September 19, 2011

Warna-Warni Manusia Kucing



Hampir di seluruh kanvas Klowor tak kita temukan secara nyata kucing yang kita bayangkan. Tak ada seekor kucing pun di sana. Sebaliknya, kucing sebagai hewan, telah ‘dijelmakan’ menjadi manusia – sang “manusia kucing” yang siap ditempatkan di mana saja, pada peristiwa apa saja. Kucing itu lah yang nampaknya menjadi “jubir” (juru bicara) Klowor pada pamerannya kali ini.

Klowor Waldiyono (42), perupa yang juga dikenal dengan nama “Klowor Kucing” karena selalu menggunakan kucing di setiap karyanya, kali ini menggelar pameran tunggalnya yang kedua, Siklus dan Sirkus Klowor, 23 Mei hingga 31 Mei 2011 di Taman Budaya Yogyakarta (TBY), didukung Yayasan Seni dan Budaya Indonesia (YASBI).

Jika kita mengamati pameran tunggalnya yang pertama, maka ada perbedaan yang segera terdeteksi pada pameran kedua ini. Kalau pada 1995, “Putih-Hitam” di Bentara Budaya Yogyakarta, Klowor tampil dengan warna hitam-putih monokrom, kali ini - memang kelihatan pas dengan judulnya – ia menampilkan karya penuh warna, lebih ornamentik, dan bernuansa komikal.

Kucing mengingatkan kita pada perupa Popo Iskandar (1927-2000) yang sampai akhir hayatnya menjadikan kucing sebagai obyek lukisannya. Namun, berbeda dengan Popo Iskandar yang dikenal dengan “kucing-kucing hitam dan belang” khasnya, Klowor mengekplorasi kucing tak lagi sebagai hewan kucing, dengan berbagai karakternya, melainkan sebagai manusia – kucing-kucing Klowor bisa menjalankan berbagai peran, menjadi aktor di segala bidang, berbicara dan bertingkah laku bak manusia.

Maka, di sini, tak ada seekor kucing yang berjalan mengendap-endap, diam, menoleh dengan mata silaunya, melainkan kucing yang memegang gitar dan mengamen (Bertahan Hidup), bertanding tinju (Bertinju), menunggang sapi, memegang pecut (Karaban Sapi), mengenakan gaun “You can see” (Kontes), dan sebagainya. Menariknya, semua imaji kucing ini dihadirkan secara pictorial, dua dimensi, seakan membuktikan kekuatan karakter garis Klowor, tak lupa dihadirkan pula tekstur, warna, dan bidang bak tumpang tindih yang memperkuat imajinasi mengenai keberadaan manusia kucing itu.

Dengan kata lain, di sini Klowor tidak menghadirkan gerak-gerik kucing dan segala karakter lainnya. Kini, kucing itu menjadi Klowor yang berkelana di dunia masa kini. Pada 2011 ini, ia seakan mau mengatakan bahwa kucing sdah menjadi simbol untuk masuk ke dalam peristiwa, mengungkapkan berbagai kisah keseharian.

Karena itu lah, ada, antara lain, Jathilan (2009), Merapi II (2010), Reog Ponorogo I (2011) yang menjadi bukti bahwa “manusia kucing” itu lebih memilih tema keseharian yang cenderung pada tradisi, dan aktivitas keseharian masyarakat dibanding dengan peristiwa sosial politik yang sering digarap beberapa perupa.

Pada karya Kucing berpedang panjang, dengan penutup mata dan topi koboi, Zorro Sang Pahlawan (2009), kucing jadi dalang, jadi wayang, jadi sinden dalam Pertunjukan Wayang (2010) terlihat penekanan pada keragaman peran “manusia kucing” di sini. Pendek kata, dalam karya-karya Klowor kali ini, ada kecenderungan mengejar konsep, atau isi lukisan. Agaknya, hal ini menjadi kecenderungan seniman yang lahir dari lingkup akademis ketika, mungkin, pencapaian teknis dirasa final.

Tentu saja ini bukan hal baru. Sekian banyak karya colorfull Klowor bisa dikatakan memiliki nuansa seragam, hanya judul dan peritsiwa yang jadi pembedanya. Pendek kata, secara artistik-teknik, kemampuan Klowor tak perlu diragukan.

Di tengah kanvas besar sarat warna itu, yang bagi saya menarik adalah beberapa karya sketsa kertas Klowor (dibuat pada 2002, 2000, dan sekitar 1989-1990an). Agaknya, coretan pena, tinta di atas kertas ini menjadi benih, potensi yang belum sepenuhnya teraktualisasi di kanvas-kanvas besar penuh warna itu.

Salah satu karya, Manten (2009), misalnya. Di sana sudah nampak figur yang ada pada sketsa Mantenan, 2002, yang tak mengalami perubahan drastis yang bisa dinilai signifikan sebagai pencapaian artistik. Klowor lebih menekankan keragaman peristiwa dan konteks. Maka, di pameran kali ini, agaknya, dari sisi artistik, warna lah yang menjadi salah satu “pencuri perhatian mata” penonton.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar