Telisik
Potret Diri Affandi
Stanislaus
Yangni
Jogja, 1946.
Pada salah satu catatan tulisan tangannya, Affandi menceritakan pengalamannya
melukis: “Pernah terjadi, bahwa saya beberapa bulan tidak bisa melukis,
walaupun tiap pagi saya pergi tuk melukis. Pada suatu hari saya pulang ke rumah
dengan tangan hampa, tidak dapat lukisan. Merasa marah dan dongkol, sekonyong
saya lihat dalam kaca muka saya sendiri dengan ekspresi dongkol ini. Dalam
waktu itu juga lukisan dibikin. Aneh, berbulan-bulan tidak dapat motif,
sekonyong motif dekat sekali, muka sendiri.”
Pendek
kata, ketika menemui jalan buntu, wajah dirinya, bagi Affandi (1907-1990),
pelukis kelahiran Cirebon, yang selama ini dikatakan beraliran ekspresionisme,
“a new way of expressionism,” kata kritikus seni Herbert Read, tetap dapat
memberi inspirasi – motif paling dekat yang sering tak disadari adalah wajahnya
sendiri.
Uniknya,
setelah gagal melukis, Affandi sering kali membuat potret dirinya – ia sendiri
mengaku bahwa potret-potret dirinya dibuat ketika ia merasa sedih, muram,
kecewa, marah, dongkol, dan sebagainya. Self
portrait-nya seakan-akan mengatakan: Affandi melihat dirinya yang sedang
melihat dirinya yang (saat itu) merasa gagal.
Agaknya,
momen gagal ini, bagi Affandi, merupakan kondisi paling “manusiawi” – rasa berada di ambang berdaya dan tak berdaya,
rasio dan emosi – ada tarik menarik antara, meminjam istilah Freud, eros dan tanatos. Berhadapan dengan potret diri nya itu, Affandi seakan berhadapan
dengan kecemasannya yang paling personal: kecemasan jika ia tak bisa atau tak
mampu lagi melukis. Affandi lebih baik mati jika tidak dapat melukis lagi,
karena baginya, seperti kata Nashar, “Melukis itu seperti makan.”
Maka,
ada Potret Diri Setelah Gagal Melukis
(1981). Affandi yang merasa gagal melukis tampak ‘padam,’ kecewa, dan marah. Di
sana warna
merah (garis lengkung merah lebar) bak berasal dari usapan tangan, tampak
mendominasi seluruh wajah membentuk ekspresinya. Garis kuning pipih memberi
aksen kontur wajah, tapi tak hanya segaris. Garis kuning berulang, berlapis bak
memberi penekanan pada raut Affandi. Sementara itu, garis hijau kehitaman
nampak berfungsi sebagai ‘outline’ rangka wajah utama (mengitari wilayah mata,
hidung dan mulut), sedangkan garis putih (helai rambut Affandi), tipis, lentur,
jarang, bak melayang di luar kontrol itu, seperti menjadi aksen - agaknya
berfungsi ‘mendampingi’ kuning memperkuat suasana cemas Affandi.
Karena
itulah, setiap melukis, Affandi selalu tampak berkejaran dengan waktu. Ia
berusaha menangkap mood, yang dalam
istilah Affandi, gelora, vitalitas, Harstocht – hal yang harus ada ketika
ia melukis. Affandi jelas tak rela jika mood
itu hilang, atau jika tenaganya habis saat mood, atau kegemasannya itu masih
ada. Itu akan membuat Affandi merasa sangat kecewa. Jadi, apa pun latar
peristiwanya saat itu, yang kita lihat dalam potret diri tak sebatas
peristiwanya, melainkan tegangan, intensitas emosi yang muncul pada wajah
Affandi lewat tarikan garisnya.
Maka,
self portrait, salah satu tema pokok
karya Affandi, selain merupakan
bentuk eksplorasi diri, semacam refleksi kehidupan seniman, juga eksperimen,
disadari atau tidak, mengenai garis.
Otonomi Garis
Garis memegang
peran penting dalam lukisan Affandi. Garis lengkungnya terinspirasi pada wayang
kulit yang digemarinya sejak ia masih kanak-kanak.
Di
kemudian hari, garis lengkung wayang kulit ini dieksplorasinya habis-habisan
melalui pelototan cat. Teknik ini ditemukannya pada 1942 ketika suatu kali ia
sedang melukis sebuah keluarga, dan kehilangan pensil kecil untuk membuat
garis. Karena dicari pensil itu tak ketemu, ia jengkel, mood melukisnya
terganggu. Maka, dipelototkanlah cat langsung dari tube ke atas kanas,
hasilnya, ia suka efeknya. Lebih ekspresif. Namun pelototan cat ini baru banyak
digunakannya pada 1960an, sampai akhir hayatnya. Pelototan langsung itu juga
membuat Affandi merasa menyatu dengan kanvas.
Di
atas 1980an, karya Affandi konon dikatakan sebagian besar orang sebagai yang
sudah melemah, kehilangan energi.
Walau
ada benarnya, pendapat tersebut agaknya tak bisa serta-merta diterapkan pada
karya potret diri Affandi era tua ini. Alasannya, menilik potret-potret dirinya
di era usia lanjut, dari segi penampakan garis, nampak garis pelototannya makin
mandiri – dalam arti garis menjadi otonom, lebih kuat tidak dalam arti tekanan
karena tenaga fisik Affandi, melainkan garis yang bisa dikatakan tak lagi
terikat pada bentuk. Pendek kata, garis yang secara akademis dipahami sebagai
garis kontur (garis terluar obyek tertentu), garis outline (garis tepi bidang), atau garis sebagai border (garis batas antara obyek dengan
latar belakangnya), tak lagi berlaku pada Affandi.
Periode
1980 sampai dengan meninggalnya, potret diri Affandi ditandai oleh garis-garis
menipis, melemah, mengambang, tampak tak lagi tebal, juga tak tegas. Tube
seakan-akan tak penuh bisa ditekan di atas kanvas, dan tekanan pencetan tangan
pun tak seajeg era sebelumnya. Lihat garis panjang lengkung bergelombang,
separuh keriting, mengambang, tak paten melekat pada ‘garis wajah’ pada Potret Diri (1981). Affandi di era lanjut,
dengan sisa-sisa tenaganya, ternyata menghasilkan semacam ‘gradasi’ garis – ada
yang tebal, pendek, dan bak berhenti, ada yang panjang, terurai, tipis, tak
terarah, tapi bak tak ada putusnya.
Ini
menarik. Kalau dirunut secara fisik, hal ini jelas karena tenaga Affandi
melemah di waktu ia tua, terlebih pula ia mulai sakit-sakitan. Namun, melihat
sisi visualitas garis sebagai garis, aspek elementer dalam seni rupa dan sisi
artistik lukisan, jenis garis ‘era tua’ ini agaknya menghadirkan ekspresi lain:
tipis, cair, fleksibel, dinamis, plastis, dan liris bak menampakkan kekuatan
kemanusiaan yang sedikit bergeser, tak segarang yang lama, namun memiliki
intensitas empati yang bisa dikatakan sepadan.
Affandi,
lewat garis lengkungnya yang, mungkin istilah saya, “separuh patah dan
gemetar,” atau “separuh keriting dan tak beraturan” memiliki kekuatan
menghadirkan lekuk, volume, juga bidang.
Nampaknya, di sini lekuk bahkan menjadi hasil (efek) dari perjumpaan energi
para (pelototan) garis.
Lihat,
misalnya, Potret Diri Bathuk Mripat
(1982), salah satu karya era 80an yang tampak masih sangat kuat tekanan
garisnya. Cekungan, dekokan, atau lekukan hidung bak terbentuk dari perjumpaan
kekuatan, atau tegangan antara garis hitam pendek lengkung yang menimpa usapan
merah (terletak di bawah garis kuning) dengan garis kuning yang lebih tipis
dari hitam (di atas hitam).
Bandingkan,
misalnya dengan Self Portrait (1964).
Di sana
terlihat garis yang masih nampak ‘patuh’ pada bentuk, belum mandiri sebagai
garis. Garis oker-hitam tampak menjadi garis kontur luar wajah Affandi, garis
putih patah-patah bak menegaskan tulang hidung, sedangkan garis hitam bak
diulang membentuk lubang hidung sampai ke tepian bentuk bibir.
Lihat
pula perbandingan antara Self Portrait
Eating Watermelon (1962) dan Potret
Diri (1983) yang sama-sama bergambar Affandi sedang makan semangka.
Perbedaan paling kentara pada warna: 1962 warna lebih tebal, garis lebih tampak
‘dikendalikan’ oleh tekanan tangan, sementara pada 1983 nampak warna lebih
tipis, menuju krem, terang, dan garis berjalan sendirinya. Dengan kata lain,
garis, yang pada umumnya menjadi kontur tubuh, sekaligus batas (border, kontur luar) antara tubuh
Affandi dan latar belakang, tampak pecah - seakan Affandi sendiri dengan latar
belakangnya menyatu. Lalu apa yang menjadi pembeda antara Affandi dan latarnya?
Lapisan garis: garis kuning, garis putih, dan sebagainya yang saling berjumpa,
tumpang tindih, repetitif. Itu lah ritme garis, gerak otonom garis yang
melahirkan fungsi baru: garis melahirkan dimensi lain, ada bayangan, kedalaman,
dan volume.
Otonomi
garis itu tak bisa dilepaskan dari kemampuan Affandi memunculkan garis sebagai
garis. Affandi bak menangkap semacam garis pokok yang tak kelihatan namun
menjadi pusat gerak, suatu kekuatan yang tidak kelihatan dari garis itu
sendiri, seperti yang dikatakan Paul Klee, bahwa garis tak mengimitasi bentuk,
melainkan “renders visible,” membuat garis berproses menjadi dirinya sendiri.
Nampaknya, ini sedikit banyak bisa menjelaskan pernyataan Popo di bukunya, Affandi, Suatu Jalan Baru dalam
Ekspresionisme (1977), bahwa “Affandi telah memberikan suatu perkembangan
baru pada seni lukis: unsur garis yang merupakan pernyataan yang berdiri
sendiri, sekaligus menggantikan peranan bidang volume dan juga ruang dalam
lukisan konsepsi akademis.”
Karena
kemandirian garis ini lah, sebetulnya, kalau kita amati lebih jauh, garis
Affandi di era lanjut ini masih tampak kuat. Agaknya, garis Affandi dianggap
melemah karena terlihat tak lagi bertekanan besar tebal, keras, dan tak lagi
berbentuk. Sebaliknya, kalau kita amati, eksistensi garis menguat seiring ia
dibebaskan dari bentuk, misalnya Potret
Diri (1988) di mana pelototan kuning pendek-pendek bertekanan cukup kuat
terlihat menonjol di keseluruhan gambar – dan agaknya ini tak sesederhana kakek
yang sudah tua rapuh lemah dan sakit-sakitan.
Karena
itu, kata-kata Sanento pada Affandi sebagai “kakek yang tetap muda” mungkin
bisa dipahami dalam dua arti, pertama,
eksistensi garis yang menguat di era lanjut, dan kedua, semangat Affandi tak berubah: meningkatnya kecemasan atas
tenaga yang melemah ternyata berbanding lurus dengan daya melukisnya. Semakin
ia lanjut usia, menyadari kematian mengejarnya, ia merasa terburu waktu untuk
melukis, “Siapa tahu besok saya mati, saya harus terus melukis dan melukis dan
melukis.”
Karena
itu, “New way” yang dikatakan Herbert Read itu mungkin tak hanya bisa disebut
‘baru’ karena pelototan cat yang langsung dari tube itu khas Affandi, melainkan
sebagai suatu cara pandang berbeda mengenai garis itu sendiri: garis tak lagi
diperlakukan dengan ukuran saintifik. Singkatnya, “New way” di sini, terutama
bagi siapa pun yang membicarakan seni, bisa menjadi “cara baru memahami”
ekspresionisme – tak sekadar suatu aliran “ekspresionisme baru.” Lewat
potret-potret dirinya, Affandi seakan
menunjukkan pada kita semacam ‘bahasa garis,’ suatu cara mengatakan kemanusiaan
melalui garis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar