September 23, 2011

Hendra Gunawan (1918-1983)

“Rakyat” dalam Figur-Figur Ganjil Hendra



Salah satu kredo terkenal di kalangan pelukis jaman perjuangan adalah “Seni untuk Rakyat.” Kredo ini sering dilawankan dengan kredo “Seni untuk Seni.” Hendra Gunawan (1918-1983) adalah salah satu pelukis yang dianggap “memenuhi” kriteria kredo “Seni untuk Rakyat” karena tema perjuangan dalam lukisan-lukisannya. Namun, menilik perjalanan karyanya, Hendra nampaknya tidak hanya menghadirkan kekuatan “Rakyat” itu lewat narasi (tema) seperti kecenderungan dominan pelukis yang ‘menganut’ kredo tersebut, melainkan juga lewat warna dan figur-figur deformatifnya.

Hendra Gunawan, pelukis kelahiran Bandung, Jawa Barat ini mengawali kesenimanannya di beberapa sanggar, di antaranya Seniman Indonesia Muda (SIM) dan Pelukis Rakyat (didirikan pada 1947 bersama Affandi). Pelukis Rakyat memiliki hubungan erat dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang didirikan pada 1950 oleh PKI (Partai Komunis Indonesia), salah satu partai terkuat di Indonesia periode 1950-1965.

Di masa itu ia juga sempat melukis poster-poster perjuangan yang berisi pesan-pesan, seperti “Awas mata-mata musuh,” “Bamboe Roentjing Siap Mengoesir Pendjadjah,” “We Fight For Democracy,” termasuk yang paling dikenal, “Boeng, Ajo Boeng,” buatan Affandi dari kata-kata Chairil Anwar. Di samping itu, bersama anggota sanggarnya, Hendra juga membuat patung batu Jendral Sudirman di halaman DPRD Yogyakarta pada 1950, Tugu Muda di Semarang, dan Urip Sumohardjo di Magelang.

Sejak awal Hendra tertarik pada kehidupan sehari-hari masyarakat (rakyat jelata), dan ini menjiwai seluruh karyanya. Maka, selain melukis tema perjuangan seperti Gerilya (1960), Pengantin Revolusi (1955), Perang antara Pangeran Sumedang dan Daendels (1960), ia juga melukis tema keseharian seperti kesibukan pasar, tukang cukur yang sedang bekerja, ibu-ibu menyusui, mencari kutu, memasak bekicot, pertunjukan ular, pertunjukan wayang, upacara Melasti di Bali, topeng Cirebon, dan sebagainya. Inspirasi didapatnya terutama dari dunia air (kehidupan ikan, pantai), tradisi Cirebon, dan Bali.

Pada periode 1947-1950-an, lukisannya becorak realis-ekspresif. Figurnya realis, warnanya condong ke warna-warna tanah: cokelat tua, oker, hijau gelap, hitam, dan sebagainya. Teksturnya pun tebal. Mulai pertengahan 1950-an, warna-warna seperti biru, merah, kuning, hijau, agaknya mulai diolah. Kesan gembira, enerjik, muncul mengganti kesan suram, gelap dan terancam. Warna-warna demikian makin menonjol pada 1970-1980-an, dan hampir selalu dihadirkan secara bersamaan, misalnya pada kaki, tangan, wajah, dan tubuh figur. Di periode ini pula, figur Hendra jauh dari kesan realis.

Figur dalam karya Hendra cenderung besar, hampir memenuhi bidang kanvas. Dengan pakaian sehari-hari bercorak kedaerahan, figur yang kebanyakan perempuan itu selalu sedang beraktivitas. Tubuh mereka tidak lagi proporsional, melainkan deformatif, mengalami ‘pergeseran’ bentuk: tidak lagi realis yang mengutamakan proporsi-anatomi, melainkan tampak ‘surealis,’ dalam arti terjadi pemanjangan, pembengkakan pada beberapa bagian tubuh, yaitu tangan, kaki, leher, bibir, dan payudara. Sekilas, tubuh-tubuh itu nampak ‘mengganggu.’ Mereka sama sekali tidak indah, malah cenderung ganjil. Tubuh-tubuh itu bergerak semaunya, seperti tanpa tulang. Kendati pun nampak seperti tanpa rangka penyangga, tubuh-tubuh itu terkesan kuat, bertenaga. Selain itu, ekspresi wajahnya pun menyerupai, atau lebih memiliki tipologi wayang dibanding manusia biasanya.

Dalam figur yang mengalami “pembengkakan” atau pemanjangan (elongation), Hendra seperti “menghadirkan” kekuatan rakyat yang tidak kelihatan: kekuatan tidak dalam arti kekuatan kebersamaan (sosial), melainkan sebagai manusia individual yang bertahan hidup (survival). Mereka adalah manusia yang sosial sekaligus asosial (hasrat untuk mempertahankan hidup sendiri). Lewat figur-figur yang menjulur, meliuk-liuk seperti sedang menari, atau berusaha meraih sesuatu itu, lukisan Hendra seperti menyampaikan “gelombang” kekuatan yang nampaknya ingin melepaskan diri dari batas-batas anatomis tubuh, sejenis kekuatan yang lahir dari tegangan antara yang sosial dan asosial.

Pada Mekutu I (1980) tampak ekspresi menyeramkan dari sosok-sosok pencari kutu. Posisi dan ekspresi mereka lebih nampak curiga satu sama lain daripada bekerja sama mencari kutu. Mereka seperti saling berebut makanan! Dalam lukisan ini, mulut, kaki dan payudara tampak dominan memperlihatkan “kejanggalan” – ditonjolkan bersama anak-anak yang sedang menyusu pada payudara yang menjulur kanan-kiri, dan seorang ibu tua yang nampak sedang memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya, diikuti tatapan dua pencari kutu lain yang nampak tak rela. Di sini, agaknya, figur-figur yang nampaknya bersama itu, masing-masing menyimpan hasrat (kekuatan yang tidak kelihatan) bertahan hidup dengan cara makan, memangsa.

Demikian pula warna. Warna menempati posisi penting dalam karya Hendra, terutama mulai 1960-an. Warna-warna itu mulai ‘berani’ berdiri sendiri sebagai warna yang menemukan variasinya lewat eksperimen. Warna-warna Hendra bisa dilekatkan pada apa saja: wajah, kaki, atau pun tangan bisa memiliki warna berbeda dan bercampur, bahkan baur dengan latar belakang. Hasilnya, figur Hendra tampak menyatu, “meleleh” di latar belakang, namun tidak hilang. Fungsi warna tak murni (pure) yang mendominasi karya Hendra agaknya berperan besar dalam membentuk figur yang cair, ekspresif dan memiliki energi. Lihat, misalnya pada Saya Melukis (1967) di mana jari-jari figur memanjang, menjulur, dengan warna senada dengan kuas dan kanvas yang menjadi latar belakangnya. Jari-jari itu seperti menunjukkan hasrat menuju apa yang disentuhnya.

Maka, lewat elemen rupa itulah agaknya Hendra mampu menghadirkan “Rakyat:” ia lahir melalui tegangan antara yang sosial dan asosial.


-Sty-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar