September 22, 2011

catatan kecil untuk pameran "post hibridity"

Undangan yang juga berfungsi sebagai katalog pameran itu bergambar lukisan Piet Mondrian. Setidaknya, cover depannya begitu. Imej itu mungkin diharapkan orang akan langsung paham: ini pameran lukisan abstrak, atau pelukis yang memang dikenal dengan karya abstraknya.

Setidaknya tujuh perupa ikut dalam pameran lukisan abstrak di Sangkring Art Space, 19 - 30 September 2011 itu, A. T. Sitompul, Nunung WS, Netok Sawiji_Rusnoto Susanto, Utoyo Hadi, Yusron Mudhakir, Dedi Sufriadi, dan Sulebar M. Soekarman.

Mereka tergabung dalam kelompok perupa abstrak "Soulscape" yang sebelumnya pernah berpameran di Taman Budaya Yogyakarta (Februari 2010), dan Tonyraka Gallery (Juni 2010)

Walau diakui bahwa saya jarang melihat pameran seni rupa abstrak, paling-paling Hanafi, atau Anggar Prasetyo, ... hanya segelintir. Namun, menilik pameran kali ini, kesan umum saya, lukisan abstrak yang berkembang di sini, kalau dibandingkan dengan lukisan figuratif yang berkembang di Indonesia, jauh tertinggal, atau mengalami kemandegan, atau penurunan dari abstrak yang gencar pada 1960an lalu?

Isu dalam lukisan abstrak bisa diangkat, mungkin demikian: antara yang optikal (cenderung mengandalkan ilusi yang ada pada mata) dan taktikal (action painting bak Pollock, atau brush stroke kuatnya de Kooning). Bandingkan, misalnya seni lukis abstrak geometris Mondrian, abstrak ekspresionis Pollock, dan dengan, misalnya, Bridget Riley yang cenderung ke arah seni optikal (optical art). Optical art atau op art (istilah yang diungkap dalam Time Magazine, Oktober 1964) merupakan aliran yang berkembang sekitar 1960an untuk mendefinisikan kecenderungan menghadirkan ilusi optis pada lukisan dengan memainkan unsur garis, warna, dan bidang. Yang terakhir ini lah yang nampaknya melanda beberapa perupa abstrak muda Indonesia, misalnya dalam pameran ini, A. T. Sitompul (yang mendalami seni grafis dan bereksperimen dengan monoprint) dan Yusron Mudhakir (yang banyak mengolah aspek teks, tekstur, dan warna pada kanvas).

Mengenai judul, "Post Hybridity" - saya kira terlalu berat ditanggung, atau bahkan tidak nyambung dengan karya yang tersaji. Agaknya, pun tanpa judul dengan istilah itu pun, lukisan abstrak kelompok Soul Scape ini bisa membicarakan dirinya sendiri di bawah istilah yang lebih dapat dicerna umum, "spiritual art."

Karya Nunung WS, misalnya, nampak 'melepaskan diri' dari istilah post hibriditas yang 'dicanangkan.' Abstrak, sepertinya, bagi Nunung, yang karyanya cenderung geometris ala Mondrian, mengingatkan kita juga pada Barnett Newmann. Daripada perihal post hibriditas, atau hibriditas, Nunung agaknya lebih ingin mencari yang spiritual itu. Ia pun tak bisa dikatakan memiliki kecenderungan optical art seperti Sitompul atau Yusron. Tiga Warna Pada Hitam (2010), misalnya, menciptakan suasana (mood) dengan bidang luas, dan perjumpaan dengan bidang warna lain yang lebih kecil - semuanya dipisah dengan garis tegas. Garis di sini nampak berfungsi sebagai outline.

Dedi Sufriadi dan Rusnoto Susanto agaknya merupakan 'representasi' apa yang selama ini di Indonesia gencar dengan sebutan "kontemporer." Agaknya, mereka berusaha memahami seni lukis abstrak dengan cara berbeda - dengan mata pandang 'baru,' sehingga muncullah karya yang tak hanya lukis (dua dimensi), juga tak lagi garis, atau warna yang tampil langsung, melainkan ada tempelan, cetakan, tekstur nyata dan benda tiga dimensi, misalnya Object (2011), dan Nabelschau (2011). Agaknya, abstrak bagi mereka di sini menjadi "mixed media on canvas."

Ada lagi karya Sulebar Soekarman dan Utoyo Hadi. Warna seakan memegang peran penting bagi dua orang ini. Bidang warna menempati fungsi utama dalam lukisan. Wacana optical art juga nampak tak terlalu menyentuh kedua orang ini, walau tanpa sadar, mereka pun lebih menampilkan yang optis ketimbang yang taktil (bak abstrak ekspresionis Pollock). Lihat, misalnya, Kalatida (I sampai III) karya Utoyo Hadi. Di sana nuansa sapuan, penimpaan warna, bayangam, ragam warna, tampil ... ini kah abstrak yang era "tua" - yang lepas dari misalnya, Srihadi, Ahmad Sadali, Fadjar Sidik, etc ... karya Utoyo Hadi menjadi abstrak yang tiba-tiba mengingatkan saya pada "seniman abstrak di pasar seni ancol."

Tak jauh berbeda dengan Utoyo. Yang Gigih Mencari Sesuatu (2011), misalnya, atau Mengetahui dan Merasakan (2011). Dari judulnya, agaknya ia berusaha mengatakan bahwa "ada narasi di dalam seni lukis abstrak." Dengan teknik kolase dipadu dengan bidang warna warni, ia seakan mencoba mengeksplorasi kembali perihal komposisi, namun tak bisa melupakan narasi. Abstrak Sulebar - dari judulnya yang bahkan nampak lebih dominan dari bidang warna dan kolasenya, sepertinya membuat saya berpikir: ini kah abstrak yang menginginkan kembali pada narasi? Bahkan perupa figuratif pun sudah berjuang meninggalkan yang narasi itu untuk berusaha memunculkan "kekuatan yang tak kelihatan " yang dimiliki figur.

(jelas belum selesai ... )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar