Mozaik Salim di Perancis
Membicarakan perkembangan karya Salim tak bisa dilepaskan dari kubisme dan gerakan para pelukis Perancis era 1950-an, juga perkembangan seni lukis abstrak di Indonesia masa 1950an-1960an. Walau Salim banyak dipengaruhi oleh corak kubisme Fernand Léger (1881-1955), namun tidak dapat kita temukan jejak-jejak Leger yang kental dalam lukisannya.
Salim datang ke Paris pada 1928 saat berumur 20 tahun. Selain belajar di Academie de la Grande Chaumiere, ia masuk ke Sanggar Fernand Léger, menjadi pengurus studio sekaligus murid pelukis kubisme itu selama tiga tahun, 1929-1932. Selain gurunya ini, perkembangan karya Salim banyak dipengaruhi oleh aliran abstrak, realisme, dan surealisme yang sedang marak di Perancis masa itu, juga nasionalisme Indonesia dari Sutan Sjahrir, Moh. Hatta, dan Soekarno.
Mungkin karena itu, Salim sering dikaitkan dalam pembicaraan sengit mengenai kepribadian nasional - identitas seniman Indonesia yang hidup di negeri lain sampai akhir hayatnya, walau ia masih mengaku berkebangsaan Indonesia dengan paspor Indonesia.
Lukisan Salim kaya dengan komposisi yang harmonis dan warna-warna lembut, cerah yang dipadu dengan bentuk-bentuk geometris. Aneka warna Salim ini mungkin yang membedakan dia dengan, seperti dikutip Agus Burhan dalam tulisannya di Katalog Pameran 100 tahun Salim, Bernart Buffet, yang cenderung memilih warna suram untuk mengungkapkan tendensi politisnya. Atau, karena warna-warni itulah Salim dianggap tidak memiliki tendensi politik yang pasti, hanya sekadar mengungkap masalah kerakyatan, refleksi kehidupan secara umum tanpa greget ‘revolusi’?
Sekilas, karya Salim nampak seperti mozaik, pecahan-pecahan kaca yang diwarnai dengan warna-warna pastel. Karyanya nampak seperti kumpulan, tumpukan pecahan kaca yang terkena pantulan sinar, membentuk sesuatu namun sekaligus mengaburkannya. Lihat, misalnya pada Gadis Bali (1989), atau La Petite Rouquine (2001). Keduanya menggambarkan sosok perempuan. Pada Gadis Bali, dua sosok itu nampak lebih jelas, namun seluruh permukaannya seperti disusun dari persegi-persegi yang beraneka warna, sedangkan pada La Petite Rouquine, dua sosok yang hadir seperti mengalami deformasi bentuk. Ia seperti menggunakan teknik berbeda dengan pada Gadis Bali. Ia mendeformasi langsung bentuk sosok dengan bidang-bidang perseginya. Dengan kata lain, persegi itu tidak hanya sebatas permukaan yang diwarnai, namun menyatu-membentuk figur.
Perihal kedalaman dan dimensi dalam lukisan, Salim agaknya tidak banyak mengeksplorasi itu. Dimensi dalam lukisannya terlihat sekilas dari pewarnaan dan patahan-patahan garis. Namun, berbeda jauh dengan para kubistis, Salim sangat minim mengolah gelap-terang dalam satu bidang. Efek gelap-terang lebih ditampilkannya lewat perpaduan warna-warna itu. Maka, mungkin, lepas dari teknik penghadiran lukisan Salim, atau eksplorasi tekniknya, ada yang berpendapat bahwa karya Salim berisi ‘romantik agoni’ di mana ia sangat subyektif menyatakan perasaannya terhadap obyek lewat warna.
Salim tidak meninggalkan bentuk. Obyek tetap ada dalam karya-karyanya, bahkan dominan. Kendati dilukis dengan deformatif dan nampak hanya perpaduan warna dan garis, ia tetap mempertahankan keberadaan obyek. Obyek tidak dihilangkan sama sekali, dalam arti ia tidak berada pada aras abstraksi murni yang hanya garis dan warna. Masih tampak suasana dan coretan bentuk yang ‘mengungkapkan’ obyek. Kenang-Kenangan dari Sete (1989), misalnya, menggambarkan suasana sebuah kota di Perancis Selatan. Ada gedung, bentuk semacam kapal, sosok manusia di sebelah kanan bidang gambar, dan sisanya gars-garis (plesetan garis-garis) yang diisi warna. Pelabuhan Tegal (1990) lebih jelas memperlihatkan suasana pelabuhan. Ada sederet orang di kapal yang sedang melihat ke pelabuhan, sebaris ibu-ibu memandang kapal, dan sebagainya. Salim memang sangat terkesan dengan Tegal, kota tepian pantai Utara yang menurutnya hangat dan terbuka. Demikian pada lukisannya yang menampilkan arsitektur. Katedral (1985), Gereja (1985), dan 1001 Malam (1983), misalnya. Lengkungan yang dibentuk dari kotak-kotak warna-warni khas Salim nampak jelas dominasi seluruh bidang. Maka, dalam hampir seluruh karya Salim, kalau pun nampak abstrak, ia masih menggunakan judul, yang sepertinya mau mengatakan bahwa ia tidak bisa melepaskan orang dalam ketidaktahuan sama sekali mengenai ‘isi’ karyanya. (IndoArt-014)
-sty-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar