September 23, 2011

Sudjana Kerton (1922-1994)

Dari Sketsa Perjuangan sampai Narasi Wong Cilik



Sanento Yuliman pernah mengatakan bahwa lukisan Kerton cenderung “cerewet,” alias ‘bercerita banyak.’ Melihat lukisan Kerton, kita seperti mendengar cerita, mengamati satu demi satu peristiwa yang ada di dalamnya. Selain karena pengaruh Kendar Kerton, saudaranya, Affandi dan Hendra Gunawan di Pelukis Rakyat, kekuatan narasi dan kepekaan menarik garis spontan ini hampir pasti didapatnya dari pengalaman menjadi wartawan gambar di Patriot, koran terbitan Yogyakarta yang dipimpin oleh Usmar Ismail semasa revolusi.

Sebagaimana wartawan, Kerton ‘pantang’ ketinggalan berita. Ia harus mengabadikan momen revolusi fisik itu. Dari sinilah ia banyak ‘melatih’ gerak tangan dan garisnya, kepekaan visualnya untuk dapat menangkap dan mengabadikan suasana perjuangan. Semasa 1945-1949, saat ia bekerja di Patriot, Kerton menyumbangkan berita berupa gambar, sketsa peristiwa revolusi fisik, atau pertempuran yang berlangsung, baik di Bandung maupun di Yogyakarta.
Mungkin karena pengalaman itu pula, Kerton tidak menggambarkan rakyat dan kehidupan sosial dengan sudut pandang ‘orang asing.’ Ia ada bersama masyarakatnya. Kerton, walaupun sempat beberapa waktu hidup di luar negeri, Belanda, Perancis, AS, Meksiko, sembari belajar seni rupa, dan berpameran (sekitar 1950-1976), tetap kembali ke tanah kelahirannya, Pasundan, dan mencatat aktivitas rakyat di sana.

Maka, dalam sebagian besar lukisannya, di sana ada keriuhan masyarakat kecil, aktivitas pedesaan dan denyut hidup perkotaan yang diangkat lewat aktivitas figur-figurnya.

Mereka – figur-figur dalam lukisan Kerton - berelasi lewat aktivitas yang dilakukan: tidak hanya lewat perjumpaan figur secara konkret, namun lewat konteks, atmosfer, suasana yang ada. Atmosfer ini terlihat, misalnya dalam Pasar (1986). Di sana kita melihat interaksi dari tukang cukur rambut tidak hanya dengan orang yang sedang dicukur, namun juga dengan penjual buah di seberangnya. Artinya, di sini, Kerton cenderung tidak memberikan fokus dominan pada sosok tertentu, atau aktivitas tertentu, melainkan beberapa aktivitas hadir bersamaan sehingga memperkuat ‘atmosfer,’ suasana suatu tempat yang dikenal dengan sebutan “pasar” itu.

Demikian juga dengan Sidewalk Scene (1980). Berbagai aktivitas ‘tumpang tindih’ dalam satu kanvas. Ada penjual makanan, montir sedang bekerja, lalu lalang orang, antrean, dan sebagainya. Selain itu, Kerton juga menghadirkan aktivitas khusus, seperti pertunjukan topeng monyet (Street Circus, 1988), Kuda Lumping, Adu Ayam (1985), Pertunjukan Wayang Golek (1983), aktivitas petani kentang (Potato Digger, 1986), suasana di panglalan becak (Pangkalan Becak), suasana perkawinan khas Sunda (Sundanesse Traditional Wedding, 1988), dan sebagainya.

Yang agak berbeda suasana adalah Senja (1987). Di sana nampak tidak ada keriuhan seperti biasanya. Senja terkesan lebih sepi, sunyi. Di sana, bidang kanvas terbagi dua secara diagonal. Kanan atas hitam dengan separuh lingkaran merah senja. Kiri bawah tampak seorang penggembala itik yang nampak lelah dan berjalan pulang bersama para itik. Susunan itik digabung dengan hitam tanpa corak itu membuat bidang kanvas sekilas tampak seperti kain bercorak, batik. Di sana, tak tampak warna masyarakat yang biasanya ‘ramai’ di tangan Kerton. Namun, ini pula yang menjadi kekuatan Kerton. Selain humoris, Kerton juga refleksif - di sanalah ia bisa menghadirkan suasana lain yang tidak bisa dilepaskan dari keriuhan, yaitu kesendirian.

Sebagian besar lukisan Kerton memperlihatkan ekspresi lugu masyarakat, seakan tanpa beban. Mereka adalah masyarakat yang menjalankan hidup apa adanya, sederhana.

Namun, di balik realismenya, Kerton pernah melukis nonfiguratif. Beberapa gaya kubis tampak muncul dalam karyanya, yaitu di sekitar 50-60an, Nude Seated (1952), Penjual Apel (1963), dan Wayang Golek Performance (1967). Jika dibandingkan dengan sebagian besar lukisannya di era 80-an, tampilannya sangat berbeda. Bisa jadi, ini pengaruh lukisan abstrak non figuratif yang berkembang di Bandung masa itu. Kini, sebagian karyanya diabadikan di Sanggar Luhur, sanggar yang didirikannya semasa ia hidup di Bukit Dago, Bandung. (IndoArt-014)

-sty-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar