September 23, 2011

Ketika Garis Bicara

Telisik Potret Diri Affandi





Jogja, 1946. Pada salah satu catatan tulisan tangannya, Affandi menceritakan pengalamannya melukis: “Pernah terjadi, bahwa saya beberapa bulan tidak bisa melukis, walaupun tiap pagi saya pergi tuk melukis. Pada suatu hari saya pulang ke rumah dengan tangan hampa, tidak dapat lukisan. Merasa marah dan dongkol, sekonyong saya lihat dalam kaca muka saya sendiri dengan ekspresi dongkol ini. Dalam waktu itu juga lukisan dibikin. Aneh, berbulan-bulan tidak dapat motif, sekonyong motif dekat sekali, muka sendiri.”


Pendek kata, ketika menemui jalan buntu, wajah dirinya, bagi Affandi (1907-1990), pelukis kelahiran Cirebon, yang selama ini dikatakan beraliran ekspresionisme, “a new way of expressionism,” kata kritikus seni Herbert Read, tetap dapat memberi inspirasi – motif paling dekat yang sering tak disadari adalah wajahnya sendiri.


Uniknya, setelah gagal melukis, Affandi sering kali membuat potret dirinya – ia sendiri mengaku bahwa potret-potret dirinya dibuat ketika ia merasa sedih, muram, kecewa, marah, dongkol, dan sebagainya. Self portrait-nya seakan-akan mengatakan: Affandi melihat dirinya yang sedang melihat dirinya yang (saat itu) merasa gagal.


Agaknya, momen gagal ini, bagi Affandi, merupakan kondisi paling “manusiawi” – rasa berada di ambang berdaya dan tak berdaya, rasio dan emosi – ada tarik menarik antara, meminjam istilah Freud, eros dan tanatos. Berhadapan dengan potret diri nya itu, Affandi seakan berhadapan dengan kecemasannya yang paling personal: kecemasan jika ia tak bisa atau tak mampu lagi melukis. Affandi lebih baik mati jika tidak dapat melukis lagi, karena baginya, seperti kata Nashar, “Melukis itu seperti makan.”


Maka, ada Potret Diri Setelah Gagal Melukis (1981). Affandi yang merasa gagal melukis tampak ‘padam,’ kecewa, dan marah. Di sana warna merah (garis lengkung merah lebar) bak berasal dari usapan tangan, tampak mendominasi seluruh wajah membentuk ekspresinya. Garis kuning pipih memberi aksen kontur wajah, tapi tak hanya segaris. Garis kuning berulang, berlapis bak memberi penekanan pada raut Affandi. Sementara itu, garis hijau kehitaman nampak berfungsi sebagai ‘outline’ rangka wajah utama (mengitari wilayah mata, hidung dan mulut), sedangkan garis putih (helai rambut Affandi), tipis, lentur, jarang, bak melayang di luar kontrol itu, seperti menjadi aksen - agaknya berfungsi ‘mendampingi’ kuning memperkuat suasana cemas Affandi.

Karena itulah, setiap melukis, Affandi selalu tampak berkejaran dengan waktu. Ia berusaha menangkap mood, yang dalam istilah Affandi, gelora, vitalitas, Harstocht – hal yang harus ada ketika ia melukis. Affandi jelas tak rela jika mood itu hilang, atau jika tenaganya habis saat mood, atau kegemasannya itu masih ada. Itu akan membuat Affandi merasa sangat kecewa. Jadi, apa pun latar peristiwanya saat itu, yang kita lihat dalam potret diri tak sebatas peristiwanya, melainkan tegangan, intensitas emosi yang muncul pada wajah Affandi lewat tarikan garisnya.
Maka, self portrait, salah satu tema pokok karya Affandi, selain merupakan bentuk eksplorasi diri, semacam refleksi kehidupan seniman, juga eksperimen, disadari atau tidak, mengenai garis.


Otonomi Garis

Garis memegang peran penting dalam lukisan Affandi. Garis lengkungnya terinspirasi pada wayang kulit yang digemarinya sejak ia masih kanak-kanak.


Di kemudian hari, garis lengkung wayang kulit ini dieksplorasinya habis-habisan melalui pelototan cat. Teknik ini ditemukannya pada 1942 ketika suatu kali ia sedang melukis sebuah keluarga, dan kehilangan pensil kecil untuk membuat garis. Karena dicari pensil itu tak ketemu, ia jengkel, mood melukisnya terganggu. Maka, dipelototkanlah cat langsung dari tube ke atas kanas, hasilnya, ia suka efeknya. Lebih ekspresif. Namun pelototan cat ini baru banyak digunakannya pada 1960an, sampai akhir hayatnya. Pelototan langsung itu juga membuat Affandi merasa menyatu dengan kanvas.


Di atas 1980an, karya Affandi konon dikatakan sebagian besar orang sebagai yang sudah melemah, kehilangan energi.


Walau ada benarnya, pendapat tersebut agaknya tak bisa serta-merta diterapkan pada karya potret diri Affandi era tua ini. Alasannya, menilik potret-potret dirinya di era usia lanjut, dari segi penampakan garis, nampak garis pelototannya makin mandiri – dalam arti garis menjadi otonom, lebih kuat tidak dalam arti tekanan karena tenaga fisik Affandi, melainkan garis yang bisa dikatakan tak lagi terikat pada bentuk. Pendek kata, garis yang secara akademis dipahami sebagai garis kontur (garis terluar obyek tertentu), garis outline (garis tepi bidang), atau garis sebagai border (garis batas antara obyek dengan latar belakangnya), tak lagi berlaku pada Affandi.


Periode 1980 sampai dengan meninggalnya, potret diri Affandi ditandai oleh garis-garis menipis, melemah, mengambang, tampak tak lagi tebal, juga tak tegas. Tube seakan-akan tak penuh bisa ditekan di atas kanvas, dan tekanan pencetan tangan pun tak seajeg era sebelumnya. Lihat garis panjang lengkung bergelombang, separuh keriting, mengambang, tak paten melekat pada ‘garis wajah’ pada Potret Diri (1981). Affandi di era lanjut, dengan sisa-sisa tenaganya, ternyata menghasilkan semacam ‘gradasi’ garis – ada yang tebal, pendek, dan bak berhenti, ada yang panjang, terurai, tipis, tak terarah, tapi bak tak ada putusnya.


Ini menarik. Kalau dirunut secara fisik, hal ini jelas karena tenaga Affandi melemah di waktu ia tua, terlebih pula ia mulai sakit-sakitan. Namun, melihat sisi visualitas garis sebagai garis, aspek elementer dalam seni rupa dan sisi artistik lukisan, jenis garis ‘era tua’ ini agaknya menghadirkan ekspresi lain: tipis, cair, fleksibel, dinamis, plastis, dan liris bak menampakkan kekuatan kemanusiaan yang sedikit bergeser, tak segarang yang lama, namun memiliki intensitas empati yang bisa dikatakan sepadan.


Affandi, lewat garis lengkungnya yang, mungkin istilah saya, “separuh patah dan gemetar,” atau “separuh keriting dan tak beraturan” memiliki kekuatan menghadirkan lekuk, volume, juga bidang. Nampaknya, di sini lekuk bahkan menjadi hasil (efek) dari perjumpaan energi para (pelototan) garis.


Lihat, misalnya, Potret Diri Bathuk Mripat (1982), salah satu karya era 80an yang tampak masih sangat kuat tekanan garisnya. Cekungan, dekokan, atau lekukan hidung bak terbentuk dari perjumpaan kekuatan, atau tegangan antara garis hitam pendek lengkung yang menimpa usapan merah (terletak di bawah garis kuning) dengan garis kuning yang lebih tipis dari hitam (di atas hitam).


Bandingkan, misalnya dengan Self Portrait (1964). Di sana terlihat garis yang masih nampak ‘patuh’ pada bentuk, belum mandiri sebagai garis. Garis oker-hitam tampak menjadi garis kontur luar wajah Affandi, garis putih patah-patah bak menegaskan tulang hidung, sedangkan garis hitam bak diulang membentuk lubang hidung sampai ke tepian bentuk bibir.


Lihat pula perbandingan antara Self Portrait Eating Watermelon (1962) dan Potret Diri (1983) yang sama-sama bergambar Affandi sedang makan semangka. Perbedaan paling kentara pada warna: 1962 warna lebih tebal, garis lebih tampak ‘dikendalikan’ oleh tekanan tangan, sementara pada 1983 nampak warna lebih tipis, menuju krem, terang, dan garis berjalan sendirinya. Dengan kata lain, garis, yang pada umumnya menjadi kontur tubuh, sekaligus batas (border, kontur luar) antara tubuh Affandi dan latar belakang, tampak pecah - seakan Affandi sendiri dengan latar belakangnya menyatu. Lalu apa yang menjadi pembeda antara Affandi dan latarnya? Lapisan garis: garis kuning, garis putih, dan sebagainya yang saling berjumpa, tumpang tindih, repetitif. Itu lah ritme garis, gerak otonom garis yang melahirkan fungsi baru: garis melahirkan dimensi lain, ada bayangan, kedalaman, dan volume.


Otonomi garis itu tak bisa dilepaskan dari kemampuan Affandi memunculkan garis sebagai garis. Affandi bak menangkap semacam garis pokok yang tak kelihatan namun menjadi pusat gerak, suatu kekuatan yang tidak kelihatan dari garis itu sendiri, seperti yang dikatakan Paul Klee, bahwa garis tak mengimitasi bentuk, melainkan “renders visible,” membuat garis berproses menjadi dirinya sendiri. Nampaknya, ini sedikit banyak bisa menjelaskan pernyataan Popo di bukunya, Affandi, Suatu Jalan Baru dalam Ekspresionisme (1977), bahwa “Affandi telah memberikan suatu perkembangan baru pada seni lukis: unsur garis yang merupakan pernyataan yang berdiri sendiri, sekaligus menggantikan peranan bidang volume dan juga ruang dalam lukisan konsepsi akademis.”


Karena kemandirian garis ini lah, sebetulnya, kalau kita amati lebih jauh, garis Affandi di era lanjut ini masih tampak kuat. Agaknya, garis Affandi dianggap melemah karena terlihat tak lagi bertekanan besar tebal, keras, dan tak lagi berbentuk. Sebaliknya, kalau kita amati, eksistensi garis menguat seiring ia dibebaskan dari bentuk, misalnya Potret Diri (1988) di mana pelototan kuning pendek-pendek bertekanan cukup kuat terlihat menonjol di keseluruhan gambar – dan agaknya ini tak sesederhana kakek yang sudah tua rapuh lemah dan sakit-sakitan.


Karena itu, kata-kata Sanento pada Affandi sebagai “kakek yang tetap muda” mungkin bisa dipahami dalam dua arti, pertama, eksistensi garis yang menguat di era lanjut, dan kedua, semangat Affandi tak berubah: meningkatnya kecemasan atas tenaga yang melemah ternyata berbanding lurus dengan daya melukisnya. Semakin ia lanjut usia, menyadari kematian mengejarnya, ia merasa terburu waktu untuk melukis, “Siapa tahu besok saya mati, saya harus terus melukis dan melukis dan melukis.”


Karena itu, “New way” yang dikatakan Herbert Read itu mungkin tak hanya bisa disebut ‘baru’ karena pelototan cat yang langsung dari tube itu khas Affandi, melainkan sebagai suatu cara pandang berbeda mengenai garis itu sendiri: garis tak lagi diperlakukan dengan ukuran saintifik. Singkatnya, “New way” di sini, terutama bagi siapa pun yang membicarakan seni, bisa menjadi “cara baru memahami” ekspresionisme – tak sekadar suatu aliran “ekspresionisme baru.” Lewat potret-potret dirinya, Affandi seakan menunjukkan pada kita semacam ‘bahasa garis,’ suatu cara mengatakan kemanusiaan melalui garis.


-sty-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar