September 19, 2011

Tirani Salib

“Berenga dan abu menutupi tubuhku, kulitku menjadi keras, lalu pecah. Hari-hariku berlalu lebih cepat daripada torak, dan berakhir tanpa harapan. Ingatlah, bahwa hidupku hanya hembusan nafas, … Apakah kekuatanku, sehingga aku sanggup bertahan? Dan apakah masa depanku, sehingga aku harus bersabar?”
– Ayub 6:11, dan 7:5-7 -

“Hidupku menanggung beban yang mengerikan. Sejak lama, saya tidak akan menanggungnya seandainya penderitaan dan rasa sia-sia yang nyaris absolut ini tidak membantu saya untuk mencari dan bereksperimen secara kaya dalam hal rohani dan moral.”
– Nietzsche -



1/prolog: Requiem aeternam Deo

Di tepi liang lahat berbentuk salib, ada sebuah salib besar berwarna cokelat. Mungkin salib itu penutup kubur, tapi bisa juga salib itu yang nantinya dikuburkan (karena ukurannya nampak lebih kecil dari lubangnya!). Di pojok sebelah kanan tampak manusia berkepala sekop. Posisinya terbalik. Ia seperti sedang menunggu. Diam. Statis. Judulnya cukup provokatif: Digging One’s Own Grave. Menariknya lagi, ternyata itu bukan karya yang dikerjakan khusus untuk pameran paskah 2010 ini. Karya itu bertanda tahun 2008.

Pada mulanya saya apatis dengan gambar karya Teddy itu. Alasannya sederhana: garisnya terlalu rapi, warnanya terlalu “manis,” dan salibnya begitu menonjol. Sepintas dalam gambar itu tidak nampak “kenakalan” Teddy yang sering saya lihat dalam karya-karyanya. Saya ingat bahwa sebagian besar karya yang ada dalam pameran ini juga punya “elemen pokok” salib. Karena saya bukan kurator, maka saya tak hendak “mengutak-atik” karya Teddy. Maka, karya Teddy saya perlakukan sebagai teman saya dalam menulis, tidak sebagai proyeksi dari visi kuratorial pameran. Ternyata salib Teddy lain dari salib yang seakan-akan tidak bisa dilepaskan dari sosok Yesus. Bahkan judulnya pun tidak menyiratkan kesan paskah. Tiba-tiba tiga hal yang mula-mula membuat saya apatis itu ternyata mampu mengantar saya untuk menulis pameran ini.

Sebuah persiapan menghadapi kematian. Kematian siapa? Kematian saya. Dengan “kedalaman semu” (shallow depth) yang dicapai Teddy lewat keterhubungan antar bidang, gambar itu menyuguhkan diri langsung, tepat di depan kita. Salib besar warna cokelat, lubang kubur yang sudah sangat rapi tergali, dan sosok manusia berkepala sekop, berdiri kaku terbalik. Gambar yang sederhana, terkesan sepele sekaligus serius itu seperti mau mengatakan: “Saya yang memutuskan bagaimana saya akan dikuburkan, dengan cara apa, posisinya bagaimana, di lokasi mana kuburan itu, dan bentuknya bagaimana.” Dengan kata lain, “Saya sudah mempersiapkan diri menghadapi situasi yang tidak pasti, sebuah kegelapan total yang akan meniadakan saya …”
Tapi ternyata tidak berhenti sampai di sana. Ada fase penolakan terhadap kematian sebelum seseorang mampu mengiyakannya. Ada suasana murung, diam, tenang, sepi, dan menanti yang muncul di balik warna jernih cokelat-hijau Teddy. Tapi lewat sosok berkepala sekop itu, ada semacam “pelampauan,” sebentuk “penyelamatan” atas kematian. Kekosongan dan kegelapan tidak menjadi akhir, melainkan awal, suatu kekuatan untuk melahirkan yang baru. Si kepala sekop ternyata menjawab, menikmati kekosongan itu! Dari sanalah lahir kesadaran bahwa ia harus mengubur “Diri”nya (yang selama ini dianggap suatu kepastian dan jaminan, namun sudah usang) untuk bisa bangkit, mencipta kembali, re-creation.

Maka, menggali kubur sendiri berarti mengamini kehidupan, berkata “ya” terhadap pengalaman kekosongan. Dalam gambar Teddy, metafor visual dari sikap afirmatif terhadap hidup ini adalah manusia berkepala sekop. Sikap afirmatif terhadap kehidupan berbeda dengan sikap pasrah. Manusia berkepala sekop aktif menyatukan dirinya dengan tanah melalui sekop. Sekop menjadi zona penghubung manusia untuk menjadi yang tidak terbedakan dengan bumi, tanah. Melalui sekop manusia berelasi dengan lubang kuburnya sendiri. Ia “menjadi-tanah,” becoming-earth. Dalam Digging One’s Own Grave, berkata “ya” berarti memiliki keberanian untuk mencipta dalam kekosongan.

Peristiwa penggalian kubur oleh si manusia berkepala sekop dalam lukisan Teddy ini mengingatkan saya pada “The Madman,” salah satu aforisme Nietzsche dalam The Gay Science (1974), yang merupakan teks awal tentang kematian Tuhan.

Dalam teks itu diceritakan mengenai seseorang yang menyalakan lentera di siang hari terik, dan membawanya ke pasar. Di tengah keramaian ia berteriak-teriak, “Saya mencari Tuhan! Saya mencari Tuhan!” Orang-orang di pasar menertawakannya. Mereka tidak mengerti mengapa orang itu berteriak mencari Tuhan di tengah keramaian pasar, bahkan menyalakan lentera di hari yang sangat terang. Karena itulah ia dianggap gila. “Di mana Tuhan?” kata si pembawa lentera itu. Ia memandang tajam orang-orang yang menertawakannya. “Di mana Tuhan?,” teriaknya. “Aku akan mengatakannya kepada kalian. Kita telah membunuhnya – kalian dan saya. Kita semua adalah pembunuh-pembunuhnya.” Orang-orang di pasar itu, yang adalah akademisi, saintis, dan agamis, masih tertawa-tawa tidak paham. Lalu orang gila itu melanjutkan. Kali ini ia bertanya mengenai akibat pembunuhan terhadap sesuatu yang mahabesar itu. “Tidakkah kedahsyatan tindakan ini terlalu besar bagi kita?” “Tidakkah kita rasakan hembusan kekosongan?” Bagi si orang gila, pembunuhan Tuhan adalah peristiwa serius: Tuhan mati berarti manusia mengalami disorientasi, kehilangan pegangan tertinggi, pedoman hidup, yang akhirnya membuatnya jatuh dalam kekosongan, nihilisme. Dan sebelum ia didepak keluar gereja oleh orang-orang karena menyanyikan lagu requiem aeternam Deo (Istirahat kekal Bagi Tuhan), ia sebenarnya sudah mengajukan sebuah pertanyaan penting: bagaimana cara manusia menghadapi kondisi nihilisme itu?

Pertanyaan orang gila itu adalah pertanyaan eksistensial, mendasar bagi kehidupan manusia. Mengapa manusia membutuhkan nilai dalam hidupnya? Manusia butuh nilai untuk dijadikan pegangan dalam hidupnya. Tapi apa yang terjadi jika nilai-nilai yang menjadi pegangan (idée fixe) itu hancur? Kejatuhan nilai-nilai membuat manusia masuk dalam situasi absurd, kosong, nihil, khaos. Para saintis membunuh “Tuhan” dan menggantinya dengan rigoritas sains mereka. Para agamis membunuh “Tuhan” dan menggantinya dengan doktrin-doktrin dan aturan moral mereka. Para filsuf membunuh “Tuhan” dengan metafisika mereka. Mereka semua seakan-akan memproduksi “kebenaran-kebenaran” (sains, ideologi, kepercayaan-kepercayaan, etc) yang juga menggetarkan dan memikat untuk meyakinkan orang. Bagaimana jika “kebenaran-kebenaran” yang diciptakan itu runtuh? Dan “tuhan-tuhan” ciptaan yang dipuja mereka itu juga hancur? Singkatnya, pertanyaan demikian bisa kita tarik lebih jauh pada kritik terhadap kebudayaan modern: kebudayaan yang karena pretensinya menciptakan “kebenaran-kebenaran, nilai-nilai, standar-standar,” seringkali “mereduksi” pengalaman personal-religius manusia.

“The Madman” dan Digging One’s Own Grave (2008) bisa menjadi pengantar kita untuk membahas kaitan antara seni dan pengalaman religius dalam pameran bertajuk Pseudo Agony ini.


2/pseudo agony

Agoni berasal dari bahasa Yunani, Agōnia, yang artinya pergulatan di batas-batas kemanusiaan (pengalaman manusia di ambang kemanusiaannya). Di sana manusia berhadapan dengan dirinya, bertanya mengenai nasibnya, asal dan tujuan hidupnya. Ia berhadapan dengan kenyataan kematian, suatu kondisi yang tak terelakkan. Agoni adalah simbol dari keterbatasan manusia dan keinginan manusia untuk menjadi “yang abadi” (keyakinan terhadap adanya “dunia lain,” “kehidupan lain” setelah kematian).

Maka, di sini, kalau dikaitkan langsung dengan peristiwa paskah, agoni tidak bisa dilepaskan dari dimensi imanen (duniawi, konkret manusiawi) sekaligus dimensi transenden (melampaui manusia) manusia. Manusia berada di “batas,” “ambang” antara manusia dan nonmanusia (human dan nonhuman).

Dalam agoni terkandung perasaan semacam shock, kekagetan, keheranan, kekaguman, depresi, dan kecemasan yang sangat dalam. Agoni adalah passion, suffering,dan power yang muncul dari pengalaman kejatuhan, kecemasan, ketakutan, misalnya ketika Petrus menyangkal Yesus ketika Yesus ditangkap dan dibawa ke rumah Imam Besar, atau saat Yesus mendapat ciuman penghkhianatan Yudas, dicemooh di hadapan Mahkamah Agama, para imam dan ahli-ahli taurat. Agoni juga termasuk perasaan sedih dan gentar yang dialami Yesus ketika berdoa di taman malam sebelum Ia ditangkap, “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan Aku,”[1] ucapnya kepada para muridnya, dan saat ia mengucap doa sambil mengeluarkan peluh darah, “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini berlalu dari pada-Ku, tapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.”[2]

Dan kesedihan, kesepian paling akhir yang dialami Yesus adalah menjelang kematianNya, “Eloi, Eloi, lama sabakhtani?”[3] ( Tuhan, Tuhan, mengapa Engkau meninggalkan Aku?), ucap Yesus. Agoni juga dialami Maria, Ibu Yesus, ketika ia memangku tubuh tak bernyawa Yesus setelah diturunkan dari salib. Pengalaman agoni sebagai pengalaman personal di batas-batas kemanusiaan adalah benih dari munculnya kekuatan untuk melampaui diri, yaitu dalam bentuk mengamini kematian, bentuk final dari kehidupan.

Pameran dalam rangka paskah ini bertajuk Pseudo Agony. Pseudo agony adalah agoni yang tak tersampaikan karena pemahaman orang seringkali sudah lebih dulu dikuasai oleh simbol-simbol keagamaan sehingga seringkali mereka ragu untuk mengeksplorasi pengalaman religiusnya dan takut memberi nama pada bentuk-bentuk pengalaman itu.

Sejak lama, rangkaian peristiwa paskah menjadi tema dalam karya seni. Tak sedikit seniman yang menciptakan karya karena terinspirasi oleh kisah-kisah yang terjadi di masa paskah, misalnya ketika Yesus dielu-elukan di Yerusalem (yang disebut sekarang sebagai perayaan Minggu Palma), perjamuan terakhir bersama para muridNya (last supper), doa Yesus di Taman Getsemani, penangkapan Yesus, pengkhianatan Yudas, pengadilan Yesus, pemasangan mahkota duri, pemanggulan salib, pengusapan wajah Yesus oleh Veronika, penyaliban Yesus, detik-detik menjelang kematiannya, penyerahan nyawa Yesus, penancapan tombak di lambung Yesus, penurunan mayatNya, pemangkuan mayatNya oleh Maria (pieta), penguburan, sampai imaji tentang kebangkitan dan penampakan Yesus pada para muridnya. Peristiwa paskah adalah salah satu hal yang paling kaya digarap, bahkan sampai sekarang. Kalau mau dikaitkan dengan pengalaman religius, rangkaian peristiwa itu bercerita banyak, bahkan sebelum mahkota duri, salib, dan pieta dijadikan simbol dalam agama Kristiani.

Sepintas, dalam pameran ini kita bisa menemukan figur Yesus, simbol duri, salib, gereja, dan beberapa cerita alkitab yang diartikulasi ulang oleh para seniman. Selain itu, di sini muncul juga beberapa karya yang mengangkat tema keseharian berkaitan dengan pengalaman religius. Dalam pameran ini, tema-tema tersebut digarap secara berbeda oleh Heru ‘Dodot’ Widodo, Sigit Santoso, Susilo Budi Purwanto, Edi Sunaryo, Endro, Teguh Ostenrik, Dwi Martono, FX. Lucky, Titoes Libert, S. Teddy, Benk Bambang Pramudyanto, Tohjaya Tono dan Eddy Purwantoro.


3/nihilisme

Pengalaman kejatuhan, kekosongan, kesendirian, kesepian, dan ketakutan ini tampak, misalnya dalam The Good Samarian (2009). Karya ini merupakan hasil pembacaan Dwi Martono dari Lukas 10:33-34 yang berbunyi: “Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah itu ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya.”

Berbeda dengan Lucky yang mengintepretasi ayat Alkitab secara harafiah, Dwi beranjak pergi, “melampaui” kata-kata dalam ayat itu. Lepas dari judul lukisannya, lewat figur-figur anonim yang dibentuk dari garis-garis ekspresif, kompleks, warna-warna campuran yang cenderung gelap dan jauh dari kontras, ia seperti menampakkan sosok-sosok yang kesepian, terasing, maya. Maka yang tertinggal dalam karya itu tidak lagi cerita yang disampaikan Yesus mengenai orang Samaria yang baik dan berbelas kasih, melainkan kesan, sensasi atas kejatuhan manusia, kesepian dan kesakitan.

Latar belakang dan figurnya senada: warnanya monokrom bernuansa merah-cokelat tanah, gelap, redup, sendu, sunyi. Dan melalui kekuatan tekstur dan garis Dwi, tergambar di sana: dua laki-laki anonim, yang satunya berlutut tak berdaya, sayapnya patah satu, tergeletak di tanah. Ia berlutut, kepalanya menunduk. Kedua telapak tangannya menempel di tanah. Ia seperti merasa lenyap, sendirian, sakit. Lalu seorang lelaki datang, menghampirinya, nyaris menyentuh satu sayap yang masih melekat di punggungnya. Di kejauhan terlihat keledai yang ditumpangi lelaki yang baru datang itu. Hewan itu juga menunduk. Tiga makhluk anonim di tengah jalan berbukit, seperti sedang mengalami kecemasannya masing-masing.

Sayap yang patah itu tak terselamatkan, tapi sentuhan yang nyaris pada tepi sayap yang satunya, digambarkan Dwi dengan sangat liris sehingga di sini muncul “kekuatan di keadaan hampir.” Sayap yang patah itu tidak lagi disentuh, dilirik, dan mungkin juga tidak ditangisi oleh pemiliknya. Di sana nampak sang pemilik sayap sudah terlalu lelah untuk menyesali kejadian yang mengakibatkan patahnya sayap itu. Selain melalui sayap yang patah itu, kekuatan penyampaian pesan dalam karya Dwi, yang inspirasi figurnya berasal dari sketsa figur dan prosa liris Kahlil Gibran ini, terletak pada relasi dua laki-laki yang tidak saling mengenal. Kendati pun asing satu sama lain, tapi “sapaan virtual” yang muncul dari telapak tangan orang yang nyaris menyentuh tepi sayap si luka itu membuat mereka berdialog. Sehingga, di balik kesakitan dan kejatuhan total itu, di balik sayap yang patah itu, lahirlah “yang lain,” yang mungkin saja, suatu “nilai,” atau bisa jadi “ilusi” untuk membuat si orang luka bertahan hidup.
Sedikit berbeda dari The Good Samarian, Narrow Gate (2010), masih dengan latar belakang monokrom, menggambarkan figur-figur anonim berarak menuju ke dua arah: gerbang yang luas, dan gerbang yang sempit. Hampir semua figur itu berjalan menuju ke gerbang yang besar, dan hanya segelintir yang mau masuk ke dalam celah yang sempit. Padahal, di balik yang sempit, kata Dwi, “Ada kebahagiaan.”

Narrow Gate seperti mau mengartikulasikan kisah ayat yang menceritakan tentang sulitnya orang kaya masuk dalam Kerajaan Allah, dan “Lebih mudah seekor unta masuk melalui lubang jarum …”[4] Tapi, pada Narrow Gate, “kekuatan di keadaan hampir” yang dimiliki Dwi pada The Good Samarian tidak muncul. Figur-figur itu lebih terlihat pasrah daripada siap berkata “ya” terhadap pilihan yang membawanya ke gerbang itu. Ini yang membedakannya dengan figur dalam The Good Samarian. Sosok-sosok anonim dalam Narrow Gate itu tampak pasrah, mengikuti kata hati masuk ke celah itu. Mereka tampak kuyu, lemas, putus asa, terombang-ambing dalam ketidakpastian.

Berbeda dengan Dwi Martono yang memiliki kekuatan pada figur-figur anonim, Benk juga menggarap figur, namun tidak anonim. Kalau kekuatan figur Dwi ada pada garis ekspresifnya, Benk membangun figur melalui “narasi-narasi” (istilah dari Benk), yaitu semacam “figuran,” atau figur-figur lain yang hadir memenuhi latar belakang kanvasnya. Dalam lukisan Benk, elemen lain yang membangun figur adalah teks, yang diistilahkannya sebagai “elemen artistik.” Bagi Benk, teks ini penting, selain sebagai pendamping, juga penegas identitas figur utama.
Figur Benk menyimpan banyak narasi, dan selalu butuh “narasi-narasi” untuk menjelaskannya. “Karya saya itu semacam pembacaan ulang saya terhadap mereka,” ungkap Benk. Karena itu, figur close-up Benk, yang adalah tokoh penting, misalnya Ibu Teresa, dalam Dedikasi Hidup (2009), membutuhkan sesuatu yang lain untuk menghidupkannya. Dengan teknik komputer, maka hadirlah di belakang Ibu Teresa: bapak berkacamata yang merupakan trademark KFC, seorang anak berkulit hitam, garpu, cap tangan, mie, dan tulisan “LOVE.”

Elemen yang disebutnya “narasi-narasi” itu menjelaskan siapa Ibu Teresa, dan menghadirkan kritik Benk terhadap situasi kelaparan dan kemiskinan yang terjadi di Kalkuta, tempat Ibu Teresa hidup. Maka muncullah di sana figur Ibu Teresa yang terkesan tidak pernah kesepian. Ia lebih nampak sebagai “pahlawan” yang tegar, pembela kaum miskin. Pengalaman kekosongan, dalam arti “kelahiran kembali” figur di tangan Benk, masih menanti untuk dimunculkan.
Menahan Hujan dari Bawah Atap yang Bocor (2010) adalah bentuk lain dari kehadiran nihilisme dalam kehidupan. Sia-sia menahan hujan dari bawah atap yang bocor. Nekat menahan hujan berarti mampu menikmati hujan dari bawah atap itu, apapun caranya. “Kenekatan” ini bisa menjadi kekuatan menghadapi kondisi “runtuhnya” atap.

Kondisi kekosongan ini dimunculkan Tono sebagai kritik terhadap manusia yang semena-mena memperlakukan alam. Pertanyaan yang diajukan lewat karya ini adalah: bagaimana jika kenyamanan kita terusik tanpa kita paham sebabnya? Atap, diyakini menjadi simbol dari penaung, pelindung yang seakan menjanjikan kenyamanan. Karena itu, atap menjadi semacam “tempat bergantung” mahkluk yang ada di bawahnya – seperti langit – dan apa yang terjadi ketika atap itu tiba-tiba bocor? Atau langit runtuh? Dengan kata lain, bagaimana jika pegangan yang kita yakini itu ternyata rapuh?

Nampaknya, suasana berat, sendirian, panik, terusik, dan tak berdaya itulah yang dominan muncul dalam karya Tono. Kondisi “terlalu berat untuk membuat diri nyaman kembali oleh karena atap yang tadinya bisa dipercaya, ternyata mengecewakan” dihadirkan lewat warna-warna gelap, hitam, biru tua, dan sedikit coretan putih. Suasana”berat” ini didapat dari beberapa musikus, seperti Leonard Cohen, Tom Waits, dan Nick Cave yang “greget” nyanyiannya menginspirasi warna-warna dalam lukisan Tono.

Dua gelembung di bagian atas bidang kanvas seperti kantung yang tak mampu menampung air, dan akhirnya air itu menetes, makin banyak, membanjiri ruangan. Seperti terlupakan, bentuk-bentuk “kenekatan” ketika menghadapi atap yang bocor itu ternyata tidak muncul. Sebaliknya, kesan sia-sia menadah hujan karena kehilangan kepercayaan terhadap struktur atap rumah itu agaknya lebih dominan hadir.

Dari aspek visual, pengalaman nihilisme muncul juga dalam dua karya Endro, You Complete Me (2009) dan Peaceful (2010). Ada dua efek utama pembentuk suasana ketidakpastian dan harapan dalam lukisan Endro, yaitu efek blur pada bidang gambar dan tetes-tetes air yang ada pada bagian depan, foreground kanvas, membentuk tekstur semu sehingga tampaknya menonjol, seperti kalau kita melihat tetesan air sesudah hujan dari balik kaca. Dua efek tersebut “menyelamatkan” imaji yang ditampilkan, gereja megah (dalam Peaceful) dan tiga salib di puncak golgota (dalam You Complete Me).

Kesan sendu dan ringkih juga mampu dibangun melalui blur dengan cara melapisi warna-warna asing: biru, merah, ungu, kuning, dan orange. Lewat blur, kesan warna yang mungkin sebelumnya artifisial menjadi nampak bergerak dan organis. Blur bertujuan memperlemah ketajaman garis dan bentuk sehingga yang lebih dominan adalah efek dan bias cahaya, seperti dalam karya impresionis, dan hasilnya di beberapa bagian nampak adanya selaput tipis, kadangkala seperti kabut yang menghalangi pandangan. Karena itu, di sini, kekosongan tidak berarti statis dan mati. Tetes air menjadi elemen penting dalam karya Endro. Melalui blur, dan juga tetes-tetes air, maka dalam ketidakpastian yang diimajinasikan Endro, “Ada kejernihan, kesegaran, kebeningan …” katanya.

Dalam karya Endro tampak bahwa simbol keagamaan, gereja dan salib itu dibawa pada persoalan yang lebih personal dan manusiawi: ketidakpastian, keraguan, kebingungan, keterasingan. Agaknya, kalau kita berani beranjak lebih jauh, simbol dalam arti simbol-simbol keagamaan menjadi sesuatu yang tidak tetap dan bisa dipertanyakan lagi, diubah bentuknya, atau disesuaikan dengan pengalaman masa kini.

Pengalaman nihilisme sebagai pengalaman atas penindasan dan penderitaan dimunculkan oleh Dodot, One Way (2010) dan Agape (2010). Kedua karya itu nyaris sejenis. Agape menggambarkan wajah Yesus yang tampak seperti gambar hasil semprotan piloks di atas seng berkarat, tak terawat di jalanan. Dengan tampilan yang hampir sama, yaitu latar belakang imaji seng berkarat yang sekilas seperti ada noda darah, dalam One Way, kawat dieksplorasi lebih detail dan lebih kompleks. Kalau di Agape kawat hanya “nampak” sebagai tambahan di atas kepala Yesus itu, di One Way, kawat membentuk figur Yesus tersalib. Keberadaan kawat yang dimaknai Dodot sebagai lambang penghinaan terhadap kaum Yahudi.

Di sana hadir pula teks di atas potongan-potongan kertas yang robek. Teks tersebut, atau potongan-potongan kertas tak terpakai itu nampaknya memiliki kekuatan untuk “mencari cara lain dalam mengungkap si tersalib.” Teks itu, bahkan, ketika dipadu dengan kawat dan seng, punya kekuatan untuk mengatakan apa yang tidak boleh dikatakan, apa yang dilarang, apa yang ditabukan. Namun, tampaknya kekuatan itu belum muncul.

Dalam Agape, di sebelah kiri bawah, ada kata “Agape” dalam bahasa Yunani, sedangkan dalam One Way, kata “Yesus” ditulis dalam bahasa Ibrani. Komunikasi antar teks dan imaji nampaknya belum cukup kuat untuk melampaui simbol yang tersaji.

Nihilisme atau pengalaman religius-personal mengenai kekosongan ini bisa direspon dengan pilihan sikap: “ya” atau “tidak.” Kita bisa menelusuri kekuatan “ya” dan “tidak” itu dalam karya-karya yang hadir dalam pameran ini.

Lihat, misalnya, dalam beberapa karya FX. Lucky. Dengan teknik foto dan komputer, obyek itu muncul sempurna di atas kanvas Lucky. Latar belakangnya flat, bersih dengan warna senada sehingga muncul kesan simpel dan rapi. Obyek yang digambar jelas, realis, representatif. Benda yang digambar Lucky berasal dari benda-benda keseharian: kotak susu Ultra Milk, bohlam lampu, sendok, garam, gambar kepala burung rajawali, kunci, dan sebagainya. Benda-benda keseharian itu dimunculkan karena disebutkan dalam beberapa ayat Alkitab. Tafsiran Lucky sifatnya harafiah, dalam arti obyek itu sudah ditulis dalam ayat tersebut, dan keberadaanya bisa ditelusuri dan ditemukan dalam keseharian kita. Karya Lucky bisa membuktikan bahwa ternyata simbol-simbol begitu menguasai artikulasi personal kita.

Salt and Light (2009), misalnya, adalah karya yang berasal dari salah satu kata-kata Yesus kepada para muridnya dalam Matius: 5:13-16 mengenai garam dan terang dunia. Merespon ayat ini, hadir hampir memenuhi kanvas Lucky: sebuah bohlam lampu yang seperempat bagiannya terisi garam. Di bagian depan lampu itu ada sendok yang terisi garam juga.
Demikian juga Spiritual Milk (2010) berasal dari Petrus 2:2, “Dan jadilah sama seperti bayi yang baru lahir, yang selalu ingin akan air susu yang murni dan rohani …” Dengan sedikit humor Lucky mengganti tulisan “Ultra Milk” dengan “Spiritual Milk,” tulisan UJ (Ultrajaya) menjadi “JC” (Jesus Christ), dan tulisan “Susu Segar” menjadi “Follow Me.” Ada pula Soar Like an Eagle (2009) yang imaji burung rajawalinya diambil dari Yesaya 40:31, “ … mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya …”

Jika beberapa karya lain di pameran ini sedikit banyak mengesankan adanya usaha untuk “melepaskan diri” dari imaji tunggal tentang Tuhan, karya Lucky sebaliknya. Ia mengacu dan mempertahankan yang tunggal itu. Baginya nilai tunggal itu tidak akan runtuh dan tidak tergantikan. Dan nilai itu bagi Lucky adalah Tuhan yang gambarnya, artikulasi, maupun intepretasinya tidak boleh “dipermainkan.” Dengan kata lain, tidak boleh ada yang menandingi yang tunggal itu. Maka, terlihat tidak ada suasana kejatuhan ataupun kekosongan dalam karyanya. Figur atau obyek yang hadir seakan-akan punya kewajiban “memuliakan Allah.” Tidak ada keraguan, kebimbangan, kegelisahan dan kecemasan dalam karya Lucky. Bersih, jelas, dan tegas.

“Religius harus sopan,” katanya. Maka, untuk menyajikan yang tunggal yang diyakini Lucky itu, harus dengan segala kesempurnaan. Demikian acuan berkaryanya. Karena itu, “Plesetan, jika berkaitan dengan agama, atau tentang Yesus,” ungkapnya, “harus sopan.” Agaknya, plesetan, yang mungkin bisa menjadi kekuatan dalam karya Lucky, direpresi sedemikian rupa agar tidak melanggar batas-batas yang diamini Lucky. Di balik karya Lucky terkesan adanya semacam kekuatan untuk berkata “tidak” bagi nihilisme. Obyek dalam lukisan Lucky seakan menghindari diri untuk jatuh dalam kekosongan.

Salah satu lukisan yang cukup unik dan bisa menjadi referensi bagi para pelukis yang bergulat di tema religius adalah Salvador Dali, yang kebetulan juga dikagumi Lucky. Berbicara mengenai plesetan versi Lucky, bisa kita bandingkan sedikit dengan Dali. Dali menampilkan Christ of St.John of the Cross (1951), gambar pertamanya mengenai Kristus, tentu saja dengan beberapa “plesetan.” Gambar ini terinspirasi dari Mathias Grünewald, Christ on the Cross (1513-1515). Dali mengkritik imaji Yesus di kayu salib yang digambarkan Grünewald, juga yang digambarkan sebagian besar seniman pada masa sebelumnya. “Stigmata,” yang hampir selalu menjadi sasaran umum obyek lukisan bertema penderitaan Yesus, ditiadakannya.

Kritik itu disajikan lewat beberapa “plesetan” yang adalah kekuatan Dali. Dalam Christ of St.John of the Cross (1951), Dali menggambarkan Yesus yang bertubuh atletis, indah, kuat, dan terkesan tanpa luka. Bahkan, tidak ada mahkota duri di kepala Yesus. Plesetan lainnya, Dali menggambarkan penyaliban dengan perspektif yang unik: tampak atas secara diagonal. Hasilnya, kita hanya melihat bahu dan sebagian punggung belakang, serta kepala Yesus. Wajahnya tidak terlihat. Dengan perspektif ini, kita seolah-olah bisa memerankan diri sebagai Tuhan, atau manusia yang “melampaui” manusia: melihat dari tempat yang tidak diketahui manusia pada umumnya.

Perkataan “tidak” terhadap nihilisme itu kita temukan juga pada karya Eddy Purwantoro, Sacrifice (2010). Secara umum ada pesan yang menarik dalam karya itu: kita semua harus bertanggung jawab demi keselamatan bumi. Dan tanggung jawab itu berarti pengorbanan yang dilambangkan dengan mahkota duri oleh Eddy. Paskah di sini dikaitkan langsung dengan misi penyelamatan lingkungan. Sebuah bola dunia bermahkotakan duri berdiri statis di atas padang rumput hijau, di bawah langit biru cerah berawan. Sacrifice dengan sangat jelas bertujuan membawa kita semua pada penyadaran tentang kehidupan manusia dan lingkungan, bahkan sebelum kita sempat memahami, apalagi mengalami keresahan akibat kerusakan alam. Bagi Eddy, Sacrifice ini menyuguhkan optimisme manusia dalam merespon masalah pemanasan global.

Berbeda dengan Eddy yang mengusung paskah dalam kaitannya dengan penyelamatan bumi, peristiwa paskah sebagai peristiwa kebangkitan dan kehidupan Yesus terlihat dalam karya Susilo Budi Purwanto, The Glory (2010), di mana posisi Yesus membentuk salib tanpa kayu salib. Sebagai penyokong atau struktur penguat pose figur, hadirlah sayap di belakangnya. Kesan Yesus sedang “diangkat” ke surga tampak lewat bentuk sayap yang mengepak lebar. Di sana sosok Yesus yang tanpa luka, sudah bebas dari kubur, sedang “terbang” ke surga. Teknik chiaroscuro membentuk kesan realis pada figur tunggal Yesus yang terletak persis di tengah bidang kanvas. Ia seperti segera beranjak meninggalkan yang duniawi, yang kosong, menuju surga yang dipercaya sebagai harapan. Kebangkitannya disimbolisasi dengan garis biru horizontal yang memotong bidang kanvas. Garis itu mulai bergelombang menjelang tepi kanan, pertanda dimulainya nafas kehidupan.

Ada pula karya Edi Sunaryo, Penyaliban (2009) dan Mandala (2009), menjadi dua buah karya berjenis abstrak dalam pameran ini. Seperti biasa, bentuk-bentuk geometris berpadu dengan bentuk-bentuk organis yang dihasilkan dari garis-garis lengkung dan motif primitif, mengisi background hijau Edi. Lukisan itu mengandung tiga warna utama: hijau, merah, dan hitam. Ada yang menarik di sini, yaitu garis merah atau hijau yang ditorehkan begitu saja. “Itu kepuasan saya, menorehkan garis itu, entah kapan, di mana letaknya … persisnya saya tidak menyadarinya.”

Dan dalam karyanya kali ini, terlihat ada dua jenis garis merah: pertama, garis merah yang ditorehkan sebagai garis begitu saja, tampak spontan, dan kedua, garis merah yang ditorehkan sebagai salib. Karakteristik garis merah yang membentuk salib agaknya masih “dikuasai” imaji, atau simbol salib. Sedangkan, garis merah atau hijau jenis pertama yang tidak selalu ada, kadang-kadang ditorehkan begitu saja seperti “melapisi” tepi bentuk, ataupun seperti coretan mandiri, dengan kapasitas tekanan dan ketebalannya sesuai rasa yang ada, lebih tampak sebagai “kecelakaan,” (accident, uncontrolled), spontan. Garis merah spontan ini nampaknya yang memiliki kekuatan “pembebasan” diri dari “simbol-simbol keagamaan yang menguasai manusia,” (cliché)[5] dan bisa menjadi titik mula eksplorasi dalam karya-karya selanjutnya.


4/amor fati

Dalam karya hitam-putih Sigit Santoso, Maria … Maria! (2010), tampak wajah Yesus yang biasa kita lihat. Bahkan, posisi kepalanya pun seperti posisi yang pada umumnya dikenal di Indonesia: matanya lebar teduh, seringkali tanpa ekspresi, separuh menengok, menengadah sedikit ke kiri (dari sisi kita yang melihat gambar itu). Di balik yang biasa itu, hampir pasti yang membuat kita terperanjat dan “geli” adalah bekas bibir, atau bekas lipstik yang menempel di pipi dan dahi Yesus.

Bagi kaum agamis yang selalu membela mati-matian keyakinannya mengenai Yesus sebagai Tuhan yang tidak pernah punya relasi khusus dengan wanita, apalagi sampai ada bekas bibir itu, pastilah senewen, terprovokasi.

Bekas bibir siapa yang hadir di sana? Tidak penting dibahas. Bisa jadi bekas bibir Maria Magdalena, yang dalam beberapa kisah, dikatakan sempat menjadi kekasih Yesus. Bisa juga bibir Maria ibu Yesus, atau bibir dari Maria-Maria yang lain. Yang pasti, melalui bekas bibir itu, nilai Yesus sebagai “Tuhan” seakan “dijungkirbalikkan,” diganti dengan Yesus yang “manusia,” Yesus yang berelasi dengan seorang perempuan, mengalami hal yang sudah sewajarnya terjadi di zaman Ia hidup.

Kekuatan berkata “ya” terhadap nihilisme, yang sekaligus merupakan pelampauannya, muncul dalam bentuk bekas bibir yang tidak, atau belum dihapus. Di sini batas-batas antara apa yang disebut “ketuhanan” dan “kemanusiaan” lenyap. Yang tertinggal hanya sisi manusiawinya: Yesus yang bisa jatuh, sama seperti kita. Bekas bibir menjadi semacam benih munculnya pembacaan lain terhadap sosok Yesus. Lewat bekas bibir itu, Sigit seperti melahirkan “ruang kosong” tempat segala kemungkinan bisa muncul.

“Ruang kosong” ini terbentuk dari tegangan Yesus yang berada di antara “menjadi-manusia” (becoming-human) dan “menjadi-nonmanusia” (becoming-inhuman). Yesus versi Sigit itu berada dalam “zona ketidakdapatdibedakan” (zone of indiscernibility): sebagai Tuhan sekaligus manusia. Di ruang kosong hasil dari tegangan itulah seni ditantang untuk mencipta, melakukan re-evaluasi terhadap nilai-nilai yang sudah dianggap baku.

Mengamini kehidupan berarti mengisi ruang kosong yang disuguhkan dalam kehidupan. Salah satu karya Teddy, Ambigu (2010) mungkin bisa dilihat lebih jauh dalam kaitannya dengan ini.
Dibandingkan dengan karya Digging One’s Own Grave, Ambigu terkesan lebih ekspresif. Di sana, nampak gaya Teddy, semangat bermain-main, kenakalan, dan eksperimentasinya lewat garis dan bentuk. Ambigu memuat garis-garis dan patahan khas Teddy, dan ada blok hitam di belakang figur yang nampak seperti kontur yang menyangga, “mengisolasi” figur, menguatkan karakter figur. Garis-garis Teddy membentuk dua wajah: yang satunya menghadap ke kanan, tampak samping, nampak agak menunduk, memeluk benda berbentuk salib. Wajah yang satunya menoleh ke kiri, tampak dua matanya, hidungnya menyerupai babi, ekspresinya humoris, dan tampak lebih santai. Ia seperti sedang tersenyum sinis, menertawakan sesuatu. Gambar dua wajah ini diberi judul Ambigu. Satu sosok dua wajah itu tidak bisa dikatakan hipokrit. Wajah ganda dalam karya Teddy bukan berarti hipokrit. Ada nilai lain di dalamnya. Mereka saling berkomunikasi, sehingga di sana yang tampak adalah “kenakalan”nya untuk bermain-main, kejujurannya untuk mengatasi dirinya, mengejek, mencela, bahkan meniadakan dirinya yang satu.

Sikap afirmatif yang bisa menjadi suatu “strategi” pelampauan dalam Ambigu tampak dalam bentuk “remainder.” Siapa mengingatkan siapa? Siapa menjadi pengingat bagi siapa? Dua wajah itu memiliki ekspresi berbeda: yang satu “iseng,” yang satunya “serius,” atau bisa juga: yang satu “gila,” yang lainnya “waras.” Dua wajah yang tampil tidak untuk mempertajam perbedaan, melainkan sebagai oposisi. Oposisi di sini dalam arti oposisi yang memungkinkan bentuk itu membaur, wajah itu berinteraksi, bertukar, melebur. Mungkin, yang digambarkan di sini adalah aku dan “aku yang lain.” “Aku yang lain,” ataupun “yang bukan aku” itu ikut mengafirmasi keberadaanku. Bentuk dari afirmasi ini bermacam-macam: menertawakan, mengingatkan, mencela, dan sebagainya.

Paling tidak, ada dua kemungkinan yang bisa digali dalam gambar Ambigu ini: Pertama, Melalui “Aku yang lain,” gambar ini seperti mau mengatakan, “Saya menciptakan nilai-nilai saya sendiri, tidak melalui apa-apa yang di luar sana. Saya melahirkan diri saya sendiri.” “Aku yang lain” itu hadir dalam aku, dan tidak bisa dilepaskan dari aku. Atau mungkin begini: “Melalui dia, kami sama-sama menciptakan aku.”

Kedua, bisa pula dikatakan bahwa “Aku yang lain” itu adalah ilusi yang kusadari keberadaannya. Ilusi itu kubutuhkan demi mengafirmasi keberadaanku. Ia bisa menjadi semacam “alarm” untuk menyadarkanku bahwa ternyata melalui ilusi, manusia berhasil membuat dirinya tidak benar-benar sendirian. “Saya sadar saya butuh ilusi.” Kira-kira begitu ungkapan untuk menyatakan yang kedua. Kesadaran manusia atas ilusi, dan kemampuannya mencipta nilai-nilai bagi dirinya sendiri merupakan syarat untuk melampaui diri, menjadi “adimanusia” (Übermensch).
Berkaitan dengan sikap afirmatif ini, paskah bisa dimaknai sebagai pengalaman religius, yaitu pengalaman berhadapan dengan kekosongan, mengamini kekosongan, dan berkata “ya” terhadapnya. Amor fati: mencintai nasib, tidak berarti pasrah. Tidak pula berarti pasif menghadapinya. Paskah tidak sekadar sebuah perayaan kemenangan Tuhan atas maut, melainkan peristiwa “re-evaluasi nilai-nilai.” Dalam paskah, yang dirayakan tidak sekadar kebangkitan Tuhan, melainkan kebangkitan manusia, kemampuan manusia mengatasi dirinya, melampaui dirinya (menjadi Übermensch). Bagaimana caranya? Gnothi séauthon! (Kenalilah dirimu sendiri).


5/seni

“Lihatlah, aku mengajarkan Übermensch kepadamu!
Übermensch adalah makna dunia ini.
Biarkanlah kehendakmu berseru: Hendaknya Übermensch menjadi makna dunia ini!”[6]

Pengalaman religius yang paling total bisa kita lihat pada kisah Ayub.[7] Kisah ini banyak menginspirasi seniman. Seperti Nietzsche, pengalaman kekosongan yang demikian dahsyat juga dialami Ayub. Seperti orang gila yang sudah siap dengan lentera, dan manusia berkepala sekop dengan sekopnya, Nietzsche dan Ayub sanggup berkata “ya” pada nihilisme melalui seni, eksperimen, hasrat untuk selalu mencari, melampaui yang ada.

Maka, menjadi Übermensch berarti berhasil membebaskan diri dari segala narasi, keyakinan umum, bahasa, dan simbol yang sudah menjadi milik umum yang “menguasai” kita dan seringkali membuat kita gagap untuk berkreasi. Karena itu, Übermensch sangat mungkin bisa menjadi “solusi” atas nihilisme.

Dalam konteks ini, paskah juga bisa dimaknai sebagai peristiwa menjadi “adimanusia,” manusia kreatif yang berani mengenali diri sendiri tanpa harus tergantung pada referensi dari sesuatu yang eksternal, yang seringkali dianggap “kebenaran.” Pendeknya, manusia harus menjadi “tuan” atas dirinya. Dengan “melampaui manusia,” manusia, menurut Nietzsche, mampu secara kreatif mencipta. Maka, pepatah kuno gnothi séauthon (yang tertulis di pintu masuk Kuil Delphi) itu bisa menginspirasi kita dalam bertindak menciptakan nilai-nilai sendiri tanpa “membeo” pada nilai-nilai yang lain.

Dalam perspektif Nietzsche, seni adalah kekuatan untuk mencipta nilai-nilai maka ia bisa menjadi “penyelamat” manusia dalam kondisi kekosongan itu. Lewat semangat apolonian dan dionisian (apolonian adalah tatanan, ritme, sedangkan dionisian adalah kecairan, keliaran, keberanian menerobos batas-batas, khaos) yang hadir dalam kehidupan manusia, seni menyuguhkan ruang. Dan “penyelamatan” lewat seni terjadi ketika manusia berhasil memadukan yang apolonian dan yang dionisian itu lewat style.[8]

Beberapa karya yang muncul di sini sudah cukup berani mencoba mengeksplorasi kekosongan, mencari cara mengatasinya, sehingga lahirlah jenis-jenis kekuatan, misalnya “kekuatan di keadaan hampir,” “kekuatan mencipta ruang kosong,” “kekuatan mencipta bahasa baru …” dan sebagainya. Namun sebagian besar karya belum berhasil lepas dari hegemoni simbol-simbol dominan sehingga kekuatan – “kenekatan” yang menjadi kunci dari eksperimentasi dalam seni seringkali gagal dilahirkan.

Melalui pameran ini, paskah mampu menjadi lebih dari sekadar suatu peristiwa yang melahirkan simbol-simbol Kristiani, melainkan sebagai seni yang menginspirasi kita untuk bisa kreatif dalam “ruang kosong.” Salib, atau simbol apapun dalam paskah, hanya bisa menjadi “bahasa pembebasan” asalkan kita berani bereksperimen untuk melahirkan bahasa dan nilai bagi diri sendiri.


-sty-

[1] Matius 26:38
[2] Matius 26:39
[3] Markus 15:34
[4] Matius 19: 24.
[5] Cliché, atau ready-made images, bagi Deleuze, adalah sesuatu yang telah ada sebelum painting, gambar-gambar yang “menghantui,” menguasai pikiran si seniman.
[6] Lihat “Zarathustra” dalam The Philosophy of Nietzsche (Trans. Thoman Common). New York: The Modern Library.
[7] Ayub adalah orang kaya raya yang tiba-tiba kehilangan seluruh harta bendanya, bahkan seluruh keluarganya. Dia pun mengalami sakit dan ditinggalkan semua orang. Tapi di balik keadaan jatuhnya itu, ia tetap bertahan hidup. Lihat Ayub dalam kitab perjanjian lama.
[8] Dalam berkesenian, style muncul sebagai “ultimate force, the metamorphosis of all signs and all concepts. It appears as a Nietzschean “affirmative power of transmutation,” as the movement of becoming and of creation itself.” Lihat dalam André Pierre Colombat. 1999. “Deleuze and the Three Powers of Literature and Philosophy: To Demistify, to Experiment, to Create” dalam A Deleuzian Century? (ed. Ian Buchanan). Durham and London: Duke University Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar