April 14, 2011

Keragaman Seruang

Reni Lampir, Johan Nes, Beni Rismanto., Harya Pujantara, Ani Khaliq’fah, Ecky Kartawitanto, Bodhas Ludira Yudha, Andha Pujantara, M. Usaffa. Nama-nama itu – kalau kita mengamati dunia seni rupa belakangan ini - bukan lah nama-nama yang sering muncul dalam berbagai pameran maupun ulasan seni rupa. Singkat kata, deretan nama tersebut mungkin memang bukan kategori yang ikut meramaikan “booming” seni rupa 2007-2009 lalu. Kali ini mereka, yang tergabung dalam Kelompok Seruang, berpameran bersama di Galeri Biasa, Jl. Suryodiningratan 10B, Yogyakarta, bertajuk Pada Suatu Ketika, 24 Maret – 30 Maret 2011. Judul pameran “Pada Suatu Ketika” itu sekilas terkesan sangat umum. “Pada Suatu Ketika” mengingatkan kita pada pelajaran mengarang. Kalimat itu seperti pembuka cerita kita. Isi cerita selanjutnya setelah kalimat itu tentu terserah si pengarang. Pendek kata, “Pada Suatu Ketika,” agaknya, mengesankan bahwa pameran ini membebaskan para pesertanya berekspresi dengan tema dan medium karya. Mungkin itu sebabnya sehingga tak nampak “isu” seragam yang direspon oleh mereka. Ada drawing-drawing Ani yang menampilkan figur manusia kurus, berkaki panjang, tanpa wajah detail, patung kayu surealis corong piringan hitam karya Ecky Kartawitanto (Mulutmu Bau, 2011). Ujung corongnya berbentuk mulut terbuka lebar, gigi-giginya kelihatan – sembari piringan hitam itu melaju lempengan bak piringan hitam, diputar di bagian belakang mulut yang menganga itu. Ada juga karya akrilik di atas batik oleh Beni yang ikon dominannya perempuan. Paradise (2010), misalnya, close-up wajah perempuan, menyamping, seperti tergeletak, dan ada tetesan cairan. Sekilas, tampilannya seperti poster. Di bagian lain, ada kepala bayi menyembul di lubang WC laki-laki. Kepala dan jari-jari bayi itu muncul, sisa tubuhnya seakan tenggelam di cairan WC. Sebagian cairannya tumpah, mengalir ke luar. WC merah berisi bayi itu adalah karya instalasi dari Harya Pujantara, Wasted (2011). Kisah mengenai benih yang terbuang begitu saja kah? Atau mengenai bayi yang tak jadi lahir karena faktor tertentu? Aborsi? Atau bayi yang dibuang, disia-siakan orang tuanya? Ada juga toilet duduk yang seluruh permukaannya dilapisi potongan kertas-kertas bekas bernuansa warna pastel. Bak patung (sculpture), toilet itu diletakkan di atas landasan yang dilapisi kain. Karya itu berjudul Saving for Nothing Yet (2011), karya M. Usaffa. Karya lukis ditampilkan oleh Reni Lampir dan Johan Nes. Sementara Rina menggunakan akrilik dan oil pastel untuk menampilkan imaji-imaji naif dan coretan serupa gambar anak-anak, dengan kekhasan warna dan sapuan kuasnya (Shiroi Kiku No Hana, 2011), Johan Nes, dengan ikon siputnya, mencoba berbicara mengenai situasi sosial. Dengan tampilan seperti komik anak-anak, Biar Lambat Bisa Kiamat (2011), seekor siput yang kakinya Bulldozer, sedang menuju sawah bak sedang memperlebar area pembangunan. Nampak Johan Nes sedang bercerita mengenai penggusuran yang perlahan namun pasti terjadi: sawah-sawah hijau diganti pemukiman, gedung-gedung tua diganti dengan pencakar langit. Baik tema maupun pilihan ikon untuk menyampaikan pesan tidaklah baru, atau mengalami eksplorasi yang bisa dikatakan ‘gila-gilaan. Namun, salah satu yang menarik di sini adalah perihal keragaman medium. Pendek kata, di balik tema pameran yang tak spesifik, ekspresi bebas muncul, yaitu dalam bentuk keragaman bentuk dan penyampaian (bahan dan teknik), tidak secara khusus dalam konsep karya. Maka, andaikata tujuan pameran ini memang membebaskan ekspresi peserta, agaknya pameran ini telah memenuhi ‘syarat’ itu. Karya-karya dalam pameran ini terlihat beragam, tak nampak adanya fokus isu yang dengan serius digarap oleh masing-masing perupa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar