April 14, 2011
Gerilya di Atas Kanvas Stefan
Senapan laras panjang, topi baja, sepatu tentara, pisau lipat, barikade, macan, singa, paku, steples, lempengan besi berkarat, hadir di depan kita. Mereka semua adalah gambar yang membangkitkan ingatan kita akan era Orde Baru yang sarat demonstrasi berbagai kelompok, kekerasan, pemerkosaan, pembunuhan, penculikan, dan berbagai aksi kekerasan lain yang cenderung dilakukan oleh pihak yang memiliki otoritas pada pihak yang tanpa otoritas. Benda-benda itulah yang menjadi obyek utama di kanvas Stefan Buana (40) dalam pameran tunggalnya, Mental Gerilya, 16 Maret – 18 April 2010 di Tembi Contemporary, Jl Parangtritis km 8,5 Yogyakarta. Zaman Orde Baru yang sarat isu militerisme, birokratisasi, dan reformasi itu nampaknya lekat dalam diri Stefan, yang notabene adalah anak tentara. Oleh Stefan, realitas politik Orba itu juga dikaitkan dengan perjuangan pra kemerdekaan dan masa sekarang. Maka, ada Negeri Orang-Orang Bermental Gerilya (2010). Di sana tergambar wajah-wajah garis hitam yang tercipta dari gun tack. Di sana, tepian garis yang tercipta dari gun-tack itu nampak ‘luber’ sehingga ada efek garis bergerigi, kasar, seperti goresan-goresan luka, atau jahitan luka. Demikian juga wajah-wajah dengan karakter berbeda, seperti menggambarkan keberagaman profesi, suku bangsa, agama, warna kulit, dan sebagainya – agaknya, walau bukan tema baru, namun penyampaian melalui gaya “karikatural-naif” bak lukisan anak-anak itu, pengolahan medium dan warna pada karya ini, cukup menarik. Ada juga Militan (2010). Gambar wajah dengan kerut di dahi, masih dengan gun-tack, wajah itu simpel, monokrom, cenderung abu-abu. Di sebelah wajah itu ada senapan. Bak foto seorang pejuang yang sudah ‘menampung’ penat kehidupan, Stefan, lewat wajah itu, agaknya ingin menampilkan apa yang dinamakannya ‘heroisme,’ dan apa yang disebutnya sebagai “mental gerilya” itu. Militan seakan mengajak kita untuk peka terhadap ‘dialektika’ kehidupan yang terjadi dalam masyarakat. Obyek hewan, agaknya juga menjadi inspirasi dan karakter karya Stefan. Kengerian, kekerasan, teror, hasrat survival, dan kekuatan masyarakat untuk bertahan hidup ini disimbolkan juga dengan macan, singa dan kuda. Maka, ada wajah macan dengan tembakan merah yang ‘menimpa’ tekstur semacam lipatan kain (Kamuflase Sang Penguasa), sehingga wajah macan tampak bervolume karena terbangun di atas tekstur semu pada lapisan sebelum gambar macan itu. Ada juga Saatnya Menggambar Macan dan Singa (2010). Teknik dan medium agaknya menjadi salah satu kekuatan Stefan. Ia tak melukis seperti biasanya dengan akrilik atau cat minyak di atas kanvas. Stefan seakan ‘menyapu’ kanvasnya dengan apa saja demi mengungkapkan idenya. Agaknya, medium semacam paku, arang, serbuk kayu, steples, besi berkarat, benang, dan sebagainya itu yang dibiarkannya berbicara mengenai kekerasan, bahkan, mungkin lebih profokatif daripada obyek yang digambarkan. Teknik Stefan pun beragam, dari menggambar, sampai merobek, memaku dan melubangi kanvas. Lihat, Antara Karawang dan Bekasi (2010) yang berisi sekumpulan paku tak beraturan di hamparan steples, juga New War Area (2010), gambar lapangan sepakbola yang seluruh permukaan rumputnya terbentuk dari paku (tekstur nyata). Lapangan itu seakan menjadi sebuah simbol “pertandingan” hidup dan mati, sebuah perjuangan yang identik dengan luka dan darah. Maka, bagi Stefan, dan mungkin bagi kita semua, tema ini masih relevan, dan akan selalu relevan, terlebih bila dikaitkan dengan kondisi sekarang, melambungnya harga, juga kekerasan misterius yang baru-baru ini terjadi, yaitu kiriman paket buku berisi bom di hari yang sama pada aktivis JIL Ulil Abshar Abdalla di Utan Kayu, 68H, Kepala Pelaksana Harian BNN Komjen Pol Gorries Mere di Kantor Badan Narkotika Nasional, dan rumah Yapto S, ketua umum Pemuda Pancasila. Di sini, “Mental Gerilya” nampaknya, telah menjadi idiom bagi Stefan untuk berbicara tentang nilai-nilai perjuangan yang tak hanya terbatas pada perjuangan kemerdekaan atau reformasi politik, dan kepahlawanan tak hanya bernuansa perjuangan fisik. Kini, “gerilya,” di tangan Stefan mungkin bisa menjadi teropong kita untuk lebih peka terhadap perjuangan masyarakat untuk bertahan hidup.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar