1/prolog
Sewon, sekitar pertengahan
Februari 2012. Matahari bak menembus ubun-ubun kepala saat saya sedang mencoba
menerka kedatangan Andre dari menjemput anaknya di sekolah. Seperti pada
umumnya orang yang baru pertama kali menunggu seseorang yang baru kali ini akan
ditemuinya, saya mencoba mengingat-ingat dan membayangkan seperti apa rautnya.
Raut
wajah Andre yang saya ingat dari foto di beberapa katalog pameran – walau saya
yakin sosok sebenarnya tak mungkin persis seperti dalam foto - adalah raut
wajah serupa salah seorang teman lama saya yang kini entah di mana. Namun, saat
bertemu dengan Andre sungguhan,
gambaran mengenai wajah teman saya itu buyar. Ya, mungkin memang wajah itu wajah serupa teman saya, namun saya
tak lagi bisa membayangkan wajah teman saya justru saat saya bertemu sungguhan dengan sosok Andre. Sejak saat
itu, saya berhenti mengasosiasikan wajah Andre dengan teman saya. Andre yang
ada di depan saya ya Andre, sosok
kurus berambut panjang dengan tatto di sekujur badannya.
Rumah Andre
terletak di depan taman dalam sebuah kompleks perumahan. Rumah mungil itu
kadangkala difungsikan sebagai studio untuk karya dua dimensi. Di sana ada
jejeran kanvas besar-besar karya work in
progress nya, dan pada beberapa sisi dindingnya, terpampang foto-foto
keluarga. Namun ada yang langsung menghentikan mata saya ketika masuk agak ke
dalam. Di dekat dapur mininya, ada rak buku yang isinya nyaris menggoda saya
meminjamnya. Cukup banyak buku referensi seni rupa yang jika di perpustakaan,
hanya boleh dibaca di tempat, tidak boleh dibawa pulang. Lalu, ketika kami
mulai duduk mengobrol, ditemani Ilen yang sedang asik dengan botol susunya,
saya baru memperhatikan bahwa tatto di sekujur tubuh Andre itu ternyata berpola
persis seperti kaos oblong yang lehernya cekung, agak rendah, melengkung. Kaos
oblong kain putih tipis Swan Brand.
Kalau pun Andre melepas kaosnya, saya yakin ia seperti memakai kaos lain
berwarna warni di kulitnya.
Hanya
sekali itu kami bertemu. Bagi saya, pertemuan itu berkesan karena sebelumnya
saya tidak pernah mengenal Andre secara personal. Saya bukan teman lama Andre.
Bahkan, di dunia pameran seni rupa, saya juga baru kali ini menulis untuk
Andre. Namun saya senang karena mulai saat itu, saya merasa punya teman sekaligus
narasumber untuk bertanya mengenai teknik dalam seni grafis yang bagi saya
masih asing dan selama ini sangat ingin saya ketahui.
Kami
berbincang dalam waktu yang sangat singkat. Tapi agaknya yang “sebentar” itu
justru yang menarik – karena biasanya, atau kadang-kadang, ‘yang sebentar’ itu
meninggalkan banyak tanya, mendorong kita untuk mulai mencari, lalu menulis.
Tapi mungkin ini kelemahan saya, atau mungkin juga sekaligus menjadi keuntungan
saya karena dengan “modal” ‘yang sebentar’ itu, saya bisa berharap tulisan ini
cukup obyektif untuk bisa dicerna oleh pembaca, khususnya yang berkeinginan
untuk melihat sungguh karya Andre. Alasan ini saya ungkap sebagai prolog karena
saya yakin bahwa suatu hari nanti, Andre, dengan kemampuan teknisnya yang sangat
baik, bisa menghasilkan karya yang jauh lebih baik dari sekarang dengan hanya
satu langkah nekat, pergi ke wilayah “sebelum nama Agathos.”
2/
pada mulanya adalah Khaos ...
Wilayah apa sebelum agathos diberi nama “Agathos”? Wilayah
tak bertuan. Wilayah sebelum dogma, sebelum hukum, sebelum definisi. Wilayah
khaos.
“Pada
mulanya adalah Khaos, lalu muncul Gaia ...” kata Hesiod dalam Theogony nya. Demikian lah Khaos
melahirkan Gaia. Ia menjadi embrio bagi Gaia, bagi kosmos, bagi tatanan. Dalam
konteks tulisan ini, khaos tidak dibicarakan dalam konteks ‘kekosongan mutlak’
sebagai awal mula yang melahirkan Gaia (dunia, tatanan) seperti dijelaskan
dalam mitologi Yunani, atau “creatio ex nihilo” ajaran Santo Agustinus.
Kekosongan yang saya maksudkan di sini (dalam konteks proses berkarya)
merupakan sebuah kondisi hasil dari runtuhnya ‘Yang Mapan’ untuk memunculkan
sesuatu yang lain. Karena itu, saya ingat sebuah kisah menarik yang diceritakan
Andre pada saya. Kisah ini mungkin yang paling menarik sehubungan dengan
“lompatan” Andre: ia belajar melangkah ke wilayah ‘tak bertuan’ itu sampai
kemudian muncul lah figur Wayang Monyong.
Sewaktu
Andre kuliah di ISI Yogya, ada seorang dosen yang memintanya mencukil kayu/hardboard tanpa gambaran mengenai suatu
obyek, atau rencana sama sekali. Di sini, Andre bak dipaksa melepaskan kaidah
anatomis (‘Yang Mapan’) dalam menggambar, kontrol pikiran yang menguasai
spontanitas tangan. Dia ‘diajari’ menjadi anak kecil yang dengan semaunya
menggambar, misalnya, kucing, atau anjing dengan begitu spontannya – bak
corat-coret anak-anak pra-sekolah. Andre dipaksa membuat gambar yang tak harus
benar. Ini momen penting yang saya tangkap untuk membantu melepaskan ia dari
‘dogma gambar,’ alias hapalan-hapalan (gambar-gambar mapan) itu dalam
kepalanya.
Demikian
lah, “Kucing yang tanpa anatomi” itu membuat Andre didorong untuk berani pergi,
melompat ke wilayah “tak mapan.” Momen
itu, mungkin pada awalnya, kedengaran seperti “bunuh diri” di telinga Andre
yang notabene memiliki teknik cukil bisa dibilang mendekati sempurna dengan
berbagai figur yang sudah ada dalam benaknya sejak lama – gambar-gambar yang
dikatakannya sebagai “Romantisme syahdu dalam kisah Alkitab.”
Begitu
lah Isa Almasih, pada saat itu, agaknya berhasil ‘diruntuhkan,’ dilampaui oleh
Andre untuk melahirkan yang lain, yaitu Wayang Monyong. Figur yang satu ini,
menurut Andre, tercipta dari problem konkret kehidupan yang dialaminya. Cerita
Andre mengenai “peralihan figur” itu mengantar saya berimajinasi mengenai
wilayah sebelum agathos diberi nama
“Agathos” itu. Dan kini, pergi ke mana Andre melalui anak kecil bernama Agathos
itu?
3/
“Here come Agathos”
Tak
hanya image karya yang menyerupai
gambar ilustrasi pada komik silat, tapi juga kisahnya yang seperti ada dalam
kisah mitologi: Agathos yang dilindungi naga melanjutkan pertarungan yang belum
selesai, yaitu melawan Artopus, sang gurita raksasa (giant octopus). Kisah ini mengingatkan saya pada dongeng tentang
Kraken, yaitu makhluk misterius raksasa berupa gurita, atau cumi-cumi, semacam
penguasa lautan yang dijadikan simbol neraka (Hades), musuh dan ketakutan
terbesar manusia.
Pada
bagian prolog karya Andre, ada Gwen Silent yang didampingi Wayang Monyong sibuk
melawan gurita berkaki enam (Artopus) untuk membebaskan babi badut dari
lilitannya. Pertempuran berakhir seri. Setelah itu, Gwen menyepi, masuk box yang digambarkan di atas awan, bak
sedang “diangkat ke Surga.” Lalu datang lah Agathos, melanjutkan perjuangan
Gwen.
Gambaran
Agathos sebagai hero tampak begitu paten. Ia selalu tampil bersama naga yang
menjulur dari dalam tubuhnya, melingkari seluruh tubuhnya yang berkostum bak
pahlawan di medan
perang (Agathos #1). Lihat juga Here Come Agathos. Ia berdiri mematung, kepalanya
agak menunduk, matanya memandang ke depan, sedikit melirik ke kiri, bak
menyimpan dendam. Telinga dan matanya terbuka lebar. Bagi Andre, ini sisi
berbeda dari Gwen Silent yang hadir dengan mata
tertutup, tanpa mulut, dan telinga terkunci. Ia juga berbeda dari Wayang
Monyong yang sifatnya serupa Gwen, walau eksekusi piktorialnya jauh berbeda.
Namun,
ada yang unik mendahului kedatangan Agathos, yaitu Taruwara. Taruwara adalah
sosok yang digambarkan Andre sebagai anak laki-laki yang pemalu dan penakut.
Namun, menurut Andre juga, sosok ini “Tiba-tiba disontleng kemunculannya oleh Agathos” yang berani dan penuh daya
tarung. Peralihan (wilayah antara) Taruwara dan Agathos ini agaknya menarik. Ada kah kecemasan berhadapan
dengan diri sendiri telah melahirkan Agathos sebagai suatu identitas?
“Agathos
adalah sisi emosional, negatif saya,” kata Andre. Kemudian ia melanjutkan,
“Emosi yang dimaksudkan atas dasar karena aku ingin berbuat baik/penuh kasih.”
Dari kata-kata Andre, saya membaca bahwa Agathos bak menjadi simbol dari
“dorongan primitif,” “sisi kebinatangan,” semacam tanatos yang berkebalikan dengan dorongan hidup, eros Andre.
Namun,
kalau Agathos menjadi tanatos Andre,
dalam gambar, patung, juga lukisannya, saya melihat ada yang lain: senegatif
apa pun Agathos, seagresif apa pun dia, Agathos tetap lah sosok pemuja
kebaikan. “Yang Baik” (dari bahasa Yunani ti agathon) adalah tujuannya. Dan dalam konteks Andre, “Yang Baik”
itu telah ditransformasikan ke dalam figur “Isa Almasih.” Mungkin karena itu
anak kecil yang dikatakan Andre sebagai sosok ‘penyeimbang Gwen’ ini dinamai
Agathos – dia membawa “pesan damai” di balik peperangannya. Dan mungkin karena
itu juga, maka di hampir seluruh karya Andre, terlihat bahwa segarang apa pun
naga yang keluar dari tubuh Agathos, sesangar apa pun tatapan matanya yang
penuh dendam, ia tetap nampak anak manis yang selalu punya mimpi tentang
kebaikan, suatu Gwen yang menjelma Agathos.
Kendati
Agathos memiliki telinga dan mata lebar, ia bisa jadi tampil sebagai titik
ekstrim dari “silent”nya Gwen. Pendek kata, Agathos lah sisi “pertahanan diri”
(resistensi) Gwen. Ada
kemungkinan, sisi ekstrim dari silent
ini berupa “diam yang melawan,” atau “melawan dengan diam,” sebuah kemarahan,
dendam (resentment). Karena itu,
Agathos bisa hadir dalam figur Gwen yang menahan perih dengan mengelus dada
sambil menggenggam hati berdarah (seperti imaji Hati Kudus Yesus) di tangannya
(Gwen in the Box). Agathos di sini
seperti sedang menyerahkan diri, mengatakan “Aku rela memanggul salibMu,” suatu
bentuk perlawanan dengan diam - dan
mungkin bukan kebetulan, dalam Kristiani, ada ajaran “melawan dengan kasih.”
Agathos
juga bisa hadir hanya lewat matanya. Dalam Agathos
#1 kita melihat anak kecil yang memandang diam, agak menunduk, menantang,
tapi menahan diri, seperti sedang menghimpun kekuatan. Sebuah diam yang
resisten. Ada
keraguan yang seakan tak terpecahkan, tapi ia tetap menyimpan kekuatan untuk
melawan. Ia seperti sedang mengatakan “Tunggu saatnya!” atau “Veni, vidi, vici”
(Saya datang, saya melihat, saya menang).
Agathos
agaknya tak hanya melawan sosok yang ada di luar (Gurita Artopus), juga apa
yang mendekam dalam dirinya. Karya Fearless,
misalnya, yang tampil agak lain dari yang lain karena Agathos, yang selalu
dibela naga, di sini melawan naga yang keluar dari dirinya sendiri, seperti
sedang berusaha melampaui dirinya sendiri.
4/ “pesan damai” Andre
“Yang Baik” itu
universal sifatnya. Mungkin itu pesan yang ingin disampaikan Andre lewat
karya-karyanya. Kendati pun eksekusi piktorialnya belum tampak habis-habisan,
namun, pesan mengenai “berbuat baik” untuk menuju “Yang Baik” – sebuah aspek
spiritualitas yang melampaui agama itu -
sudah mulai digemakan.
Dalam
konteks ini, kendati karakter Agathos dan Gwen berbeda, namun keduanya membawa
pesan yang sama, pesan kebaikan. Pendek kata, keduanya ada dalam bahasa yang
sama: Isa. Mungkin pesan ini dibumbui dengan sedikit kritik untuk dunia seni
rupa melalui adegan Gurita Artopus yang salah satu tentakelnya melilit buku ART
NOW.
Corak
naratif-representasional menjadi jalan yang dipilih Andre untuk menampilkan
“sesuatu yang diberi nama Kebaikan” itu. Karena itu tak sulit bagi kita
mengenali ikon apa yang tersaji. Deburan ombak tempat Agathos muncul dengan
naga-nya, pada Agathos Ombak, nampak
sangat akrab di mata kita. Image itu
seperti ombak besar di pantai Kanagawa, suatu karya cukil Jepang, Ukiyo-e, yang
sangat terkenal.
Begitu
pula ikon hero dengan mudah dikenali melalui karakter rambut jabrik Agathos
yang berbongkah-bongkah bak karang tajam seperti para tokoh di komik superhero
Manga, misalnya Dragon Ball, juga alis tebal dan mata lebarnya.
Dalam eksekusi visual Andre, harmoni – yang di sini bisa berarti nyaman
dipandang - agaknya menjadi unsur penting berkaitan dengan agathos itu. Karya patungnya, misalnya dengan bahan
resin/fiberglass, dan finishing
berkarakter glossy menghadirkan efek
mulus, halus, mengkilap bak representasi dari keindahan zaman klasik, juga
warna putih mutiara yang menghadirkan kesan simpel, klasik, elegan. Alhasil,
tampak suatu keindahan yang “ada di sana ,”
bak tak tersentuh. Agaknya, ini menegaskan pernyataan Andre, “Setiap karya seni
adalah visualisasi dari rahmat Tuhan.”
Maka,
agaknya, menilik aspek piktorialnya, Agathos (juga Gwen) menampakkan rohnya
semula, suatu kekuatan atas pegangan yang diyakininya, semangat mencari
identitas yang sesuai dengan apa yang dikatakan Andre, “Aku bukan orang yang
religius, tapi aku suka yang membuat aku damai.”
Stanislaus
‘sius’ Yangni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar