Iklan-iklan yang dibahas di sini diambil dari beberapa koran dan majalah yang terbit pada masa Jepang (1942-1945), yaitu Asia Raja, Sinar Matahari, Tjahaja, Sinar Baroe, Soeara Asia, Djawa Baroe, Almanak Djawi, Majalah d’Orient, Sri wedari Fair, dan Almanak Kabe.
Pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia tak hanya menggunakan poster untuk propaganda politiknya. Juga pemerintah pendudukan itu campur tangan dalam iklan-iklan komersial di media massa.
Tujuan propaganda itu,dilihat dari iklan-iklan di media massa tersebut, pertama, menjadikan Indonesia “saudara muda,” Jepang – serupa Jepang (yang mengaku sebagai “saudara tua”), tapi tidak sama, tidak akan pernah sama dengan Jepang. Dengan kata lain, indoktrinasi ini, agaknya, bisa dikatakan bertujuan menanamkan hasrat bangsa Indonesia untuk menjadi “serupa tapi tak sama” dengan Jepang. Kedua, menjadikan Indonesia bersama-sama Jepang memerangi “Barat” (Amerika dan Inggris yang waktu itu sedang diperangi Jepang).
Aiko Kurosawa dalam Propaganda Media on Java Under the Japanese 1942-1945 tahun 1987 menjelaskan bahwa Jepang menyadari benar masyarakat Indonesia masih buta huruf, sehingga propaganda itu lebih banyak dalam bentuk visual, misalnya teater tradisional, pertunjukan boneka Jepang, performance arts, dan terutama, film.
Namun dalam iklan-iklan di media massa, agaknya Jepang menganggap media massa adalah dunia intelektual, sehingga bahasa gambar dinomorduakan dan lebih mengemukakan teks.
Di antara yang lebih mengemukakan teks itu, ada juga contoh iklan yang dari sisi visualnya cukup kuat, yaitu iklan eau de cologne. Inilah iklan yang mempropagandakan secara lebih visual agar orang Indonesia menjadi Indonesia (untuk bersama-sama Jepang melawan Barat). Iklan ini bergambar Arjuna dan eau de cologne cap kepala kerbau.
Teks iklan itu seperti ini: “ARDJOENA! Ksatriya terpoedja. Toean maoepoen njonja akan poela terpoeja oleh sekalian wanita begitoepoen priya, djika senantiasa memakainya EAU de COLOGNE keloearan FAPA TJAP KERBOU ialah tanda jang njata.”
Adapun gambarnya, Arjuna sedang berdiri tegak dengan kostum setengah badan (dada terbuka). Tangan kanannnya sedikit menekuk, jari kirinya menyentuh tutup botol Eau de Cologne. Itu salah satu contoh iklan yang terpampang dalam surat kabar Asia Raya, harian yang terbit mulai 1942.
Dengan hanya melihat sosok Arjuna, dan kerbau, asosiasi orang melihat iklan ini bahwa eau de cologne ini milik Indonesia, tidak lagi “Barat” seperti biasanya. Sebab, lazimnya, iklan eau de cologne di media massa Indonesia bergambar wanita atau pria bertampang barat. Ini juga bisa ditafsirkan sebagai ajakan untuk melawan “Barat.”
Ada sebuah contoh iklan yang lebih tegas lagi, yaitu obat Nippon. Dalam surat kabar Asia Raya, Maret 1944, iklan obat ini diilustrasikan dengan gambar bola dunia yang depannya peta Asia Pasifik, termasuk Jepang, Cina dan Indonesia. Di tengah-tengah gambar itu ada tulisan “Basmikanlah Amerika, Enggeris! Dirikanlah Asia Timoer Raja! Obat Nippon ialah jang paling mandjoer dalam doenia.”
Salah satu iklan yang minim visual, namun dari sisi teks lebih lugas adalah iklan kamus Bahasa Indonesia. Diberitahukan bahwa kamus tersebut adalah kamus baru, “Alat di Zaman baroe oentoek Bahasa Indonesia.” Kemudian kalimat “… dalam kamoes ini terdapat: kata-kata jang lazim dipakai di Indonesia: tidak lagi ditjampoeri kata-kata Asing jang dipinjam dalam zaman jang laloe,” seakan-akan mau mengatakan, selain kamus ini adalah kamus bahasa yang non-melayu, juga kamus yang “bersih” dari “resapan” kata-kata yang terpengaruh Bahasa Belanda, atau yang disebut ‘musuh bersama’ (juga Indonesia) menurut Jepang, yaitu “Barat.” Dari sini nampak tendensi Jepang untuk membangun rasa benci Bangsa Indonesia terhadap segala yang berbau “Barat.”
Contoh lain, misalnya, Rokok kretek tjap Delima. Dengan gambar sederhana, yaitu buah delima di sudut kiri dan gunung yang ditanami tembakau di bagian bawah iklan, serta tulisan “Ada satoe-satoenja rokok jang sangat digemari, dan selaloe di-isap oleh kebanjakan bangsa kita (Indonesia),” rokok Delima “ditahbiskan” menjadi “rokoknya bangsa Asia.”
Kemudian, iklan Djamoe Tjap Djago & Babon yang bergambar dua ayam, jantan dan betina. “… diminoem oleh semoea bangsa Asia.” Salah satu metode persuasi yang khas dari iklan-iklan zaman ini adalah adalah penekanan pada barang yang diiklankan itu sebagai barang yang sudah banyak dipakai oleh bangsa Asia (dan Indonesia tentu di dalamnya).
Iklan Passel Osama, misalnya, juga adalah produk Jepang yang diperkenalkan ke Indonesia. Passel Osama adalah semacam kapur warna yang “… dibikin dari material dari Selatan, dan tida akan hantjoer djika kena sinar matahari jang panas …” dengan visualisasi sederhana, di kiri ada sebuah kotak persegi panjang, gepeng, ditulisi dengan bahasa Jepang, di sebelah kanan atas segitiga yang dalamnya bergambar lambang “King” dalam kartu bridge dan bagian bawahnya tulisan Jepang. Kata “Selatan” dan “Negeri jang panas” adalah dua istilah yang bisa menjadi strategi persuasif bagi Indonesia – sama dengan Jepang sebagai negeri “Asia yang panas – Negeri Matahari Terbit.”
Iklan lain yang bertujuan serupa, misalnya Sabun Lifebuoy. Iklan ini adalah salah satu iklan yang memiliki desain dengan komposisi yang cukup imbang antara gambar dan kata-kata. Ada seorang laki-laki dan perempuan yang berdiri berdampingan memakai pakaian adat Jawa. Mereka seperti berada di tengah acara resmi. Di sampingnya ada tulisan “Pertjaja Pada Diri Sendiri,” dan beberapa deret di bawahnya ada tulisan yang menceritakan apa itu Body Odour dan pencegahannya. Alasan lain yang menegaskan keberadaan sabun itu di Indonesia diungkap melalui kata-kata yang menyatakan Lifebuoy sebagai “Saboen toilete spesial boeat negeri jang panas.”
Kalau beberapa contoh iklan di atas adalah bentuk “pengindonesiaan” untuk menghapus imaji-imaji “Barat” yang sudah melekat di masyarakat Indonesia, seperti sudah disebut di atas, contoh berikutnya adalah iklan-iklan bermodel “Penjepangan.”
“Penjepangan” atau proses “peng-Asia-an” ini diikuti oleh usaha Jepang menjadikan dirinya sebagai “yang dihasrati” Indonesia. Maka,“Indonesia” haruslah menjadi “Djawa Baroe” yang ‘berkiblat” pada Jepang, menjadikan Jepang sebagai negeri yang eksotis, kaisar Jepang, Tenno Heika, sebagai yang patut disembah, dan bahasa Nippon adalah bahasa yang layak dipelajari.
Dalam hal bahasa, “Penjepangan,” bisa dilihat dalam iklan buku pelajaran bahasa Nippon. Bahasa Nippon diproklamirkan sebagai bahasa yang harus dipelajari karena menjadi syarat utama untuk membangun negeri Indonesia yang disebut sebagai “Djawa Baroe.” Disertai gambar buku tebal yang sampulnya bertuliskan “Moedah dan Gampang,” lalu dilanjutkan di bawahnya, “Oentoek dapat berbahasa Nippon,” iklan itu memuat tulisan panjang: “… menjoembangkan tenaga sepenoeh2nja oentoek membangoenkan Djawa Baroe pertama2 perloelah mempeladjari bahasa Nippon.” Agaknya, kata-kata itu tidak semata-mata bertujuan agar buku pelajaran bahasa Nippon itu laku, melainkan, terutama, untuk membangkitkan “hasrat” para pelajar Indonesia untuk fasih berbahasa Jepang.
“Penjepangan” yang berpretensi menjadikan Indonesia “serupa tapi tak sama” dengan Jepang juga dapat diamati dalam iklan buku Kewajiban Pemoeda. Dengan pernyataan “Satoe Bokoe – Satoe Pemoeda” seakan-akan mau mengatakan “Kalau mau jadi pemuda (Nippon, menyerupai Nippon, meneladani Nippon ‘saudara tua’ Indonesia), harus baca ini!” Kaum laki-laki, yang menjadi sasaran utamanya, seakan-akan mau di-upgrade menjadi “pemuda” setelah membaca habis buku tersebut. “Pemuda” yang dicita-citakan pun bukan pemuda biasa, melainkan pemuda yang “Memelihara semangat perang mentjapai kemenangan Asia Raja.” Pemuda yang memenuhi kriteria (ideal) tersebut adalah Pemuda Nippon – pemuda Indonesia yang “serupa tapi tak sama” dengan Nippon: laki-laki muda Indonesia ‘dipanggil’ menjadi pemuda ‘yang Nippon’ tapi ‘tidak sepenuhnya Nippon.’
Iklan lain yang bisa mewakili strategi “penjepangan” adalah iklan pasta gigi CLUB. Obat gosok gigi (istilah pada waktu itu untuk pasta gigi) CLUB divisualisasikan melalui seorang perempuan Jepang berkimono sedang tersenyum menampakkan gigi-giginya yang putih. Obat gosok gigi ini tidak hanya berguna untuk membuat gigi tak berlubang, sehat, namun juga “poetih, tjantik, bertjahaja” seperti perempuan Jepang itu. Iklan ini, daripada menjual produknya, bisa dikatakan memiliki tujuan lebih, yaitu membangkitkan “hasrat” perempuan Indonesia agar “serupa,” tapi “tak akan pernah sama,” dengan perempuan Jepang yang diimajikan sebagai “putih, bersih, dan cantik.”
Ada pula iklan yang agaknya menanamkan nilai-nilai mengenai peran laki-laki dan perempuan, serta relasi keduanya. Iklan Teh cap Kartoe, misalnya. Dalam iklan ini digambarkan seorang laki-laki sedang membaca koran sementara isterinya menyediakan “Teh tjap Kartoe.” Membaca koran di ruang duduk sambil menghirup teh yang disediakan oleh sang isteri adalah sebuah gambaran gaya hidup. Kalau dikaitkan dengan kondisi perang Jepang, agaknya, ada nilai yang dilekatkan terhadap sosok perempuan ideal dan laki-laki ideal. Perempuan ideal di masa perang Jepang adalah perempuan yang merelakan suaminya/kekasihnya pergi berperang, dan mau menanti dengan setia kepulangan suaminya/kekasihnya itu dari medan perang.
Lewat iklan, sepertinya, Jepang ingin mengatakan kepada bangsa Indonesia, “Saya dan kamu adalah sama, tapi tidak benar-benar sama dan tidak akan pernah bisa sama karena kamu adalah “saudara muda” yang harus patuh dan hormat terhadap “saudara tua.” Singkat kata, seni rupa, lewat berbagai tampilannya, dalam hal ini iklan, merupakan medium yang paling “fleksibel” untuk menjalankan “Penjepangan” itu.
Masuknya propaganda Jepang ke dalam dunia periklanan itu lewat badan yang disebut Sendenbu (Barisan Propaganda Balatentara Dai Nippon). Iklan-iklan yang masuk dalam surat kabar adalah iklan yang dinilai mempropagandakan Jepang sebagai negara bersemboyan 3A: “Jepang Pelindung Asia, Jepang Cahaya Asia, Jepang Pemimpin Asia.”
Iklan-iklan zaman Jepang ini jauh berbeda dengan zaman-zaman sebelumnya (Belanda, etc) atau setelahnya (setelah kemerdekaan dan demokrasi di Indonesia, di mana mulai banyak perusahaan periklanan yang mampu merancang iklan dengan berbagai teknik). Selain soal teknik, baik di jaman Belanda maupun di jaman Kemerdekaan, kekuasaan Pemerintah tidak masuk ke dunia komersial. Sedangkan Jepang ingin menggunakan segala bidang untuk propaganda.
Tujuan propaganda itu,dilihat dari iklan-iklan di media massa tersebut, pertama, menjadikan Indonesia “saudara muda,” Jepang – serupa Jepang (yang mengaku sebagai “saudara tua”), tapi tidak sama, tidak akan pernah sama dengan Jepang. Dengan kata lain, indoktrinasi ini, agaknya, bisa dikatakan bertujuan menanamkan hasrat bangsa Indonesia untuk menjadi “serupa tapi tak sama” dengan Jepang. Kedua, menjadikan Indonesia bersama-sama Jepang memerangi “Barat” (Amerika dan Inggris yang waktu itu sedang diperangi Jepang).
Aiko Kurosawa dalam Propaganda Media on Java Under the Japanese 1942-1945 tahun 1987 menjelaskan bahwa Jepang menyadari benar masyarakat Indonesia masih buta huruf, sehingga propaganda itu lebih banyak dalam bentuk visual, misalnya teater tradisional, pertunjukan boneka Jepang, performance arts, dan terutama, film.
Namun dalam iklan-iklan di media massa, agaknya Jepang menganggap media massa adalah dunia intelektual, sehingga bahasa gambar dinomorduakan dan lebih mengemukakan teks.
Di antara yang lebih mengemukakan teks itu, ada juga contoh iklan yang dari sisi visualnya cukup kuat, yaitu iklan eau de cologne. Inilah iklan yang mempropagandakan secara lebih visual agar orang Indonesia menjadi Indonesia (untuk bersama-sama Jepang melawan Barat). Iklan ini bergambar Arjuna dan eau de cologne cap kepala kerbau.
Teks iklan itu seperti ini: “ARDJOENA! Ksatriya terpoedja. Toean maoepoen njonja akan poela terpoeja oleh sekalian wanita begitoepoen priya, djika senantiasa memakainya EAU de COLOGNE keloearan FAPA TJAP KERBOU ialah tanda jang njata.”
Adapun gambarnya, Arjuna sedang berdiri tegak dengan kostum setengah badan (dada terbuka). Tangan kanannnya sedikit menekuk, jari kirinya menyentuh tutup botol Eau de Cologne. Itu salah satu contoh iklan yang terpampang dalam surat kabar Asia Raya, harian yang terbit mulai 1942.
Dengan hanya melihat sosok Arjuna, dan kerbau, asosiasi orang melihat iklan ini bahwa eau de cologne ini milik Indonesia, tidak lagi “Barat” seperti biasanya. Sebab, lazimnya, iklan eau de cologne di media massa Indonesia bergambar wanita atau pria bertampang barat. Ini juga bisa ditafsirkan sebagai ajakan untuk melawan “Barat.”
Ada sebuah contoh iklan yang lebih tegas lagi, yaitu obat Nippon. Dalam surat kabar Asia Raya, Maret 1944, iklan obat ini diilustrasikan dengan gambar bola dunia yang depannya peta Asia Pasifik, termasuk Jepang, Cina dan Indonesia. Di tengah-tengah gambar itu ada tulisan “Basmikanlah Amerika, Enggeris! Dirikanlah Asia Timoer Raja! Obat Nippon ialah jang paling mandjoer dalam doenia.”
Salah satu iklan yang minim visual, namun dari sisi teks lebih lugas adalah iklan kamus Bahasa Indonesia. Diberitahukan bahwa kamus tersebut adalah kamus baru, “Alat di Zaman baroe oentoek Bahasa Indonesia.” Kemudian kalimat “… dalam kamoes ini terdapat: kata-kata jang lazim dipakai di Indonesia: tidak lagi ditjampoeri kata-kata Asing jang dipinjam dalam zaman jang laloe,” seakan-akan mau mengatakan, selain kamus ini adalah kamus bahasa yang non-melayu, juga kamus yang “bersih” dari “resapan” kata-kata yang terpengaruh Bahasa Belanda, atau yang disebut ‘musuh bersama’ (juga Indonesia) menurut Jepang, yaitu “Barat.” Dari sini nampak tendensi Jepang untuk membangun rasa benci Bangsa Indonesia terhadap segala yang berbau “Barat.”
Contoh lain, misalnya, Rokok kretek tjap Delima. Dengan gambar sederhana, yaitu buah delima di sudut kiri dan gunung yang ditanami tembakau di bagian bawah iklan, serta tulisan “Ada satoe-satoenja rokok jang sangat digemari, dan selaloe di-isap oleh kebanjakan bangsa kita (Indonesia),” rokok Delima “ditahbiskan” menjadi “rokoknya bangsa Asia.”
Kemudian, iklan Djamoe Tjap Djago & Babon yang bergambar dua ayam, jantan dan betina. “… diminoem oleh semoea bangsa Asia.” Salah satu metode persuasi yang khas dari iklan-iklan zaman ini adalah adalah penekanan pada barang yang diiklankan itu sebagai barang yang sudah banyak dipakai oleh bangsa Asia (dan Indonesia tentu di dalamnya).
Iklan Passel Osama, misalnya, juga adalah produk Jepang yang diperkenalkan ke Indonesia. Passel Osama adalah semacam kapur warna yang “… dibikin dari material dari Selatan, dan tida akan hantjoer djika kena sinar matahari jang panas …” dengan visualisasi sederhana, di kiri ada sebuah kotak persegi panjang, gepeng, ditulisi dengan bahasa Jepang, di sebelah kanan atas segitiga yang dalamnya bergambar lambang “King” dalam kartu bridge dan bagian bawahnya tulisan Jepang. Kata “Selatan” dan “Negeri jang panas” adalah dua istilah yang bisa menjadi strategi persuasif bagi Indonesia – sama dengan Jepang sebagai negeri “Asia yang panas – Negeri Matahari Terbit.”
Iklan lain yang bertujuan serupa, misalnya Sabun Lifebuoy. Iklan ini adalah salah satu iklan yang memiliki desain dengan komposisi yang cukup imbang antara gambar dan kata-kata. Ada seorang laki-laki dan perempuan yang berdiri berdampingan memakai pakaian adat Jawa. Mereka seperti berada di tengah acara resmi. Di sampingnya ada tulisan “Pertjaja Pada Diri Sendiri,” dan beberapa deret di bawahnya ada tulisan yang menceritakan apa itu Body Odour dan pencegahannya. Alasan lain yang menegaskan keberadaan sabun itu di Indonesia diungkap melalui kata-kata yang menyatakan Lifebuoy sebagai “Saboen toilete spesial boeat negeri jang panas.”
Kalau beberapa contoh iklan di atas adalah bentuk “pengindonesiaan” untuk menghapus imaji-imaji “Barat” yang sudah melekat di masyarakat Indonesia, seperti sudah disebut di atas, contoh berikutnya adalah iklan-iklan bermodel “Penjepangan.”
“Penjepangan” atau proses “peng-Asia-an” ini diikuti oleh usaha Jepang menjadikan dirinya sebagai “yang dihasrati” Indonesia. Maka,“Indonesia” haruslah menjadi “Djawa Baroe” yang ‘berkiblat” pada Jepang, menjadikan Jepang sebagai negeri yang eksotis, kaisar Jepang, Tenno Heika, sebagai yang patut disembah, dan bahasa Nippon adalah bahasa yang layak dipelajari.
Dalam hal bahasa, “Penjepangan,” bisa dilihat dalam iklan buku pelajaran bahasa Nippon. Bahasa Nippon diproklamirkan sebagai bahasa yang harus dipelajari karena menjadi syarat utama untuk membangun negeri Indonesia yang disebut sebagai “Djawa Baroe.” Disertai gambar buku tebal yang sampulnya bertuliskan “Moedah dan Gampang,” lalu dilanjutkan di bawahnya, “Oentoek dapat berbahasa Nippon,” iklan itu memuat tulisan panjang: “… menjoembangkan tenaga sepenoeh2nja oentoek membangoenkan Djawa Baroe pertama2 perloelah mempeladjari bahasa Nippon.” Agaknya, kata-kata itu tidak semata-mata bertujuan agar buku pelajaran bahasa Nippon itu laku, melainkan, terutama, untuk membangkitkan “hasrat” para pelajar Indonesia untuk fasih berbahasa Jepang.
“Penjepangan” yang berpretensi menjadikan Indonesia “serupa tapi tak sama” dengan Jepang juga dapat diamati dalam iklan buku Kewajiban Pemoeda. Dengan pernyataan “Satoe Bokoe – Satoe Pemoeda” seakan-akan mau mengatakan “Kalau mau jadi pemuda (Nippon, menyerupai Nippon, meneladani Nippon ‘saudara tua’ Indonesia), harus baca ini!” Kaum laki-laki, yang menjadi sasaran utamanya, seakan-akan mau di-upgrade menjadi “pemuda” setelah membaca habis buku tersebut. “Pemuda” yang dicita-citakan pun bukan pemuda biasa, melainkan pemuda yang “Memelihara semangat perang mentjapai kemenangan Asia Raja.” Pemuda yang memenuhi kriteria (ideal) tersebut adalah Pemuda Nippon – pemuda Indonesia yang “serupa tapi tak sama” dengan Nippon: laki-laki muda Indonesia ‘dipanggil’ menjadi pemuda ‘yang Nippon’ tapi ‘tidak sepenuhnya Nippon.’
Iklan lain yang bisa mewakili strategi “penjepangan” adalah iklan pasta gigi CLUB. Obat gosok gigi (istilah pada waktu itu untuk pasta gigi) CLUB divisualisasikan melalui seorang perempuan Jepang berkimono sedang tersenyum menampakkan gigi-giginya yang putih. Obat gosok gigi ini tidak hanya berguna untuk membuat gigi tak berlubang, sehat, namun juga “poetih, tjantik, bertjahaja” seperti perempuan Jepang itu. Iklan ini, daripada menjual produknya, bisa dikatakan memiliki tujuan lebih, yaitu membangkitkan “hasrat” perempuan Indonesia agar “serupa,” tapi “tak akan pernah sama,” dengan perempuan Jepang yang diimajikan sebagai “putih, bersih, dan cantik.”
Ada pula iklan yang agaknya menanamkan nilai-nilai mengenai peran laki-laki dan perempuan, serta relasi keduanya. Iklan Teh cap Kartoe, misalnya. Dalam iklan ini digambarkan seorang laki-laki sedang membaca koran sementara isterinya menyediakan “Teh tjap Kartoe.” Membaca koran di ruang duduk sambil menghirup teh yang disediakan oleh sang isteri adalah sebuah gambaran gaya hidup. Kalau dikaitkan dengan kondisi perang Jepang, agaknya, ada nilai yang dilekatkan terhadap sosok perempuan ideal dan laki-laki ideal. Perempuan ideal di masa perang Jepang adalah perempuan yang merelakan suaminya/kekasihnya pergi berperang, dan mau menanti dengan setia kepulangan suaminya/kekasihnya itu dari medan perang.
Lewat iklan, sepertinya, Jepang ingin mengatakan kepada bangsa Indonesia, “Saya dan kamu adalah sama, tapi tidak benar-benar sama dan tidak akan pernah bisa sama karena kamu adalah “saudara muda” yang harus patuh dan hormat terhadap “saudara tua.” Singkat kata, seni rupa, lewat berbagai tampilannya, dalam hal ini iklan, merupakan medium yang paling “fleksibel” untuk menjalankan “Penjepangan” itu.
Masuknya propaganda Jepang ke dalam dunia periklanan itu lewat badan yang disebut Sendenbu (Barisan Propaganda Balatentara Dai Nippon). Iklan-iklan yang masuk dalam surat kabar adalah iklan yang dinilai mempropagandakan Jepang sebagai negara bersemboyan 3A: “Jepang Pelindung Asia, Jepang Cahaya Asia, Jepang Pemimpin Asia.”
Iklan-iklan zaman Jepang ini jauh berbeda dengan zaman-zaman sebelumnya (Belanda, etc) atau setelahnya (setelah kemerdekaan dan demokrasi di Indonesia, di mana mulai banyak perusahaan periklanan yang mampu merancang iklan dengan berbagai teknik). Selain soal teknik, baik di jaman Belanda maupun di jaman Kemerdekaan, kekuasaan Pemerintah tidak masuk ke dunia komersial. Sedangkan Jepang ingin menggunakan segala bidang untuk propaganda.