Realisme “Jiwa Ketok”
Sudjojono, yang dijuluki oleh Trisno Sumardjo sebagai “Bapak Seni Lukis Indonesia Baru” ini mengajak para seniman untuk “kembali ke realisme.” Realisme ala Sudjojono adalah bentuk perlawanan dari estetika “mooi indie” yang menekankan teknik dan gaya yang cenderung ‘memperbaiki alam.’ Baginya, karya seni adalah “jiwa ketok” (jiwa yang tampak).
Kredo “jiwa ketok” itu dicanangkannya sejak 1939. Sudjojono, alias “S. S 101,” selain melukis, juga aktif dalam berbagai organisasi politik dan kebudayaan. Ia mendirikan PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) pada 1937 dan SIM (Seniman Indonesia Muda) pada 1946, serta banyak membuat sketsa pertempuran sekitar Yogyakarta.
Di zaman revolusi, pelukis yang pernah belajar dan tinggal bersama keluarga Yudhokusumo (ayah pelukis Kartono Yudhokusumo) ini menekankan realisme sebagai dasar seninya. Baginya, seni haruslah mudah dipahami rakyat. Maka, muncul di lukisannya, selain gambaran perjuangan, juga aktivitas masyarakatnya.
Jika semboyan “jiwa ketok” adalah reaksi terhadap estetika pemandangan alam ala ‘mooi indie,’ ajakan “Pergi ke realisme” merupakan reaksi atas kecenderungan abstrak yang terjadi pada seni lukis Indonesia sekitar 1950-1960-an. Realisme, bagi Sudjojono, tidak detail dan ‘indah’ seperti pada ‘mooi indie,’ melainkan ekspresif (‘jiwa ketok’), tapi tidak pula jatuh pada abstraksi – tidak ‘kebablasan’ pada ekspresi yang meniadakan bentuk. Agaknya, semboyan lama “seni untuk rakyat” masih dipegang teguh olehnya.
Pada pertengahan 1950-an, karya-karyanya lebih ekspresif. Era realismenya tidak lagi berkutat pada detail seperti Di Dalam Kampung (1950) di mana perspektif dan perwarnaannya masih ‘tertib’ sehingga nampak seperti foto, tidak pula seperti pada Seko (1947) yang pengolahan warna, gelap terang, figur, dan sebagainya agaknya masih diberi kesan ‘dramatis,’ juga pada Mengungsi (1947). Kawan-Kawan Revolusi (1947) dan Di Balik Kelambu (1939) memiliki garis-garis dan sapuan kuas lebih ekspresif. Di sana, benih “jiwa ketok,” lukisan sebagai “ide yang terlihat” itu menguat.
Masih dengan tema-tema keseharian, tanpa meninggalkan gaya realisnya, ia mulai melepaskan detail subyek lukisannya, menguatkan sapuan warna sehingga tampak ekspresif. Lihat misalnya, Sodom dan Gomorah (1956), Fragmen Ketoprak (1975), dan Barong (1974) yang sapuan kuasnya lebih kasar, cenderung berkesan kotor, namun dinamis dan bebas. Ini juga terlihat pada Amsterdam Port (1973), sketsa tinta yang garis-garisnya tampak dinamis.
“Realitet nasi,” istilah Sudjojono, ini berkisah tentang “… pabrik-pabrik gula dan si tani yang kurus, mobil si kaya dan pantalon si pemuda; sepatu, celana, dan baju gabardin pelancong di jalan aspal” (Keboedajaan dan Masjarakat, no 6/I/Oktober 1939) dan menjiwai seluruh karyanya, walau dengan cara ungkap yang beragam. Sudjojono memilih realisme “jiwa ketok,” ekspresif. Untuk dapat mencapai itu, ia mementingkan nilai kebatinan dalam melukis. Baginya, lukisan itu bukan copy realitas, melainkan suatu “ide yang terlihat.” Lukisan, baginya, tidak hanya perihal menampilkan obyek, melainkan pemikiran dan suasana batin seniman yang berinteraksi dengan lingkungannya. Maka, hampir semua lukisan Sudjojono tampak seperti catatan harian - tidak hanya sekadar rentetan peristiwa – namun juga gambaran dari sikap, pandangan hidup, keinginan, harapan, kegelisahan, dan pikiran-pikirannya.
Dua karya pentingnya, Cap Go Meh (1940) dan Di Balik Kelambu Terbuka (1939) – menjadi koleksi Bung Karno - bahkan, di tahun yang berdekatan, memiliki ekspresi yang berbeda: Cap Go Meh lebih detail, ramai, sedangkan Kelambu Terbuka nampak suram, satu figur, dan sapuan kuasnya lebih terlihat. Namun, keduanya realis-ekspresif, terlihat dari tema, juga ekspresi subyek lukisan dan warnanya.
Sekitar 1970 dan setelahnya, masih dengan realis yang ekspresif, ia menyampaikan kritik sosial dengan sindiran, ironi, sinisme, misal Becak Driver (1981), atau nuansa fantasi pada Rontok (1978), gedung megah tinggi yang runtuh bersama beterbangannya manusia hewan-hewan. Nuansa fantasi ini pun sudah muncul sejak 1944 pada “Sayang, Aku Bukan Anjing” (sosok dua anjing berkepala manusia), juga pada Piano di Tengah Reruntuhan (1956) yang memiliki kesan simbolis-fantasi-liris. (IndoArt-014)
-sty-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar