September 23, 2011

Nashar (1928-1994)

Melukis Gerak Alam



“Aku ingin kehidupan dan alam adalah aku sendiri.” Kata-kata Nashar itu menyatakan dengan jelas sikapnya terhadap alam. Ia tidak mau memperlakukan alam sekitar, yang menjadi “obyek” lukisannya, semata-mata obyek seperti di hadapan mata para turis. Ia ingin menyatu dengan alam, menjadi-alam untuk bisa merasakan geraknya dan menghadirkan kekuatan itu dalam lukisannya.


Peleburan dengan alam adalah dasar dari sikap berkarya Nashar. Pernyataan ini bisa kita temukan juga dalam pemikiran Paul Cézanne, tokoh impresionis yang dijuluki sebagai “Bapak Seni Modern,” bahwa “Man absent from but entirely within the landscape.” Pendek kata, peleburan itu membuat pelukis mampu menangkap kekuatan alam dalam lukisannya. Sikap demikian juga terdapat pada Affandi yang memberi insight pada Nashar bahwa “Lukisan adalah kehidupan itu sendiri.”

Maka, dalam lukisan-lukisannya, Nashar tidak hanya mengabstraksi bentuk, atau obyek tertentu yang ada dalam realitas, melainkan suasana alam itu sendiri. Terang Bulan (1978), misalnya. Di sana tidak nampak peristiwa terang bulan. Yang ingin dihadirkan adalah suasana terang bulan yang sudah menyatu dengan suasana jiwa Nashar. Demikian juga Irama Kota: di Bawah Jembatan (1987), tidak muncul sosok-sosok penghuni kolong jembatan, atau mobil-mobil lalu lalang di bawah jalan layang kota. Irama kota muncul lewat gerak repetitif dari bentuk nongeometris berwarna orange, bergerak berlawanan arah, garis-garis lurus kuning yang tampak sebagai penyangga, dan beberapa bayangan bentuk yang muncul sebagai efek dari penimpaan warna. Dengan kata lain, lukisan Nashar sarat dengan bentuk yang tak terdefinisikan. Bentuk dalam lukisan Nashar adalah bentuk-bentuk tidak nyata, tidak ditemukan di alam sekitar kita. Ia seperti berusaha menghadirkan kekuatan, mencari esensi gerak alam yang tidak kelihatan melalui lukisannya.

Lukisannya, terutama mulai 1975-an, dan seterusnya sampai pada era 1980-1990-an, banyak mengolah garis, bidang, dan warna. Baru pada 1990-an, Nashar mulai menampilkan sosok kepala-kepala manusia, menyerupai manusia, hanya tanpa telinga, dan wajah tak lengkap. Karena itu, Nashar digolongkan pelukis abstrak atau seringkali dikatakan nonfiguratif.

Nashar, dilahirkan di Parimanan, Sumatera Barat, 1928, meninggal pada 1994, memang tak bisa dikatakan sekadar pelukis. Ia juga seorang pemikir yang selalu merefleksikan proses berkeseniannya, dan memiliki sikap konsisten atas dunia seni yang dipilih dan dijalaninya.

Selain melukis, ia pun melakukan kegiatan yang sangat jarang dilakukan seniman lainnya, yaitu menulis catatan harian mengenai proses berkeseniannya. Catatan harian itu ia beri nama “Surat-Surat Malam” karena selalu ditulis pada sekitar tengah malam. Dan uniknya lagi, kalau van Gogh menujukan surat-suratnya pada Theo, saudaranya, Nashar menujukan surat ini pada seorang “kawan” yang tak dikenal, anonim, imajiner. Maka, dalam setiap awal suratnya, ia selalu menulis sapaan “Kawan.”

Ruang di antara Warna

Dalam salah satu suratnya, Nashar merespon pandangan akademis yang berpandangan bahwa ruang bisa terbentuk melalui lapisan warna. Ruang diciptakan di antara warna satu yang dioleskan sebelumnya, dengan warna lain di atasnya yang melapisi warna sebelumnya. Menurut Nashar, ruang itu lahir tanpa disengaja. Karena jika disengaja, menurut Nashar, hanyalah sebuah “kepandaian menyusun warna” dan ruang itu tidak berisi “apa kata hati.” Dari sana Nashar merenungkan, bertitik tolak dari lukisan Tiongkok klasik yang hanya dengan selapis warna ruang bisa terbentuk. “Di sini aku menemukan “kuncinya,” ialah sejauh mana seorang pelukis sanggup berada pada gores yang sedang digoreskannya. Bagi sastrawan, sejauh mana dia berada pada kata dan kalimat yang ditulisnya. Di saat itulah lahir dengan sendirinya ruang yang dimaksud.” (Nashar Untuk Nashar, hal. 112-113)

Pengalaman atas ruang yang terbentuk dengan sendirinya itu memperkuat semboyan “Bersatu dengan alam.” Tidak hanya dengan alam benda atau suasana yang dilukisnya, melainkan juga dengan alat lukisnya, goresan, warna, dan bentuknya.

Pandangan mengenai “ruang dalam warna” ini tidak bisa dilepaskan dari pengalamannya berlatih teater bersama Putu Wijaya. Bentuk-bentuk, pola-pola gerak ditemukan oleh Putu Wijaya setelah murid-muridnya, setelah beberapa bulan, karena instruksi Nashar, dibebaskan penuh mengolah gerak tubuh menuruti “gerak batinnya” tanpa kontrol atau intervensi dari kesadaran. Menurut Nashar, dalam catatan Putu, “Kontrol akan datang dari kebebasan itu, dan kebebasan itu akan membatasi dirinya sendiri.” Pendek kata, bentuk, pola gerak itu seperti ‘ruang dalam warna” yang menurut Nashar “terbentuk dengan sendirinya.” Ruang tersebut dilahirkan dari kebebasan yang memiliki kemampuan membatasi dirinya sendiri itu. Dari latihan itu, persahabatan mereka berbuah: Putu melahirkan Lho, Entah, dan Nol, sedangkan Nashar melahirkan bentuk-bentuk nondefinitif, nonfiguratif, nonnaratif dalam lukisannya.


Melukis Gerak

Sejak 1975, Nashar memfokuskan diri “belajar” menghadirkan ritme, gerak alam dalam lukisannya. Ia banyak belajar dari Affandi, Hendra Gunawan, dan Zaini yang menurutnya, berhasil menghadirkan ritme alam dalam lukisan mereka. Gerak itu tidak semata-mata berupa benda yang sedang bergerak, melainkan ekspresi dari gerak itu sendiri. Maka, dalam lukisan Nashar tidak muncul benda yang sedang berjalan, melainkan jalinan garis-garis dan bentuk-bentuk yang saling tumpang tindih. Keputusan “melukis gerak” ini, diawali dari melukis benda bergerak, sebenarnya sudah diimpikannya beberapa waktu sebelum ia memutuskan jadi pelukis, “… aku ingin bisa melukis alam sebenarnya, malahan ingin bisa melukis api yang bergerak-gerak, pohon-pohon yang bergerak-gerak ditiup angin atau ombak yang bergulung-gulung. Jadi, alam itu tidak diam saja.” (Nashar Untuk Nashar, hal 11).

Ritme atau gerak alam ini dihadirkan Nashar lewat komposisi dalam lukisannya. Berbagai jenis garis, lurus, lengkung, patah-patah, dilukiskan dengan berbagai posisi: jalin menjalin, saling memotong (bersiku), membentuk bidang-bidang yang tak simetris, dan sebagainya. Dalam Dunia Binatang (1977), jenis-jenis garis itu hadir bersamaan, menyebar dengan komposisi seimbang. Berbeda pola dengan Garis-Garis Angin (1984), garis tidak diletakkan menyebar, melainkan menjadi satu kesatuan. Garis-garis di sana terbentuk dari dua warna, hitam dan oker, jalin menjalin, saling memotong, asimetris. Ciri garis dalam Garis-Garis Angin ini bisa ditemukan juga pada beberapa karya lain, misalnya pada Di Perjalanan (1984), Sisi Pantai Kenangan (1983), dan Jalan Raya Luar Kota (1982).

Selain garis, unsur warna dalam karya Nashar kelihatan menonjol. Sebagian besar warna yang muncul adalah warna-warna cerah, merah, kuning, hijau, ungu, biru, orange, namun kecerahan itu, kalau diperhatikan lebih dalam, tidak berarti warna terang dalam arti murni, melainkan sudah berpadu dengan warna-warna gelap. Warna menyala dalam lukisan Nashar tidak berdiri sendiri. Di baliknya ada warna hitam yang sering digunakan sebagai lapisan awal sebelum warna-warna lain berdiri di atasnya. Warna kuning cerah dan merah menyala pada Pantai Kenangan (1984), misalnya, mengandung warna hitam di belakangnya. Dan hitam yang tersisa itu bisa menghasilkan efek bayangan, juga imaji tentang ruang. Karya lain, Tiga Gunung (1975) di mana lapisan warna hitam ditimpa orange, kemudian sebagian ditimpa dengan hijau kebiruan, sebagian lagi kuning, tanpa menghilangkan sapuan orange, bahkan hitamnya pun masih tampak samar. Sanento Yuliman mengomentari perihal pelapisan warna ini, “Lukisan Nashar memiliki warna menyala, dan ada penimpaan satu warna dengan lainnya sehingga nampak masih samar ada warna lain di baliknya.” Akibatnya, hampir semua lukisannya memiliki “bayang-bayang,” keredupan yang seperti tidak berusaha ditutupi lewat warna lain. Sapuan kuas Nashar tidak berusaha menghilangkan bayang-bayang itu. Bisa jadi, dari tegangan antara warna itulah gerak dan ruang hadir - ruang yang menurut Nashar tidak disengaja kemunculannya.

Penyatuan dengan alam, dengan kekuatan yang ada di luar dirinya inilah yang melahirkan kebebasan itu. Maka, Kredo “Tiga non” (nonteknik, nonkonsep, nonobyek) yang sering dipahami sebagai “tanpa teknik, tanpa konsep, tanpa obyek,” keliru. Dalam konteks Nashar, “non” itu berarti “tidak terperangkap dalam.” Maka, penyatuan itu berarti pembebasan: Nashar tidak terperangkap dalam teknik (penyatuan dengan alat lukisnya), konsep (ia memiliki pemikiran sendiri tanpa harus ikut dengan teori-teori tertentu), dan obyek (penyatuan dengan obyek di alam, merekam ritme alam, sehingga ia tidak perlu berpretensi melukisnya sepersis mungkin).


Stanislaus Yangni
Indoart&Lifestyle, Minggu I Juni 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar