September 19, 2011

Penjara Bahasa

Dalam salah satu tulisannya, “Nuansa Puteri VS Kuasa Lelaki,”[1] Sanento Yuliman mengulas sebuah pameran dari kelompok Nuansa Indonesia (himpunan seniman perempuan di bidang seni rupa) anggotanya perupa perempuan) yang diadakan di Jakarta pada Oktober 1987. Di akhir tulisannya itu, ia meluncurkan kritik, “Dalam pameran ini tak mudah mengatakan, apanya yang khas perempuan – dalam karya-karya mereka – selain penciptanya. Sebaliknya, keutamaan seni lukis, kecilnya porsi keramik, mangkirnya tekstil, dan absennya seni yang belum dijamah lelaki, seperti sulam-menyulam – menunjukkan bayang-bayang pikiran kesenirupaan yang dominan dewasa ini: pikiran lelaki.”

Di sana, Sanento melihat adanya problem, bukan pada karya yang dihasilkan dari perempuan, atau seniman yang berjenis kelamin perempuan, melainkan pada kenyataan bahwa dari sekian banyak karya yang muncul, terbaca bahwa anggapan yang selama ini ada, dunia sulam, tenun, anyam halus adalah perempuan, sedangkan lukis, patung, kriya logam adalah laki-laki, seakan mendapat legitimasinya ketika dalam pameran itu tercatat tak ada, atau sangat minim ekperimentasi pada kain, kertas, serat, dan sebagainya.

Hingga kini pun, di saat medium sudah banyak diekslplorasi, baik tekstil, sulam, patung, grafis, intalasi, dan sebagainya – medium yang pada 1987 itu belum lazim digunakan, ternyata tetap nampak apa yang dikatakan Sanento sebagai “pikiran lelaki” itu. Namun, nampaknya, telah terjadi pergeseran: “bayang-bayang” itu tak muncul lagi lewat medium, melainkan dalam bahasa rupa para seniman.

Untuk memahami bagaimana “logika patriarki,” atau “pikiran lelaki” itu “mendekam” dan muncul dalam bahasa rupa para seniman perempuan, pertama-tama kita akan masuk lewat “tiga karya superhero,” yaitu Ade Indriasari, Enny Sumaryati, dan Sri Astari. Tema ketiganya hampir sama: perempuan Indonesia adalah perempuan super, “superwomen” yang mampu berperan dalam segala hal. Ketiganya seakan menawarkan pesan: “kami (perempuan) lebih kuat daripada laki-laki.”

Pada karya Ade, ada figur perempuan Jawa, bak sosok Kartini, disanggul rapi, namun mengenakan kaos biru yang tengahnya ada huruf “S” berwarna merah pada blok warna kuning, sebuah logo Superman, kain batik (jarik) yang dikenakan dengan gaya nontradisional, dan sepatu kets. Jempol kanannya diacungkan. Figur perempuan itu berada di depan lingkaran bergerigi, bak percikan warna kuning, mengacungkan jempol kanannya, bak mengiklankan sesuatu, “Ini lho Pemirsa.” Di sekitarnya, ada beberapa ikon yang membuat kita langsung paham apa yang dimaksud Ade, bagian atas kanvas ada gambar masjid, lalu sekitarnya ada kereta bayi, laptop, serok, lembaran uang, dan gambar hati (“love”). Karya 2011 itu diberi judul Indonesian Superwoman. Tampak jelas di sana, kalau kita mengaitkannya dengan kekuatan perempuan, dari komposisinya terlihat bahwa “kekuatan perempuan” di sini diukur dari kemampuannya membagi peran, rumah tangga dan karir.

Mengapa “Super?” Mengapa “Superman?” Mengapa “Superwoman?”

Apakah pembagian waktu demikian, secara tak disadari, membuktikan bahwa perempuan pun sebetulnya sudah “didisiplinkan” oleh “logika laki-laki,” semacam kontrol ala patriarkis?
Imaji superhero, atau Superman itu juga terdapat pada karya Sri Astari Calling for Petruk (2010). Tak seharafiah Ade, dan secara visual cukup menonjol dibandingkan beberapa perupa lain, dengan medium campuran, Astari ‘memodifikasi’ foto dirinya: ia - yang mantan pragawati itu - dalam karya ini mengganti kepalanya menjadi Petruk. Sanggulnya dilepas, berganti kuncir ciri khas Petruk. Hidungnya diperpanjang, mukanya dibedak putih, bibirnya diperlebar dengan warna merah, dan pada pipinya ditambah bulatan merah. Ia memakai brokat putih yang dibuka dengan kedua tangannya, bak posisi “jawara” yang sedang memperlihatkan otot dadanya. Pada lapisan dalam, seragam Superman kita jumpai, tanpa “S” melainkan “P” di bagian tengahnya.
Dengan centre of interest sosok Astari-Superman-Petruk, “Astari yang Superpetruk” dengan seragamnya, sanggul, dan tas wanita yang teronggok pada kiri bawah, juga petikan-petikan komik , Astari seperti ingin menunjukkan adanya gerak – perubahan: wanita yang tak lagi sanggulan, wanita modern,” mendunia, namun tak melupakan brokat, dan “wayang Jawa” sebagai gambaran budaya Timurnya. Mungkin, di benak Astari ada perempuan Indonesia yang punya reputasi internasional, dengan tak meninggalkan lokalitasnya. Tapi lokalitas jenis apa yang ada di benak Astari ketika ia memilik Petruk? Dan globalitas seperti apa yang menyertai ikon Superman? Simbol “laki-laki” kah yang global dan yang lokal itu? Kalau ya, apa yang tertinggal pada potret diri seorang Astari? Brokat itu? Tubuh dan wajah itu?

Karya lain yang juga mirip, ingin memberi kesan “perempuan lebih unggul” – sebuah perspektif dikotomis kuat-lemah, muncul pada Wanita Lebih Kuat Dibandingkan Pria (2011) karya Enny Sumaryati. Tanpa membaca judulnya, kita tak akan tahu bahwa Enny akan mengungkapkan sisi “keunggulan fisik perempuan dibandingkan laki-laki.” Tak tampak elemen dalam lukisan yang menunjukkan perbandingan kekuatan itu. Andai Enny, misalnya, memberi judul “Bekerja,” pada karyanya, kita mungkin bisa menangkap nuansa lain, bukan “unjuk kekuatan fisik.”

Namun Enny memang memberi judul demikian. Maka, berlatar belakang biru, nyaris serupa dengan Ade, ada figur tunggal, seorang perempuan tua memanggul pisang. Sosok perempuan tua itu bak tanpa masalah, agaknya, hanya kita yang memasalahkan kenyataan kekuatan fisik itu. Di dusun-dusun di kaki Merapi, adalah hal biasa ibu-ibu tua memanggul kayu dan rumput, merunduk berjalan menuruni lereng Merapi. Bahkan, di benak sang pemanggul pun, kekuatan fisik seakan tak digunakan sebagai cara bicara mengenai perempuan.

Tiga karya itu bisa dilihat sebagai salah satu cara perempuan berkomunikasi, berdialog, bernegosiasi dengan wacana dominan (patriarki). Mereka tampak sedang berbicara dengan logika superhero yang kelahirannya tak bisa dilepaskan dari wacana dominan itu. Pendek kata, “berbicara dengan bahasa laki-laki untuk menunjukkan kekuatan perempuan di hadapan laki-laki.” Superhero sudah demikian diinternalisasi menjadi superego perempuan, mengambil-alih logika perempuan. Tidakkah unjuk gigi dengan “Superman” atau “Super Petruk” berarti menunjukkan keberhasilan pendisiplinan tubuh perempuan oleh bahasa laki-laki?
Tapi ini bukan jalan buntu.

Kita lihat karya Dolorosa Sinaga, Skandal (2006). Tak sekadar perihal isi (ikon seperti yang digunakan “tiga karya superhero” di atas), dua figur patung plat tembaga Dolo, agaknya, mengungkap kekuatan yang tersembunyi dari peristiwa (cara negosiasi) “menang-kalah” itu.
Figur laki-laki sebelah kiri berjas, bercelana panjang, bersepatu. Rambutnya rapi, sedikit senyum, kedua tangannya dilipat (telapak kanan menutup yang kiri) di depan tubuhnya, tampil dengan posisi sopan, formal seperti akan bertemu dengan para petinggi. Tapi di sini, laki-laki itu menghadap figur lain: perempuan telanjang. Mungkin, sekilas, adegan ini bak “eksploitasi,” tubuh laki-laki berseragam rapi dengan perempuan telanjang. Tapi kita lihat lebih lanjut pada relasi yang terbangun di antara keduanya.

Secara visual, dua figur patung itu menempati ruang yang sama, tapi ruang itu seakan-akan milik perempuan. Tampak laki-laki itu mencoba membuka komunikasi, sedikit tersenyum, simpul, setengah basa-basi, agak ragu, takut salah, sedangkan perempuan itu menengadah, seperti tak ada apa-apa di depannya. Pandangannya seperti mati rasa. Tangannya di belakang, tak membuka percakapan, walau tubuh dibuka luas mengarah ke laki-laki itu. Perempuan itu diam. Laki-laki itu seperti kikuk. Di sana lah “strategi rupa” – bahasa rupa khas Dolo memunculkan kekuatan dari “cara berelasi dikotomi menang-kalah.” Dengan kata lain, yang dimunculkan dalam karya ini bukan kenyataan bahwa “Saya menang, kamu kalah,” atau “Saya kuat, kamu lemah,” melainkan “tegangan” – dan kekuatan yang tak kelihatan yang mendorong lahirnya jenis negosiasi “menang-kalah” – “kuat-lemah”itu.

Cara ungkap lain yang muncul adalah pada pada penggunaan sifat-sifat yang umumnya dilekatkan pada tubuh perempuan untuk menunjukkan kekuatannya, misalnya pada Kupu-Kupu Merah (2010) karya Roro, A Trail of Fragnance (2011) karya Nani Sakri, Hati Yang Menang (2010) oleh Lucia Hartini, dan Nine Hearts (2011) karya Olivia Cicilia.

Kecenderungan yang menonjolkan sisi femininitas (menurut “stereotipe” gender), demikian, di sini, mungkin bisa dikatakan “cara ungkap berbasis gender-feminin” – yang memiliki kecenderungan (bahaya) male gaze (mereka berempat seperti “merepresentasikan” bayangan laki-laki tentang tubuh feminin-tubuh (ideal) perempuan).

Pada Kupu-Kupu Merah (2010), misalnya, sosok perempuan bergaun merah, bersepatu balet merah, seperti sedang menari, berlandaskan kembang sepatu, di belakangnya sayap kupu-kupu, lebar, merentang, bak tertiup angin. Kemudian, pada A Trail of Fragnance (2011), tubuh perempuan telanjang berbalut taburan motif-motif batik “bawangan,” mata terpejam, ekspresinya rileks, mengingatkan kita pada iklan sabun mandi wanita, Hati Yang Menang (2010) memperlihatkan tubuh perempuan di tengah gelombang pasang lautan, bak menantang angin, kakinya menjejak daun raksasa, kedua tangan diangkat ke atas, gaun ungunya tertiup angin, memapas tubuh, dan memperlihatkan lekuknya. Tipikal sosok perempuan juga kita temui pada Nine Hearts (2011). Berlatar langit biru, laut biru, dan balon berwarna warni, seorang perempuan – dengan penonjolan lekuk tubuh - berdiri tampak samping, di ujung dermaga, seperti sedang menunggu.

Karya-karya mereka mengingatkan saya pada pandangan Naomi Woolf dalam The Beauty Myth dengan subjudul How Images of Beauty Are Used Against Women (terbit pertama kali pada 1991), bahwa ketika peran perempuan tak lagi dibatasi pada menjadi ibu atau isteri, maka peran lain dibutuhkan untuk menjaga keberadaanya, yaitu menjadi yang diinginkan oleh para laki-laki. Jadilah perempuan salah satu produk kapitalisme, industri yang menggunakan imaji kecantikan sebagai senjatanya.

Dalam mitos, kecantikan dipercaya sebagai hal yang obyektif, universal, dan dapat dperoleh siapa saja, dan perempuan yang secara seksual menarik dianggap sehat dan akan lebih mudah mendapat peluang dalam hal karir. Bahkan, ada tunjangan make-up khusus untuk perempuan yang bekerja dalam bidang tertentu. Kalau kita telusuri, bukankah itu semacam strategi tawar menawar dalam dunia industri – menjadikan perempuan lebih diinginkan, nyaman dipandang (atas nama profesionalitas). Nampaknya, salah satu tantangan terberat perempuan ketika berjuang melawan ketidakadilan gender adalah “mitos kecantikan” ini.

Dalam strategi perupaan, problem male gaze, mitos kecantikan, dan pendisiplinan tubuh perempuan itu diolah dan dimaknai secara berbeda, dengan medium yang berbeda dalam Absolutely Sweet Bodies (2009), Pink Roses for You All (2009), Power Within (2011), dan Grateful #1-#18 (2008).

Dengan medium dan gaya masing-masing, mereka bicara pengalaman menjadi-perempuan. Di instalasi boneka keramiknya, Absolutely Sweet Bodies (2009), Dona tak menggunakan boneka bak barbie. Sebagus apapun tubuh boneka keramiknya, bukan lah tubuh idaman perempuan yang terbiasa dengan iklan. Boneka-boneka keramik itu malah lebih tampak seperti ciptaan imajiner, hanya ada di dunia fantasi. Sosok perempuan dewasa pun tampak anak-anak. Melalui mereka lah Dona mengolah kembali apa yang disebut cantik. Cantik bagi Dona, nampaknya, dalam karya bonekanya, tak seperti cantik dalam “mitos kecantikan.” Tak ada standar obyektif bagi apa yang disebut cantik.

Ada lagi Tiarma dalam Pink Rose for You All (2009). Sekilas, karya lukis Tiarma seperti digital print di atas kanvas. Ia – mengikuti kecenderungan sekarang – nampak membangun karyanya dari olahan citra fotografis komputer. Namun, lepas dari itu, salah satu ciri Tiarma adalah penekanan pada Figur, yang adalah dirinya sendiri, dengan warna merah muda (pink) jenis yang tampak sintetik, terkesan artifisial, dikombinasikan dengan latar belakang abu-abu monokrom.
Relasi figur dan latar belakang agaknya memegang peran penting dalam karya Tiarma. Relasi itu seperti interaksi saya dengan”yang lain” (saya seperti sedang “menggeser kedudukan” “Yang Lain” (yang dominan) itu menjadi “yang lain” yang bisa dimanipulasi, dunia lain, fantasi, imajiner).

Pendek kata, melalui pemusatan Figur dan latar belakangnya, Tiarma membangun kesan profokatif – kesan ini menjadi salah satu kekuatan dari cara ungkap “tipikal feminin” itu.
Berbeda dengan karya Tiarma, karya Diah Yuliati tak menekankan figur sama sekali. Bahkan, sekilas, tanpa figur. Kalau pun ada garis yang membentuk figur perempuan krem-kemerahan di tengah warna-warna itu, namun tampak tenggelam. Power Within (2011) sarat sapuan kuas, blok warna putih, merah, hitam, dan kuning, yang masing-masing bak disapukan secara berbeda.

Warna-warna itu saling menimpa, membangun dimensi ruang, juga volume. Diah nampak tak bicara lagi soal jenis kelamin. Ia seperti menyuguhkan kekuatan lain yang ada dalam diri kita, semacam “kekuatan buta” yang seringkali tak kita sadari. Inner power, istilah Diah, suatu daya kreasi yang mengatasi dikotomi jenis kelamin, dan agaknya juga, tak berpretensi “feminin” atau “maskulin.”

Masih berkaitan dengan male gaze, Tere, kependekan dari Theresia Agustina Sitompul, perupa yang cukup banyak bereksperimen dengan media, membawa rangkaian karya dengan teknik etchingnya, Grateful #01-#18 (2008).

Karya itu sangat minimalis, repetitif. Dimulai dari satu figur mungil serupa bayi, kanak-kanak bak boneka di tepi kiri bagian bawah pada Grateful #01. Kemudian, secara berurutan, figur itu menjadi dua, tiga, empat, dan seterusnya – penambahan figur baru menimpa separuh bagian tubuh figur lama yang transparan. Makin banyak figurnya, tak lagi bisa terlihat satu persatunya. Efek garis, bayang-bayang, gradasi gelap-terang yang dihasilkan dari repetisi – pelipatgandaan figur itu, juga penggunaan teknik etching, melahirkan kesan gerak, padat, rapat.
Pada Grateful, Tere ingin membagi pengalamannya atas berkat – sebagai sesuatu yang tak terukur, namun terasa. Konsepnya sederhana, yaitu bahwa anugerah, berkat, tak mungkin bisa kita hitung, tanpa ukuran, hanya bisa dirasakan, bertambah dan makin bertambah. Kelahiran karya ini tak bisa dilepaskan dari pengalaman “berproses” menjadi-ibu (perempuan yang mengalami tubuh perempuan), berbeda dengan kecenderungan stereotipe feminin di atas.
Maka, tak ada gambar berciri representatif di sana, misalkan wanita yang sedang melahirkan, atau ibu yang sedang membopong bayinya. Yang ada hanya efek repetitif dan jenis garis dan gradasi kecokelatan-kehitaman yang dihasilkan dari etching, saling menimpa, transparan. Imaji bak anak-anak itu lebih terlihat seperi boneka imajiner, mengambang, namun intim. Ia membelah, dari yang nyata, bisa dikenali didefinisikan, sampai tak berwajah, hanya lapisan, makin cair, seperti peristiwa pembiakan amoeba, hewan bersel tunggal yang berkembang biak dengan membelah diri.

Cara ungkap, atau jenis negosiasi ketiga, yaitu domestifikasi perempuan oleh perempuan. Ini mirip dengan konsep “konco wingking” di Jawa. Jenis negosiasi ini paling kentara pada Peran Siapa? (2011) karya Nita Juniarti.

Tone lukisan hijau pucat. Pada latar belakang tampak sederetan kemeja-kemeja laki-laki yang digantung seperti habis dicuci dan disetrika. Di depan, sang figur membelakangi kita, merebahkan diri di atas keranjang yang berisi tumpukan baju warna warni. Perempuan itu tampak kelelahan. Dari gambar dan judulnya, “Peran Siapa?” Gambar ini seakan mengingatkan kita pada peryataan umum, “Di balik laki-laki sukses ada perempuan hebat,” sebuah konsep perempuan Jawa di mana perempuan dianggap sempurna jika mampu menjadi isteri sekaligus menjadi ibu bagi laki-laki yang dinikahinya.

Posisi ini muncul sebagai hasil dari afirmasi perempuan terhadap male gaze dan “streteotipe gender-feminin.” Di sini, perempuan yang memposisikan dirinya sendiri, menganggap dirinya sebagai “yang belakang,” – posisi ini sebenarnya mirip dengan cara ungkap pada “tiga karya superhero.”

Jika dalam “imaji superhero” para perempuan memposisikan diri sebagai “lawan tanding” dari laki-laki, pada posisi ini, perempuan menjadikan dirinya “pembantu” bagi anak laki-lakinya, dan bagi suaminya. Ia seakan merasa bebas karena meyakini bahwa perannya itu jauh lebih besar – seakan yakin bahwa tanpa dirinya sebagai sosok ibu dan isteri pendamping, laki-laki tak bisa hidup.

Tak jauh berbeda, masih dalam tataran imaji “merasa berkuasa,” – “tak mau kalah dengan laki-laki” – ukuran kekuatan seakan diletakkan pada kemampuan fisik laki-laki. Ada yang tak mau kalah dalam hal waktu, Me Time But Ready for Emergency Call (2011) karya Lisa Kurnia Sari, 24 Hours (2011) karya Ida Safitri, dan Ready for All (2011) karya Adin.

Dari beberapa itu, dari sisi visual, karya instalasi Adin lah yang cukup eksperimental. Walau konsepnya terkesan klise, anjing penjaga yang dianalogikan dengan perempuan yang menjaga martabat diri dan keluarga, dan sebagainya, namun eksekusi visualnya tergarap baik. Tubuh anjing itu dirangkai dengan besi-baja bekas, dan berbagai onderdil lainnya.

Ekspresi lain dari “tak mau kalah,” tapi lebih santai-humoris, dan sederhana, ada pada realitas “perempuan pekerja.” Jenis ini tampak pada, di antaranya, Lifetime Commitment (2011) karya Sri Handaru, dan Bersyukur dengan Sukacita (2007), karya Prilasiana, medium pensil warna pada kertas, juga Nglaras Rasa (2009) karya SM. Darmastuti, perempuan dan laki-laki seprofesi, seniman musik tradisi, sedang mengadakan pertunjukan bersama. Tak Terhambat (2011) karya Mila Hardi, yang berusaha menjembatani “stereotipe” antara publik laki-laki dengan domestik-perempuan.

Cara bicara keempat, easy-going, tak memasalahkan perbedaan, juga seakan tak berpretensi menunjukkan relasi harmonis, sejajar, selaras, dan semacamnya. Jenis ini muncul pada, antara lain, She-See-C , enam 6 patung keramik anjing berwarna orange karya keramikus Endang lestari, Ritual Setelah Mandi panel dengan teknik etching karya Bonita Margaret, instalasi ornamentik Jenni (Emotional, 2011) dari kain, katun, kapas dan manik-manik, huruf “SHE” digantung warna-warni, beberapa karya sulam Kristi Hardjoseputro, Pretty Chic (2011), sofa orange bermotif desain dari Raras Dian Pitaloka, hiasan dinding Koni Herawati, Malaikat di Atas Teratai (2003), When You Don’t Move (2011) karya Etty Indriati.

Ada pun yang Mella, dalam karyanya, The Trophy (2011) seakan tak membawa persoalan khas perempuan, namun menyodorkan karya bermuatan politik, sosial, budaya, lingkungan, dan sebagainya yang membuktikan bahwa kita tak harus menemukan sisi perempuan dari karya perupa berjenis kelamin perempuan.

Beberapa yang juga cenderung mengangkat problem sosial dalam karyanya, antara lain Maya Andira Nirawati (Global Warming Effect, 2007), Firda Amalia (Rot&Roll, 2011), Wara Anindyah, Cinta Berakhir Setelah Nikah (2011), Indah Susantun (McD vs Mak e Sidi, 2011) menyoal globalitas-lokalitas, Restu Imansari (Kehancuran - Kelahiran - Kehidupan Baru, 2001-2007), menyoal kebakaran hutan di kalimantan.

Cara bicara selanjutnya, yaitu tanpa mempersoalkan negosiasi – paling tidak, secara visual, bahasa rupa tampak tak “terhantui” wacana dominan itu. Gejala ini muncul, misalnya pada karya “soliter” Arahmaiani, Perempuan 2 (2011), wajah perempuan monokrom abu-abu, dengan leher jenjang, pandangan tampak sendu, patung abstrak Iriantine Karnaya, Mandiri, dan patung Yani Mariani, Mencari Mata Dewa, figur perempuan sedang duduk, setengah berbaring, membaca semacam puisi.

Dalam pameran ini, penis dieksplorasi secara khusus oleh dua perupa, Kartika Affandi, dan Rennie Emonk, yang usianya jauh di bawah Kartika. Maka, menarik menyandingkan patung penis karya keduanya ini.

Walau pun sama-sama menampilkan penis yang jenaka, dengan gaya visual berbeda, namun hal yang paling mendasar perlu diketahui yaitu: pada karya Kartika kita melihat posisi patung penis itu – penis sebagai penis-biologis, sedangkan, dalam Emonk, penis itu tak sekadar urusan fisik, melainkan simbolik.

Pada Kondom Kondom, Kartika menghadirkan figur (penis berkondom): penis merah muda bak berbungkus kondom berkepala ikan, penis kuning dengan kondom berkepala ayam. Di sini, Kartika sebatas mengadakan simbolisasi, misalnya, bahwa kondom berkepala ayam berarti laki-laki yang suka selingkuh (mengingat sifat ayam yang mencari makan, mengais-ngais tempat sampah, dsb).

Secara visual, tampak patung penis Kartika lebih “ornamentik” dibanding Emonk, namun kejenakaan yang sarat hiasan itu memberi catatan baru pada kita: Kartika seakan menempatkan penis jenakanya itu sebagai “tugu pemujaan,” semacam jaminan, simbol dari wilayah simbolik, dan tegangan desire-lack, di mana Kartika, agaknya, memang larut di dalamnya.

Pada Emonk, sebaliknya, dengan nuansa “pop”nya, lebih terkesan ‘santai,’ menempatkan patung penisnya sebagai “konteks” untuk membicarakan mengenai ketidakadilan gender.
Maka, Emonk membuat patung penis setinggi sekitar 100 cm berbahan kayu, pada permukaannya digambar loro blonyo. Itu lah Nevermind Who’s The Bo(y)s, Here Comes The Loro Blonyos (2009). Loro Blonyo yang digambar dengan akrilik pada sepasang patung penis. Penis di sini, bisa kita lihat sebagai phallus - simbol dari wacana dominan – wacana yang dihasrati, wacana patriarki yang mau tak mau, sejak kita dilahirkan, dimasukkan ke sana.
Pendek kata, sepasang penis Emonk seakan mengajak kita untuk menyadari bahwa “mau tidak mau,” “suka atau tidak” kita sudah teralienasi dalam bahasa yang patriarkis itu.
Loro Blonyo, simbol dari keselarasan, keharmonisan pasangan suami-isteri itu digambar di sepotong kayu berbentuk penis. Pesan Emonk singkat: bahwa di era sekarang pun, dengan cara yang paling halus, wacana laki-laki itu tetap merasuk, mempengaruhi segala cara berpikir kita. Maka, pada karya sebelumnya, cara berbicara beberapa perempuan pun ternyata sulit dilepaskan dari “bayang-bayang” itu.

[1] Asikin Hasan (ed.). 2001. Dua Seni Rupa, Sepilihan Tulisan Sanento Yuliman . Jakarta: Yayasan Kalam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar