September 19, 2011





Metamorfosis Hasrat Kolonial




Judul: Black Night (Nuit Noire)
Tahun: 2005
Durasi: Country: BelgiumGenre: surealis, cult, drama, misteri
Director: Olivier Smolders


Sepasang laki-laki tua berwajah mirip, dua orang anak memegang lentera, seorang anak perempuan tergeletak berdarah di atas es, panggung berlatar hujan salju, korden (layar panggung) terbuka dan tertutup, membuka film Black Night. Tak hanya di awal, sosok-sosok dan imaji itu pun berulang di sela-sela scene lain dalam film.

Hampir seluruh rangkaian scene bergerak lambat, diselingi extreme close-up detail beragam jenis serangga. Kecepatan film bak terinspirasi dari gerak serangga – pendek-pendek, lambat-lambat, patah-patah, tak runtut - yang memang tak bisa dilepaskan dari passion sang sutradara terhadap serangga. Berbeda dari film naratif pada umumnya, Black Night tak menyuguhkan narasi linear. Bahkan, seluruh film ini berjalan bak logika mimpi – tak berurutan, repetitif, penuh simbolisasi, imaji dan minim kata. Di sini, mungkin, kita tak bisa dengan mudah mengenali kisahnya, namun akan selalu ingat akan imajinya.

Setting kisah ini di hari yang nampak selalu malam, matahari hanya muncul sekitar 15 detik tiap harinya. Oscar (Fabrice Rodriguez) bekerja sebagai entomologis (peneliti serangga) di Natural Science Museum yang didirikan ayahnya. Ia dihantui oleh rasa bersalah karena merasa telah membunuh saudara perempuannya di masa lalu. Dikisahkan bahwa ia menjalani suatu terapi karena depresi dan rasa bersalah yang akut itu. Menurut terapisnya, Oscar tak melakukan pembunuhan, bahkan ia diduga tak memiliki saudara perempuan. Sepulang dari museum, ia menjumpai perempuan Afrika (Yves-Marina Gnahora) sedang berbaring di kamarnya. Perempuan itu telanjang, berselimut, tubuhnya berkeringat dan bergetar (perempuan itu adalah pegawainya di museum). Suatu hari, perempuan Afrika itu hamil, lalu mati, namun bayi di perutnya masih bergerak. Maka, oleh Oscar, tubuh perempuan itu diawetkan bak mumi, sampai ternyata berubah jadi kepompong (pupa), dan dari sana keluarlah sosok lain, seorang perempuan kulit putih.

Jika dianalogikan dengan lukisan, Black Night, mungkin, bak lukisan klasik dengan olahan chiaroscuro (pencahayaan, gelap-terang) yang sempurna. Film ini juga penuh dengan ikon dan hiasan, yang bagi Smolders berkarakter “Barok dan manerisme.”

Dalam Black Night, nampak pengaruh fotografi hitam-putih Ingmar Bergman (yang dipuji Smolders), dan imaji surealis dari film Eraserhead karya David Lynch – dan agaknya, film ini mengingatkan kita pada karakter lukisan surealis Belgia, misalnya Paul Delvaux (1897-1994), dan Rene Magritte (1898-1967), dengan figur realis, namun komposisi, dan ruangnya nampak tak realistis.

Di balik imaji sureal itu, Black Night, agaknya, tak hanya muncul sebagai film yang memuja keindahan semata, atau narasi nonlinear yang membingungkan – atau sekadar menggarap “the art of film.” Smolders, di sini, seakan menyuguhkan tema penting, yaitu relasi antara Belgia dan Afrika – “Belgian-Congo” (Kongo pernah menjadi koloni dari Belgia (era 1908–1960) - yang merupakan relasi semacam “penjajah” dan “terjajah,” “Dunia Pertama,” mengatasi, menguasai “Dunia Ketiga” (Belgia ‘menguasai’ Afrika), “kulit putih” di atas “kulit hitam,” dan seterusnya.

Relasi tersebut memuat “misi pembudayaan” dari “kulit putih” pada “kulit hitam” – Afrika dianggap sebagai “benua hitam,” yang isinya “manusia primitif” – maka harus “dibudayakan” oleh Eropa. Kisah ini pernah digambarkan jelas di Buku komik Tintin in the Congo (1931).

Perempuan Afrika itu ingin dipanggil dengan nama “Marie Neige, nama dari “saudara perempuan” Oscar yang notabene, menurut ingatan Oscar, berkulit putih. “Nama itu cantik, aku ingin disebut dengan nama itu,” ucap perempuan Afrika itu. Bahkan, sesaat sebelum mati ditembak oleh “anak perempuan berkulit putih,” ia memohon pada Oscar untuk menyatakan cinta padanya.

Agaknya, Black Night mengisahkan hasrat – desire-to-be-white, hasrat “kulit hitam” menjadi “kulit putih,” ketakutan kulit putih terhadap “kulit hitam” yang dipersepsi sebagai yang “tak berbudaya,” “primitif,” dan hasrat untuk “membudayakan.” Karena itu, mungkin, film ini kaya dengan ‘oposisi biner,’ relasi hitam-putih, gelap-terang baik di mise-en scene, maupun sinematografinya.

Uniknya, di sini, “hasrat menjadi Yang Lain” itu diungkap oleh Smolders menggunakan kosakata serangga – misalnya, metamorfosis, proses si perempuan Afrika mengandung, menjadi larva, kepompong, lahir perempuan cantik, putih seakan wujud dari “kupu-kupu.” Agaknya, ini lah yang disimbolkan sebagai “hasrat-menjadi-putih,” dan hasrat Oscar sendiri (simbol dari Smolders) yang dalam ketidaksadarannya menghasrati “sesama putih” dan merasa terancam akan “yang hitam.”

Meski tergolong tak produktif, Olivier Smolders menunjukkan kekuatan karakter surealisnya dalam Black Night, setelah Spiritual Excercises, kumpulan film pendek yang digarapnya 1984-1999. Akhir kata, Black Night layak dirujuk bagi ‘penjelajah’ film non Hollywood. **


-Sty-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar