November 21, 2008

ARTVERTISING, Galeri Nasional 24 – 30 Oktober 2007.

Artvertising, sebuah pameran yang bertempat di Galeri Nasional, 24 Oktober sampai dengan 30 Oktober 2007 diselenggarakan oleh Pantarei Communication dan Garis Art. Pantarei adalah biro iklan yang cukup berpengaruh, sedangkan Garis Art menjadi penghubung antara pengusaha, pecinta seni dan desainer grafis. “Demand can be created.” Semboyan ini menunjukkan optimisme Pantarei, bahwa iklan selalu bisa menciptakan kebutuhan yang selalu baru bagi konsumen. Kali ini, kebutuhan itu ingin diciptakan lewat kolaborasi antara iklan dan seni rupa murni. Enin Supriyanto, dalam tulisannya di katalog Artvertising, juga menegaskan bahwa seni rupa dan iklan tidak dapat dipisahkan. Pameran ini diharapkan bisa merangkul kalangan pecinta seni, pengusaha, seniman seni rupa murni dan seniman grafis, agar lewat iklan bersama menjadikan seni sebagai bisnis.

Artvertising mengambil term ‘Pop Art’ untuk menamai salah satu perkembangan seni kontemporer Indonesia. Dalam pameran tersebut kita bisa mengamati bagaimana para perupa memaknai pengalaman mereka atas seni pop dan fenomena iklan dewasa ini. Sekitar dua puluh satu seniman yang ikut dalam pameran ini berasal dari kalangan seni rupa murni, desainer grafis, dan komunikasi visual. Bahkan ada yang sempat bergelut di dunia iklan. Salah seorang dari seni rupa murni, misalnya, Nasirun, sempat ditertawakan teman-teman dari Jogja ketika diketahui ia ikut pameran ini. “Saya diundang. Dan justru ketika diundang, ditertawakan, saya malah tertantang …” Seniman lain, seperti kelompok suami isteri Miko Bawono dan Santi Ariestyowanti (Indieguerillas) adalah desainer grafis. Pupuk DP, Hanafi, Samsul Arifin, Dipo Andi, Bambang Toko, Budi Kustarto, Tedy, dan yang lainnya tidak kalah menarik berbicara lewat karya-karya khas mereka.

Seni pop muncul di London dan Amerika, sekitar tahun 1950an. Seni pop merupakan reaksi atas budaya massa yang konsumeristik. Harold Rosenberg mengatakan bahwa seni pop, seperti “joke without humour, told over and over again until it begins to sound like a threat … Advertising art which advertises itself as art that hates advertising.” Selain menjadi kritik atas budaya massa, seni pop juga merangkul pengalaman masyarakat dalam dunia kapitalis. Seni pop adalah artikulasi masyarakat yang tak ingin berhenti bicara tentang jamannya. Salah seorang pelopor seni pop adalah Andy Warhol. Kalau serialisme Warhol lewat kaleng sup Campbell merupakan reaksi terhadap budaya massa yang sarat dengan homogenitas, produksi masal, dan harga yang murah, semangat apa yang dibawa Pop Art di Indonesia? Selain semangat main-main, semangat menggabungkan sana-sini, semangat ngeyel, ndablek, gaul dan sinis, kita juga tak bisa lepas dari pengalaman sebagai konsumen. Ronald Manullang dalam Madonna and Child (2007) mengungkap bagaimana kita sudah sedemikian dikuasai oleh teknologi informasi, Dipo Andi lewat karyanya, Mendadak Ngepop (2007), tidak melakukan kritik terhadap isi atau produk Pop Mie. Ia ingin mengartikulasikan kembali bagaimana demam pop di Indonesia. “Nggak ada kritik ke produknya itu, saya cuma ngambil tulisan Pop-nya aja, kritik terhadap situasi sebenarnya. Pop Mie, ‘mie’-nya saya ganti: pop artis, pop kolektor, budaya pop yang tiba-tiba, yang mendadak, saya buat gitu.” Kalau Andi menampilkan demam pop di Indonesia, Nasirun mengkritik kota Yogya yang penuh dengan papan iklan, terutama iklan rokok. “Karya iklan mendominasi kota. Akhirnya ya pusing-pusing amat, ya saya bikin isu yang lucu-lucu aja.”

Realitas media menunjukkan bahwa kebutuhan selalu dapat diciptakan. Iklan adalah salah satu media yang tidak lagi memberi informasi tentang apa yang dibutuhkan konsumen, tapi menciptakan kebutuhan baru. Lewat seni rupa, iklan diharapkan dapat menciptakan desire masyarakat sehingga konsumsi tidak pernah berhenti. Pop Art yang dipahami dalam Artvertising adalah kecenderungan menggabungkan seni rupa murni dan iklan sebagai alternatif investasi.


- Sty -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar