April 14, 2011
Monolog Kelahiran Figur Baja Putu
Sejumlah sosok tanpa wajah, terbuat dari baja dan kawat seperti sedang melakukan gerak-gerak akrobatik. Mereka seperti sedang terbawa keasyikannya masing-masing. Ada yang seperti menari, melompat, melayang, memanjat, melepaskan diri, merunduk, menghardik, bergantungan, berlari, dan sebagainya. Bak permain akrobat, masing-masing bergerak dengan sebagian tubuh bertumpu pada sesuatu, semacam bidang, palang, tiang, rantai, dan gulungan kawat. Itulah karya tiga dimensi Putu Sutawijaya (39). Seniman yang pernah memenangkan Lukisan Terbaik Philip Morris Art Award 1999 ini berpameran tunggal dengan tajuk Gesticulation, berlangsung di Sangkring Art Space, 20 Februari – 10 Maret 2010. Semua karyanya kali ini adalah karya tiga dimensi dengan fokus pada “gestur” (gerak tubuh). Putu mengolah, terutama, gerak-gerak ekspresif, spontan, dan tanpa nama dari tubuh. Gerak ini dihadirkannya lewat figur yang secara anatomis laki-laki, tak berwajah, tak bernama, dan berambut panjang lepas terurai yang arahnya tak selalu sama dengan geraknya. Ada yang menarik pada pameran kali ini, yaitu bahwa Putu menghadirkan sosok-sosok bajanya bersama dengan “yang bukan sosok manusia,” yaitu besi melintang, gulungan kawat dan besi, lempengan bergerigi, rantai, dan sebagainya – yang meski berbeda dan terpisah dengan sosok itu, namun keberadaannya nampak ‘menyatu’ dengan gerak si figur. Lempengan besi, gulungan kawat dan sebagainya itu (elemen “nonfigur”) nampaknya tak hanya berfungsi sebagai penyangga yang membuat figur nampak sebagai “patung.” Agaknya, elemen ini juga bukan asesori atau sekadar ‘tambatan,’ ‘bingkai,’ atau “tumpuan imajiner” bagi keberadaan figur atau sosok baja itu. Figur, atau gerak figur, meskipun tampak tak ada kaitannya dengan penampang yang menyentuhnya itu, namun “dilahirkan” juga dari penampang itu. Pendek kata, Putu, agaknya, “mengunci” figur pada “penampang,” tumpuannya itu untuk memperkuat karakter gerak figur. Lihat, misalnya Gesticulation #7, figur tampak condong ke depan, dengan dada membusung, dua tangannya seperti sedang menepis penyangganya (besi setengah lingkaran, ujung tak beraturan, bak bulan sabit). Ia seperti “lahir kembali,” geraknya dilahirkan dari sikap “menidak,” atau “mengelak” penyangganya. Hal ini juga nampak dalam Gesticulation #6. Figur seperti sedang berlari keluar dari lubang. Ia belum sepenuhnya keluar, sebagian kakinya yang dalam posisi bak sedang berlari keluar, masih tertinggal. Tangan kirinya seperti ‘menepis’ lempeng berlubang itu, sedang tangan kanannya setengah terbuka, di telapaknya ada setangkai bunga. Sang makhluk tak berwajah sedang mengarahkan pandangannya ke bunga itu. Agaknya, di sini, figur butuh “yang lain” (‘nonfigur’) yang bisa diimajinasikan, atau “diilusikan” sebagai “penahan,” “tumpuan imajiner” agar kebebasan ekspresi gerak itu bisa dialami. Pendek kata, pengalaman atas kebebasan mau tak mau diikuti oleh pengalaman atas ketidakbebasan. Dan penyangga, mungkin, sebuah “sarana,” atau “titik pijak” yang berfungsi sebagai “penahan” sekaligus “pendorong” kelahiran gerak bebas figur. Paradoks ini, mungkin, lahir dari pengalaman Putu, yang diungkap oleh Karim Raslan, sebagai tegangan antara “kebebasan personal dan identitas komunal.” Karakter gerak bebas figur agaknya muncul saat figur tak terikat lagi pada penampang. Dengan kata lain, mereka (figur) memang terikat pada penampang, namun pada saat yang bersamaan mereka pun berhasil menjadikan penampang itu tak lagi penghambat, melainkan “alat bermain.” Kondisi ini bisa dilihat pada, salah satunya, Gesticulation #1. Di sana figur tampak dengan santainya menjadikan “penampang” itu medium untuk “berpose.” Nampak di sana ada “komunikasi” antara sosok baja dengan penampangnya, bukan dengan sesama figur. Karena itu, figur-figur Putu tampak seperti sedang bermonolog. Mereka hadir bersama, namun sendiri. Mereka nampak seperti sedang bermain – bukan dengan sosok lain yang ada bersamanya, melainkan dengan dirinya sendiri. Gesticulation #15, misalnya, dua figur dengan pose berbeda terlihat sedang bermain menarik gulungan kawat, seorang di satu sudut, seorang lagi di sudut yang lain. Dengan gerak berbeda, masing-masing seperti sedang menikmati “ritme” hidupnya sendiri. Mereka bersama dalam kediaman dan kesendiriannya masing-masing.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar