September 23, 2011

Popo Iskandar (1927-2000)

“Ekspresionis” yang Mencari Hakikat


“Bagi saya, kenikmatan berkarya seni terletak pada pemecahan masalah yang ditimbulkan oleh gagasan. Jika pemecahan itu terjadi, maka timbul masalah baru untuk dipecahkan. Pemecahan terakhir yang terletak pada sentuhan akhir (finishing touch), yang dengan sendirinya tidak melahirkan masalah-masalah baru, adalah puncak kenikmatan dalam berkarya seni.”
– Popo Iskandar –


Salah satu hal menarik dari sosok Popo Iskandar, seniman kelahiran Garut, Jawa Barat, 1927 ini adalah berbagai inovasi teknis yang selalu dilakukannya ketika melukis. Akibatnya, Popo sering menuangkan gagasan kreatifnya yang baru pada kanvas lama yang dianggapnya belum selesai sehingga nampak terjadi banyak “revisi,” baik bentuk maupun komposisi. Karena itu, Mamanoor, dalam tulisannya tentang Popo, mengibaratkan Popo sebagai “laboratorium seni lukis.” Kanvas Popo, mungkin, bisa dikatakan berisi “sekumpulan atau tumpukan masalah berbeda yang berasal dari gagasan kreatif, dan melahirkan gagasan kreatif lain yang menuntut untuk dijawab, begitu seterusnya sampai dirasa selesai.”

Popo Iskandar belajar melukis pada Hendra Gunawan, Barli, dan Angkama Setyadipradja. Selain pelukis, ia pun dikenal sebagai ilustrator buku, penulis esai dan kritik, juga pengajar. Bersama Sadali, But Muchtar, Srihadi, Mochtar Apin dan lainnya, ia dianggap sebagai pelopor perkembangan seni rupa di Bandung. Popo juga pernah menerima Anugerah Seni Pemerintah RI pada 1980.

Sebagai seniman akademis, awalnya Popo amat dipengaruhi oleh gurunya, Ries Mulder. Kemudian ia dengan tegas menolak pengaruh itu. Corak lukisan kubisme yang ‘marak’ di Bandung waktu itu ditinggalkannya. Ia mulai dengan belajar figur dan anatomi untuk memperoleh ‘bentuk-bentuk organis.’ Untuk itu, ia kerap melakukan studi fisiognomatik - salah satu yang paling intensif adalah kucing.

Obyek studi kucing dimulai pada 1960-an, berlangsung sampai akhir hayatnya. Di antara itu, ia melakukan studi juga terhadap merpati, kuda, ayam jago, barong, curug, dan sebagainya. Karena yang paling banyak diolah adalah kucing, maka ia sering disebut sebagai ‘pelukis kucing.’ Dalam studinya, Popo sadar pentingnya “dialog” antara obyek yang akan dilukis dengan dirinya sebelum imaji obyek itu muncul di atas kanvas. Dengan kata lain, selalu ada proses dialog antara kucing hidup (sebagai obyek lukisan), kucing dalam imajinasi Popo sebelum dituangkan ke kanvas, dan kucing dalam lukisan popo (yang sudah mengalami eksekusi, eksperimentasi).
Hasilnya, Popo menangkap berbagai perangai dan watak kucing, perilaku, gerak tubuh (gesture) khas kucing, seperti tubuh meliuknya kucing, kepala bundarnya, mata mendelik menyala, telinga segitiga tegak, bokong nungging, dan sebagainya.

“Saya seorang ekspresionis dalam arti saya mencari hakikat (esensi) dari suatu fenomena kehidupan,” demikian pernyataan Popo mengenai karyanya. Pendek kata, esensi kucing itu (“kekucingan” kucing) bisa dilihat melalui penyederhanaan bentuk kucing, yaitu lingkaran (kepala kucing), garis (berupa bidang persegi pada tubuh kucing), dan oval (mata kucing).
Lihat pada Potret Kucing (1998). Kepala kucing digambarkan dengan lingkaran merah, mata kucing dengan bentuk oval bersudut lancip, dan bidang-bidang persegi panjang berjajar horizontal-vertikal merupakan loreng pada tubuh kucing. Figur itu, walaupun yang tertinggal hanya elemen dasarnya, namun tetap bisa dilihat sebagai kucing karena, selain judulnya, ada “garis imajiner” yang menghubungkan elemen tersebut sehinga orang bisa merangkainya menjadi bentuk kucing. Selain Potret Kucing, lukisan yang juga mengalami penyederhanaan bentuk sampai pada elemen dasar geometri adalah Jago (1987). Sosok ayam jago di sana digambarkan sebagai lingkaran, segitiga, dan garis lengkung tebal.

Tak hanya sebatas menemukan ‘esensi’ dasar dari bentuk hewan, Popo juga sedikit banyak ‘memainkan’ warna demi komposisi. Warna satu dengan lainnya saling merespon membentuk irama dan kesatuan yang harmonis. Kucing (1983), misalnya. Ada tiga warna primer yang saling merespon: merah kepala kucing seperti “direspon” oleh kuning di antara kaki-kaki kucing, dan sapuan warna biru di atas tubuh kucing. Demikian pula elemen titik pada Macan dan Kunang-Kunang (1998). Kunang-kunang yang berupa titik-titik kuning cerah ini seperti menjawab, memperkuat kesan tubuh macan tutul, dan kuning terang bulan.

Selain itu, elemen yang sering digunakan Popo dalam lukisannya adalah bulan, matahari, atau semacam benda berbentuk lingkaran. Bulan yang hadir bersama kucing, kuda, dan ayam jago itu sepertinya tidak sekadar menghadirkan suasana, melainkan memperkuat komposisi keseluruhan karya. Pendeknya, bulan, atau matahari menjadi ‘asesori’ yang dibutuhkan demi memperkuat ekspresi lukisan. Bulan, dan matahari kuning berbentuk bundar seperti ‘berelasi’ dengan kepala kucing (Kucing dan Matahari Pagi, Dua Kucing dan Bulan Jauh), juga berelasi dengan lengkungan garis ekor ayam jago, dan jalu jago (misal Jago, 1986 dan The Dream, 1998).
Dalam lukisan Popo, agaknya, yang dikatakannya “esensi” itu, muncul sebagai bentuk dasar (lingkaran, segitiga, persegi, dan sebagainya) dari figur. Dan ini seperti menegaskan kata-kata Mamanoor, “Popo Iskandar, seperti juga kebanyakan pelukis modern lainnya di Indonesia, bisa seumur hidup sebagai pelukis figuratif dan ekspresionis. Jangan paksa pelukis-pelukis modern seperti Popo untuk kiprah ke wilayah lain.” (IndoArt-14)

-sty-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar