Festival Tanda Kota diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada 15 – 30 November 2007 di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Pameran dikuratori oleh Reza Afisina dan Ardi Yunanto, dan diikuti oleh sekitar tiga belas komunitas dan seniman-seniman muda dari berbagai bidang (desain grafis, desain komunikasi visual, fotografi, seni rupa murni) yang menggeluti masalah pengembangan masyarakat dan kritik sosial. Karya-karya yang ada menampilkan pembacaan mereka atas kota. Bagaimana cara mereka menyuarakan sejarah kotanya?
Dalam pengantar pameran Festival Tanda Kota, Bambang Bujono selaku wakil dari Dewan Kesenian Jakarta, mengharapkan pameran ini dapat menyajikan citra tentang Jakarta, yaitu sebuah kota yang bergeser dari metropolitan menjadi megapolitan. Apa saja yang dapat ditelusuri untuk mengamati mekanisme kota Jakarta ini? Urban relic. Di pameran ini para seniman menunjukkan berbagai jejak kota, mulai dari hal-hal yang sangat umum, seperti papan iklan di jalan, stiker-stiker pada bus kota atau mikrolet, sampai hal-hal yang dianggap memiliki nilai nostalgia (restoran tempo dulu, stadion, simpang jalan). Kepingan-kepingan itu menjadi bernilai ketika dikumpulkan, diangkat, ditafsirkan dan dibicarakan. Melalui medium foto, gambar, video, spanduk, instalasi, media cetak, dan sebagainya sebuah peristiwa tersaji kembali, perubahan hidup dalam kota sepanjang masa bisa dihadirkan lagi.
Kota adalah teks yang harus dibaca dan ditafsirkan dari berbagai perspektif. Pembacaan atas kota ini bisa dilakukan lewat bangunan-bangunan kuno bersejarah dalam Dark Brown Sofa (2007), iklan-iklan ilegal yang terpampang di pinggir jalan berlabel “Sedot WC”, “Guru Les Privat”, “Penyalur Pembantu”, “Pendidikan Akupuntur”, “Badut sulap”, “Jasa Skripsi”, sampai rekaman iklan yang dibuat oleh Sakitkuningcollectivo dalam Ilegallegal (2007). Ilegallegal berisi dramatisasi tulisan pada papan iklan. Cetak Urban (2000) merupakan proyek kerja Ruangrupa yang menyajikan metode membaca kota. Mereka mengadakan penelitian melalui produk cetak (stiker, spanduk, foto, video, dan sebagainya) yang diedarkan di Jakarta.
Tidak hanya Jakarta, Bandung dan Yogyakarta juga tidak luput dari pembacaan kritis senimannya. Seniman harus bisa membawa ‘roh jaman’ (Zeitgeist) dalam karya-karyanya. “He is the voice of his time” (Maxim Gorki). Mempelajari tanda-tanda kota sama artinya memberi nama yang selalu baru pada sebuah kota. Dari sana kita bisa mencatat sejarah perkembangan sebuah kota. Bandung bisa dicatat sebagai kota wisata belanja karena pertumbuhan factory outlet dan usaha kulinernya, sebagaimana diteliti oleh Buton Kultur 21. Instalasi Bambang Toko, Rumah Masa Depan (2007) menjawab harapan masyarakat kota Yogyakarta melalui parodi atas rumah mungil sederhana, harga terjangkau, tempat strategis dan fasilitas nyaman. Karya ini juga merupakan reaksi atas maraknya investor perumahan baru di Yogyakarta. Makam (dikatakan sebagai rumah masa depan) diangkat sebagai simbolisasi keinginan itu.
Ada tiga hal yang bisa dipahami melalui istilah Tanda Kota, pertama, tanda kota membuat kita menyadari keberadaan yang lain dalam sebuah kota, misalnya papan-papan iklan ilegal. Entah benar atau tidak, mereka berusaha memanggil kita. Kedua, karakter sebuah kota. Paling tidak dengan adanya spanduk Swike hasil karya Jatiwangi Art Factory, kita dikenalkan dengan masakan khas daerah itu. Ketiga, tanda kota membuat orang berjumpa dengan ‘asal-usul’nya, seperti Food in the City (2007). Ayam Goreng Solo, Soto Lamongan, Nasi Goreng Cirebon, dan sebagainya adalah citra khas daerah yang dibawa ke tempat lain.
Kota selalu menanti untuk diberi nama. Citra mereka dibentuk oleh aktivitas penduduknya. Festival Tanda Kota menyediakan medium untuk mencermati perubahan imaji kota dari waktu ke waktu. Lewat urban relic (istilah dari Bambang Bujono), kita dapat melihat wajah kota yang dipermak.
- Sty -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar