Mencari “Yang Lampau”
Suatu kali, Widayat pernah berkata, “Karya seni lukis harus mengandung ‘Chi’ menurut Fadjar Sidik atau ‘Taksu’ menurut Suteja Neka. Ia (lukisan) harus berisi.” Pernyataan itu mungkin terdengar “kurang pas” ketika ia juga mengajukan pandangannya bahwa “Lukisan itu berfungsi sebagai benda hias, untuk digantung di dinding rumah, di kantor, di galeri seni, di museum, dan lainnya.” Bagaimana Widayat menghadirkan ‘Chi,’ ‘Taksu,’ semacam “kekuatan yang tidak kelihatan” itu dalam lukisan yang – dari kata-kata Widayat – terkesan sekadar “penghias dinding?”
Widayat adalah pelukis yang digolongkan sebagai pelukis bergaya dekoratif, sebuah kecenderungan yang muncul pada 1960-an, bersamaan dengan maraknya seni abstrak. Selain Abas Alibasyah dan Bagong Kussudiardjo, di Yogyakarta, Widayat (sejak 1955) adalah salah satu dari pelopor perkembangan seni dekoratif ini. Namun gaya dekoratif yang hadir dalam karya Widayat berbeda dengan pendahulunya, Kartono Yudhokusumo, Hendra Gunawan, dan Batara Lubis.
Ia bergerak lebih jauh dari – misalnya, Kartono Yudhokusumo, salah satu gurunya, yang masih melakukan penggayaan (stilisasi) terhadap obyek tertentu (penggambaran obyek dengan cara diperindah), penekanan pada garis-garis ritmis dan warna-warna menarik. Sebaliknya, Widayat mengambil garis yang terkesan ‘patah-patah,’ ‘mengganggu,’ ‘merusak’ garis ‘manis’ tertata ala pelukis dekoratif. Ia tak hanya melakukan stilisasi pada obyek, melainkan pada elemen rupanya (garis, warna). Lihat saja, misalnya pada Adam dan Hawa (1980). Seluruh bidang gambar serta obyeknya pun dirangkai dari susunan tak beraturan bermacam bentuk, diblok dengan warna putih yang tak lagi murni: putih krem kecokelatan. Adam dan Hawa, sosoknya, diletakkan di tengah dan diberi semacam ‘bingkai’ hitam sebagai penanda bahwa itu sosok yang dijadikan fokus – tanpa perwajahan yang pasti. Demikian juga Adam dan Hawa (1990) yang didampingi dengan gambar hewan dan tumbuhan berwarna-warni, serta bentuk-bentuk lain. Pengulangan bentuk dan warna ini agaknya tidak hanya memperkuat kesan dekoratif, melainkan juga kesan ‘lampau’ pada lukisan Widayat. Susunan ritmis tak beraturan dan patah-patah itu menjadi semacam “bahasa” khas bagi karya-karya Widayat.
Dengan tekstur serupa patahan dan warna-warna lapuk itu, garis-garis Widayat pun tampak ekspresif, demikian pula dengan figur manusianya. Figur dan perwajahan dalam lukisan Widayat bercorak dua dimensi oleh karena distorsi. Kontes Kecantikan (1982), misalnya. Jejeran figur perempuan telanjang digambarkan secara berulang – ritmis – dengan wajah yang tak terbedakan. Mereka seperti susunan tumpang tindih, bergerombol. Dengan tekstur retak pada seluruh tubuh dan bidang gambar, figur-figur dua dimensi itu tampak seperti coretan pada dinding gua. Mereka serupa fosil. Di sana, kesan usang, lapuk, rusak, hadir. Begitu pula pada Wajah-Wajah Pelukis Asean (1986) yang seluruh bidang gambarnya tampak seperti pecahan dinding-dinding yang renta.
Corak atau gaya “primitif” yang tak dikenali secara khusus itu mengisi hampir seluruh karyanya. Suasana primitif dimunculkan melalui warna-warna gelap, warna-warna ‘rusak’ (lapuk), tekstur dan bentuk yang nampak seperti bongkahan tanah, pecahan, patahan, atau retakan batu, semacam arca kuno, atau batu berlumut, dan sejenisnya. Lihat, antara lain Dua Manusia Pertama (1980), Patung-Patung Primitif (1988), Burung-Burung Hutan (1984), dan foto dirinya, Widayat Sedang Melukis (1990).
Semua bentuk itu agaknya mampu membawa siapa pun pada suasana hutan dan kehidupan desa-desa kecil di sekitarnya. Suasana itu berhasil direkam dan dihadirkan Widayat karena keakrabannya dengan hutan belantara, batu-batu gunung, pohon-pohon raksasa, akar-akar tanaman yang menjulur, bongkahan-bongkahan tanah, bebatuan yang lapuk, lumut di hutan tropis, ketinggian tanah, permukaan jurang, suara binatang-binatang liar di hutan, kicauan burung, sungai, gemuruh suara air terjun, dan sejenisnya. Memang, dalam berkarya, Widayat banyak dipengaruhi oleh pengalamannya terutama sebagai pekerja juru ukur di perkebunan karet di Palembang, Sumatera Selatan, dan juru gambar peta rel kereta api Palembang, serta pengalaman belajar di Jepang bidang seni keramik, ikebana, pertamanan, dan grafis.
Selain lukisan cat minyaknya yang didominasi warna “tanah” dan terkesan “kelam” dan “lapuk,” Widayat juga melukis dengan akrilik, tinta, dan cat air. Lukisan-lukisan akriliknya memiliki nada warna yang berbeda. Warna tampak jauh lebih cerah, dan ritme bentuk dan garis amat nyata. Lihat, misalnya Taman Burung (1992) dan Rekayasa Hutan Kera (1992). Dan sekilas, di sana tampak warna dan komposisi ala Joan Miró.
Maka, dekoratif bagi Widayat juga berarti permasalahan menangkap “suara” hutan itu – menghadirkan kekuatan hutan yang menurutnya ‘magis,’ primitif. Dalam konteks Widayat, magis itu adalah “yang lampau,” “yang primitif,” “yang awal,” asal mula: bumi, tanah, kehidupan.” Maka, lewat warna-warna khas “lapuk”nya, motif-motif seperti topeng Irian atau Kalimantan (Topeng-Topeng Primitif (1990), Dua Manusia Pertama (1980), Jagad Ikan (1988)), kegelapan hutan seperti hutan Sumatera, Jawa dan Kalimantan (Burung-Burung Hutan (1984), Burung dalam Biru (1988), Beringin di Tebing (1991), Gunung Sumbing (1993)), hadirlah yang “lampau” itu.
-sty-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar