April 14, 2011

Eksekusi "Identitas" Abstrak Jopajapu

“Sampai sekarang saya masih tetap berpegang teguh pada konsep ‘Tiga Non’ yang sering diuraikan secara keliru oleh pengamat seni lukis.” Di atas tulisan tangan itu ada simbol, semacam “tanda tangan” khas yang selalu hadir dalam lukisan Nashar. Dan di sebelah tulisan itu, ada wajah Nashar. Itulah Tiga Non (2010), salah satu karya Ida Bagus Punia, anggota Jopajapu yang agaknya ingin membicarakan kembali seni lukis Indonesia lewat karya. Di kanvas lain, tulisan dengan cat merah, “Tidak Ada Seni di Indonesia” tanpa obyek lain. Ida Bagus Punia mungkin paling profokatif dalam pameran ini. Dengan gamblang ia memadukan kata-kata dan gambar seperti mengajak kita berefleksi: di tengah carut marutnya ulasan seni rupa oleh pengamat seni yang berkecenderungan menuruti selera pasar, mungkin akan muncul pertanyaan mendasar, apakah seni itu? dan apakah ia (seni) masih bisa diselamatkan? Ada pula, Lubang (2010), yang nampak realis, sebuah gunung yang puncaknya ditutup oleh lingkaran kosong. Melihat bentuk, tekstur gunung, dan patahan serupa jurang menganga di sisi kanannya, nampak bahwa gunung itu adalah Merapi. Dan lubang (lingkaran kosong) di puncaknya membawa kita pada misteri lain. Lubang di Merapi. Itu salah satu karya Alfairus yang tampak realis. Pada karya lainnya, dan hampir di semua karya Alfairus, terlihat kecenderungan kuat pada abstrak. Dengan nuansa yang sangat berbeda dari Lubang, karya lainnya tak memiliki obyek khusus yang bisa dikenali. Bunga di Taman 2 (2010), misalnya. Tak ada bunga, tak ada rumput, tak ada tanah di sana. Kalau tak ada judulnya, kita tak akan tahu isi lukisan itu. Di sana hanya ada gurat-gurat kasar, benjolan-benjolan, garis-garis tak beraturan, sapuan kuas warna hitam, bercak warna merah, biru kehitaman, dan semacamnya. Agaknya, tekstur nyata, warna, dan garis-garis itulah kekhasan Alfairus. Karya lain, The Pieta (2010). Sosok bak berkostum ninja sedang dipangku oleh sosok lain yang kepalanya terbentuk dari sapuan hitam kuas. Di kiri bidang gambar, ada tulisan “St. F. Nietzsche,” dan di sebelah kanan “Meriem.” Tampakan keduanya seperti lukisan Mesir, bagian depan seluruhnya menghadap langsung ke kita, walau seharusnya tampakan itu agak menyamping. Sosok-sosok itu seperti tanpa volume – mengambang di seluruh bidang gambar. Itulah karya FX. Nanang. Dengan sangat minim warna, cenderung monokrom, Nanang menggambar sosok-sosok yang mungkin mengingatkan kita pada sosok yang digambar Ugo: Sosok-sosok dua dimensi yang nampak ‘dikaburkan’ dengan coretan-coretan, dibentuk dari sapuan kuas, satu warna, dan garis kontur yang jelas (outline). Agaknya, salah satu ciri dalam lukisan Nanang adalah garis linear persegi, kotak-kotak –bak “kandang kawat,” “saringan,” seperti berfungsi sebagai ‘penyangga’ figur (antara lain pada Good Bye Fool, Free Sex, The Pieta) atau ‘struktur’ semu yang mencipta ruang dalam bidang gambar (Pendatang, Human Diary, 10:10). Yang nampak berbeda gaya adalah karya Didik. Tak ada garis-garis tanpa arah, tekstur nyata, sapuan kuas tak beraturan, dan bidang yang penuh. Didik lebih khusus mengeksplorasi bentuk, warna, komposisi. Maka, karya-karyanya terkesan lebih bersih, cermat, dan terukur. Dua Dunia (2010) seperti memperlihatkan ritme dari bentuk-bentuk organis – bentuk-bentuk yang tak kita kenali, terjalin dan bergerak bersama. Demikianlah pameran bersama kelompok JOPAJAPU (terbentuk 2009), yang terdiri dari FX Nanang, Alfairus Hazbi, Didik Widiyanto, dan Ida Bagus Punia, mahasiswa ISI Yogyakarta angkatan 1998. Kali ini mereka mengangkat tema “Identitas.” Agaknya, bukan perihal tema yang patut diapresiasi, melainkan cara mereka mengeksekusi “identitas” itu sendiri sebagai sesuatu yang selama ini dianggap mapan. Pameran di Bentara Budaya Yogyakarta ini berlangsung 15-22 Maret 2011. Agaknya, kecenderungan mereka hampir sama, abstrak yang berada di tegangan ekspresionis dan figuratif. Di sini, Kalau kita bandingkan dengan era maraknya abstrak di indoneisa 1950-1960an yang nampak formalis: bentuk-bentuk yang tertata, susunan geometris, warna, dan sebagainya seperti yang dilakukan, misalnya Fadjar Sidik, atau Ahmad Sadali – JOPAJAPU lebih menekankan pada efek yang dihasilkan dari “kecelakaan-kecelakaan kecil,” sebuah spontanitas ekspresi (sapuan kuas, garis-garis tak beraturan, tekstur, cipratan cat).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar