April 14, 2011

Jogja Mendem

Keriuhan kota Jogja yang dikatakan sebagai kota seni-budaya bisa dirunut mulai dari berlangsungnya acara tahunan, Festival Kesenian Yogyakarta XXI, Juni 2009 yang mengangkat tema "Golong Gilig: Seni dan Budaya Berawal dari Keluarga," menyusul pesta besar 25 tahun ISI, Exposigns. Setelah itu, Biennale Jogja X, dan akan disusul dengan Biennale Anak I yang akan diadakan pertengahan Januari 2010. Melalui perhelatan besar yang berurutan semacam itu, ada kesan bahwa seniman Jogja sedang berpesta. Jogja mendem, mabuk karena kegairahan seniman untuk berkarya. Mereka seperti sedang “memuntahkan” apa-apa yang selama ini ada dalam benaknya. Ide, semangat berkarya, dan kreatifitas tumpah ruah. Ini terutama bisa dilihat dalam Pameran Besar Seni Visual Indonesia: Exposigns, pameran dalam rangka 25 tahun ISI yang diikuti sekitar 550 mahasiswa dan alumni ISI Yogyakarta, menghadirkan sekitar 600 karya dengan berbagai media. Sebenarnya pameran besar itu bertujuan merepresentasikan potensi mahasiswa dan alumni ISI Yogyakarta, namun sayangnya kurang terkurasi dan terorganisasi dengan baik. Walaupun demikian, perhelatan besar-besaran dalam rangka 25 tahun ISI tersebut tidak menjadi batu sandungan bagi berlangsungnya pesta seni-pesta seni lainnya. Yang sekarang sedang berlangsung adalah pesta seni dua tahunan, Biennale. Berbeda dengan Neo Nation, biennale ke-IX dua tahun lalu, kali ini biennale X dengan tema Jogja Jamming terkesan lebih ramai. Dan kenyataannya, memang begitu. Peserta dan pengunjung terlihat lebih antusias dan padat. Apalagi dengan hadirnya tempat pameran di outdoor (ruang publik kota) dan media karya yang makin beragam. Tak pelak lagi, pendatang yang sedang berlibur ke Jogja pun bisa ikut menikmati keramaian ini. Dengan mengangkat tema Jogja Jamming: Gerakan Arsip Seni Rupa Jogja, biennale Jogja X kali ini mengajak masyarakat untuk menyadari bahwa pengarsipan negeri ini lemah, dan tugas mereka untuk membangkitkannya kembali. Mereka diajak untuk memiliki kesadaran berarsip. Ajakan ini, walau tidak dirumuskan sekonkret biennale X, sebenarnya sudah nampak dari keberadaan pameran-pameran lain sebelum biennale, walau pendekatannya sangat berbeda dari biennale ini. Dan fokus pada arsip seni rupa ini, selanjutnya akan diangkat dalam Biennale Anak I: “Dokumenku.” Di sana mereka (anak-anak) dituntun untuk berkarya berdasar lingkungan sekitar. Maka arsip dalam hal ini memang ditujukan sebagai media penyadaran dan pendidikan sejak dini. Arsip: Upgrade Wacana Seni Rupa Kesadaran akan arsip ini sudah mulai menimpa medan seni rupa Indonesia beberapa tahun terakhir, mengikuti maraknya pasar seni rupa. Kalau arsip seni rupa dikaitkan dengan catatan dan dokumentasi mengenai kekaryaan seni rupa dan senimannya, sudah bermunculan cukup banyak buku mengenai seniman dan kekaryaannya, antara lain, The Sound of Silence and Colors of the Wind Between the Tip of a Cigarette and Fire of the Lighter (2008) mengenai hidup dan karya Ugo Untoro (1989-2006) yang ditulis Omi Intan Naomi, Legacy of Sagacity (2008) ditulis oleh Jim Supangkat mengenai kekaryaan Putu Sutawijaya, Basoeki Abdullah: Fakta dan Fiksi (2009), kumpulan tulisan yang dikoordinasi oleh Mikke Susanto, Amrus Natalsya dan Bumi Tarung (2008), Elegi Artistik, Tentang Nashar dan Lukisan-Lukisannya yang diedit oleh Agus Dermawan T (2009), Seni Rupa, Perubahan, dan Politik (2009) yang adalah kumpulan tulisan FX Harsono, Ruang Di Bawah Telinga (2009) oleh Afrizal Malna tentang Made Wianta, serta ada pula buku semacam mengarsipkan kekaryaan seni rupa perempuan di Indonesia, seperti Indonesian Women Artist – The Curtain Opens (2007) oleh Farah Wardani, Wulan Dirgantara, serta buku koleksi karya seni bertema Ibu dan Anak dari Eddy Katimansyah, dan yang sudah agak lama, Exploring Modern Indonesian Art: The Collection of Dr Oei Hong Djien (terbit Maret 2004) oleh Helena Spanjaard. Di samping itu, ada pula buku untuk kalangan terbatas yang memaparkan kolektor-kolektor berpengaruh indonesia, Odyssey: A Private Journey Through Indonesia’s Most Renowed Fine Art Collectors (terbitan Singapura, 2008). Ada juga penelitian Grace Samboh yang bekerjasama dengan Galeri Sika, Bali, dibukukan berjudul Mapping Contemporary Visual Art Spaces in Bali (Pemetaan Ruang Seni Rupa Kontemporer di Bali), 2008 mengenai galeri seni rupa kontemporer di bali, yang sayangnya, kurang eksploratif. Selain penerbitan buku-buku, beberapa pameran yang sudah mengangkat tema arsip ini seperti pameran tunggal Syahrizal Pahlevi, Seni Rupa Arsip, IMRSM 2003-2005 (Juli 2009), pameran tunggal FX Harsono, The Erased Time (2009) yang menampilkan dokumentasi hasil penelitiannya mengenai kaum Tionghoa di Blitar, Pameran Arsip Sanggar Bumi Tarung pada 2008, sampai pameran arsip IVAA yang sekarang diadakan di Gedung Bank Indonesia dalam rangkaian biennale X. Yang agak berbeda tampilan dan konsep walaupun masih sama, yaitu bertema arsip adalah pameran “Grafis Melawan Lupa: Pameran Media Kampanye Masyarakat Sipil Tentang Pelanggaran HAM Masa Lalu” yang diselenggarakan oleh Kontras, Elsam, ISSI (Institut Sejarah Sosial Indonesia), Grafis Sosial, dan DKJ (Dewan Kesenian Jakarta), Juli 2009 lalu. Beberapa pameran tersbebut mengangkat arsip sebagai bagian penting dari kegiatan berkesenian, dan karya seni, pada akhirnya adalah bagian dari arsip sejarah. Sepertinya mereka, baik seniman maupun penulis seni rupa, sudah mulai menyadari pentingnya penelitian dalam karya seni rupa, dan dokumentasi sejarah demikian adalah pendukungnya. Di balik kebutuhan seniman akan arsip, bisa dikatakan juga medan seni rupa kita seperti sedang berlomba-lomba meng-upgrade wacana seni rupa. Melalui dokumentasi atas karya, pembacaan atas karya, penulisan kembali, dan sebagainya, terlihat kesadaran akan pentingnya arsip seni rupa. Penelitian akan arsip ini juga sudah disadari berguna untuk memperkaya konsep atau ide dasar di balik sebuah karya seni. Setelah pasar, beberapa pihak di medan seni rupa kita agaknya sibuk meng-upgrade wacana, entah untuk menjelaskan fenomen pasar, entah untuk bereaksi terhadapnya. Apakah dengan tema arsip ini, seni rupa dan karya seni kita mau “ditingkatkan” agar bisa terlihat lebih “cerdas” sehingga praktik pasar seni rupa yang ramai itu mendapat legitimasinya? Dan biennale kali ini pun menghadirkan diskusi dan workshop demi kepentingan pengarsipan itu. Agak disayangkan bahwa ternyata dari tahun ke tahun, pembicara atau pihak yang dianggap kompeten ternyata hanya segelintir orang yang wajahnya dari tahun ke tahun selalu muncul untuk memberi kekuatan akademis dalam penyelenggaraan biennale. Arsip: Belajar Berkarya dari, di (dan untuk) Ruang Publik Tema biennale X kali ini menarik, terutama lewat kehadiran Public on the Move di mana sekitar 200 seniman bekerja sambil berusaha memahami seni rupa secara baru, mendamaikan antara “seni untuk seni’ dan “seni untuk masyarakat.” Seni di sini disadari keberadaannya menyatu dengan denyut kehidupan masyarakatnya. Seni dilahirkan dalam dan lewat masyarakat. Maka, dalam Public on the Move, seniman dan masyarakat bersama-sama berkarya, melahirkan sesuatu yang tidak dibuat-buat, melainkan hasil dari kegelisahan dan ritme hidup mereka di kota Jogja. Walau beberapa karya kadangkala nampak “ditempel,” diletakkan begitu saja di ruang publik kota, tapi dengan begitulah seniman memulai. Dan ini adalah sebuah permulaan yang baik untuk memahami keberadaan seni di ruang publik. Melalui Public on the Move, mereka mengeksplorasi mengenai cara berinteraksi dengan ruang sosial, yang tidak hanya terbatas pada masyarakatnya, melainkan denyut keseluruhan konteks kota. Dengan kata lain, pemahaman mengenai “interaksi” ini diperluas: tidak hanya melalui dialog dengan orang, melainkan juga dengan denyut kehidupan jalanan itu sendiri, misalnya, denyut keriuhan pasar Beringharjo, polusi dan kebisingan perempatan Gondomanan, Malioboro, Lempuyangan, dan sebagainya, yang masing-masing memiliki ciri khas: stasiun, pasar, perempatan, parkiran wisata, obyek wisata, situs sejarah yang hampir dilupakan, dan sebagainya. Hasilnya, mereka menciptakan patung atau instalasi yang diharapkan bisa merekam denyut kehidupan kota. Salah satu contoh, kotak minuman berlogo dan berwarna Coca-Cola yang tulisannya tidak lagi Coca-Cola, melainkan es dawet. Karya itu ditempatkan di perempatan lampu merah Gondomanan, melekat dan membungkus tiang lampu lalu lintas. Nampak bahwa karya dari komunitas Rumah Seni Jogja (RSJ) tersebut cukup bisa dinikmati oleh masyarakat yang sedang menunggu lampu berganti hijau. Demikianlah kotak es dawet raksasa itu hadir untuk menyapa dan mengajak pengguna jalan “berdialog” sejenak. Maka, di sini interaksi tidak sebatas berkomunikasi dan bercerita dengan tukang becak atau tukang stempel tentang kehidupan dan masalah keseharian mereka, melainkan harus bisa menangkap dan melakukan “pencatatatan” terhadap lalu lalang orang yang mampir ke tempat stempel, kesibukan pembuat stempel, percakapan para tukang becak di parkiran becak, dan semacamnya. Demikian juga akhirnya seniman akan mampu menangkap “suara-suara” di balik laju kendaraan, sliweran bus trans Jogja, keramaian Jathilan, keriuhan parkiran di alun-alun saat sekatenan, dan sebagainya. Dengan kata lain, atmosfer Jogja di sebuah tempat dan momen tertentu harus bisa ditangkap untuk menjadi nafas dalam berkarya di ruang publik dan untuk ruang publik. Tema biennale X kali ini, kalau mau dipahami melalui semangat Public on the Move, sebenarnya adalah ruang belajar memahami bagaimana berkarya dari, di (dan untuk) ruang publik. Arsip: Gerakan Belajar Mengarsip Mengamati temanya, esensi biennale kali ini adalah berdiam sejenak, refleksi sesaat mengenai kesejarahan seni rupa jogja. Apa yang sudah terjadi? Apa yang sudah dan sedang dilakukan para seniman sejak 1940-an? Refleksi ini menghasilkan lima kategori yang dikatakan para kurator adalah “semangat jaman.” Kategori tersebut sebenarnya harus dielaborasi lebih lanjut oleh para kurator karena agaknya pembacaannya tidak memadai untuk bisa dikaitkan dengan karya yang pada kenyataannya jauh lebih cair daripada lima hal yang sudah dibuat itu. Tidak bisa dipungkiri bahwa karya itu bisa terinspirasi dari gagasan kuratorial tersebut, namun juga tidak bisa dielakkan bahwa pembagian atau kategorisasi itu kurang memadai untuk menjelaskan karya itu. Menilik karya-karya yang sudah hadir, apakah nanti, dalam katalog post event, akan ada catatan lain dari para kurator, semacam pembongkaran dan pendalaman mengenai humanisme kerakyatan, humanisme universal, pendobrakan terhadap kemapanan estetika, pergolakan budaya lokal dan global, dan seni rupa urban? Itu mungkin salah satu cara bagaimana praktik kuratorial bisa dielaborasi lagi. Kalau itu bisa terjadi, maka arsip akan bisa dimaknai juga sebagai gerakan belajar mencatat bagi para kurator dan penulis seni rupa. Sejarah harus tidak dipahami sebagai sejarah yang monumental bagi seni rupa kita, melainkan kritis, selalu dibongkar dan dihasilkan kembali. Maka, semoga bukan hanya hiruk pikuk karena senimannya kreatif berkarya, kemunculan banyak karya eksperimental, peserta yang ikut bertambah, ramainya karya yang hadir di ruang publik, pengunjung yang meningkat jumlahnya, ataupun hiruk pikuk pasar yang berarti ada pembeli, melainkan satu hal yang harus ditambahkan, yaitu kemungkinan, keberanian dan kejujuran untuk menulis, mencatat kembali seni rupa Yogyakarta dengan perspektif dan semangat yang baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar