia, tatanan) seperti dijelaskan dalam mitologi Yunani, atau “creatio ex nihilo” ajaran Santo Agustinus. Kekosongan yang saya maksudkan di sini (dalam konteks proses berkarya) merupakan sebuah kondisi hasil dari runtuhnya ‘Yang Mapan’ untuk memunculkan sesuatu yang lain. Karena itu, saya ingat sebuah kisah menarik yang diceritakan Andre pada saya. Kisah ini mungkin yang paling menarik sehubungan dengan “lompatan” Andre: ia belajar melangkah ke wilayah ‘tak bertuan’ itu sampai kemudian muncul lah figur Wayang Monyong.
Sewaktu Andre kuliah di ISI Yogya, ada seorang dosen yang memintanya mencukil kayu/hardboard tanpa gambaran mengenai suatu obyek, atau rencana sama sekali. Di sini, Andre bak dipaksa melepaskan kaidah anatomis (‘Yang Mapan’) dalam menggambar, kontrol pikiran yang menguasai spontanitas tangan. Dia ‘diajari’ menjadi anak kecil yang dengan semaunya menggambar, misalnya, kucing, atau anjing dengan begitu spontannya – bak corat-coret anak-anak pra-sekolah. Andre dipaksa membuat gambar yang tak harus benar. Ini momen penting yang saya tangkap untuk membantu melepaskan ia dari ‘dogma gambar,’ alias hapalan-hapalan (gambar-gambar mapan) itu dalam kepalanya.
Demikian lah, “Kucing yang tanpa anatomi” itu membuat Andre didorong untuk berani pergi, melompat ke  wilayah “tak mapan.” Momen itu, mungkin pada awalnya, kedengaran seperti “bunuh diri” di telinga Andre yang notabene memiliki teknik cukil bisa dibilang mendekati sempurna dengan berbagai figur yang sudah ada dalam benaknya sejak lama – gambar-gambar yang dikatakannya sebagai “Romantisme syahdu dalam kisah Alkitab.”
Begitu lah Isa Almasih, pada saat itu, agaknya berhasil ‘diruntuhkan,’ dilampaui oleh Andre untuk melahirkan yang lain, yaitu Wayang Monyong. Figur yang satu ini, menurut Andre, tercipta dari problem konkret kehidupan yang dialaminya. Cerita Andre mengenai “peralihan figur” itu mengantar saya berimajinasi mengenai wilayah sebelum agathos diberi nama “Agathos” itu. Dan kini, pergi ke mana Andre melalui anak kecil bernama Agathos itu?


3/ “Here come Agathos”

Ada kesan yang melekat di benak saya ketika pertama kali melihat karya Andre. Saya seperti sedang melihat gambar ilustrasi di buku komik anak-anak, citraan dalam film animasi, dan tatto. Terlebih kali ini. Sosok Agathos, sekilas, dengan ciri garis Andre yang cenderung rapi dan terkontrol, nampak seperti tokoh hero yg sering kita lihat di film-film animasi anak-anak, dan komik superhero Jepang. Aksi geraknya pun hampir sama: tendangan maut Agathos (dalam Kick), posisi kaki dan tangan yang tak asing kita lihat di komik silat zaman saya Sekolah Dasar, Pukulan Gledek, Tapak Sakti, dan Tiger Wong.
Tak hanya image karya yang menyerupai gambar ilustrasi pada komik silat, tapi juga kisahnya yang seperti ada dalam kisah mitologi: Agathos yang dilindungi naga melanjutkan pertarungan yang belum selesai, yaitu melawan Artopus, sang gurita raksasa (giant octopus). Kisah ini mengingatkan saya pada dongeng tentang Kraken, yaitu makhluk misterius raksasa berupa gurita, atau cumi-cumi, semacam penguasa lautan yang dijadikan simbol neraka (Hades), musuh dan ketakutan terbesar manusia.
Pada bagian prolog karya Andre, ada Gwen Silent yang didampingi Wayang Monyong sibuk melawan gurita berkaki enam (Artopus) untuk membebaskan babi badut dari lilitannya. Pertempuran berakhir seri. Setelah itu, Gwen menyepi, masuk box yang digambarkan di atas awan, bak sedang “diangkat ke Surga.” Lalu datang lah Agathos, melanjutkan perjuangan Gwen.
Gambaran Agathos sebagai hero tampak begitu paten. Ia selalu tampil bersama naga yang menjulur dari dalam tubuhnya, melingkari seluruh tubuhnya yang berkostum bak pahlawan di medan perang (Agathos #1). Lihat juga Here Come Agathos. Ia berdiri mematung, kepalanya agak menunduk, matanya memandang ke depan, sedikit melirik ke kiri, bak menyimpan dendam. Telinga dan matanya terbuka lebar. Bagi Andre, ini sisi berbeda dari Gwen Silent yang hadir dengan mata  tertutup, tanpa mulut, dan telinga terkunci. Ia juga berbeda dari Wayang Monyong yang sifatnya serupa Gwen, walau eksekusi piktorialnya jauh berbeda.
Namun, ada yang unik mendahului kedatangan Agathos, yaitu Taruwara. Taruwara adalah sosok yang digambarkan Andre sebagai anak laki-laki yang pemalu dan penakut. Namun, menurut Andre juga, sosok ini “Tiba-tiba disontleng kemunculannya oleh Agathos” yang berani dan penuh daya tarung. Peralihan (wilayah antara) Taruwara dan Agathos ini agaknya menarik. Ada kah kecemasan berhadapan dengan diri sendiri telah melahirkan Agathos sebagai suatu identitas? 
“Agathos adalah sisi emosional, negatif saya,” kata Andre. Kemudian ia melanjutkan, “Emosi yang dimaksudkan atas dasar karena aku ingin berbuat baik/penuh kasih.” Dari kata-kata Andre, saya membaca bahwa Agathos bak menjadi simbol dari “dorongan primitif,” “sisi kebinatangan,” semacam tanatos yang berkebalikan dengan dorongan hidup, eros Andre.
Namun, kalau Agathos menjadi tanatos Andre, dalam gambar, patung, juga lukisannya, saya melihat ada yang lain: senegatif apa pun Agathos, seagresif apa pun dia, Agathos tetap lah sosok pemuja kebaikan. “Yang Baik” (dari bahasa Yunani ti agathon) adalah tujuannya. Dan dalam konteks Andre, “Yang Baik” itu telah ditransformasikan ke dalam figur “Isa Almasih.” Mungkin karena itu anak kecil yang dikatakan Andre sebagai sosok ‘penyeimbang Gwen’ ini dinamai Agathos – dia membawa “pesan damai” di balik peperangannya. Dan mungkin karena itu juga, maka di hampir seluruh karya Andre, terlihat bahwa segarang apa pun naga yang keluar dari tubuh Agathos, sesangar apa pun tatapan matanya yang penuh dendam, ia tetap nampak anak manis yang selalu punya mimpi tentang kebaikan, suatu Gwen yang menjelma Agathos.
Kendati Agathos memiliki telinga dan mata lebar, ia bisa jadi tampil sebagai titik ekstrim dari “silent”nya Gwen. Pendek kata, Agathos lah sisi “pertahanan diri” (resistensi) Gwen. Ada kemungkinan, sisi ekstrim dari silent ini berupa “diam yang melawan,” atau “melawan dengan diam,” sebuah kemarahan, dendam (resentment). Karena itu, Agathos bisa hadir dalam figur Gwen yang menahan perih dengan mengelus dada sambil menggenggam hati berdarah (seperti imaji Hati Kudus Yesus) di tangannya (Gwen in the Box). Agathos di sini seperti sedang menyerahkan diri, mengatakan “Aku rela memanggul salibMu,” suatu bentuk perlawanan dengan diam -  dan mungkin bukan kebetulan, dalam Kristiani, ada ajaran “melawan dengan kasih.”
Agathos juga bisa hadir hanya lewat matanya. Dalam Agathos #1 kita melihat anak kecil yang memandang diam, agak menunduk, menantang, tapi menahan diri, seperti sedang menghimpun kekuatan. Sebuah diam yang resisten. Ada keraguan yang seakan tak terpecahkan, tapi ia tetap menyimpan kekuatan untuk melawan. Ia seperti sedang mengatakan “Tunggu saatnya!” atau “Veni, vidi, vici” (Saya datang, saya melihat, saya menang).
Agathos agaknya tak hanya melawan sosok yang ada di luar (Gurita Artopus), juga apa yang mendekam dalam dirinya. Karya Fearless, misalnya, yang tampil agak lain dari yang lain karena Agathos, yang selalu dibela naga, di sini melawan naga yang keluar dari dirinya sendiri, seperti sedang berusaha melampaui dirinya sendiri.


4/ “pesan damai” Andre

“Yang Baik” itu universal sifatnya. Mungkin itu pesan yang ingin disampaikan Andre lewat karya-karyanya. Kendati pun eksekusi piktorialnya belum tampak habis-habisan, namun, pesan mengenai “berbuat baik” untuk menuju “Yang Baik” – sebuah aspek spiritualitas yang melampaui agama itu -  sudah mulai digemakan.
Dalam konteks ini, kendati karakter Agathos dan Gwen berbeda, namun keduanya membawa pesan yang sama, pesan kebaikan. Pendek kata, keduanya ada dalam bahasa yang sama: Isa. Mungkin pesan ini dibumbui dengan sedikit kritik untuk dunia seni rupa melalui adegan Gurita Artopus yang salah satu tentakelnya melilit buku ART NOW.
Corak naratif-representasional menjadi jalan yang dipilih Andre untuk menampilkan “sesuatu yang diberi nama Kebaikan” itu. Karena itu tak sulit bagi kita mengenali ikon apa yang tersaji. Deburan ombak tempat Agathos muncul dengan naga-nya, pada Agathos Ombak, nampak sangat akrab di mata kita. Image itu seperti ombak besar di pantai Kanagawa, suatu karya cukil Jepang, Ukiyo-e, yang sangat terkenal.
Begitu pula ikon hero dengan mudah dikenali melalui karakter rambut jabrik Agathos yang berbongkah-bongkah bak karang tajam seperti para tokoh di komik superhero Manga, misalnya Dragon Ball, juga alis tebal dan mata lebarnya.
Dalam eksekusi visual Andre, harmoni – yang di sini bisa berarti nyaman dipandang - agaknya menjadi unsur penting berkaitan dengan agathos itu. Karya patungnya, misalnya dengan bahan resin/fiberglass, dan finishing berkarakter glossy menghadirkan efek mulus, halus, mengkilap bak representasi dari keindahan zaman klasik, juga warna putih mutiara yang menghadirkan kesan simpel, klasik, elegan. Alhasil, tampak suatu keindahan yang “ada di sana,” bak tak tersentuh. Agaknya, ini menegaskan pernyataan Andre, “Setiap karya seni adalah visualisasi dari rahmat Tuhan.”
Maka, agaknya, menilik aspek piktorialnya, Agathos (juga Gwen) menampakkan rohnya semula, suatu kekuatan atas pegangan yang diyakininya, semangat mencari identitas yang sesuai dengan apa yang dikatakan Andre, “Aku bukan orang yang religius, tapi aku suka yang membuat aku damai.”



Stanislaus ‘sius’ Yangni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar