April 14, 2011

Menjumpai "Yang Estetis" Lewat Desain Elementer

"Art begins not with flesh but with the house. That is why architecture is the first of the arts.” – Gilles Deleuze – Deleuze dan Guattari, dalam salah satu artikelnya, Percept, Affect and Concept, mendeskripsikan bahwa seni dimulai dari kegiatan manusia membangun teritori, wilayah, “habitat” bagi dirinya. Seni tidak mulai dengan body painting, body art, melainkan rumah, dalam artian bangunan, konstruksi, usaha untuk mencipta batas-batas, memberi “dinding,” membedakan yang di dalam (inside) dan yang di luar (outside). Pembedaan ini mengandung dua pemahaman, yaitu spasial (indoor – outdoor) dalam konteks bangunan (fisik, material), dan sensibilitas (perasaan berada di dalam sesuatu, dan di luar sesuatu itu), juga perasaan untuk membuat “yang asing” itu personal, “menjadi miliknya.” Hasrat untuk mencipta itu adalah seni, di mana, menurut Deleuze dan Guattari, bisa dianalogikan dengan hewan yang membangun teritori, “territory-house,” habitatnya sendiri. Dengan kata lain, seni tidak dipahami dengan bukti adanya ruang nyata itu sendiri (rumah, dinding, bangunan-bangunan lain), melainkan perihal kemunculan, kelahiran sensibilitas manusia terhadap ruang – ekspresi mereka untuk “meruang.” Seni muncul dalam bentuk kreatifitas manusia dalam menciptakan ruang dalam dunia (bumi) ini. Maka, dalam hal ini, teritori bisa mengimplikasikan kemunculan “pure sensory qualities,”[1] semacam perasaan, kepekaan khusus untuk membuat sesuatu yang tidak hanya sebatas fungsional, melainkan juga ekspresif. “This emergence of pure sensory qualities is already art … It is an outpouring of feature, colours, sounds that are inseparable insofar as they become expressive …”[2] Di sanalah kekuatan berpikir dan merasa dalam diri manusia diangkat menjadi suatu kekuatan untuk mencipta. Lewat hasrat untuk “mencipta ruang,” dan “meruang” itulah ekspresi manusia lahir. Dan ekspresi ini dinyatakan melalui ekperimen mereka untuk mengadakan ruang itu. Dengan kata lain, kekuatan mencipta sebenarnya adalah kekuatan dasar manusia untuk membentuk dan mengubah dirinya (self-forming power). Proses meruang, mencipta ruang, teritori bisa dikatakan sebagai proses “membingkai diri.” Bingkai, batas-batas, struktur, “pagar” (frame) ini bisa dipahami sebagai hasil komposisi manusia ketika membentuk “teritori:” – hasrat manusia untuk “memagari” sesuatu, menjadikan sesuatu itu personal (dekat, akrab). Lewat pemahaman mengenai frame, arsitektur bisa dipahami sebagai kekuatan manusia untuk mengubah diri melalui pembentukan teritori. Kekuatan ini (dalam rangka menciptakan frame) muncul melalui elemen dasar (yang sudah ada dalam alam), yaitu titik, garis, bidang, bentuk, warna, tekstur, dan ruang, yang dalam hal ini, disebut sebagai elemen dasar desain visual. Elemen-elemen ini adalah tata bahasa, semacam rumus, alat, “senjata” bagi para desainer untuk mencipta. Titik, garis, bidang, dan gempal adalah elemen dasar dari seni rupa. Istilah tata rupa ini sering disejajarkan dengan nirmana. Sadjiman Ebdi Sanyoto, dalam Dasar-Dasar Tata Rupa dan Desain (2005), mendefinisikan nirmana sebagai “Pengorganisasian atau penyusunan elemen-elemen visual seperti titik, garis, warna, ruang dan tekstur menjadi satu kesatuan yang harmonis.”[3] Dalam desain visual, elemen tersebut dikembangkan lagi menjadi beberapa hal, misalnya tekstur, warna, bentuk, bidang negatif, bidang positif, volume, ruang, dan sebagainya. Desain grafis, desain komunikasi visual, dan arsitektur masing-masing memiliki elemen lain yang sudah dikembangkan dari elemen dasar tersebut. Selanjutnya, Sanyoto menjelaskan bahwa nirmana adalah hasil angan-angan dalam bentuk dwimatra dan trimatra. Nirmana, dalam desain, yang dipahami juga sebagai sesuatu yang tidak berbentuk (nir: tidak, mana: bentuk), tidak memiliki bentuk yang dapat didefinisikan, non-representasional, tidak imitatif, memiliki kekuatan, salah satunya pada gerak, ritme. Gerak ini dapat dibangun melalui komposisi elemen-elemen dasarnya (garis, titik, bentuk, warna, tekstur, dan sebagainya). Di sini nirmana sebagai suatu bentuk yang tidak berbentuk (bentuk imajiner, tidak nyata), berhasil dipersonalisasi, diberi makna. Pendeknya, lewat ketidakbermaknaannya, bentuk dan ruang imajiner itu sendiri akhirnya menyatakan dirinya sehingga bisa “dimaknai.” Dalam dunia arsitektur, pemaknaan ini seringkali hanya didasarkan pada fungsi. Ruang Imajiner dan Gerak Beberapa karya dalam pameran ini memperlihatkan kemunculan ritme gerak yang merupakan salah satu hal pembentuk persepsi tentang ruang imajiner (maya). Ritme ini bisa dilihat dalam beberapa karya dengan menggunakan beberapa cara, misalnya, lewat perulangan bentuk. Hal ini tampak dalam image c(2) (kategori segitiga yang membentuk ruang fantasi) yang menampilkan bentuk dasar segitiga. Melalui eksplorasi bentuk segitiga, dengan kecenderungan orientasi horizontal, pengulangan bentuk (gerak, ritme) dicapai melalui bentuk yang sama, tersebar dengan posisi berbeda, tidak merata, namun ada garis imajiner yang membuatnya tampak sebagai satu kesatuan. Agaknya, masing-masing segitiga berdiri sendiri (independen) dengan karakternya masing-masing, sekaligus terkait. Ruang imajiner didapat melalui gerak di antara segitiga-segitiga tersebut dan garis imajinernya. Kedua, interaksi antar warna pun bisa membentuk ruang imajiner. Hal ini tampak, misalnya dalam The Birth of Secondary Colours 2. Sekilas, karya ini cenderung mencipta kontras warna daripada gradasi. Ungu dipasangkan dengan kuning, dan letaknya berseberangan dengan biru-merah. Biru dengan orange, merah dengan hijau. Efek gerak dicapai lewat posisi yang nyaris diagonal, dan tekstur, pola yang dibentuk dari garis lengkung. Ruang maya di sini tercipta tidak hanya berupa rongga kecil, tekstur-tekstur yang secara fisik muncul karena sudut-sudut yang dibentuknya, melainkan lewat efek gerak garis-garis lengkung dari bahan dasar (material sendok es krim) itu. Perjumpaan mereka, susunan, dan posisinya berperan penting dalam membentuk efek gerak itu. Demikian pula dengan image b(20).[4] Titik-titik, bulatan-bulatan berwarna merah, hitam, dan putih, membangun bentuk imajiner yang terkesan non-geometris. Kendati pun nampak monoton, karya ini mencapai gerak lewat interaksi antar warna: merah, hitam, putih, yang melalui titik-titik tak beraturan itu, menyebar, saling memasuki satu sama lain, membentuk satu kesatuan, mencapai volume yang terkesan padat. Ada pula gerak yang terlihat lewat perulangan elemen garis. Misalnya pada karya 29042010101 (kategori garis lurus yang membentuk ruang fantasi), menampilkan gerak (ritme) lewat pengulangan elemen garis, tinggi-rendah saling bergantian, dan melalui kecenderungan arah, horizontal-vertikal, berpasangan dengan elemen yang cenderung ke atas. Barisan atau susunan garis-garis itu membentuk lipatan, lengkungan, rongga yang tanpa tutup. Walau kurang variatif, namun lipatan-lipatan ini berpotensi untuk diolah lebih lanjut. Efek gerak pun dapat dicapai lewat tekstur. Misalnya, karya Bayu yang berupa batu disusun. Penggunaan elemen batu, tekstur alami dari batu-batuan, penyusunan dengan sedikit sudut kemiringan, membuat batu itu seakan-akan berusaha berdiri, dan agaknya, gerak yang dihasilkan lewat tekstur kasar alami itu berbaur dengan kerapuhannya, keterpelesetannya ketika disusun. Ruang maya dalam karya yang sederhana, minimalis ini muncul lewat tegangan yang terjadi antar batu, tekstur dan interaksi mereka. Dan tegangan antara kekerasan, kekasaran tekstur dengan susunannya menimbulkan kesan kokoh tapi dinamis. Keindahan dalam Desain Pameran yang menampilkan karya-karya hasil olahan desain elementer ini menggunakan material benda-benda alam, tumbuhan, biji-bijian, dan beberapa benda keseharian, seperti kelereng, kawat, kabel, seng, kayu, batang korek api, uang logam, dan sebagainya untuk membentuk ruang yang non-representasional. Penciptaan bentuk imajiner dimulai ketika dengan benda-benda yang ada di alam, yang notabene memiliki bentuk khas, dapat dibentuk sesuatu yang lain yang tak ada (prinsip dasar nirmana, yaitu mencipta bentuk imajiner), entah itu bentuk-bentuk yang nampak organis, maupun yang nampak geometris. Melalui pengolahan atas elemen-elemen dasar visual, karya-karya ini muncul dalam beragam bentuk. Namun, ada beberapa kecenderungan besar yang terlihat di sini. Pertama, karya-karya cenderung memiliki orientasi vertikal dibanding dengan horisontal atau diagonal. Dengan arah vertikalnya, dan bentuk-bentuk dominan geometris, kesan tertutup, angkuh, dan megah menjadi dominan. Dalam arsitektur kota-kota besar sekarang, terutama Jakarta, implikasi dari bentuk-bentuk tertutup dan arah vertikal ini menampakkan kesan kurangnya komunikasi, baik dengan sesama manusia, maupun dengan lingkungan sekitarnya. Kedua, sebagian besar karya masih terfokus pada teknik, misalnya perihal susunan elemen, prinsip keseimbangan, aturan pewarnaan, dan sebagainya, sehingga karya-karya terkesan “formalis.” Untuk desain elementer, prinsip-prinsip visual ini penting diterapkan. Dan di sini, mereka terlihat bereksperimen dalam menerapkan itu, walau seringkali terkesan tidak variatif, namun usaha untuk “setia” pada standar elementer desain ini patut mendapat perhatian. Kendati pun keberadaan variasi seringkali terkesan artifisial dengan beberapa penambahan, misalnya saja pada d(6). Image d(6), yang termasuk dalam kategori kombinasi garis lurus, lengkung, dan putus-putus, adalah salah satu contoh image yang bervariasi, baik dalam hal warna, bidang, garis, bentuk-bentuk (ada bentuk segitiga, kubus, persegi, bulatan, dan sebagainya). Variasi ini tampak menemui kebuntuannya tepat di titik ia makin bervariasi, makin variatif. Lihat pada, misalnya, ground (landasan) segitiga yang ada dalam karya itu. Landasan itu tampaknya kurang menyatu dengan bentuk di atasnya. Segitiga yang mungkin awalnya diajukan sebagai floor (lantai), selanjutnya malah menghilangkan efek ‘landasan’ itu sendiri karena beradu dengan apa yang disanggahnya, dan menyaingi efek atap karena keseluruhan bentuk tampak tertutup (karena sudah ada ‘atap’ persegi itu). Kalau pun segitiga landasan itu dihilangkan, efek landasan sudah bisa ditemukan lewat benda di atasnya. Benda di atasnya sudah mencipta ground-nya sendiri. Maka, prinsip kesatuan, keseimbangan dan proporsionalitas harus mendapat perhatian di tengah variasi. Ketiga, perihal keindahan. Keindahan dapat diperoleh melalui perpaduan komposisi teknis dan komposisi estetis. Komposisi teknis melibatkan prinsip desain secara umum, yaitu keseimbangan susunan (balance), proporsi, penekanan, fokus (emphasis), kejelasan (clarity), irama, gerak (rhythm), kesatuan (unity), dan variasi (variety). Sedangkan komposisi estetis melibatkan pengalaman estetis dari pembuat karya. Dalam pameran desain elementer ini, komposisi teknis mendapat penekanan dibanding dengan komposisi estetis. Yang estetis itu, dalam hal ini, adalah yang memenuhi standar teknis. Namun, ketika karya ini harus “keluar,” atau untuk dimasukkan dalam konteks yang lebih luas, perlu ada kepekaan terhadap konteks sosial-budaya (yang bisa menjadi sumber bagi pengalaman estetis) agar karya itu mampu dimaknai secara lebih dalam. Maka, keindahan, dalam arsitektur, atau pun dalam desain visual secara umum, tidak hanya melibatkan kemampuan memenuhi standar desain elementer, melainkan kemampuan “ruang dan bentuk imajiner” itu berelasi dengan situasi sekitarnya. Dengan kata lain, keindahan, kepadatan, sensasi, keberhasilan suatu bangunan adalah ketika ia mampu berelasi dengan lingkungan sekitarnya, kontekstual, sehingga menjadi satu kesatuan dengan konteks, tidak ngambang. Untuk mencapai ini, pertama-tama dibutuhkan penguasaan atas desain elementer karena desain elementer bisa dikatakan sebagai “rambu-rambu” teknis dalam berkarya. Beberapa hal yang belum banyak diolah, misalnya warna, tekstur, lipatan-lipatan, rongga-rongga, nampaknya merupakan hal potensial untuk menciptakan keleluasaan eksperimen, dan mengolah efek komunikasi dalam ruang (dalam dunia arsitektur ini berimplikasi pada hadirnya suasana terbuka, santai, akrab, menjauh dari kesan angkuh, tertutup, dan kaku). Pendek kata, selain didukung oleh material alam yang digunakan, elemen-elemen tersebut, jika dieksplorasi lebih dalam, agaknya bisa menjadi peluang dan sangat berguna menciptakan desain yang “ramah lingkungan.” [1] Gilles Deleuze & Félix Guattari. 1994. What is Philosophy? (Trans. Hugh Tomlinson & Graham Burchill). London: Verso, hal. 184. [2] Idem. [3] Sadjiman Ebdi Sanyoto. 2005. Dasar-Dasar Tata Rupa dan Desain. Yogyakarta [4] Kategori “Titik-titik yang membentuk ruang geometris.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar