September 23, 2011

Dullah (1919-1996)

Realisme ”Impresif” Dullah


Kalau Basuki Abdullah disebut-sebut sebagai pelukis istana raja Thailand, Dullah adalah pelukis istana presiden Republik Indonesia, tepatnya pada jaman Soekarno, sekitar 1950-1960. Ia lah yang pertama kali bertugas mengurusi koleski Bung Karno, sekaligus menyusun buku koleksi lukisan Presiden (1956).

Konon, ia pernah menjadi model dari poster perjuangan ”Boeng, Ajo Boeng” yang dibuat oleh Affandi. Dari sanalah ia mulai dikenal oleh Bung Karno. Perkenalan Dullah dengan Bung Karno terjadi pada 1944, atas perantara S. Sudjojono setelah Bung Karno mengetahui perihal model poster Affandi itu.

Dalam berkarya, Dullah sendiri mengakui bahwa ia banyak dipengaruhi oleh Sudjojono dan Affandi, walau jelas terlihat dalam lukisan-lukisannya ia memiliki gaya amat berbeda dari mereka. Pada 1940-an, Dullah banyak merekam perjuangan revolusi di atas kanvasnya. Namun, setelah ia menjadi pelukis istana pada 1950-an, ia lebih banyak mengurasi koleksi Bung Karno, melukis apa yang diminta Beliau, dan kadang-kadang menemani Bung Karno melukis.
Selain tema-tema perjuangan, dengan gaya realisnya, Dullah banyak mengeksplorasi pemandangan alam sebagaimana lukisan-lukisan potret lainnya. Sebagai pelukis istana, ia sering diajak berpergian oleh Bung Karno, dan diminta melukis pemandangan atau hal tertentu yang pada saat berpergian itu menarik hati Bung Karno.

Karakteristik umum yang nampak pada lukisan Dullah, antara lain, warna gelap cenderung kusam, cat tidak tebal, dan subyek lukisannya berkisar pada model, aktivitas keseharian, dan pemandangan alam. Ia menghadirkan subyek dalam kesehariannya yang amat biasa, seakan tanpa mengalami ’perbaikan’ sebagaimana yang sering dilakukan oleh pelukis ’mooi indie.’ Di samping menggambarkan aktivitas masyarakatnya, ia juga merekam detail ekspresi wajah mereka.

Dibanding dengan lukisan realis bertema keseharian itu, hanya sedikit tema perjuangan yang diolah Dullah, di antaranya adalah ”Persiapan Gerilya” dan ”Praktek Tentara Pendudukan Asing.”

Dalam melukis, Dullah sangat memperhatikan efek pencahayaan dan perspektif. Ada ’efek blur’ pada lukisan Dullah sehingga garis kontur subyek tidak jelas terlihat - menggunakan istilah Wolffin, ’painterly.’ Efek ’painterly’ ini tampak dalam subyek lukisan Dullah yang memang tidak tajam konturnya, cenderung membulat, berkesan tanpa batas (tepi), blur. Lihat, misalnya pada ”Barong Dance” dan ”Balinesse Procession.” Dibanding kejelasan subyek lukisan, di sana suasana yang lahir dari efek cahaya dan peristiwa barong atau prosesi adat di Bali lebih dominan.
Begitu pula pada beberapa lukisan figur Dullah, yaitu ”Nenek dan Cucu” (1979), dan ”Portrait of a Woman (1976).” Ekspresi wajah diangkat melalui efek ’painterly’ tersebut. Kecenderungan demikian terdapat pada Rembrant, Renoir, Pierre Bonnard, antara lain. Kecenderungan ”painterly” dibedakan dengan ”linearity” yang dihasilkan oleh Ingres, dan Vermeer, misalnya.
Tidak berbeda jauh dengan lukisan potret, sekilas, pada lukisan pemandangan Dullah, selain memiliki ciri realis, juga impresionis. Penekanan cahaya dan bayangan pada ”Kebun Sajur,” ”Ngarai Minangkabau,” dan ”Pemandangan di Kintamani” misalnya, terlihat pengolahan cahaya (terang-gelap) dan sapuan kuas yang jelas terlihat dan menghasilkan kesan lembut.

Penggunaan warna-warna gelap-kusam pada lukisan Dullah dan ketidakkontrasan antara warna latar dan figur, agaknya, memberi kesan keruh, lembut, dan lampau pada lukisan Dullah. Pendek kata, secara umum, lukisan Dullah memiliki ’tone’ monokrom – ’senada.’ Lihat pada, misalnya, ”Halimah Gadis Atjeh” – pakaian daerah yang dikenakan gadis itu berwarna hijau lumut-kecokelatan, dengan efek cahaya samping, dan latar belakang pun berwarna seragam, hijau kekuningan, kecokelatan. Demikian pula pada lukisan ”Kebun Istana Presiden Soekarno Sewaktu di Jogja” yang menekankan dominasi gelap-terang hijau-kuning sebagai ’tone’ dominannya.

Dullah, yang lahir di Solo dari keluarga pembatik ini, selain bekerja pada Bung Karno, juga mendirikan HBS (Himpunan Budaya Surakarta) pada 1950, menjadi pimpinan Sanggar Pejeng, Bali pada 1974, dan mendirikan museum Dullah pada 1988 di Jl. Cipto Mangunkusumo, Solo, dengan arsitektur tiga gaya: Jawa, Cina, dan Hindu. (IndoArt-014)

-sty-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar