September 23, 2011

Mochtar Apin (1923-1994)

Figur-Figur yang Berpose


Menghadapi sebagian lukisan figuratif Apin, terutama era 1990-1993, tampak perempuan-perempuan telanjang dalam pose-pose yang sering kita temukan di tabloid dewasa: tampak samping berkacak pinggang, terlentang, tangan terangkat dan paha terbuka, atau duduk memeluk lutut. Itulah salah satu tema yang banyak digarap Apin hampir sepanjang hidupnya. Garapan model telanjang ini tidak sembarangan, ia bahkan pernah mendalami khusus studi nude ini di Écôle Natiônale Supérieure des Beaux Arts, Perancis. Seni lukis tubuh manusia ini sudah dimulai bahkan sejak 700 tahun sebelum Masehi di Yunani.

Pose-pose perempuan telanjang Apin mengingatkan kita pada Odalisque yang menjadi tema pokok para pelukis orientalis, misalnya Delacroix, Odalisque Reclining on a Divan, Manet, Olimpia, Ingres, le Grande Odalisque (1814). Pose dan ekspresinya bisa dibandingkan dengan lukisan Apin, misalnya Gerah (1991). Seorang perempuan telanjang berdiri menyamping berkacak pinggang, wajahnya menoleh bak model amatir. Di lantai tempat ia berpijak ada setumpuk pakaian yang seperti baru saja dilepas. Kita yang melihatnya seperti menjadi cermin bagi si model, di mana dia bebas berpose mempertontonkan tubuhnya. Tak nampak ekspresi kegerahan pada wajah maupun tubuhnya. Begitu pula pada sketsa pensil perempuan duduk dengan paha terbuka, Untitled (1991), lukisan Torso, Hijau di Atas Merah, pose tiduran dengan dada dan paha terbuka pada ‘seri’ “Tiduran” yang digarapnya pada 1973, 1991, 1992, Melamun 1990, dan Manja (1991).

Mochtar Apin tak banyak mengolah latar belakang. Latar seringkali dibiarkannya blur, dengan diisi susunan-susunan warna tanpa obyek lain yang dapat dikenali. Figurnya cukup besar, garis konturnya tidak tajam, dan bentuk sosoknya cenderung membulat. Perempuan-perempuan itu tidak ada yang bertubuh kerempeng. Semuanya padat berisi, cenderung gemuk. Figur membulat yang sedang berpose itu mengingatkan kita pada figur-figur klasik yang digarap Ingres, misalnya. Sedangkan, latar belakang bak sebuah bidang datar seperti tampak di kejauhan. Pantai, misalnya, atau pemandangan lain yang menjadi latar belakang, figur terkesan hanya ‘ditempelkan’ begitu saja di atas lukisan pantai. Ia tampak tidak berelasi dengan pantai itu. Figur lebih sebagai model yang hanya berpose. Alam Subur (1990) dan Pada Sebuah Bandar (1990), antara lain, memiliki kesan kuat semacam itu. Ada pun latar belakang lainnya berupa semacam ‘tempat,’ ‘struktur’ di mana figur berada atau berpose, misalnya ranjang, atau kursi.
Pelukis yang banyak dipengaruhi oleh kubisme dan impresionisme, belajar di Bandung di bawah bimbingan Ries Mulder ini di akhir hidupnya lebih banyak mengolah pose model yang realis. Ia tampak makin menjauh dari kubisme yang dulu digarapnya, misal Dua Wanita di pantai/Pantai Mediterania (1960), Woman and Sun (1966), Wanita dan Ikan (1970). Ataukah, semangat ‘kolase’ dan ‘assemblage’ yang ada dalam kubisme tetap dibawa dan dimunculkan Apin lewat ‘ketidakmenyatuan’ antara figur dan latar belakangnya itu?

Kalau Déjeuner sur l’Herbe (1863) karya Edouard Manet memperlihatkan relasi yang tampak ‘tak menyatu’ antara dua laki-laki berpakaian lengkap, jas berdasi dengan seorang perempuan telanjang – mungkin sebagai gambaran dan kritik atas gaya hidup borjuis periode itu, tidak demikian dengan fungsi perempuan telanjang dalam lukisan Apin. Nampaknya, kecenderungan semacam itu jauh darinya. Demikian pula Balthus yang lewat ketelanjangan figurnya mampu menampilkan kekuatan ‘kepolosan’ dari gadis remaja. Ini pun tampaknya bukan kecenderungan Apin. Lalu, apakah Apin, lewat figur-figur telanjangnya, sebenarnya sedang mengelaborasi “yang pornografis” itu tanpa jatuh pada apa yang dicap umum sebagai ‘gambar porno’?
Agaknya, Apin, pelukis-pegrafis kelahiran Padangpanjang 1923 itu, di masa menjelang akhir hidupnya, memang hendak menampilkan pose yang seperti disengaja (‘naked,’ provokatif) untuk menunjukkan banalitas ketelanjangan demi mengolah seni lukis ‘nude,’ atau juga sebaliknya. Begitulah, mungkin karena itu, Apin, seperti dikatakan Sanento dalam tulisannya pada 1988, lebih sebagai yang “Memilih, memecahkan masalah ... Bukan memekarkan gaya tertentu.” (IndoArt-14)

-sty-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar