April 14, 2011

Tubuh Sebelum Tafsir

Ada tiga sosok dominan yang muncul berulang dalam video karya Filippo Sciascia: laki-laki dewasa dengan posisi menyamping, perempuan dewasa dengan posisi membelakangi penonton, dan seekor rusa yang shot dominannya diambil dari atas agak menyamping. Laki-laki itu sedang menuju ke sesuatu semacam bangunan rumah, rangka rumah yang di dalamnya ada lampu neon menyilaukan. Rusa itu berkelana dalam gelap, di sekitarnya ada ranting-ranting yang serupa tanduknya. Perempuan itu seperti sedang berusaha menembus dedaunan dan pepohonan, mencari-cari, meraba-raba jalan dengan sikap tangan seperti ingin menggapai sesuatu di depannya. Video itu memiliki dua layar yang keduanya diletakkan di pojok (siku) ruang sehingga kedua layarnya “bersambung” pada garis ruang. Pada masing-masing layar, secara bersamaan, muncul gambar berbeda dengan dengan tokoh, warna, dan latar belakang sama. Dengan warna dominan hitam-putih, keabuan, kehijauan, kadang kebiruan, editing nonlinear, dan lambatnya shot-shot itu, kesan misterius muncul dalam seluruh video berdurasi sekitar 3:35 menit itu. Video itu berjudul Lux Lumina (2010). Di sebelahnya, ada karya lain, Manifesto (2010). Manifesto dibentuk dengan media campuran, masing-masing semacam negatif-negatif film yang berisi beberapa gambar: organ mata, retina, gelombang cahaya, otak manusia, dan semacamnya. Keduanya memiliki nuansa sama, namun muatannya berbeda. Kalau Manifesto nampak seperti sebuah “studi ilmiah” tentang organ mata, Lux Lumina kebalikannya. Video itu terkesan mencoba berkomunikasi lebih intim, mengajak kita mengalami cahaya, merasakan cahaya: kita melihat melalui cahaya dan bersama dengan cahaya. Kalau bukan nyata, agaknya, rangka berbentuk rumah menyilaukan dalam Lux Lumina bisa dipersepsi mata sebagai implicated line (garis imajiner, kontur) yang dihasilkan dari perjumpaan antara wilayah berneon dan wilayah tanpa neon. Garis imajiner ini pula yang agaknya, hadir dalam dua instalasi ‘tenda dom’nya, Domus Completus (2010) dan Domus Incipit (2010). Dalam Freedom and Nature: The Voluntary and the Involuntary (1966), Paul Ricoeur menegaskan “I sense myself alive before I know myself as animal.” Ungkapan itu bisa dijelaskan kira-kira demikian: sebelum rasio saya dapat menjelaskan hidup saya, saya sudah lebih dulu merasakannya. Tubuh ada sebelum tafsir. Dalam kaitannya dengan “cahaya,” bisa dikatakan juga, “Saya merasakan tubuh saya hidup dengan, dan bersama cahaya sebelum saya tahu bahwa saya memiliki organ penglihatan, mata, yang lewat retinanya, bisa menangkap gelombang cahaya dan mengatakan segala sesuatu tentang yang saya lihat.” Kata-kata itu agaknya yang bisa menjelaskan relasi antara Lux Lumina dan Manifesto, dua karya Sciascia yang hadir menemani, antara lain Lumen Unicus (2010), dan Lumen Praecipuus (2010), karya lukis yang masih menggunakan teknik khasnya, retak-retak dengan cat minyak dan gesso tebal. Lewat cahaya, pantulan, dan bayangan, pengalaman akan batas, ilusi, persepsi dan imajinasi ini yang mungkin bisa kita eksplorasi dalam karya kolaborasi Agus Suwage dan Filippo Sciascia di bawah tajuk besar pameran “Illuminance.” Pameran ini diselenggarakan oleh Langgeng Art Foundation, Yogyakarta, 29 Januari sampai dengan 11 Maret 2011, setelah sebelumnya di NUS Museum, Singapura. Eksplorasi atas tafsir, batas, dan faktisitas manusia ini diungkapkan dengan lebih “nekat” oleh Suwage. Selain patahan rangka-rangka grafit yang bertumpuk di sudut ruang, dengan lima gagak emas di atasnya, Circle of Hope (2010), ada lagi tengkorak raksasa yang lebih profokatif: An Offering to Ego (2007). Karya ini, karena pose menyampingnya, dan dalam katalog pameran difoto di pasir pantai berlatar laut, mengingatkan kita pada Collective Invention (1934), karya Magritte. Pada beberapa bagian rangka raksasa itu terdapat beberapa kata, seakan mempertanyakan kembali fungsi dan kekuatan kata untuk “menamai,” memberi cap, mengingat pikiran kita pun memiliki kekuatan asosiatif dan imajinatif. Beberapa kata merujuk pada bendanya, namun beberapa yang lain sama sekali tidak berkaitan dengan bendanya, antara lain “Dream” pada tengkorak kepala bagian atas agak ke depan, “Money power” dan “Politic” pada rangka bahu belakang, dan “Column” pada tulang belakang. “An offering” diletakkan di bagian paha yang separuhnya seperti terbenam. Mungkin, kita bisa bertanya lebih jauh, apa yang sedang ‘dirayakan’ di sana? Kematian kata? Kematian saya? Kematian “saya ‘ego’ yang adalah tafsir?” Atau gambaran “ego” yang sedang “bertransaksi” dengan keniscayaannya, eros dan thanatos? Selain ‘permainan’ teks dan image, penemuan efek sephia natural dari jus tembakau (tobacco juice) yang menemani efek transparan cat air pada Eros Kai Thanatos #2 (2010) menimbulkan sensasi tersendiri. Sekitar 40 buah kertas disusun berjajar. Masing-masing berisi rangka: tengkorak kepala, kaki, jari-jari tangan, rongga dada, panggul, dan sebagainya dengan beberapa posisi tampakan. Di sela-sela kertas berisi rangka itu hadirlah bunga teratai, frangipani, mawar, dan sebagainya yang seakan ‘menjadi bagian tak terpisahkan’ dengan tengkorak-tengkorak yang nampak bak artefak kematian itu. Efek warna, bau, dan kontur yang terbentuk hasil perjumpaan antara jus tembakau dengan kertas telah melahirkan depth, line, dan space khas Suwage, seperti juga retak-retak khas Filippo. Daya eksperimentasi keduanya agaknya berhasil menggeser kedudukan elemen-elemen seni rupa seperti cahaya, kedalaman (depth), garis (line), dan ruang (space) yang awalnya dirumuskan dengan sangat ketat-akademis, menjadi lebih “intim” dengan pengalaman. Elemen itu tak lagi sengaja dibentuk dan direncanakan, melainkan lahir dengan sendirinya, penuh ekspresi dan spontanitas. Maka, hasilnya, bukan tafsir atas ruang, melainkan pengalaman akan ruang: dalam-luar, juga pengalaman akan jarak: jauh-dekat, dan sebagainya. Dalam Eye and Mind (1964), Merleau-Ponty mengatakan “It is not enough to think in order to see.” Kata-kata ini ditujukan untuk ‘mematahkan argumen’ rasionalisme Descartes, dan ‘membela’ pengalaman inderawi (the sensible) yang pada masa pencerahan diletakkan di bawah ilmu pengetahuan dan pikiran. Maka, mengkritik Descartes yang menganggap bahwa rasio adalah satu-satunya “pusat” dari keberadaan manusia, dan tubuh hanya ‘perpanjangan’ dari pikiran, Ponty menekankan kesatuan dari pengalaman inderawi (tubuh, body) dan pikiran (rasio, mind) manusia. Karena itu, seni tak lagi bisa dikatakan sekadar perihal gagasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar