September 23, 2011

Fadjar Sidik (1930-2004)

“Desain Ekspresif:” Geometri yang Hidup


“Keindahan rakyat atau keindahan alam yang saya lukis telah berubah. Menurut saya, ada dikotomi estetik antara produk teknologi dan alam. Saya senang menggunakan produk teknologi seperti TV atau mobil, dan memang bagus, tapi saya tidak bisa menggambar TV atau mobil dalam lukisan saya. Ada keterbelahan estetis kalau saya menggambarkannya. Seperti orang membuat pesawat itu, mereka tidak meniru sesuatu, tetapi membuat bentuk sendiri. Saya ini seperti desainer, membentuk sesuatu untuk ekspresi nurani saya, dan mudah-mudahan bisa selaras dengan produk teknologi dan alam.” – Fadjar Sidik -

Begitulah kira-kira pandangan dasar Fadjar Sidik, pelukis kelahiran Surabaya, 1930 ini mengenai pencapaian estetiknya pada sekitar 1963, yaitu lukisan abstrak yang dalam perjalanan karyanya sering disebut “dinamika keruangan.”

Setelah sebelumnya melukis realis dengan tema kehidupan rakyat, mulai 1961-an, Fadjar Sidik mengalihkan konsentrasinya ke lukisan abstrak. Namun, kematangan abstrak ini baru dicapainya sekitar 1968. Pada tahun itu, menurut Sanento Yuliman, Fadjar mulai membuang bentuk hewan, citraan-citraan makhluk hidup dalam bentuk-bentuknya – ia murni menuju pada bentuk-bentuk ruang dasar, seperti persegi panjang, bujursangkar, lingkaran, segitiga, trapesium, belahketupat, dan jajaran genjang.

Bentuk-bentuk tersebut disusun sedemikian rupa, nampak menyatu dengan latar belakang. Dalam hal ini, Fadjar lebih banyak bermain dengan komposisi dan warna daripada dengan obyek dan latar belakangnya. Bentuk itu disusun berwarna warni dan berulang-ulang. Dalam lukisannya, elemen garis sangat menonjol. Nampaknya, ia menggunakan beragam garis: lengkung, lurus, bergelombang, zigzag, dan sebagainya untuk membentuk ‘ruang imajiner’ baru – yang dibentuk dari permainan bidang-bidang geometri dasar itu, semacam ‘desain ekspresif’ yang pernah dikatakannya.

Susunan bentuk dan warna yang berulang (repetitif) bisa menjadi semacam ‘benang merah’ untuk melihat dimensi ruang dalam lukisan itu. Dengan kata lain, warna dan bentuk saling merespon dalam keseluruhan bidang lukisan – membentuk ritme khas lukisan Fadjar. Misalkan, warna merah cerah berbentuk lingkaran ‘direspon’ dengan segitiga kecil-kecil berderet berwarna sama pada Kota (1993), atau Dinamika Matahari (1990) yang menggambarkan lingkaran merah dengan ukuran berbeda menyebar di hampir seluruh bidang gambar. Singkatnya, beberapa kecenderungan dasar yang membentuk perwajahan lukisan Fadjar itu adalah: (1) bentuk (bidang dasar) direspon dengan bentuk yang sama di bagian lain, misalnya Dinamika Fauna (1981), (2) bentuk berbeda di satu bagian direspon dengan warna sama di bagian lain (Awang-Awang (1980), Trapesium Ruang (1986), Sangkakala Pagi, 1999), (3) warna berbeda dengan bentuk sama di bagian lain (Mandala (1990), Kota, 1983), dan (4) bentuk sama warna berbeda (Metropole 1997).

Salah satu bentuk yang sering muncul dalam lukisan-lukisannya adalah lingkaran dengan bulan sabit. Karena warnanya yang tampak menonjol dan posisinya yang disendirikan, bentuk tersebut menjadi semacam “focus of interest” dalam bahasa desain, atau nirmana.

Dinamika dalam konteks karya Fadjar nampaknya bisa dipahami sebagai ‘sifat.’ Nampaknya, di era kematangan abstraknya ia banyak meninggalkan bentuk-bentuk nyata (representasional) - beralih pada sifat (sifat organis yang dilukiskannya sebagai ‘dinamika’). Karena itu mungkin ia dikatakan “memadukan bidang-bidang geometris (yang kaku) dengan sifat-sifat organik, hayati (hidup, dinamis).” Maka, dinamika di sini tidak lagi ditangkap sebagai gerak bentuk, apalagi bentuk itu sendiri (masih terlihat dalam Banteng (1990), atau Bercengkerama, 1990), melainkan sifatnya. Jadi, geometri tidak lagi ‘mengabdi’ pada bentuk-bentuk organis yang bertujuan membentuk citraan makhluk hidup, melainkan geometri yang hidup: bidang-bidang geometri yang ‘mati’ berhasil dihidupkan dengan susunan (komposisi) dan warnanya.

Fadjar, yang sejak kecil sudah banyak dipengaruhi sistem pendidikan Barat dan nasionalisme Indonesia (perjuangan kemerdekaan), mengenal seni rupa dan tokoh-tokoh pelukis Indonesia dari majalah Djawa Baroe dan Orient. Di awal kesenimanannya, ia pernah bergabung dengan Pelukis Rakyat. Sketsa-sketsanya muncul di beberapa majalah dan surat kabar, seperti Siasat, Orientasi, Mimbar Indonesia, Zenith, dsb yang terbit pada masa itu. Selain sebagai pelukis, ia juga dosen di ASRI. Karena kontribusinya dalam seni rupa Indonesia, ia memperoleh Anugerah Seni dari Pemerintah Indonesia pada 1971. (IndoArt-014)

-sty-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar